Minggu, 26 Oktober 2008

Ataili

*Merekam Jejak Ziarah Hidup:

Ataili, Sebuah Jalan Panjang

Steph Tupeng Witin

Ataili. Kampung yang terletak di Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Nama yang secara harafiah Lamaholot berarti “orang kampung.” Sebutan “orang kampung” tidak identik dengan “ketertinggalan.” Meski hingga saat ini Ataili hanya mampu “diciumi” roda sepeda motor. Itu pun mesti didorong agar bisa melewati punggung bukit bertanah pasir. Betapa sulit menemukan “celah” untuk memasuki haribaannya. Pemkab Lembata telah berupaya menyibak isolasi alam dengan membuka jalan masuk kendaraan roda empat tahun 2007. Namun hingga detik ini upaya itu masih menyisahkan “kegelisahan.”
Sejarah telah mengguratkan sebuah ziarah panjang pencarian diri. Kampung yang dilingkupi perbukitan terjal ini telah sekian lama menoreh cerita panjang pergulatan hidup. Cerita itu mengekalkan gelora semangat untuk senantiasa berjuang melawan alam yang keras, tidak gampang menyerah pada kenyataan meski pada akhirnya berdiri di hadapan kebesaran alam tetapi dengan horison pikiran yang menerobos dinding keterbatasan.
Cerita itu bermula ketika nenek moyang memulai kehidupan di Bakalerek, kurang lebih 4 jam berjalan kaki, naik bukit, turun lembah, dari Ataili. Bekas-bekas kehidupan masih terpajang di atas reruntuhan bangunan. Kubur-kubur tua yang hanya tinggal ditandai batu. Tanpa salib. Tanaman-tanaman sumber makanan yang tidak pernah berhenti berketurunan. Bencana alam angin besar akhirnya memisahkan keutuhan. Sebagian besar penduduk “merantau” ke Waikomo, “perkampungan” yang kini tengah “bergerak” menjadi sebuah “kota” di pinggiran Lewoleba. Nuansa “Ataili” sangat terasa di Waikomo terutama melalui “bahasa” bahkan hingga saat ini. Sentuhan dunia “orang-orang kampung” Ataili dalam lintasan rentang waktu bersama para penghuni lain yang berdatangan dari berbagai pelosok Lembata-Flores-Timor telah menjadikan Waikomo “sebuah bejana” masa depan Lembata yang utuh-menjanjikan dalam bingkai pluralisme. Meski agak sedikit “sombong,” boleh jadi Waikomo saat ini adalah cikal bakal dari sentuhan “kampungan” para “misionaris” Ataili yang “diceraiberaikan” oleh bencana angin ribut itu. Sungguh, bencana yang menghadirkan “rahmat.”
Warga lainnya bergerak menuju Roga. Sebuah hunian yang terletak di punggung bukit, kurang lebih 2 jam berjalan kaki dari Ataili. Bekas bangunan, kubur dan tempat persembahan tiap suku bagi leluhur masih hidup. Religiositas yang berakar pada keintiman dengan alam semesta menjadi “akar” yang merambati semua generasi hingga saat ini.
Sekitar tahun 1960-an, sebagian warga mulai turun ke Ataili dan Knoleng (cikal bakal dari Mudalerek saat ini). Kondisi alam, sumber penghidupan dan alasan kepemeritahan menuntun warga “turun” dari Roga. Dulu, wilayah Ataili saat ini dikenal dengan nama Ongalerek, kurang lebih berarti tempat hidup yang rata, luas. Punggung wilayah ini dulu ditumbuhi padang dengan rumput-rumput pendek berakar serabut yang disebut kurum dan klielija. Nama Onglerek juga berkaitan dengan tempat di mana kaum lelaki melepaskan kepenatan kerja sepanjang hari dengan minum tuak bersama rekan-rekannya setelah selesai mengiris tuak sore hari. Saat seperti ini mereka membicarakan ha;-hal yang berkaitan dengan kehidupan bersama (baumoting).
Pada tahun 1968 Ataili bergabung bersama Mulankera membentuk Desa Atakera:Ataili-Mulankera. Kebersamaan dalam bejana Atakera berlangsung hingga tahun 2008. Selama rentang waktu 40 tahun, Ataili telah “berubah.” Siapa pun yang pernah memasuki kampung ini akan terpesona memandang sebuah “keajaiban.” Denyut pembangunan terasa mengalir di antara celah-celah bebatuan keras dan perbukitan yang dilingkari lereng. Bahan-bahan bangunan berupa semen, seng, kayu harus dipikul mendaki bukit. Di gerbang kampung telah berdiri SDI Ataili sejak tahun 1984.
Menurut caretaker Kepala Desa Ataili, Nikolaus Loli Lampo, sekitar tahun 1989 gagasan pemekaran desa Atakera mulai digulirkan. Gagasan ini berakar pada kehendak rakyat untuk lebih mengoptimalkan potensi yang dimiliki untuk membangun diri. “Gagasan ini mendapat respon positif dari warga Atakera. Berbagai perjuangan melalui institusi-institusi resmi seperti pemerintah dan DPRD terus digencarkan. Perjuangan itu akhirnya direstui dengan diresmikannya Desa Ataili sebagai desa definitif di Mulankera oleh Wakil Bupati Andreas Nula Liliweri pada 23 Agustus 2008 setelah beberapa kali tertunda.”
Ketua Panitia Desa Persiapan Ataili, Felix Buran melukiskan saat peresmian sebagai “saat kemerdekaan” bagi warga Ataili. “Artinya, warga Ataili saat ini menemukan ruang dan waktu untuk mengoptimalkan potensi membangun diri sendiri. Pengalaman berjalan bersama warga desa induk (Mulankera) selama 40 tahun menjadi pelecut semangat dan kreativitas untuk merancang pembangunan desa ke depan dalam suasana kebersamaan. Peresmian itu sekaligus menandakan bahwa pemerintah menghargai aspirasi rakyat Ataili untuk membangun diri.”
Kebahagiaan nikmat “perjalanan” itu disyukuri dalam perayaan Ekaristi di Tapuor pada Jumat (2/10). Warga bersatu dengan keluarga dari Waikomo. Hadir juga anggota DPRD Lembata, Yohanes Vianey Burin. Saat didaulat memberi sambutan, Vian Burin mengajak segenap rakyat Ataili agar memanfaatkan “peluang” yang ada untuk semakin mengoptimalkan potensi dalam kerangka pembangunan. Menurutnya, perjuangan panjang menjadi desa definitif sesungguhnya menggambarkan peluang kemajuan masa depan yang akan diraih. Tokoh masyarakat Ataili di Waikomo, Yohanes Buran mengimbau agar jalinan relasi antara Ataili-Waikomo tetap dirajut dalam kerangka salin mendukung untuk membangun “lewotana.” Saat ini Ataili dihuni kurang lebih 96 kepala keluarga dengan populasi penduduk sekitar 200-an jiwa. Genderang perjalanan pembangunan telah ditabuh. Ataili adalah sebuah perjalanan. Kiranya matahari yang setiap pagi terbit di balik bukit Tuawolo dan akan menghilang di balik bukit Kolbanor pada senja, menjadi simbol gerak perubahan yang dirangkai dalam kebersamaan dan kekeluargaan menuju sebuah pencarian kerikutnya.

Tidak ada komentar: