Kamis, 30 Oktober 2008

SAGA and the True story

Musyawarah, Kunci Selesaikan Konflik Pembangunan
*4 Paket Bicara pada Pertemuan Mosalaki Ende

Steph Tupeng Witin

Musyawarah menuju mufakat merupakan landasan utama dalam penyelesaian setiap persoalan yang dihadapi rakyat dalam pembangunan. Terkait dengan penyelesaian konflik pembangunan itu mosalaki dan masyarakat adat menduduki tempat yang sentral sebagai salah satu pilar, berbarengan dengan lembaga agama dalam proses pembangunan Kabupaten Ende. Selain itu diupayakan perlunya proses belajar bersama wilayah lain, misalnya Bali khususnya dalam upaya memperkokoh nilai-nilai adat yang berkaitan dengan manusia maupun alam. Terkait konflik pengelolaan Taman Nasional Kelimutu, kita perlu membangun contoh-contoh pengelolaan kawasan hutan (TNK) yang manusiawi.Dalam konteks pengelolaan tersebut prinsip utamanya adalah hutan tetap lestari tetapi juga rakyat mendapatkan penghasilan secara ekonomis.
Hal ini merupakan benang merah dalam pemaparan dan diskusi antara para bakal calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Ende di hadapan para mosalaki dan pemilik ulayat se-Kabupaten Ende yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) di Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Rabu (10/9). Paket yang hadir adalah Sirianus Reda Lio (Paket SETIA), Petrus Lengo (Paket Lengo-Pase), David Dalla (Paket DAMAI) dan Marsel Petu-Stefanus Temu Tani (Paket PETANI). Pemaparan dan dialog bersama peserta pertemuan itu dipandu oleh Philipus Kami. Keempat paket diberi waktu selama 10 menit untuk memaparkan pandangannya terkait posisi, peran dan fungsi mosalaki dalam pembangunan di Kabupaten Ende.
Cabup dari Paket DAMAI, David Dalla mengatakan, mosalaki memiliki peran yang sentral dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Ende. Konflik yang selama ini terjadi di Kabupaten Ende terkait pelaksanaan pembangunan merupakan akibat tidak dilibatkannya mosalaki dalam rencana pembangunan. “Mosalaki dan hukum adat kita perlukan dalam pembangunan sepanjang itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum,” katanya.
Calon Bupati dari Partai Golkar, Marsel Petu menegaskan, mosalaki memiliki kedudukan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak. “Jika saya terpilih nanti, langkah pertama yang sama tempuh adalah menyatukan mosalaki dan tokoh agama untuk bersama-sama berpikir dan merancang pembangunan di Kabupaten Ende lima tahun ke depan. Kita berjuang agar nilai-nilai adat budaya tetap menjadi kekuatan bagi kita terutama generasi muda dalam menghadapi globalisasi,” katanya.
Cabup Petrus Lengo mengajak para mosalaki untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pembangunan di Kabupaten Ende. Menurutnya, peran mosalaki sudah ditunjukkan secara nyata dalam upaya mensejahterakan ana kalo fai walu. “Kita saat ini memerlukan nilai ketahanan dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan. Mosalaki berperan dalam menghidupkan dan mengokohkan kearifan-kearifan lokal sebagai warisan kebijaksanaan dari pendahulu kita. Kita harapkan peran agama dan adat untuk mengokohkan kehidupan kita secara konkret, bukan sebatas dalam lembaran Perda atau peraturan desa (Perdes.”
Cabup Paket independen SETIA, Sipri Reda Lio mengatakan, mosalaki memiliki tanggung jawab dalam membangun kesejahteraan hidup ana kalo fai walu. Peran mosalaki mesti disinergikan dengan peran gereja dan pemerintah dalam membangun Kabupaten Ende secara bersama. Menurutnya, peran mosalaki ini telah membantu pemerintah dalam mengikis kemiskinan dan memperkecil angka pengangguran.
“Entah jadi Bupati Ende atau tidak, saya tetap dukung segala kegiatan AMATT dalam upaya menghidupkan nilai-norma dan hukum adat kita yang menyimpan kebijaksanaan untuk bekal dan warisan hidup,” katanya.

Konflik TNK
Mosalaki Saga, Gregorius Gata saat diskusi mengangkat persoalan lama terkait konflik pengelolaan kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) antara pemerintah dan rakyat pemilik ulayat sekitar kawasan. Menurutnya, konflik ini telah menggerakkan rakyat untuk berjuang hingga tingkat nasional karena terkait dengan hak ulayat. “Kami mengharapkan agar bapa-bapa ini jika terpilih nanti tidak menjadi rakyat sebagai barang mainan kekuasaan. Pemimpin harus memiliki sikap tegas berpihak kepada rakyatnya.”
Sipri Reda Lio menegaskan, keberadaan Taman Nasional Kelimutu memang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan aturannya tetapi pelaksanaan di lapangan mesti disesuai dengan situasi terutama kondisi riil rakyat kecil yang menjadi pemilik ulayat, yang selama ini hidup dari tanah wilayah itu.
“Saya memang terlibat dalam upaya menyelesaikan konflik itu. Kita memang berjalan di atas roda aturan tetapi pelaksanaannya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan terutama menyangkut rakyat kecil (ana kalo fai walu) yang hidup dari ulayat sekitar taman nasional itu. Prinsipnya, Taman Nasional Kalimutu itu tetap ada menjadi aset wisata kita tetapi rakyat sekitar tidak boleh dilarang untuk menyambung hidup. Saya tidak setuju kalau rakyat yang hendak memetik kopi yang ditanam oleh nenek moyang sebelum pematokan tapal batas itu dilarang oleh pemerintah. Tindakan ini sudah tidak manusiawi lagi,” katanya.
Cawabup Paket PETANI, Stefanus Temu Tani mengatakan, terkait konflik TNK, semua elemen perlu duduk bersama untuk membicarakan agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. “Kita menerima bahwa Kelimutu merupakan aset wisata kebanggaan kita yang perlu dilestarikan. Tetapi serentak juga tidak boleh ada larangan bagi ana kalo fai walu untuk menggarap tanah di sekitar sepanjang tidak mengganggu kelestarian lingkungannya,” katanya.

Kecewa dengan Paket Lain
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma saat dialog menyaampaikan kekecewaannya terkait ketidakhadiran lima paket lain tanpa pemberitahuan sesuai dengan adat sopan santun. Menurutnya, para bakal pemimpin Kabupaten Ende mesti menghargai para mosalaki dan pemegang ulayat sebagai salah satu komponen dalam pembangunan Ende. “Kita tidak menghadirkan para kandidat untuk berkampanye di forum pertemuan ini. Para mosalaki ingin berbagi pengalaman hidup dengan para kandidat. Para kandidat juga mesti menghargai suara rakyat. Kita mesti bersama-sama membangun Ende ke depan.”
Ketua JPIC SVD Ende, Pater Aleks Ganggu, SVD mengatakan, pertemuan para mosalaki ini dilaksanakan untuk membangun kebersamaan, persaudaraan dan kekuatan di antara para mosalaki. “Kita melihat para mosalaki sebagai kekuatan pembangunan yang besar. Kita menyatukan mereka agar terbangun solidaritas dalam menanggapi berbagai persoalan sosial dan pembangunan. Solidaritas bersama dalam persoalan-persoalan sosial inilah yang menjadi kekuatan bersama sehingga semua memiliki satu suara.”
Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) dideklarasikan di Wolomoni pada 19 April 2002. Organisasi masyarakat adat ini dikukuhkan di Saga pada 10 Oktober 2002. Menurut Ketua AMATT, Nikolaus Ruma, AMATT didirikan sebagai tanggapan atas konflik tapal batas Taman Nasional Kelimutu untuk menyatukan sikap dalam memperjuangkan hak ukayat, tanah adat dan lokasi garapan yang diambil semena-mena oleh pemerintah untuk dijadikan areal TNK berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI.
“Dokumen BAP menunjukkan seolah-olah pelaksanaan pengambilalihan tanah sesuai dengan prosedur yang disertai dengan tanda tangan dari para mosalaki. Ternyata semua itu hasil rekayasa. Para mosalaki tidak pernah menandatangani BAP itu. Kita ingin menegakkan hak kita atas tanah dan sumber daya alam. Kita harapkan agar para mosalaki dikemablikan pada posisi yang sebenarnya sebagai pemegang hak ulayat yang mesti dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan.” *

Rakyat Flores Tidak Butuh Korem
*Sipri Reda: Hanya Tumpuk Orang

Steph Tupeng Witin

Rencana pembangunan korem di Flores hingga saat ini masih ditolak oleh masyarakat Flores. Penolakan itu lahir dari rahim rakyat Flores yang tidak merelakan tanahnya untuk dijadikan lokasi korem. Rencana kehadirannya pun telah berandil memecah belah kerukunan dan persaudaraan antara mosalaki dan ana kalo fai walu. Rencana kehadirannya mesti dilihat kembali dan tidak dipaksakan. Saat ini rakyat Flores membutuhkan keadilan dan kesejahteraan dalam pembangunan.
Hal ini mengemuka dalam dialog antara para mosalaki se-Kabupaten Ende yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) bersama empat paket Pilkada Ende di Saga, Kecamatan Detusoko, Rabu (10/9). Dialog itu dipandu oleh Hironimus Nori. Selain dihadiri para mosalaki, hadir juga Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi, Ketua JPIC SVD Ende, Pater Aleks Ganggu, SVD dan tokoh masyarakat, Max Djeen.
Para Bacabup mengatakan, rencana kehadiran korem mesti dibicarakan secara terbuka dengan seluruh masyarakat dan bukannya tiba-tiba datang lalu memaksakan diri untuk diterima oleh rakyat Flores tanpa sebuah alasan yang substansial (mendasar). Apalagi rencana itu tidak pernah melibatkan mosalaki dan hanya “memanfaatkan” segelintir pemilik tanah dan mosalaki yang tidak memiliki hak untuk menjual tanah.
Menurut Cawabup Paket PETANI, Stefanus Temu Tani, rencana kehadiran korem mesti melibatkan mosalaki sebagai pemangku adat setempat. Rencana itu pun mesti didahului dengan kajian ilimiah yang tetap menjamin hak-hak ana kalo fai walu. “Kalau mosalaki tolak korem, rencana pembangunannya tidak boleh dipaksakan. Apalagi rencana itu tidak didahului dengan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Penelitian mesti dilandasi oleh moralitas dalam arti penelitian itu tidak dijalankan atas pesan sponsor tertentu.”
Cabup Paket DAMAI, David Dalla mengatakan, rencana korem tidak boleh melangkahi hak-hak rakyat. Mosalaki mesti dihargai terutama dalam kaitan dengan hak hidup ana kalo fai walu yang menjadi tanggung jawabnya. “Saya lihat rencana kehadiran korem ini sepertinya menghilangkan kewenangan mosalaki. Mosalaki jangan takut untuk memperjuangkan kebenaran bagi ana kalo fai walu.”

Hanya Tumpuk Orang
Cabup Paket independen SETIA, Sipri Reda Lio menekankan pentingnya perencanaan dalam rencana pembangunan apa pun di Kabupaten Ende. Program pembangunan tidak bisa tiba-tiba datang begitu saja ibarat sesuatu yang jatuh dari langit. “Mestinya program pembangunan apa pun, termasuk rencana pembangunan korem mulai dengan perencanaan yang terbuka dengan semua elemen masyarakat. Khusus di Ende, mosalaki dan ana kalo fai walu menduduki peran yang sangat penting. Kita bicara dulu, memang ada undang-undang yang mengatur tapi pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah rakyat Flores butuh korem? Apakah rakyat setuju untuk relakan tanahnya sebagai lokasi pembangunan markas korem yang menyita banyak tanah itu? Kalau tidak ada tanah, kita taruh korem itu di tengah laut. Jangan-jangan kita hanya bangun korem untuk tumpuk orang saja. Kita butuh TNI untuk bantu korban bencana banjir tapi setelah itu mereka kembali, tidak tinggal di sini.”
Cabup Petrus Lengo menekankan pentingnya kepemimpinan yang kuat ke depan khususnya di Kabupaten Ende. Pemimpin yang kuat tahu dengan baik kebutuhan rakyat dan setia mendengarkan aspirasi rakyat yang akan ditanggapi secara konkret dalam pembangunan. “Pemimpin harus kuat, tegas dalam mengambil sikap. Pemimpin harus berpihak pada rakyat. Dia harus jujur untuk mengatakan sesuatu kepada masyarakat. Kejujuran yang membawa perubahan itu harus mulai dari diri sendiri,” katanya.

Hilangnya Solidaritas
Timotius Usman, mosalaki suku Paumere, Kecamatan Nangapanda mengatakan, rencana kehadiran korem di atas ulayat suku Paumere telah menghancurkan persaudaraan yang selama ini dibangun oleh warga di atas tanah ulayat. “Bertahun-tahun kami hidup sebagai saudara, bekerja di atas tanah ulayat yang sama tetapi masuknya rencana korem telah hancurkan semuanya. Masalahnya sampai saat ini sudah masuk ke pengadilan. Kami sebagai rakyat kecil merasa tidak memiliki kekuatan karena hak ulayat kami diobrak-abrik dengan pasal-pasal hukum di pengadilan yang kami sendiri tidak tahu. Sebagai rakyat kecil, kami ditinggalkan oleh pemerintah dan DPRD yang telah kami pilih. Sampai saat ini kami tetap didampingi oleh JPIC Keuskupan Agung Ende dan SVD Ende,” katanya.
Mosalaki Mboa Poma, Andreas Daki mengatakan, di balik rencana kehadiran korem ada orang pintar yang katanya berpegang pada peraturan negara tetapi mengabaikan hukum adat terkait kepemilikan tanah ulayat. Tanah kosong diambil begitu saja oleh orang yang bukan pemilik dan menjualnya kepada “orang lain” untuk pembangunan korem.
Mosalaki Nangapanda, Elias Mbani mengatakan, rencana kehadiran korem di Nangapanda yang sangat menggoyahkan pemegang ulayat karena hilangnya nilai solidaritas yang menyebabkan hilangnya wibawa mosalaki. “Solidaritas antara mosalaki sangat lemah. Kasus Nangapanda sudah sekian lama tetapi masing-masing mosalaki bertahan pada posisi masing-masing. Mosalaki di luar suku Paumere merasa tidak menjadi masalahnya sedangkan mosalaki suku Paumere merasa masalah itu bisa diatasi dengan kekuatan sendiri.”

Tanah Sakral
Terkait penjualan tanah oleh segelintir mosalaki kepada “orang luar” Romo Sipri mengingatkan para mosalaki untuk menyadari nilai kesakralan tanah dalam pandangan agama dan adat budaya kita. Menurutnya, tanah bukan barang atau benda yang bisa dijual tetapi tanah adalah manusia yang lain yang mesti dihidupi secara adat. Tanah dan manusia sama-sama berasal dari Tuhan. “Manusia dan tanah itu berasal dari Tuhan. Manusia dan tanah akan kembali menjadi tanah. Maka tanah itu sakral, kudus dan bukan untuk diperjualbelikan.” *

Pembangunan Mesti Berbasis Nilai
*Nimus Pala: Penerima Raskin Kian Banyak
Oleh Steph Tupeng Witin
Saga, Flores Pos
Adat dan agama telah mewariskan berbagai nilai hidup seperti persaudaraan, kekerabatan dan kekudusan tanah. Nilai itu hidup di tengah-tengah kita. Ia bisa berada di depan kita, tengah berjalan bersama kita dan berada di belakang kita. Nilai-nilai itu telah membantu kita untuk hidup di tengah masyarakat sebagai orang yang beriman dan beradat budaya. Nilai-nilai itulah yang mesti menjadi dasar, landasan dan fondasi berbagai aktivitas pembangunan yang kita jalankan setiap hari. Terkait pelaksanaan nilai, mesti ada indikator, tolok ukur untuk menilai pelaksanaan dan pengamalan nilai tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr di hadapan para mosalaki se-Kabupaten Ende di Saga, Kecamatan Detusoko, Kamis (11/9). Kegiatan itu diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) yang berlangsung sejak Selasa (9/9)-Kamis (12/9). Diskusi dipandu oleh Herman Leonis, volunteer AMATT.
Menurutnya, nilai-nilai itu mesti digali dari dalam diri, adat dan budaya kita. Agama Kristen mengajarkan bahwa kasih adalah nilai utama dalam hidup. Melalui kasih dalam iman, buah-buah kebaikan akan berkembang menjadi sesuatu yang nyata di dalam keseharian.
“Berbagai kegiatan pembangunan mesti didasarkan pada nilai kehidupan seperti kebaikan, kejujuran, kebenaran, keadilan dan lain-lain. Masyarakat Ende mestinya dipimpin oleh nilai. Kita tidak dipimpin orang tetapi oleh nilai. Bupati, camat, kepala, mosalaki atau siapa pun harus dipimpin oleh nilai kekeluargaan, persaudaraan, kejujuran dan keadilan itu.”
Romo Sipri mengatakan, untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan nilai dalam hidup bermasyarakat dan bergereja, perlu ada indikator, tolok ukur untuk menilai sejauh mana penghayatan nilai-nilai kehidupan itu dan kualitas kehidupan. Nilai dan tolok ukur, indikator itulah yang mesti disepakati bersama dalam komunitas adat. “Misalnya, nilai persaudaraan, kita mesti tahu apa indikator atau tolok ukur untuk menilai sejauh mana kualitas penghayatan nilai-nilai itu di tengah masyarakat dan komunitas-komunitas kita.”

Mosalaki Mesti Jujur
Mosalaki Saga, Gregorius Gato mengimbau para mosalaki agar jujur dalam kata dan perbuatan. Menurutnya, banyak mosalaki sewenang-wenang dalam hal penjualan tanah kepada “orang luar” sementara ana kalo fai walu banyak yang tidak memiliki tanah. “Misalnya ada mosalaki yang mengklaim tanah sebagai miliknya padahal sejarah sudah menggariskan bahwa tanah itu sudah ditentukan menjadi milik orang lain. Ada orang yang setelah sekolah tinggi pulang kampung dan mulai tipu kami yang bodoh ini,” katanya.
Moses Tibo, mosalaki Kebesani Detukeli mengingatkan, saat ini banyak tradisi leluhur yang berangsur punah. Selain itu mulai ada gejala kuat bahwa ana kalo fai walu kurang percaya lagi kepada mosalaki. “Banyak mosalaki yang tidak tahu lagi perannya dalam komunitas adat,” katanya.
Direktur Yayasan Tananua Flores, Hironimus Pala dalam sesi dialog mengingatkan, mosalaki mesti menyadari perannya sebagai pemimpin komunitas lokal yang memiliki kekuatan untuk membangun warganya sehingga menjadi sejahtera. “Saat ini kita pertanyakan peran mosalaki untuk mensejahterakan ana kalo fai walu. Jumlah ana kalo fai walu yang menerima Raskin semakin banyak. Raskin itu sebenarnya menghina mosalaki yang sebenarnya memiliki peran utama untuk mensejahterakan warganya,” katanya. *

*Suara Mosalaki dari “Kampung Adat” Saga (1)
Kembali ke Jati Diri
Oleh Steph Tupeng Witin
“Kampung adat” Saga terletak kurang lebih 4 kilo meter dari badan jalan raya negara Roa, Kecamatan Detusoko. Pendakian aspal setapak-sempit yang robek sana sini sangat terasa bahwa perkampungan ini “sedikit jauh” dari perhatian. Tetapi memasuki haribaan Saga ibarat memasuki aura kesejukan yang menenteramkan. Rumah-rumah penduduk, sekolah, puskesmas dikelilingi kehijauan: Kelapa, pisang, cengkeh, kopi, kakao dan deretan tanaman perdagangan lainnya. Suasana adat yang sakral tampak pada rumah adat. Bukit Wolomasi (pusat seremoni adat pertama sebelum turun ke Saga), Rateladho (kubur leluhur-pejuang-pemakaman Ladho), Mbotubewa (bukit tinggi) dan Okajara (padang penggembalaan dulu, zona adat) tampak setia menjaga aktivitas kurang lebih 200 lebih kepala keluarga KK).
Di kampung ini pada 10 Oktober 2002 Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) dikukuhkan sebagai reaksi atas pengaplingan tanah di sekitar kawan Taman Nasional Kelimutu (TNK) oleh pemerintah. Warga dilarang untuk memetik kopi milik warga di sekitar kawasan Kelimutu yang sudah ditanam sebelum patokan kawasan TNK itu dipasang. Di kampung ini pun sejak Selasa (9/9)-Kamais (11/9) para mosalaki yang berasal dari komunitas adat di seluruh Kabupaten Ende berkumpul untuk mendengar, berbicara, berdiskusi dan urun rembuk tentang hal ikhwal seputar “dunia” mosalaki: identitas, peran dan fungsi di tengah gelombang perubahan zaman yang semakin tidak terbendung lagi. Diskusi sepanjang dua hari ini masing-masing mosalakimenghadirkan kembali “dunia” komunitasnya, melihat langkah yang telah lalu, membaca kenyataan saat ini dalam terang refleksi kritis dan merumuskan langkah-langkah ke depan. Berbagai pengalaman para mosalaki dari komunitasnya masing-masing dihadirkan, dibedah, didiskusikan dan dikritisi oleh para mosalaki sendiri, pastor yang hadir, teman-teman aktivias LSM dan para tokoh masyarakat yang peduli.
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma saat membuka kegiatan mengatakan, kegiatan ini merupakan saat yan berharga bagi para mosalaki untuk melihat kembali peran dan fungsinya dalam membangun kesejahteraan bagi ana kalo fai walu yang menjadi tanggung jawabnya. Menurutnya, berbagai peristiwa akhir-akhir ini telah menempatkan para mosalaki dalam posisi yang “linglung.” Identitas semakin tidak menentu terutama berhadapan dengan “godaan” uang dan berbagai privilese lainnya.
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) SVD, Pater Aleks Ganggu, SVD yang banyak kali terlibat dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat kecil mengatakan, saat kebersamaan seperti ini mesti membangun kebersamaan dan solidaritas antar para mosalaki sehingga selalu merasa bahwa persoalan di wilayah tertentu dengan peka ditanggapi dan menjadi bagian dari persoalan tersebut yang menuntut keterlibatan konkret.
Selama dua hari para mosalaki mendapatkan masukan dari berbagai narasumber, para bakal calon bupati dan wakil bupati yang akan bertarung dalam Pilkada Ende Oktober 2008 dan beberapa pembicara lain yang membedah peran dan fungsi mosalaki serta tata nilai kehidupan. Para mosalaki begitu antusias menyampaikan pikiran dan gagasannya, berdiskusi dalam kelompok, semua begitu teratur dan mengalir. Berbagai masukan, diskusi dan sharing terasa menggoyahkan dan menggentingkan identitas mosalaki di komunitas-komunitas adatnya masing-masing. Gagasan-gagasan yang dibedah selama kegiatan itu menggambarkan luasnya cakupan pengalaman, pengetahuan dan intensitas keterlibataan dalam ruang komunitasnya.
Pertemuan para mosalaki ini terasa sangat penting ketika identitas mosalaki di wilayah Ende-Lio semakin dipertanyakan di tengah merebaknya aksi jual tanah secara sepihak, baik oleh segelintir mosalaki yang sebetulnya tidak memiliki hak dan beberapa penggarap yang sesungguhnya “tidak bertanggung jawab.” Kasus penjualan tanah untuk rencana pembangunan korem di suku Paumere, Kecamatan Nangapanda, kasus penjualan tanah di wilayah Moni-Kuru-Peibenga, Kecamatan Moni dan kasus tanah PLTU Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole mendapatkan intensitas perhatian para peserta.
Elias Mbani, mosalaki Nangapanda mengatakan, dalam kasus tanah suku Paumere, tampak jelas bahwa solidaritas dan kepekaan di antara para mosalaki sangat lemah bahkan tidak ada sama sekali. Masing-masing mosalaki masih merasa bahwa persoalan itu masih sebatas miliknya. Jejaring kerja sama antar mosalaki belum terbangun. Mosalaki yang dilengkapi dengan sederet privilese adat-budaya masih merasa “mampu” untuk mengatasi persoalannya sendiri meski dalam kasus Nangapanda misalnya, terbaca terang bahwa mosalaki memiliki pemahaman yang sangat minim.
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma mengatakan, kegiatan seperti ini membuka cakrawala pemahaman dan pengetahuan para mosalaki agar terbangun sebuah kerangka kerja sama dan solidaritas yang oleh Pater Aleks Ganggu, SVD dilukiskan sebagai sebuah kekuatan bersama yang bisa mempengaruhi kekuasaan publik yang lebih luas dalam mengambil kebijakan. Kekuatan bersama yang dihimpun oleh ruang kerja sama dan solidaritas para mosalaki mesti membangun jejaring kerja sama yang akan mempertautkan semua elemen untuk peka dan terlibat dalam menanggapi realitas. *


*Suara Mosalaki dari “Kampung Adat” Saga
Solidaritas dan Partisipasi

Steph Tupeng Witin

Nikolaus Fedho, Mosalaki Pu,u Nduaria merefleksikan kehadirannya di tengah ana kalo fai walu. Sebaagi mosalaki, ia telah menjalanka kewajibannya: memimpin komunitas, membagi-bagi tanah, mengatur penggunaan tanah dan sebagainya. Namun akhir-akhir ini, antusiasme ana kalo fai walu semakin menggelisahkannya. “Mereka tidak antusias lagi dengan apa yang saya sampaikan. Saya mulai merefleksikan peran dan kewajiban saya? Mengapa ana kalo fai walu semakin tidak peduli dengan peran mosalaki? Apa yang salah dengan kebijakan yang saya ambil?”
Sentilan ini diiakan oleh semua mosalaki. Hal ini terungkap saat dialog hari kedua pertemuan mosalaki yang difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) di Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Kamis (11/9). Masalah ini kemudian menyebar dalam sesi diskusi. Masing-masing kelompok coba menginventarisasi permasalahan nilai dalam komunitasnya masing-masing.
“Pemandangan” itu sangat menarik. Para mosalaki sibuk berdiskusi, berdebat dan beradu argumen. Kepala yang dilapisi topi kebesaran mosalaki bergoyang, tangan bergerak-gerak, kadang dengan menghentakkan pantat di kursi. Bibir yang merah merekah karena “gincu” sirih pinang begitu akrab dengan kata-kata adat yang bernilai sastra tinggi. Kebijaksanaan yang mengalir dari kesederhanaan tanaman, bukit, gunung dan lembah. Realitas kesahajaan alam terasa mengalirkan kesejukan ketika balai pertemuan Desa Saga diseroboti berkas-berkas cahaya matahari.
Max Djeen, tokoh masyarakat yang telah “makan garam” dalam dunia pergerakan sosial-adat-budaya Ende-Lio tampak begitu “muda” menginspirir para mosalaki untuk menyadari keberadaannya. Keberakaran dalam keberadaan adat-budaya Ende-Lio yang kaya dengan khazanahnya menghadirkan nilai-nilai hidup. Ia menghentak para mosalaki untuk masuk dalam ruang “hidup” dan merefleksikan makna kehadirannya dalam kerangka pemberdayaan terhadap ana kalo fai walu.
Pater Alex Ganggu, SVD yang telah sekian lama “berkelana” dalam area pemberdayaan masyarakat mengingatkan bahwa budaya Ende-Lio sangat kokoh berakar. Ritual-ritual terasa kental dalam komunitas-komunitas adat. “Saya telah menjelajah wilayah-wilayah dampingan di Flores ini. Saya boleh katakan bahwa budaya Ende-Lio memiliki kekhasan karena tetap bertahan, kaya dan sarat dengan kebijkasanaan. Nilai-nilai itu membingkai hidup kita. Saat ini di tengah kenyataan perubahan zaman dan tantangan, kita dituntut untuk menghidupkan nilai-nilai itu.”
Volunteer AMATT, Herman Leonis mengatakan, mosalaki memiliki kekhasan sebagai salah satu pilar dalam pembangunan. Peran ini mesti dioptimalkan agar ada nilai “lebih” dalam pembangunan. Mosalaki memiliki kekhasan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai yang adat yang selama ini mulai kehilangan “roh” di tengah carut marut hadirnya budaya-budaya global yang instan dan miskin kadar nilai. Aktivis “lintas zaman” Ronny Soo mencoba merangkum kiblat yang mesti dimainkan para mosalaki itu dengan kata-kata,”menjadikan Kelimutu sebagai mahkota dalam ranah perlintasan wisata budaya yang mesti berakar kokoh dalam ruang budaya.”
Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr membagikan pengalaman pendampingan-pemberdayaan masyarakat Kabupaten Ngada sekitar Inerie dalam kerangka pengembangan potensi wisata budaya berbasis nilai. “Kita mendampingi masyarakat agar berdaya dengan potensi yang dimiliki. Rakyat sendiri yang mengelolah semua aset itu. Kita mengarahkan dan mendampingi rakyat agar mampu membangun diri sendiri, menumbuhkan solidaritas satu sama lain untuk selanjutnya berpartisipasi, mengambil bagian secara aktif dalam pembangunan karena lahir dari kesadaran.”
Solidaritas dan partisipasi inilah yang sesungguhnya menjadi rancang-bangun terselenggaranya pertemuan ini. Saatnya telah tiba bahwa para mosalaki membangun jejaring kerja sama untuk merangkai kekuatan bersama menghadapi “gempuran” pengaruh luar yang coba mengusik, menyentil dan membelokkan mosalaki memasuki “dunia baru” yang “mencemarkan.” Refleksi ini mengemuka ketika fakta ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas kekuasaan politik yang bisa saja begitu gampang menyeret mosalaki dalam permainan yang tidak diketahuinya. Mosalaki juga mesti diberdayakan agar ia tidak menjadi “lugu” saat berhadapan dengan realitas politik kekuasaan. Solidaritas dan partisipasi merupakan nilai yang bila disatukan akan menjadi daya tawar kekuatan “lain” yang mesti diperhitungkan oleh kekuasaan (pemerintah) dan agama (gereja).

Tidak ada komentar: