Minggu, 14 Desember 2008

Protes yang LUAS


Gabriel Suku Kotan

Protes Masyarakat Harus Lebih Luas
*Rencana Tambang di Lembata

Oleh Ansel Deri

Praktisi Hukum, Gabriel Suku Kotan mengatakan, protes terhadap rencana tambang di Kabupaten Lembata harus dibangun masyarakat setempat dengan gerakan yang sifatnya lebih luas untuk menghalangi siapa saja yang mau melakukan investasi emas dan tembaga di kabupaten itu. “Kita harus tetap mendukung masyarakat atas sikap menolak rencana tambang di Kedang dan Lebatukan karena menyangkut peradaban mereka. Peradaban bakal hancur kalau masyarakat begitu saja menerima kaum kapital yang hendak melakukan investasi pertambangan di Lembata,” ujar putra Lembata ini usai sidang sengketa Pilkada Kabupaten Kupang di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Jumat, (5/12).
Menurutnya, nilai-nilai peradaban yang selama ini dijunjung tinggi masyarakat bakal hilang dengan sendirinya. Apalagi, generasi yang akan datang. Karena itu, masyarakat harus berpikir untuk membangun sebuah gerakan yang lebih luas, tak hanya di Kedang dan Lebatukan tetapi seluruh wilayah Lembata karena pulau itu milik masyarakat seluruhnya.
Salah satu hal yang dikritik Suku Kotan adalah iming-iming investor yang akan membangun apartemen bagi pemangku ulayat yang tanahnya bakal menjadi lokasi penambangan. Rencana membangun apartamen, tegasnya, tak akan pernah terwujud karena membangun apartemen di mana di sekitar itu masyarakat masih hidup dan bercocok tanam.
“Kalau investor membangun apartemen di atas tanah miliknya, nggak ada masalah tetapi ini malah membangun di atas tanah masyarakat. Di lain pihak, selama ini masyarakat hidup di rumahnya yang sederhana. Bagaimana dia mau tinggal di apartemen mewah. Ini tentu tidak pernah dia (masyarakat-red) mau,” tandas Suku Kotan.


Tetap Kawal
Sr. Hironima, SSpS mengatakan, masyarakat Lembata harus tetap mengawal rencana investasi tambang di Lembata karena berbagai upaya terus dilakukan untuk mempengaruhi masyarakat menerima rencana itu. Hal ini penting agar tidak terjadi gesekan antarwarga, terutama yang berada di wilayah prospek tambang. Masyarakat Kedang dan Lebatukan juga diharapkan agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan.
“Ya, kita berharap agar masyarakat Kedang dan Lebatukan tetap solid dan tak terpengaruh pihak-pihak lain yang terus mempengaruhi masyarakat untuk menerima rencana investasi tambang. Apalagi, dengan iming-iming rumah mewah atau beasiswa dari investor pertambangan,” katanya.
Menurut dokter lulusan Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya Jakarta, ini berdasarkan informasi yang diperoleh dari Jakarta, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata tetap ngotot menggolkan rencana investasi tambang di Lembata. Namun, oleh karena protes dan perlawanan masyarakat begitu kuat maka saat ini cooling down dulu.
“Kami dengar Pemkab Lembata ngotot dengan rencana investasi tambang, tetapi karena diprotes masyarakat maka tensi beritanya agak menurun. Menurut saya, alangkah bijaknya jika orientasi pembangunan Lembata diarahkan pada pembangunan infrastruktur jalan raya sehingga roda perekonomian masyarakat bergerak cepat. Ini yang selama ini diabaikan Pemerintah Lembata,” lanjut Sr Hironima.
Putra Lembata di Jakarta, Jose Kotan, SH mengimbau Pemkab Lembata perlu berpikir realistis dalam mengembangkan potensi Lembata. Sektor unggulan yang perlu dikembangkan adalah sektor pertanian, perikanan dan pariwisata yang menjadi primadona daerah. Investasi tambang, kata Jose, justru akan menghantar masyarakat pada kemiskinan struktural. Pasalnya, sejumlah perusahaan tambang yang mengeksploitasi bahan tambang di Lembata sejak kabupaten ini masih bergabung dengan kabupaten induk, Flores Timur, tak ada hasil nyata yang dinikmati masyarakat lokal.
“Kita lihat, yang nampak adalah kemiskinan dan keterbelakangan. Warga yang tinggai di sekitar areal pertambangan justru sangat miskin. Lingkungan sekitar menjadi rusak karena kehadiran perusahaan pertambangan. Ini yang perlu menjadi pelajaran berharga bagi Pemkab Lembata saat ini dalam menerima kehadiran calon investor yang mau menanamkan modalnya di Lembata,” tegas Jose, putra Lembata kelahiran Leragere.
Jose menambahkan, dalam konteks rencana tambang maka masyarakat Lembata terutama Kedang dan Lebatukan harus dilibatkan dalam rencana itu karena mereka adalah pemilik ulayat yang sah. Jangan sampai mereka dipinggirkan begitu saja hanya karena ambisi mengejar keuntungan yang belum tentu juga mensejahterahkan masyarakat, terutama di area lingkar tambang.“Saya lihat, dalam konteks rencana investasi tambang di Kedang dan Lebatukan yang mendapat penolakan dan perlawanan masyarakat menunjukkan bahwa masyarakat ditinggalkan begitu saja. Artinya, masyarakat belum dilibatkan dalam keseluruhan rencana investasi itu. DPRD pun mengingkari posisinya sebagai penyambung lidah rakyat yang telah memilih mereka. Wajar kalau masyarakat memberontak. Menurut saya sebaiknya rencana tambang dibatalkan. Tak usah buang energi,” kata Jose, lulusan Fakultas Hukum Universitas Bung Karno (UBK) Jakarta

Bala Pattyona


Foto: Petrus Bala Pationa

Terkait status Hutan Lindung,
Bala Pattyona Surati Menhut

Oleh Ansel Deri

Petrus Bala Pattyona menyurati Menteri Kehutanan RI, Malam Sabat Kaban terkait penetapan lahan pertanian warga Lembata menjadi hutan lindung yang berbuntut ditetapkannya kliennya sebagai pelaku illegang logging di lahan milik mereka. “Saya sudah menyurati Pak Menteri Kehutanan untuk meminta penjelasan tentang pengukuhan kawasan hutan lindung di Kabupaten Lembata. Surat bernomor: 044/MP/PBP/XII/2008 itu sudah kami layangkan pada 6 Desember 2008 lalu,” kata Kuasa Hukum Gregorius Molan, dkk kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Senin (8/12).
Gregorius Molan bersama rekan petani lainnya, Lodofikus Leban, Mateus Leban, dan Lorensius Kia Liman kini sedang menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Lembata dengan nomor register perkara 55/Pid.B/2008/PN.Llb. Keempatnya didakwa melakukan tindak pidana yaitu melanggar Pasal 78 ayat 2 jo Pasal 50 ayat 3 huruf c Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Kehutanan. Selain Goris dkk, PN Lembata juga sedang mengadili tiga terdakwa lainnya yakni Donatus Kase, terdaftar dengan No. 57/B/2008/PN.llb, terdakwa Kristianus Kristo, terdaftar dengan No. 58/Pid.B/2008/PN. Llb dan terdakwa Markus Lela Udak terdaftar dengan No. 60/Pid.B/2008/PN. Llb.
Dalam surat itu, Petrus menguraikan secara ringkas laporan yang disampaikan kepada Menteri MS Kaban. Menurutnya, pada Sabtu, 23/8/2008, sekitar jam 11.00 WITA, bertempat di Daerah Aliran Sungai (DAS) kawasan Hutan Lindung Hadakewa Labalekan tepatnya di Desa Paobokol, Kecamatan Nubatukan, Kabupaten Lembata. Para terdakwa, Gregorius, Lodofikus, Liman dan Boli Leban melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan. Radius dari tempat penebangan sekitar 100 meter dari aliran tepi sungai dan menebang pohon, memanen, memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang yakni Dinas Kehutanan Kabupaten Lembata dengan cara menebang kayu hutan jenis ipi, mangga hutan dengan menggunakan chain saw.
Pada bagian lain suratnya, Bala mengemukakan, tindakan Kepala Dinas Kehutanan Lembata bersama-sama Polres Lembata menyidik-menuntut para terdakwa dengan Pasal 50 ayat 3 huruf e Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah tidak tepat.
“Klien saya menebang pohon jenis ipi dan mangga hutan di kebun milik sendiri walaupun pada daerah aliran sungai. Kebun klien saya, Goris, sudah digunakan bercocok tanam dan dilakukan secara tradisional. Selama ini tidak pernah ada sosialisasi tentang kawasan hutan lindung atau pembebasan lahan milik Goris. Klien saya juga tak pernah memperoleh ganti rugi atau melepaskan hak sesuai prosedur atau ketentuan perundang-undangan yang berlaku,” lanjut pengacara kelahiran Lembata, ini.
Dalam surat itu, Bala juga menginformasikan, semua tahapan pengukuhan hutan di Kabupaten Lembata belum dilakukan sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, di Kawasan Hutan Lindung Hadakewa Labalekan sampai saat ini belum ada Keputusan Penetapan dari Menteri Kehutanan RI. Masih terdapat banyak desa atau pemukiman penduduk yang rata-rata bertani dengan sistem ladang berpindah-pindah, di mana setiap tahun melakukan penebangan pohon dan pembakaran dan juga menggembalakan ternak dalam kawasan hutan lindung dimaksud.
Petrus juga mempertanyakan, jika para korban yang sekarang sedang diadili dinyatakan bersalah oleh PN Lembata, apakah secara otomatis Kelompok Hutan Lindung Hadakewa Labalekan serta merta mempunyai kepastian hukum kawasan hutan? Jika demikian, apakah juga serta merta seluruh warga masyarakat yang bermukim di dalam kawasan hutan tersebut ditangkap, ditahan, dan diadili secara massal oleh pihak penegak hukum di Kabupaten Lembata?
Pada 2007 lalu, Bupati Lembata Andreas Manuk meresmikan Desa Bakalerek di Kawasan Hutan Lindung Hadakewa Labalekan. Muncul pertanyaan, apakah Bupati Lembata juga harus diadili? Dinas Peternakan Kabupaten Lembata tiga tahun terakhir memberi sapi kepada masyarakat di Desa Paubokol dan Bakalerek untuk digembalakan di kawasan hutan lindung. Selain itu Dinas Pertanian, Dinas Perkebunan dan Dinas Kehutanan juga melakukan kegiatan-kegiatan proyek bagi warga masyarakat yang bermukim di Kawasan Hutan Lindung.
“Apakah semua pejabat tersebut juga serta merta harus ditangkap, ditahan dan diadili sebagaimana para korban yang sekarang sedang menderita di balik jeruji besi di tahanan Polres Lembata, demi keadilan dalam penegakan hukum?,” kata Bala, retoris.
Dalam surat itu, Bala memohon sejumlah hal penting kepada Menteri Kehutanan MS Kaban. Pertama, memberikan copy Surat Keputusan Pengukuhan Kawasan Hutan di Lembata, NTT berikut segala lampiran di antaranya Berita Acara untuk semua tahap Pengukuhan dan Peta Tata Batas Definif serta Peta Penetapan Kelompok Hutan Lindung yang ditandatangani oleh Menteri Kehutuanan Republik Indonesia.
Kedua, meminta Menteri Kehutanan memberikan klarifikasi dan penegasan mengenai Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999, apakah sudah memberikan jaminan kepastian hukum terhadap Hutan Lindung Hadakewa Labalekan sesuai pasal 14, 15 dan 16 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 atau belum. Karena pihak Dinas Kehutanan dan penegak hukum di Lembata dalam hal ini kepolisian dan kejaksaan menganggap keputusan ini sudah final mempunyai kekuatan hukum sebagai dasar untuk menangkap, menahan, dan mengadili para petani kecil yang menebang pohon di lahan/kebun miliknya sendiri yang belum dialihkan menjadi hutan negara/lindung.
Menurut Bala Pattyona, surat itu juga dikirimkan ke Ketua DPR RI, Ketua Mahkama Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pertanian, Menteri Pekerjaan Umum, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan, Kepala BPN RI, Sekjen Departemen Kehutanan, Irjen Departemen Kehutanan, Kepala Badan Planologi Kehutanan, Kepala Pusat Pengukuhan Hutan, Kepala Biro Hukum Departemen Kehutanan.Selain itu, surat juga dikirim kepada Ketua DPRD NTT, Gubernur NTT, Bapak Kajati NTT, Kapolda NTT, Ketua Pengadilan Tinggi NTT, Direskrimum Polda NTT, Aspidus Kejati NTT, Kepala Dinas Kehutanan NTT, Kepala Dinas Pertanian Propinsi NTT, Kepala Badan Pertanahan Propinsi NTT, Kepala Dinas Peternakan Propinsi NTT, Ketua DPRD Lembata, Bupati Lembata, Kajari Lembata, Kapolres Lembata, Ketua Pengadilan Negeri Lembata, Kadis Kehutanan Lembata, Kadis Pertanian Kabupaten Lembata, Kadis Perkebunan Lembata, Kadis Peternakan Lembata, dan Kepala Badan Pertanahan Kabupaten Lembata.

In Memoriam Rm. Faustin

“Membaca” Tudingan Kapolres Ngada
(Terhadap Media terkait Kasus Romo Faustin)

Oleh Steph Tupeng Witin

Kematian Romo Faustin Sega adalah salah satu dari sekian banyak kasus kriminal di Kabupaten Ngada yang terus menyisahkan pertanyaan di benak rakyat. Setiap pertanyaan terkait penyelesaian kasus kriminal membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu boleh jadi adalah ungkapan ketidakpuasan, kecemasan, kegelisahan, kegusaran dan ketidakberdayaan di hadapan “tembok kekuasaan” aparat penegak hukum yang selalu terkesan “bersembunyi” di baliknya. Bisa jadi pertanyaan dan sederet ketidakpuasan itu merupakan sebuah kritik keras terhadap kinerja aparat penegak hokum khususnya kepolisian yang jarang sekali memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kalaupun itu dipenuhi, biasanya sudah pada posisi terdesak dan tersudut.
Jawaban atas kegelisahan rakyat adalah kristalisasi dari keseluruhan proses untuk membuka tabir kasus kriminal yang berjasa melahirkan rangkaian pertanyaan tersebut. Jawaban yang dituntut rakyat dari aparat penegak hukum adalah hak masyarakat yang mesti dipenuhi oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian yang memiliki wewenang bukan saja untuk sebatas hanya melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan tetapi membuka kran informasi itu ke tengah publik. Publik berhak untuk mengetahui informasi itu untuk mengukur sejauh mana aparat penegak hukum telah mengamalkan “pelayanannya” kepada masyarakat. Kehausan akan informasi terkait kasus-kasus kriminal di Ngada khususnya kematian Romo Faustin Sega yang diduga meninggal secara tidak wajar oleh banyak kalangan sesungguhnya mengungkapkan kerinduan tak terbatas dari publik Flores dan Ngada khususnya untuk mengukur kemurnian, komitmen dan keseriusan aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus itu. Penuntasan kasus itu secara utuh dalam bingkai kriminalitas akan sangat menentukan apakah polisi memihak kebenaran dan menegakkan keadilann. Inilah jawaban yang tengah ditunggu publik.
Tulisan ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menanggapi secara publik tudingan Kapolres Ngada, AKBP Erdy S. yang menuding pers/media berada di balik keresahan masyarakat Ngada terkait kasus kematian Romo Faustin Sega (Flores Pos, Sabtu, 29/11/2008). Menurut penulis, tudingan ini sangat tendensius, terkesan mengalihkan soal, yang sekaligus menimbulkan pertanyaan: sudah sejauhmana aparat penegak hukum kita mereformasi diri dalam kinerja dan pelayanannnya kepada publik? Substansi pertanyaan utusan para Imam KAE dan awam Katolik adalah sejauhmana aparat kepolisian menindaklanjuti kasus kematian Romo Faustin Sega berdasarkan kinerja aparat kepolisian dan masukan dari masyarakat dan Gereja melalui JPIC dan YBBH Veritas Jakarta. Pertanyaan ini sesungguhnya mengajak Kapolres Erdy untuk masuk ke dalam “kedalaman,” isi, substansi dari persoalan. Kapolres Erdy malah menuding pers/media sebagai sumber keresahan. Jawaban sekaligus tudingan ini sangat dangkal yang mengindikasikan bahwa pejabat publik ini tidak mengerti apalagi memahami substansi pertanyaan. Yang ditanyakan adalah sejauhmana aparat polisi bekerja tetapi yang dijawab Kapolres adalah tudingan kepada pers/media. Jawaban ini menunjukkan bahwa Kapolres Ngada masih “bermain” di level pinggir kasus ini. Tulisan ini sekaligus merupakan ajakan kepada Kapolres Ngada untuk sudah saatnya “Bertolak ke tempat yang dalam,” ke dalam substansi kasus ini dan jangan lagi membuat keresahan di kalangan publik apalagi menuding pihak-pihak lain.
Kita akan mecoba membedah beberapa pernyataan Kapolres Ngada untuk membuka kesadaran publik demi menjernihkan persoalan dan menghilangkan fakta penudingan yang acapkali menjadi medium “paling sederhana” untuk membela diri. Pertama, Kapolres Erdy menyatakan bahwa kesimpangsiuran berita kematian Romo Faustin terjadi karena berita media. Ulasan berita media tidak bisa dipertanggungjawabkan. Polisi tidak diberi peluang untuk menjelaskan masalah yang terjadi. Seolah-olah polisi tertutup. Kematian Romo Faustin adalah sebuah tanda tanya. Tanda tanya melahirkan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan yang sebetulnya berakar dalam gugatan terhadap kinerja kepolisian. Kecemasan, kegelisahan dan ketakutan itu fakta yang hadir di tengah masyarakat. Media/pers adalah medium untuk menghadirkan fakta-fakta itu. Sebenarnya media/pers membantu polisi untuk menangkap fakta-fakta dan selanjutnya memurnikan dan menindaklanjuti fakta-fakta itu dalam bingkai hukum/ kepolisian. Fakta-fakta yang diangkat oleh pers/media mestinya merangsang intuisi intelijen polisi untuk bekerja maksimal. Maka tudingan Kapolres Erdy sangat tidak berdasar. Tudingan itu hanya menggambarkanb kegagapan dalam menahan derasnya laju keresahan dan kegelisahan publik. Laju keresahan dan kegelisahan itu sesungguhnya sebuah gugatan kritis terhadap kinerja aparat kepolisian yang lamban. Tudingan itu merupakan sebuah “keresahan baru” yang dilontarkan Kapolres Ngada. Tudingan itu menegaskan bahwa Kapolres Ngada menciptakan masalah baru di atas kasus Romo Faustin yang masih “misterius” ini. Terkait ketertutupan polisi, sebenarnya pernyataan Kapolres itu membenarkan kenyataan yang terjadi saat ini bahwa polisi sangat tertutup. Ketertutupan polisi ini sebetulnya “bola api” yang akan semakin menggumpalkan keresahan dan kegelisahan di kalangan rakyat. Polisi yang akan menentukan sampai kapan keresahan itu selesai. Pihak pers/media sebetulnya rindu: kapan Kapolres Ngada menggelar konperensi pers yang melibatkan semua wartawan di Ngada untuk menjelaskan kasus ini? Mengapa Kapolres Erdy enggan bicara terbuka dengan pers/media yang menjadi saluran bagi rakyat untuk mengakses informasi? Justru ketertutupan polisi akan semakin menggumpalkan keresahan di nurani rakyat. Boleh jadi keresahan itu akan kian menajamkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat kepolisian yang merupakan pancaran dari ketidakberpihakan kepolisian pada nilai kebenaran dan keadilan yang “diagungkan” setiap kali disumpah saat dilantik menjadi Kapolres/Kapolda atau Kapolri.
Kedua, kita kutip kata-kata Kapolres Erdy: “Simpangsiur berita itu karena media. Masyarakat resah karena baca media. Polisi sudah jauh sekali melakukan penyelidikan. Sudah banyak yang polisi lakukan. Polisi tidak tinggal diam.” Sebetulnya publik resah dengan kinerja kepolisian. Fakta-fakta tercecer di tengah masyarakat berupa informasi, investigasi tim pengacara dan JPIC seputar kematian Romo Faustin dihadirkan kembali oleh pers/media melalui pemberitaan. Publik berhak untuk mengakses informasi biarpun itu meresahkan. Kepingan-kepingan fakta yang simpangsiur itu harus diluruskan oleh polisi melalui kewenangannya. Lalu mengapa Kapolres mempersalahkan pers/media? Ketika Kapolres Ngada mempersalahkan pers/media maka sesungguhnya Kapolres Ngada sedang memasung dan membungkam kemerdekaan pers/media untuk menghadirkan informasi yang bertanggung jawab. Pers/media harus dan harus mengangkat suara rakyat khususnya yang menjadi korban kekuasaan. Aparat polisi sudah saatnya menjawabi keresahan rakyat melalui kinerja yang profesional dan bertanggung jawab. Polisi yang profesional dan memahami persoalan tidak akan mengeluarkan pernyataan yang sebenarnya semakin menunjukkan ketidakmampuannya merespon keresahan dan menjawabinya melalui penanganan yang tuntas. Kapolres Erdy mengatakan, polisi sudah jauh melakukan penyelidikan. Kata “sudah jauh sekali” merupakan substansi, isi, kedalaman dari pernyataan itu yang belum dijelaskan sampai saat ini. Publik perlu tahu isi dari kata “sudah jauh sekali”itu. Berapa senti meter? Polisi mesti menjelaskan dan proaktif untuk membuktikan kata-kata “sudah jauh sekali” itu. Jangan-jangan, karena “sudah jauh sekali” sampai-sampai polisi juga “sudah jauh sekali” tidak sanggup menjelaskan semua itu. Kata-kata itu saja sudah menggambarkan bahwa kinerja polisi sangat kabur dan mengambang. Boleh jadi kita bisa menduga bahwa polisi belum berbuat apa-apa. Bisa jadi publik menduga bahwa polisi tidak serius menangani soal ini. Kata-kata “sudah jauh sekali” sebenarnya sebuah keresahan baru yang sekali lagi diciptakan oleh Kapolres Erdy. Polisi harus membuktikan kata-kata itu. Persoalan kasus kematian Romo Faustin Sega mesti dibuka secara luas dalam bingkai kriminalitas yang menjadi wewenang polisi. Publik mengharapkan agar kasus Romo Faustin Sega dari sisi kriminal ditangani dengan tuntas. Kehausan publik untuk mendapatkan informasi terkait tahap dan proses penyelidikan aparat kepolisian agar ditanggapi secara profesional dan bertanggung jawab. Mencari kambing hitam, lempar tanggung jawab apalagi cuci tangan ala pilatus hanya semakin memperpanjang urat keresahan di masyarakat.
Kita harapkan agar terurainya kasus kematian Romo Faustin Sega hingga tuntas akan memuaskan dahaga nurani publik Ngada yang telah sekian lama mengembara dalam ketidakpastian dan kekecewaan terhadap tidak tuntasnya beberapa kasus kriminal. Ajakan untuk saling mendukung dan kerja sama mesti menjadi kenyataan ketika kita masing-masing menjalankan peran dan profesi kita dengan penuh tanggung jawab. Aparat penegak hukum khususnya kepolisian agar dalam semangat reformasi lebih peka dan transparan sebelum akhirnya “dipaksa” untuk transparan oleh publik yang telanjur kecewa karena dikecewakan. Aparat yang profesional akan tenang dan tidak membuat pernyataan kontroversial yang semakin memperparah kecemasan dan kebingungan publik yang sesungguhnya hanya mengungkapkan kegagapannya di hadapan sorotan publik. *

Penulis adalah wartawan, tinggal di Ende, Flores.

Sabutobo


BELUM DIPERBAIKI-Jembatan Sabutobo, dekat Dusun Belame dan Bata, Desa Bolibean, Kecamatan Nagawutun rubuh sejak September 2008 lalu. Hingga kini belum diperbaiki. Keadaan ini sangat menyulitkan lalulintas kendaraan arah Nagawutung dan Wulandoni. foto: Ansel Deri



Jembatan Sabutobo Belum Diperbaiki
Oleh Ansel Deri


Jakarta, Flores Pos
Para sopir dan warga masyarakat di wilayah selatan Lembata meminta Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lembata segera memperbaiki jembatan Sabutobo, Belame, Desa Bolibean, Kecamatan NagawutunG yang putus sejak akhir September 2008 lalu.
“Kami berharap agar Pemkab Lembata segera memperbaiki jembatan ini karena sangat penting bagi komunikasi barang dan jasa dari dan menuju Lewoleba. Jembatan itu sudah putus sejak September 2008 lalu namun sampai saat ini belum diperbaiki. Kami minta Pemkab Lembata segera perbaiki agar masyarakat tidak kesulitan pergi ke Lewoleba untuk membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari,” kata Jose, warga Boto saat dihubungi, Rabu (9/12).
Ambruknya jembatan itu juga sangat menyulitkan sejumlah sopir angkutan yang melayani rute Lewoleba–Wulandoni, Lewoleba-Nagawutung dan Lewoleba-Udak/Lewuka. Jika tidak hati-hati maka bus yang mereka bawa bisa terjun ke dalam sungai.
“Kalau melewati kali di bawah jembatan yang ambruk, saya harus meminta penumpang turun. Saya sendiri berusaha ekstra hati-hati agar mobil tidak tergelincir dan masuk kali,” ujar Sis Wukak, sopir bus Oto Titen yang melayani rute Lewoleba–Udak dan Lewuka.
Hujan yang mengguyur sejumlah wilayah di selatan Lembata mengakibatkan longsor. Selain itu, sejumlah jembatan terancam ambruk karena aliran sungai sangat deras. Di jembatan Paugwalu di Dusun Lamalewar, Desa Ile Boli, misalnya, banjir sangat besar saat hujan turun deras.
Jembatan Sabutobo terletak dekat Dusun Belame dan Bata, Desa Boli Bean akhirnya ambruk karena hujan deras melanda wilayah itu sejak September lalu. Kondisi ini membuat para penumpang harus turun saat kendaraan yang mereka tumpangi melintas di bawah jembatan yang ambruk.
“Kita berharap agar Pemkab Lembata segera memperbaiki. Jangan sampai dibiarkan begitu saja dan mengganggu perekonomian masyarakat. Masalah ini sebenarnya juga sudah diketahui sebagian anggota DPRD karena sering melewati jembatan itu. Tapi, apakah mereka sudah menyampaikan kepada Bupati Lembata atau belum, kita juga tidak tahu,” kata Paul, warga Desa Belabaja. *

Tetap TOLAK!!

Warga Peibenga-Kuru Tolak Kehadiran Korem
*Danrem: Korem Tetap Dibangun


Oleh Steph Tupeng Witin
Warga Desa Peibenga dan Kuru, Kecamatan Moni, Kabupaten Ende menyatakan sikap tegas menolak rencana kehadiran Korem/Batalyon di wilayahnya. Kehidupan warga sejak nenek moyang berlangsung aman. Kehadiran militer tidak dibutuhkan. Rencana tersebut juga tidak pernah disosialisasikan atau disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Rencana itu sengaja ditutup-tutupi agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan penolakan. Warga juga menolak rencana itu terkait keberadaan tanah ulayat yang selama ini menghidupi warga.
Pernyataan sikap itu terungkap dalam pertemuan antara warga Desa Peibenga dan Kuru bersama tim Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE) dan SVD, Minggu (25/8) lalu. Tim JPIC yang hadir, Romo Sipri Sadipun, Pr, Pater Markus Tulu, SVD dan Fr. Avent Saur, SVD. Pertemuan itu berlangsung usai perayaan ekaristi. Hadir ratusan warga, kebanyakan di antaranya kaum perempuan yang berasal dari wilayah sekitar yaitu Peibenga, Warundari, Wololele, Mokeobo, Mudetelo dan beberapa kampung lainnya.
Mosalaki Mateus Teke mengatakan, sejak nenek moyang kehidupan mereka sudah berjalan dengan aman dan damai. Pihaknya tidak menghendaki kehadiran pihak lain yang selama ini banyak menimbulkan keonaran dan ketidaknyamanan bagi warga. “Kami tolak Korem karena kami tidak perlu Korem. Kami sudah hidup aman dan tenang. TNI tidak ada alasan untuk mengamankan dan melindungi kami bahkan seluruh wilayah Flores. Kami banyak kali mendengar dari tempat lain bahwa kehadiran tentara justru menimbulkan keonaran di tengah warga. Kami tidak percaya bahwa tentara sudah berubah. Buktinya, rencana kehadirannya di Kuru-Peibenga sudah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di antara pemilik tanah sudah retak,” katanya.
Mosalaki Andreas Langga mengatakan, warga tidak akan menyerahkan sejengkal tanah pun untuk pembangunan markas Korem, batalyon ataupun Kompi. Tanah adalah bagian dari hidup yang akan menjadi warisan tak tergantikan oleh generasi-generasi berikutnya. “Kami tidak akan serahkan tanah kepada siapa pun. Tanah milik kami sedikit saja dan tanah itu tidak akan pernah bertambah. Kami ini petani dan kami selalu ingat akan anak-anak kami. Mereka juga akan hidup dari tanah kami ini.”
Warga lainnya. Pius Peto mengingatkan warga yang berniat menyerahkan tanahnya kepada pihak luar untuk membangun apa pun agar tidak berpikir hanya sesaat, untuk hari ini tetapi melihat jauh ke depan karena jangan sampai kenikmatan sesaat hari ini mendatangkan bencana dan malapetakan sosial untuk anak cucu masa depan.
“Kami ingatkan warga siapa pun yang mungkin menyerahkan tanah kepada TNI agar tidak hanya melihat uang apalagi termakan oleh janji-janji muluk seperti hidupnya akan dijamin oleh TNI, anak-anaknya akan masuk tentara dengan sejumlah kemudahan, dan pihak itu akan disebut sebagai pahlawan karena telah menyerahkan tanah untuk pembangunan Korem/batalyon ataupun Kompi. Ingatlah akan masyarakat yang lain. Jangan terlalu berpikir untuk kesenangan diri sendiri.”

Pendampingan JPIC
Tokoh masyarakat Peibenga, Rofinus Wake mengatakan, pihaknya tidak menghendaki kehadiran tentara untuk membangun hidup mereka apalagi mengambil tanah untuk membangun gedung-gedung yang tidak mendatangkan manfaat bagi warga sekitar. Terkait itu ia meminta pendampingan dan penguatan dari para Romo dan Pastor melalui lembaga JPIC KAE dan SVD yang selama ini mendampingi warga suku Paumere, Kecamatan Nangapanda yang menolak rencana kehadiran Korem, warga Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole yang menuntut PLN membayar harga tanah lokasi PLTU Ropa yang kasusnya saat ini ditangani pihak aparat kepolisian Polres Ende.
“Kemampuan kami terbatas, baik dalam berpikir maupun ekonomi. Kami minta para Romo dan Pastor untuk mendampingi, berjuang bersama kami dan membantu menyampaikan jeritan, keresahan dan sikap kami menolak kehadiran tentara di atas tanah kami ini. Kami sangat mengharapkan bantuan pendampingan dan penguatan dari Gereja karena inilah satu-satunya harapan perjuangan kami sebagai orang kecil dan lemah. Warga di sini akan kuat dan teguh dalam sikap ketika Gereja khususnya JPIC berada bersama dan di tengah kegelisahan, keresahan dan ketakutan kami.”
Romo Sipri Sadipun, Pr saat menanggapi permintaan warga mengatakan, pihak JPIC akan berada dan berjuang bersama warga untuk mempertahankan hak-haknya secara benar dan adil. Kehadiran JPIC merupakan suara profetis Gereja kepada siapapun agar menghargai hak warga atau umat secara adil dan tidak berlaku sewenang-wenang kepada manusia. “Hilangkan rasa takut kepada siapa pun dari hati anda sekalian. Kita teguh dan kuat berjuang karena mempertahankan hak-hak kita atas tanah milik kita. Kita ini petani yang hidup dari tanah. Tanah adalah hidup orang Ende-Lio. Tanah ini milik anak cucu kita di masa depan. Nilai persekutuan tanah harus dijunjung tinggi agar kekeluargaan dan kekerabatan tetap kuat berakar. Mari kita bersatu memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas tanah kita.”

Warga Takut Bicara
Warga Desa Kuru khususnya Kampung Mokeobo dan Mudetelo mengaku takut untuk berbicara tentang Korem karena berita tersebut akan memecahbelah warga. Sebagian warga mengatakan, pernah mendengar rencana kehadiran Korem tetapi tidak bisa bicara menolak karena tidak berhak (ana kalo fai walu). Selama pertemuan itu warga enggan membuka mulutnya untuk menyampaikan kegelisahan dan kecemasannya terkait kehadiran Korem meski mereka sesungghunya menolak rencana kehadiran Korem. Warga sangat dihantui oleh ketakutan dengan “orang-orang besar.”
Markus Seda mengatakan, pihaknya pernah mendengar rencana pembangunan markas tentara di wilayah Kuru dan ada pemilik tanah yang telah menyerahkan tanahnya untuk pembangunan tersebut. “Kami sebagai orang kecil tidak bisa bicara. Kami tidak punya hak apa-apa. Yang harus bicara tentang masalah ini adalah mosalaki. Kami tidak bisa bicara,” Laurensius Kili mengatakan, warga memang mendengar bahwa tentara akan membangun markas di Kuru tetapi informasi itu pun tidak jelas sumbernya. “Kami tahu bahwa Yoseph Dao serahkan tanah untuk tentara. Sekarang ini pun kami tidak tahu dia ke mana. Dia memang ketua lingkungan di sini. Warga umumnya merasa takut kalau bicara tentang tentara di sini. Yang hadir dalam pertemuan ini pun banyak di antaranya adalah anak buah Yoseph Dao.” Yoseph Dao adalah warga Kuru yang telah menyerahkan tanah persekutuan kepada TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan Korem/Batalyon. Penyerahan tanah itu menuai protes dari pemilik ulayat yang lain dan warga sekitar.
Leonardus Ledhe mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya pernah didatangi Yoseph Dao untuk meminta pendapat terkait rencana penyerahan tanah kepada TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan batalyon. “Saya katakan pada dia bahwa semua itu terserah padanya. Tetapi yang harus diingat adalah bahwa tanah ini tidak akan bertambah. Anak-anak cucu kita akan ke mana kalau mereka besar nanti. Kan tidak semuanya jadi pegawan negeri atau tentara. Jaminan air minum bersih, listrik dan jalan raya mulus hanya untuk kita sesaat, sekarang ini. Jangan sampai anak cucu kita menderita di kemudian hari.”
Kades Kuru, Bernadus Mboti saat ditemui di kediamannya, Minggu (24/8) mengatakan, sampai saat ini belum ada utusan resmi dari pemerintah yang datang untuk menginformasikan secara terbuka kepada warga terkait rencana kehadiran Korem/Batalyon di Kuru. Camat Moni hanya hadir di lokasi bersama Dandim untuk upacara serah terima dari Yoseph Dao beberapa waktu lalu. Itu pun camat tidak singgah di kantor desa padahal sehari sebelumnya ada informasi dari Ende terkait kunjungan itu.
“Saya lihat pemilik ulayat dan mosalaki tidak terlalu bereaksi atas penyerahan tanah itu. Warga desa pun tidak tahu apa-apa terkait rencana TNI itu. Sebagai kepala desa, saya tetap bersama warga desa dalam situasi apa pun. Saya harapkan agar informasi ini disampaikan secara terbuka kepada masyarakat,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, sebagai warga negara, semua rakyat berhak untuk tahu apa pun terkait rencana pembangunan. Hak untuk mendapatkan informasi itu dijamin oleh peraturan negara. Tidak ada seorang pun yang mengklaim paling berhak mendapatkan informasi, apalagi menyembunyikan dan membungkam warga dengan cara-cara represif dan arogan.
“Rakyat harus tahu bahwa ada rencana pembangunan Korem di Kuru. Ilegal kalau rencana itu hanya diketahui oleh oknum yang menyerahkan tanah itu. TNI hadir di Kuru bukan untuk keluarga atau orang perorang. Juga tidak benar bahwa karena Yoseph Dao serahkan tanah maka Korem dengan sendirinya berdiri di tanah Kuru. Untuk apa TNI hadir di Kuru? Siapa yang butuhkan TNI hadir di Kuru? Masyarakat jangan diperbodoh oleh kebijakan yang tertutup dan tidak memiliki alasan yang mendasar seperti ini.”
Terkait informasi bahwa kehadiran TNI akan membangun kesejahteraan warga, alumnus master hukum UGM Yogyakarta ini mengingatkan, pembangunan jalan raya, air minum dan listrik merupakan kewajiban pemerintah dalam membangun infratrukstur bagi rakyat. Rakyat yang telah membayar pajak berhak mendapatkan pembangunan yang adil. “Jangan mau dibohongi dan ditipu oleh siapa pun bahwa kehadiran TNI akan membangun jalan raya, air minum dan listrik bagi warga. Pembangunan adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban pemerintah, bukan karena belaskasihan dari TNI. Juga tidak benar informasi bahwa anak tanah Kuru akan masuk tentara dan diperhatikan khusus. Ini namanya kolusi dan melanggar hukum. Mari kita bersama-sama berjuang melawan kebohongan dari siapa pun dan mempertahankan hak kita atas tanah secara benar dan adil,” katanya.

Korem Tetap Dibangun

Komandan Resort Militer (Danrem) 161/Wirasakti Kupang, Wilston P. Simanjuntak kepada wartawan Flores Pos, Leonard Ritan mengatakan, tokoh masyarakat Moni, Kabupaten Ende telah menyerahkan tanah sekitar 20 hektare kepada TNI-AD. Tanah itu selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pembangunan markas-markas kompi, sedangkan untuk Makorem masih difokuskan di Nangapanda, Kabupaten Ende.
Hal itu disampaikan Danrem Simanjuntak ketika dihubungi melalui telepon selularnya, Senin (25/8). Menurut Simanjuntak, tanah seluas 20 hektare itu telah diserahkan tokoh masyarakat Moni kepada Komandan Distrik Militer (Dandim) Ende beberapa waktu lalu. “Dandim Ende pun sudah sampaikan ke saya terkait penyerahan tanah dimaksud. Rencananya, tanah tersebut nantinya dimanfaatkan untuk pembangunan markas-markas kompi,” katannya.
Terkait kapan markas kompi dibangun, Danrem Simanjuntak mengatakan, rencananya pembangunan itu akan dilaksanakan di atas tahun 2010. Pembangunannya akan dilaksanakan setelah Korem dibangun. “Untuk Makorem pun tanahnya sudah diserahkan. Tetapi karena keterbatasan dana, pembangunan Makorem belum dapat dilaksanakan saat ini. Diperkirakan sekitar tahun 2010 ke atas. Untuk sementara, Makorem akan dibangun di atas lokasi tanah yang sudah diserahkan di Nangapanda. Pertimbangannya, kebutuhan akan air bersih di Nangapanda dinilai cukup tersedia. Jumlah personil di Makorem cukup banyak sehingga harus membutuhkan air yang cukup.”
Kepala Penerangan (Kapen) Korem 161/Wirasakti Kupang, Kapten (Inf) Paulus M. Djie mengatakan, pelepasan hak milik atas tanah dari tokoh masyarakat sudah ada. “Dalam waktu dekat, Danrem akan lakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait pembangunan markas TNI-AD di sana.”

Klarifikasi



MENDENGAR -- Menteri Kehutanan RI Malam Sambat Kaban sedang mendengar penjelasan dari Pastor Petrus C Aman OFM dan Pastor Mikael Peruhe OFM dari JPIC OFM Indonesia terkait pertambangan di hutan lindung di Kabupaten Manggarai dan kasus tujuh petani di Lembata.
Florespos/ansel deri


Menteri Kehutanan Minta Klarifikasi Dishut Lembata
Oleh Ansel Deri


Menteri Kehutanan RI Malam Sabat Kaban meminta klarifikasi pihak Dinas Kehutanan Kabupaten Lembata, NTT terkait penetapan status hutan lindung Hadakewa Labalekan, Lembata yang kini dipersoalkan sejumlah petani menyusul ditahannya tujuh orang petani.
“Pak Menteri meminta pihak Dinas Kehutanan Lembata agar mengklarifikasi penetapan hutan di wilayah itu menjadi hutan lindung yang selama ini merupakan tempat bercocok tanam petani. Pasalnya, selama ini mereka menggantungkan hidupnya dari lahan miliknya. Tapi, tiba-tiba diklaim sepihak sebagai hutan lindung oleh Dinas Kehutanan Lembata,” kata praktisi hukum Petrus Bala Pattyona kepada sejumlah wartawan di Jakarta, Senin (8/12).
Petrus mengemukakan hal itu usai beraudiensi dengan Menteri Kehutanan Malam Sabat Kaban di kantornya, Gedung Manggala Wana Bhakti, Jakarta, Jumat, (5/12) lalu. Ikut mendampingi Menteri antara lain Kepala Badan Planologi Departemen Kehutanan RI Yeti dan Kepala Pusat Pengukuhan Hutan RI Soetrisno.
Sejumlah perwakilan elemen masyarakat juga hadir dalam pertemuan. Mereka antara lain Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) Wilianita Silviana, dan Direktur Justice, Peace, and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia Pastor Petrus C Aman, OFM, staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara Jakarta Pastor Alex Lanur, OFM dan Pastor Adrianus Sunarko, OFM serta staf bidang advokasi JPIC OFM Indonesia Pastor Mikael Peruhe OFM.
Hadir pula sejumlah mahasiswa dan sesepuh masyarakat Lembata se-Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Nampak sesepuh Lembata yang kini Ketua Umum Induk Koperasi Unit Desa Indonesia Herman Yosef Loli Wutun. Juga Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) Wilianita Silviana, dan wartawan asal Manggarai, Agustinus Dawarja.
Dinas Kehutanan Lembata telah menetapkan sepihak lahan pertanian masyarakat menjadi hutan lindung. Empat orang petani akhirnya ditetapkan sebagai tersangka karena dituding merambah hutan lindung. Padahal, kata Bala Pattyona, penetapan status hutan lindung harus melewati prosedur yang sangat panjang.
“Prinsipnya, Pak Menteri sangat memperhatikan kasus yang tengah menimpa sejumlah petani di Lembata menyusul penetapan lahan pertanian mereka menjadi hutan lindung,” lanjut Bala Pattyona, pengacara kelahiran Desa Belabaja, Lembata ini.*

Korem bukan urusan satu Keluarga

Korem Bukan Urusan Satu Keluarga

*Djeen: Kenapa Korem Mesti di Ende?

Oleh Steph Tupeng Witin dan Hieronimus Bokilia

Rencana pembangunan Korem di Flores merupakan masalah seluruh masyarakat Flores. Rakyat Flores sampai detik ini menolak rencana kehadiran Korem. Rakyat sudah hidup aman di atas tanahnya sendiri sejak nenek moyang. Alasan-alasan kehadiran Korem selama ini hanya taktik untuk melegitimasi kehadirannya yang sudah ditolak sejak tahun 1999. Selama ini berbagai upaya dilakukan institusi TNI di antaranya dengan merekayasa dukungan dari sebagian warga dengan janji-janji. Kenyataan itu tampak dalam kasus Korem yang menurut rencana akan dibangun di Kuru, Kecamatan Moni, Kabupaten Ende.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar oleh JPIC KAE-SVD di Puspas KAE, Jumat (5/12). Romo Domi Nong, Pr mempertanyakan pernyataan pihak TNI di Kabupaten Ende yang mengatakan bahwa pihak TNI sudah memiliki tanah di Kuru untuk menjadi lokasi pembangunan Korem setelah salah seorang warga setempat, Yoseph Dao dan keluarganya menyerahkan tanah seluas 10 hektare.
“Kehadiran Korem bukan masalah sebuah keluarga saja. Tidak hanya karena sebuah keluarga menyerahkan sebidang tanah lalu aparat TNI mengatakan Korem bisa dibangun begitu saja. Sampai detik ini kita belum mendengar alasan kehadiran yang masuk akal. Institusi militer itu selalu menggembar-gemborkan bahwa Flores yang terletak antara Australia dan Timor Timur perlu kehadiran tentara. Kita tidak pernah merasakan ancaman dari kedua negara itu. Ini sebuah ketakutan terstruktur yang dibangun untuk mengelabui rakyat. Kita tolak kehadiran Korem karena kita tidak butuhkan Korem.”
Menurutnya, dakam kasus Korem di Ende TNI membuat banyak keganjilan yang patut dipertanyakan bahkan digugat oleh seluruh rakyat Indonesia. “Katanya anak dan keluarga Yoseph Dao diterima menjadi tentara hanya karena mereka menyerahkan tanah untuk menjadi lokasi pembangunan Korem. Apakah cara yang tidak mendidik ini pantas dilakukan oleh sebuah institusi resmi seperti TNI? Sejak kapan ada aturan yang menyatakan bahwa kalau ada warga yang serahkan tanah maka anaknya masuk tentara tanpa testing masuk? Bukankah ini sebuah diskriminasi?”
Menurut Romo Sipri Sadipun, Pr, kasus diterimanya anak dan keluarha Yoseph Dao karena ia menyerahkan tanah harus dilawan karena lembaga ini menghadirkan sebuah proses pendidikan yang salah. “Apakah orang menjadi tentara hanya karena balas budi penyerahan tanah seluas 5 hektare? Lebih buruk lagi kalau para PNS diterima hanya karena menyerahkan tanah kepada pemerintah. Apakah kita bisa mendapatkan aparatur pemerintah yang berkualitas dengan cara yang tidak mendidik ini? Kita harapkan agar institusi Negara seperti TNI AD tidak membuat tindakan yang melangkahi aturan-aturan resmi institusi. Apakah hanya karena bernafsu membangun Korem yang sudah ditolak sejak tahun 1999 oleh rakyat Flores lalu aturan-aturan resmi dilangkahi begitu saja?”
Menurutnya, proses penyerahan tanah itu pun dilakukan secara tertutup. Sampai sekarang pihak TNI menginformasikan bahwa ada 10 warga yang menandatangani surat pernyataan melepaskan tanah untuk dijadikan lokasi pembangunan Korem. “Yang kita tahu hanya Yoseph Dao yang juga statusnya masih dipertanyakan. Nama sembilan pemilik tanah yang lain itu sampai sekarang tidak kita ketahui. Apa maksud di balik sebuah upaya yang tersembunyi ini? Kenapa nama sembilan pemilik tanah hanya pemerintah, TNI dan Yoseph Dao yang tahu?”
Tokoh masyarakat, Max Djeen mempertanyakan kenekatan TNI AD yang mati-matian memaksakan kehadiran di Kabupaten Ende meski sejak tahun 1999 ditolak oleh masyarakat Flores umumnya dan Ende khususnya. “Kenapa TNI AD mesti mati-matian bangun Korem di Ende? Kenapa harus dibangun Korem di Flores? Kenapa Korem dibangun saja di sebuah tempat yang tidak masuk dalam wilayah Republik Indonesia saja?”
Menurutnya, kehadiran Korem di Flores selalu terkait dengan status tanah. Dalam budaya Ende-Lio, tanah adat tidak pernah dihibahkan tanpa diketahui oleh semua mosalaki. Pemindahan hak harus didahului dengan musyawarah bersama. Tanah adat yang dikuasai mosalaki biasanya memiliki kepala dan ekor atau batas-batas yangh jelas (uru-eko tanawatu). “Saya rasa ganjil bahwa dengan menghibahkan tanah kepada TNI maka otomatis TNI menjadi ana kalo fai walu-nya Yoseph Dao. Pengertian ana kalo fai walu itu untuk orang-orang kecil (janda dan yatim piatu) yang membutuhkan tanah untuk kehidupannya. Saya baru dengan di Ende ini tentara menjadi ana kalo fai walu.”

Tanam Pohon di Kuru
Pada Senin (1/12) lalu Dandim 1602 Ende, M. Shokir bersama puluhan aparat TNI menanam anakan pohon di lokasi yang direncanakan akan dibangun markas Korem. Berdasarkan undangan yang dikeluarkan, kegiatan itu sesuai dengan aksi kegiatan menanam nasional dan bulan menanam Indonesia, program kerja Kodim 1602 Ende TA 2008 bidang territorial dan pertimbangan Komando dan staf Kodim 1602 Ende tentang kegiatan tanam nasional dan bulan menanam TA 2008 di wilayah Kodim 1602 Ende.
Informasi yang dihimpun menyebutkan pagi itu dilangsungkan apel di lokasi. Dandim M Shokir menyerahkan anakan tanaman kepada 3 warga. Dalam arahannya, ia mengajak segenap warga untuk menanami semua tanah kosong dengan tanaman apa saja. Ketika seorang warga menanyakan kapan Korem akan dibangun bahkan diminta untuk mempercepat pembangunan, Dandim Shokir mengatakan, ia tidak tahu soal cepat atau lambatnya pembangunan korem di Kuru. Semuanya diserahkan kepada Yang Mahakuasa.
Kepala Desa Kuru, Bernadus Mboti saat ditemui di Kuru, Selasa (2/12) menginformasikan bahwa Dandim Shokir bersama para tentara menanam anakan pohon di lokasi milik Yoseph Dao seluas hanya 5 hektare. Ia diundang untuk hadir sebagai pribadi, bukan sebagai kepala desa. “Saya hadir di lokasi tapi hanya berdiri dari jauh. Saya mendapat undangan sebagai pribadi. Saat itu juga warga dari Desa Numbelaka (Peibenga) dan Werundari berdiri di batas tanahnya masing-masing. Warga menjaga keutuhan tanahnya.”
Kepala Desa Numbelaka, Hendrikus Rego mengatakan, ia diundang secara lisan oleh tentara tetapi ia sendiri tidak hadir di lokasi penanaman pohon. “Saya hanya dengar bahwa warga Peibenga dan Werundari berdiri di batas lokasi tanahnya masing-masing. Warga sebenarnya tidak menghadiri acara itu. Katanya, ada staf Dinas Kehutanan dan Sekcam Moni yang tiba terlambat di lokasi,” katanya.
Sejumlah warga Kuru dan Peibenga mempertanyakan motivasi penanaman pohon oleh Dandim Shokir dan para tentara di Kuru. “Kenapa mesti Kuru? Kita harapkan agar kegiatan penghijauan yang bagus ini tidak dimanfaatkan hanya untuk mencari popularitas murahan dan dukungan yang semu dari masyarakat. Kita harapkan agar esok-esok tidak muncul hal-hal yang lain di bali kegiatan penanaman anakan pohon ini.”

Sudah Dihibahkan
Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 1602 Ende, Letkol Inf. M Shokir di ruang kerjanya, Kamis (4/12) mengatakan, pelaksanaan penanaman pohon di Kuru, Moni Kecamatan Kelimutu pada 1 Desmber lalu merupakan penjabaran dari kesepakatan (MoU) yang ditandatangani oleh Kementrian Kehutanan dengan Departemen Pertahanan dan TNI AD. Dalam MoU tersebut, programnya adalah penanaman secara serentak 100 juta pohon dalam rangka 100 tahun kebangkitan nasional. Sedangkan pada 1 Desember lalu, penanaman dilakukan dalam rangka bulan menanam nasional yang seharusnya diawali pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Mengingat adanya MoU dan sebagai salah satu satuan yang terlibat dalam penandatanganan MoU tersebut maka Kodim 1602 Ende mengambil langkah melakukan penanaman pohon tanpa ada niat mengabaikan instansi tertentu.
Ditanya pemilihan lokasi di Kuru-Moni Kecamatan Kelimutu, Dandim Shokir mengatakan, pemilihan lahan di Kuru karena jika harus meminta lahan dari pemerintah butuh koordinasi yang cukup lama. Apalagi, kata Dandim Syokir, lahan di Kuru, Moni adalah lahan yang sebelumnya sudah diterima hibah dari pemilik tanah kepada pemerintah cq kepada TNI Angkatan Darat. Satu-satunya lahan yang sudah dimiliki TNI adalah di Kuru Moni tersebut apalagi di lahan tersebut kosong.
Terkait masih adanya polemik soal kepemilikan lahan, Dandim Shokir mengatakan pihaknya tidak mengintervensi persoalan yang ada. “Prinsipnya TNI mau terima kalau sudah clear and clean.” Penyerahan tanah dalam bentuk hibah oleh para pemilik tanah, katanya sudah dilakukan sejak 9 Februari lalu. Di dalam surat pernyataan yang ditulis tangan tersebut, katanya, sudah ditandatangani oleh sepuluh orang pemilik tanah yang menyerahkan lahan seluas 10 hektare. Surat pernyataan yang ditulis tangan itu juga sudah ditandatangani camat.
Dikatakan, dalam penyerahan tanah itu, tidak ada unsur pemaksaan. Para pemilik tanah secara sukarela menyerahkan lahan untuk kepentingan negara dan pertahanan. “Dihibahkan secara ikhlas tanpa paksaan dan tanpa jual beli.” Pada saat itu, kata dia, pemerintah Kabupaten Ende hanya menyerahkan uang sebesar Rp18 juta untuk urusan adat. Secara timbal balik, kata Dandim Shokir, anak dari Yosef Dao diterima masuk TNI bersama lima anak lainnya yang berasal dari Kuru. Di antara mereka, dua masuk bintara dan empat lainnya masuk tamtama dan sudah diangkat menjadi anggota TNI. Saat menerima hibah tanah itu, katanya, sudah dilakukan pengecekan ke PN Ende, apakah tanah tersebut sedang dalam proses persidangan. Ternyata di Pengadilan dinyatakan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam proses hukum. Selain mengecek ke pengadilan, juga sudah dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan terkait adanya persoalan kepemilikan atas tanah tersebut. Oleh pertanahan dinyatakan bahwa tidak ada persoalan di atas tanah yang diserahkan.

Senin, 01 Desember 2008

EGON: Kawan atau Lawan???



Egon, terkadang diam dan seolah mati. Namun, amukan gunung "gahar" di tanah Sikka ini sangat membahayakan warga dan semua yang kurang memperhatikan penanggulangan bencana yang profesional, terpadu dan efisien.

Dalam Diam, Egon adalah keindahan yang tak bisa dinilai dengan akal budi manusia. Namun, ketika mengamuk boleh jadi ia bisa jadi "malapetaka" bagi semua yang tidak siap.

Foto: Steph Tupeng

Lembata Terus MENOLAK


Pastor, relawan dan aktivis yang pro lingkungan hidup dengan keras dan tegas menolak rencana Investasi TAMBANG EMAS di Pulau Lomblen/Lembata. Penolakan ini bukan tanpa dasar. Bahaya kehancuran lingkungan dan kesejahteraan serta kelangsungan ekologi menjadi ancaman paling nyata. Tampak Warga Kedang, Lembata bersatu hati menyerukan penolakan tiada henti.
Foto: Steph Tupeng
__________________________________


Seruan PENOLAKAN harus terus-menerus dilakukan hingga rakyat mengalami pencerahan dan bisa mendalami kebenaran dan penghargaan atas lingkungan hidup yang sejati. TOLAK TERUS!!! TOLAK TERUS RENCANA MEMBAHAYAKAN TERSEBUT!!!
Warga Leragere yang sudah menjadikan tanah sebagai IBU yang melahirkan dan menumbuhkan begitu banyak kehidupan telah bulat hati untuk terus menolak rencana liar dan irasional tersebut.
Foto: Steph Tupeng
PENOLAKAN TAMBANG EMAS DI LEMBATA ADALAH UPAYA YANG PALING RASIONAL MENYELAMATKAN LINGKUNGAN HIDUP, MENYELAMATKAN KESEJAHTERAAN ANAK-CUCU DAN GENERASI MENDATANG. PENOLAKAN INI JUGA MENDUKUNG BERBAGAI UPAYA PENYELAMATAN DUNIA DARI KRISIS EKOLOGI GLOBAL, PEMANASAN GLOBAL, PRUBAHAN IKLIM.
NAMUN YANG PALING PENTING PENOLAKAN ITU ADALAH SALAH SATU PENGUNGKAPAN RASA SYUKUR ATAS ANUGERAH ALAM NAN INDAH DARI ALLAH.
MEMELIHARA ALAM ADALAH TUGAS UTAMA MANUSIA
merusak alam adalah kewajiban iblis

STOP Tambang!!


DISKUSI TAMBANG — JPIC OFM Jakarta dan Kelompok Tenang Tanage berdiskusi mengenai usaha tambang di Manggarai. Dari kiri ke kanan, P. Peter Amman, OFM, P. Mikhael Peruhe, OFM (keduanya dari JPIC-OFM) dan Gerard N. Bibang (Moderator).
Foto: Steph Tupeng
Hentikan Tambang di Manggarai

Oleh Gerard N Bibang

''Lawan dan hentikan tambang besar terbuka di Manggarai sekarang juga!''. Seruan bernada radikal ini adalah satu dari beberapa pernyataan sikap JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation)-OFM dan warga Manggarai di Jakarta peduli tambang, yang tergabung dalam kelompok Tenang Tanage (Mengenang Tanah Air). Seruan tersebut merupakan suatu kristalisasi dari seluruh rangkaian acara dalam suatu pertemuan informal JPIC OFM dan kelompok Tenang Tanage di Aula Paroki Kramat lantai 3, Jakarta Pusat, Minggu lalu (16/11/).
Menurut JPIC dan kelompok Tenang Tanage, seruan ini akan menggelorakan spirit kepedulian terhadap tanah Manggarai dan akan memicu suatu proses peradaban besar di masa depan, yaitu gerakan penyadaran secara massal dan komprehensif di setiap komunitas basis di Manggarai. Gerakan penyadaran ini akan memberikan pencerahan kepada komunitas basis sehingga mereka menyadari akan bencana dan bahaya besar yang diakibatkan oleh tambang besar terbuka di daerah ini.
Dengan mengusung tema besar ''Tenang Tanage'', pertemuan informal yang diprakarsai JPIC OFM ini dibagi dalam dua bagian besar. Dalam misa Tenang Tanage, tema itu diulas dari segi teologis dan iman kristiani, sementara dalam diskusi tema yang sama dibahas dalam perspektif filosofis, kosmologis dan sosio-antropologis. Hadir dalam acara ini para pastor OFM dari JPIC, antara lain P. Peter Amman, OFM, P. Mikhael Peruhe, OFM, P. Darmin Mbula, OFM dan P. Christo, OFM, serta tokoh-tokoh Manggarai di Jakarta, antara lain wartawan senior Kompas Rikard Bagun, Frans Nembo, Nani Rengka, Don Klaudius Marut dan Ansel Alaman.

Perkara Iman dan Integritas Kehidupan
Dalam misa yang didaraskan seluruhnya dalam bahasa Manggarai ini, P. Peter Amman, OFM selaku konselebran utama - didampingi oleh rekan-rekan OFM dari JPIC- dalam khotbahnya yang disampaikan dalam bahasa Manggarai, mengingatkan hadirin akan pentingnya bumi tempat kita berpijak.
''Kita hanya dapat memuliakan Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian kita akan tanah didasari oleh kepedulian iman kita,'' katanya. Sambil merujuk ke proses kisah penciptaan, di mana Tuhan menciptakan tanah dan bumi lebih dulu, baru menciptakan manusia, P. Peter menegaskan bahwa merusak alam sama dengan seluruh tatanan yang sudah dipersiapakan Tuhan sebelumnya.
Sementara dalam diskusi seusai misa, doktor teologi moral lulusan Universitas Lateran, Roma ini, membahas kepedulian manusia, khususnya warga Manggarai, atas tanah dan bumi dari perspektif filosofis, kosmologis, sosio-antropologis.
Dengan makalah berjudul ''Mengubur Mitos, Mengubur Masa Depan,'' Pater Peter menyebut beberapa alasan kepedulian kita terhadap tanah dan bumi. Pertama, tanggung jawab moral dan taruhan iman kristiani. Dewasa ini, menurutnya, baik-buruknya seorang manusia bukan hanya karena dia baik dengan sesama tetapi juga dengan alam sekitar. Khususnya di Manggarai, menurut pengamatannya, begitu banyak kultur akan hilang begitu tanah sudah tidak ada lagi. Sekadar menyebut beberapa jenis budaya seperti ''gendang'', ''caci'', ''penti'' semuanya itu, menurut Pater Peter, dilakukan dalam integrasinya dengan alam semesta, lama-lama terancam punah kalau sudah tidak ada lagi tanah.
Kedua, alasan kepedulian kita ialah hormat terhadap hidup dan integralitas kehidupan. Menurutnya, korelasi kehidupan sangat penting di dunia ini. ''Yang satu hidup karena yang lain memberi hidup. Merusak yang satu akan merusak secara keseluruhan,'' ujarnya.
Ketiga, kenyataan bahwa manusia makhluk ekologis, bukan hanya makhluk rasional dan sosial. Kesatuan manusia dan alam adalah kenyataan kasat mata yang tak terbantahkan.
Atas dasar itu, demikian Pater Peter, kita tidak bisa diam berhadapan dengan masalah tambang besar terbuka di Manggarai. ''Ini masalah kemanusiaan,'' tegasnya lagi. Selain itu, menurut pengamatannya, seluruh proses penambangan di Manggarai, secara etis tidak dapat dipertanggungjawabkan.
''Yang terjadi adalah mengabaikan potensi nyata dan mengejar mitos kesejahteraan: tambang menjadi primadona sementara peran dan partisipasi warga terabaikan. Masyarakat bukan lagi subyek tetapi obyek pembangunan. Ini tidak etis,'' katanya.

Perampasan Sistematis
Sementara itu, anggota JPIC OFM lain, P. Mikhael Peruhe, OFM, menyajikan hasil penelitian terakhir tambang besar terbuka di Manggarai. Sebelum menyajikan makalah berjudul ''Predatory Corporations: Perusahaan-perusahaan Pemangsa Manggarai'' Pater Mikhael memutar slides pengglian dan lubang-lubang besar liar eksplorasi tambang besar terbuka di Manggarai.
Keprihatinan Pater Mikhael tak tertahankan ketika dia memaparkan hasil temuan mutakhirnya di Manggarai. Dia menyimpulkan bahwa upaya masayarakat Manggarai yang berjuang untuk hidup tak dihargai oleh pemerintahnya, tetapi investor luar malah diberi penghargaan. ''Sungguh sebuah ironi besar yang memalukan,'' katanya.
Dari pertemuannya dengan warga kampung di sekitar tambang, Pater Mikhael berani menegaskan bahwa semua penjelasan pemerintah yang membenarkan eksplorasi itu, sangat jauh sekali dari fakta lapangan.
''Yg ditampilkan …mulai dari Robek (hutan Kedindi) sampe di Satar Punda. Ada sekitar 6 lubang besar. Golo Rawang yang tadi kita lihat maka seluruh areal persawahan mulai dari Wae Nau dan jelas-2 kampung Rawang akan pindah. Rawang 60 ton per tahun dihasilkan dari areal pertanian. Selalu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Ini tak dianggap pemerintah. Bisa jadi masyarakat akan direlokasi. Masih cukp banyak lubang-lubang yang akan digali investor,'' ujarnya.
Yang lebih memalukan, lanjutnya, dasar kesepakatan pemerintah dengan investor. Menurutnya, untuk mengikat investor, pemerintah melakukan perjanjian dengan investor dengan saving ke bank Rp25 juta untuk reklamasi pantai. PAD yang masuk dari perusahaan pertambangan Rp80 juta pertahun, sementara dari hasil penelitian, keuntungan tambang 1 perusahaan dalam 3 tahun bisa mencapai Rp5 triliun.
Hal-hal lain, menurutnya, belum termasuk kehancuran ekolopgis, eksploitasi buruh yang luar biasa, dan dia sendiri mendapati 19 ibu sudah ditemukan darah mereka terkontaminasi oleh mangan.
Pada akhirnya, kata Pater Mikhael lagi, tambang di Manggarai akan mematikan warga dan memusnahkan tanah Manggarai. ''Benar-benar suatu tindakan perampasan secara sistematis,'' tegasnya dalam pernyataan akhir makalahnya.

Marah
Semua peserta hampir tidak berkomentar apa pun ketika menyaksikan slides tentang tambang di Manggarai. Rata -rata semua larut dalam amarah besar. Frans Nembo, dalam sesi diskusi, mengatakan, sangat sedih dan mengatakan, tidak lama lagi Manggarai akan punah. ''There's no longer my Manggarai,'' katanya.
Sementara itu, wartawan senior Kompas Rikard Bagun, yang tampil sebagai pembahas, menegaskan perlu segera kita melakukan gerakan penyadaran untuk melawan tindakan perampasan ini. Dia menyarakan agar gerakan penyadaran ini dilakukan secara sistematis di tingkat komunitas basis di Manggarai.
Pembahas lain, Don Klaudius Marut, menegaskan tambang diMangarai itu bersifat tambang besar terbuka, yang sistemnya mengeruk lalu langsung dibawa ke laut dan dibawa ke luar.''Praktis tidak ada untuk warga di sekitar tambang,'' tegasnya. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menolak dan menghentikan tambang itu, sambil mengingatkan bahwa dalam menjalankan gerakan penyadaran itu nantinya, kita akan menghadapi masalah-masalah mentalitas orang Manggarai sendiri, seperti egoisme dan oportunistik.
Pertemuan yang dimoderatori oleh Gerard N. Bibang ini berakhir dengan pembacaan resume dan pernyataan sikap. Semua sepakat untuk menghentikan eksplorasi tambang besar terbuka sekarang juga. Semua sepakat bahwa kita harus melakukan sesuatu: Suatu Gerakan! Kesepakatan itu dirangkum dalam sebuah komitmen, lalu disusul dengan pernyataan sikap. Semua sepakat agar sekarang juga harus dilakukan gerakan moral, gerakan penyadaran dan pencerahan di bumi Manggarai nan permai.

LAGI-LAGI TENTANG TAMBANG MARMER


Inilah pemandangan tanaman warga berupa kemiri, kakao, coklat dan sebagainya digusur oleh alat berat milik PT Floresindo Pratama Putra. Gambar diambil Sabtu (15/11) saat kunjungan ke lokasi oleh Tim JPIC SVD-Keuskupan Agung Ende. Rakyat tetap tolak tambang marmer
Foto: Steph Tupeng
Tambang Marmer Mulai Resahkan Warga
*Lumpur Genangi Jalan dan Ancaman Banjir
Oleh Steph Tupeng Witin
Kehadiran tambang Marmer di kampung Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende telah meresahkan warga sekitar. Material berupa gundukan tanah dan bebatuan hasil garukan alat berat yang ditumpuk di pinggir jalan telah menutupi badan jalan beraspal. Lumpur setebal kurang lebih 30 sentimeter itu sangat mengganggu aktivitas lalulintas pengendara kendaraan. Penduduk yang mendiami wilayah pinggiran kali mulai resah karena ancaman terjangan banjir saat musim hujan ini.
Hal itu mengemuka dalam pertemuan antara tim JPIC KAE-SVD bersama tim pastor Paroki Nangapenda dan para ketua lingkungan dan komunitas basis se-Paroki Nangapenda di Pastoran Nangapenda, Minggu (30/11). Tim JPIC terdiri dari Romo Sipri Sadipun, Pr, Ruben Resi, Pater Markus Tulu, SVD, Romo Efrem Pea, Pr, Pastor Paroki Nangapenda, Romo Emilianus Gale, Pr, Pastor Pembantu, Romo Frans Betu, Pr, para suster RVM.
Salah satu penggarap lokasi yang akan menjadi wilayah tambang, Kanisius Kako mengatakan, lahan itu subur dan di atasnya berdiri coklat, kemiri, kakao, vanili dan pisang. Lokasi garapannya awalnya hanya diperuntukkan untuk pembukaan jalan tetapi tiba-tiba lokasinya digusur oleh pengusaha.
“Tiba-tiba saja tanah garapan saya digusur. Hal itu tidak pernah kami sepakati. Pisang-pisang saya ditebang habis. Padahal itulah sumber kehidupan keluarga saya. Pengusaha mengatakan bahwa batu marmer belum disentuh. Tanah gusuran itu dibuang saja di pinggir jalan umum beraspal. Sebelum turun hujan sebagian badan jalan ditimbuni tanah gusuran. Saat ini tanah gusuran yang dibuang ke pinggir jalan itu menjadi lumpur setebal 30 sentimeter. Para pengendara motor mengeluhkan hal itu kepada kami sebagai penggarap tetapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Sejak penggusuran dulu, para pengojek sudah mengeluh karena badan jalan umum ditutupi tanah,” katanya.
Nikolaus Kota mengatakan, saat ini warga resah karena kehadiran tambang marmer itu mulai membawa dampak negatif bagi warga. “Awalnya, warga tidak tahu bahwa akan ada tambang di Tiwutora. Hanya pengusaha dan pemilik tanah yang tahu itu. Tetapi dampak penggusuran lokasi itu mulai dialami dan dirasakan oleh warga sekitar lokasi. Bayangkan, lumpur setebal 30 sentimeter sudah menutupi badan jalan. Tanah hasil garukan itu dibiarkan saja turun ke jalan. Dampak negatif ini membawa keresahan bagi kami,” katanya.
Hendrikus Habur mengatakan, berdasarkan surat kontrak, pengusaha mengatakan bahwa wilayah itu tandus, padahal tanah itu sangat subur dan di atasnya berdiri berbagai tanaman perdagangan yang sangat menghasilkan. “Rakyat ditipu oleh pengusaha yang katanya hendak mensejahterakan rakyat. Sebelumnya, kami tidak pernah mendengar dampak negatif dari mulut pengusaha itu. Tambang itu akan membawa kesejahteraan. Ekonomi rakyat akan semakin meningkat. Tapi sekarang yang kami rasakan adalah keresahan. Sebagian warga kehilangan tanah dan tanaman perdagangan. Tanah garukan itu telah turun ke jalan dan jadi lumpur tebal. Rumah-rumah kami saat ini yang berada di pinggir kali mulai terancam banjir. Kalau turun hujan, kami resah karena takut banjir akan menghanyutkan rumah-rumah kami. Keresahan ini muncul ketika tambang ini belum apa-apa. Apalagi kalau seluruh bukit itu sudah digusur habis,” katanya.

Proses Tertutup
Berdasarkan sharing warga selama pertemuan itu, kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa proses perencanaan tambang marmer sangat tertutup. Rencana itu hanya melibatkan pengusaha dalam hal ini PT Floresindo Pratama Putra dengan pemilik tanah. Para penggarap di lokasi itu hanya dipanggil untuk diberitahu terkait harga tanaman dan tanah yang mereka garap.
Camat Nangapenda, Gabriel Da mengatakan, awalnya sebagai pimpinan wilayah itu tidak tahu apa-apa terkait rencana penambangan emas di Ondorea. Pihaknya juga hanya diminta oleh pemilik tanah untuk membubuhkan tandatangan sebagai saksi di atas kontrak.
“Saya tidak tahu apa-apa. Hanya pengusaha dan pemilik tanah. Saya diminta untuk menjadi saksi. Sebelum saya bubuhkan tanda tangan, saya tanya dulu apakah prosesnya sudah beres atau belum. Menurut pemilik tanah, semua proses sudah beres. Saya langsung membubuhkan tanda tangan sebagai saksi. Namun setelah muncul protes sana sini baru saya tahu bahwa ada soal yang tidak beres. Saya juga klarifikasi pemberitaan bahwa saya rekayasa pertemuan beberapa waktu lalu di kantor camat. Yang benar adalah saat pertemuan di DPRD Ende, pihak kecamatan yang memfasilitasi. Tapi saat pertemuan itu saya juga diundang untuk hadir. Saya tidak rekayasa,” katanya.
Romo Sipri Sadipun, Pr mengatakan, dampak dari proses perencanaan tambang yang tertutup itu sudah mulai dirasakan warga sekitar lokasi. Proses hanya diketahui oleh pemilik tanah, pengusaha dan pemerintah tetapi dampaknya saat ini mulai dirasakan oleh seluruh warga yang tidak tahu apa-apa.
“Tambang ini baru mulai tapi rakyat sudah resah. Apakah pengusaha, pemilik tanah dan pemerintah juga merasakan keresahan warga ini? Rakyat sekitar lokasi dijadikan korban oleh pihak-pihak tersebut. Apakah pembangunan harus mesti mengorbankan rakyat kecil ini? Dari harga tanah saja rakyat sangat dirugikan. Tanah seluas 4 hektare lebih itu dikontrak selama 25 tahun dengan harga Rp35 juta. Artinya, setiap bulan tanah yang subur dan produktif itu harganya Rp100 ribu. Betapa sangat murah tanah di Kabupaten Ende ini. Apalagi katanya pengusaha akan mengembalikan alam seperti semula. Ini pembohongan yang harus dilawan. Rakyat dibodohi hanya karena keserakahan uang,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD mengajak warga untuk menghilangkan ketakutan dalam memperjuangkan kehidupannya. Keselamatan dan kebahagiaan hidup jauh lebih utama daripada setumpuk uang yang ternyata begitu murah dan kecil. “Tambang di mana-mana membawa bencana alam, keresahan dan kemiskinan rakyat. Tanah kita dirusakkan lalu ditinggalkan dengan membawa kekayaan kita. Apakah tanpa tambang marmer rakyat kita tidak bisa hidup? Apakah tanpa tambang, rakyat kita tidak menikmati listrik dan pelayanan publik lainnya?”
Menurut Romo Efrem Pea, Pr, proses perencanaan tambang di Flores-Lembata merupakan saat pembodohan bagi rakyat oleh pengusaha yang didukung “kaki-kai tangan” dalam berbagai level birokrasi. “Kita saksikan rakyat kita dibodohi oleh janji-janji yang penuh kebohongan dari pengusaha. Memalukan lagi kalau pemerintah dan DPRD juga membohongi rakyatnya dengan membela pengusaha yang datang menghancurkan alam kehidupan rakyat.”
Kris Tato mengatakan, hal yang paling meresahkan warga adalah terkait keberadaan tiga mata air persis dibawah bukit yang akan ditambang. Ketiga mata air itu yang selama ini menghidupi warga. Warga meyakini bahwa batu putih yang akan ditambang itu menahan keberadaan air tanah. “Kami resah karena akan kehilangan sumber air. Tanah yang digaruk saat ini turun ke pinggir jalan dalam bentuk lumpur tebal. Pasti mata air kami akan mulai tercemar. Kami tolak rencana tambang ini untuk kehidupan kami dan generasi masa depan kami,” katanya. *

Kamis, 20 November 2008

EGON

Catatan Perjalanan pasca letusan Egon (1)
Membaca Kedashyatan Amukan Egon


Oleh Steph Tupeng Witin

Kedashyatan semburan lahar dan abu panas Gunung Egon pada 15 April 2008 lalu begitu terasa saat memasuki Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kamis (8/5). Abu Egon melaburi wilayah itu. Bau belerang masih terasa menyengat. Letusan itu telah menimpa Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara, Desa Egon dan Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete. Sekretaris Karitas/Sekretaris Puspas Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih menginformasikan bahwa sejak Egon meletus Blidit adalah kawasan yang menjadi hunian pengungsi. Saat kunjungan itu masih 8 kepala keluarga yang mengungsi. Situasi memang sudah normal. Pertanyaan, mengapa 8 kepala keluarga masih bertahan sedangkan pengungsi yang lain sudah kembali ke titik normal?
Eduardus Eting, salah seorang pengungsi mengisahkan, letusan Gunung Egon telah menghancurkan rumah, kebun dan tanaman. Mereka tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang semula. Jika kembali pun, mereka harus memulai lagi dari awal. Coklat, kelapa, kemiri, kopi, vanili, cengkeh dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. “Padi dan jagung di kebun tidak bisa menghasilkan karena rata dengan tanah. Saat letusan itu padi masih basah, belum ada isi. Wortel dan ubi rusak karena terkena lahar panas. Kami tidak bisa tinggal lagi di atas. Kami hanya pergi pulang lokasi itu sebagai kebun. Kami minta pemerintah dan pihak LSM membantu hidup dan masa depan kami. Kami kehilangan semuanya.”
Kasianus Lado, pemilik rumah yang menampung para pengungsi Gunung Egon mengatakan, sejak letusan terjadi, para pengungsi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan LSM serta Gereja berupa beras, sarimi dan jenis-jenis bantuan pangan lainnya. Menurutnya, kesulitan paling besar adalah ketersediaan air bersih. “Memang ada oto tangki yang menghantar air ke sini setiap hari. Tapi kami jadi ragu, apakah air yang dibawa mobil itu bersih atau tidak? Di sekitar sini ada mata air yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Gunung Egon ini ‘kan tetap aktif. Maka kita minta pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya letusan lagi dengan menyediakan sarana air minum yang bersih bagi warga pengungsi nanti yaitu memanfaatkan sumber mata air “ahu wair.” Kami di Blidit ini hidup dari mata air kecil “wair gu” tapi saat ini kapteringnya sudah rusak. Selama ini kami berusaha sendiri dengan membeli kaptering. Kami minta pemerintah atau pihak lain untuk membantu kami menyediakan sarana air bersih bagi hidup kami di masa yang akan datang, tidak hanya untuk pengungsi tapi juga terutama untuk warga di sekitar Blidit ini.”
Apakah benar bahwa tanaman dan rumah penduduk hancur? Benarkah bahwa kehidupan tidak lagi berjalan normal? Kami tiba di Ladan Gawat, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara. Matahari di atas ubun-ubun. Menyengat. Lokasi itu terletak persis di bawah Gunung Egon. Kedashyatan lahar panas dan abu sangat kuat terasa di sini. Dedaunan mangga dan pisang dilumuri lahar panas. Tanaman ubi, wortel dan keladi kehilangan daun. Buah advokat terjatuh. Dahan pepohonan patah karena tidak mampu menahan beratnya lumpur panas yang basah. Sejauh mata memandang, seluruh wilayah itu dilanda lahar panas yang telah mengering. Tengik belerang terasa menusuk hidung.
Maria Tuone Lenti (25) yang tengah menggendong anaknya, Hendrika Yeli (11 bulan) dalam sarung hitam, sedang berdiri di depan rumahnya yang berdinding belahan bambu dengan dua kamar yang diseraki buah advokat. Rumah itu kokoh berdiri dan tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Tiang-tiangnya kokoh meski sederhana. Kamar-kamarnya kosong. “Semua barang sudah dibawa ke Blidit. Sejak letusan Gunung Egon. Kami datang pagi dan sore kembali ke Blidit. Kami bawa ubi, keladi dan sayur yang kami bersihkan,” katanya. Ia selanjutnya mengisahkan kejadiaan naas malam itu saat puncak Egon mengeluarkan lahar panas cair dan abu. “Malam itu sekitar jam 10.00. Kami siap untuk tidur. Tiba-tiba kami mendengar bunyi ledakan yang kuat. Lahar basah dan abu panas turun melanda wilayah ini. Tubuh kami juga terkena abu panas. Kayu-kayu patah. Batu-batu berhamburan. Kami berlari menuju Blidit. Hanya pakaian di badan. Lumpur jatuh melekat di badan. Panas. Rambut penuh lumpur dan abu. Untung kami cepat. Kalau tidak, mungkin kami mati.”
Saat kami memasuki kebun, kerusakan dan kehancuran tanaman tidak seperti yang diinformasikan saat kami berada di Blidit. Ubi, keladi, wortel dan tanaman pangan lain tetap aman dalam tanah. Cuma tanah bagian atas dan dedaunan yang dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. Bahkan Kanisius Kasih, Sekretaris Karitas dan Flores Pos masuk ke kebun padi dan meraba bulir padi yang tetap berisi meski merunduk karena tertimpa beban lahar panas dan abu. “Padi tetap berisi. Memang sebagian kecil rusak. Jagung tetap baik, tidak rusak. Situasinya sudah normal. Mestinya mereka segera kembali ke lokasi untuk membersihkan kebun dan ladang mereka.”

_________________________________
*Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (2)
Bencana, Solidaritas dan Pemberdayaan

Oleh Steph Tupeng Witin

Kali Wair Raat, kurang lebih 1 kilometer dari Dusun Baokrenget, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara terbelah besar. Bongkahan lahar panas yang telah mengering membentangi badan kali. Sebuah jembatan jebol. Inilah salah satu pusat lokasi aliran lahar panas dan abu pada letusan Egon 15 April 2008 lalu. Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD yang mengunjungi lokasi itu bersama Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr, Jumat (9/5) tidak membayangkan seandainya aliran lahar panas itu menerjang perumahan dan warga. Bahkan ke depan, gumpalan lahar panas itu sangat berbahaya jika terjadi banjir di kemudian hari yang akan berakhir di Waigete.
Uskup Kheru mengunjungi lokasi Egon sekaligus berdialog dengan sebagian kecil pengungsi yang memilih tetap bertahan di Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete meski situasinya sudah kembali normal. Uskup berikhtiar melihat secara langsung situasi terakhir agar mendapatkan data yang pasti sekaligus berdialog dengan umat (pengungsi) untuk memperoleh informasi yang benar. Saat berdialog, pengungsi mengutarakan kesulitan yang dialami: tanaman pangan yang hancur, perumahan yang tertutup lahar dan abu vulkanik, bayangan ketakutan akan letusan susulan Gunung Egon dan beratnya niat untuk kembali lagi ke rumah. Uskup Kheru mengajak pengungsi untuk segera keluar dari persoalan ini dengan mencari lokasi yang aman untuk berpindah. Pengungsi setuju karena memiliki lokasi di Blidit. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait berjejaring mendukung niat warga ini.
Uskup Kheru mengatakan, meski kerusakan yang ditimbulkan cukup parah, namun pengungsi mesti segera “dibangunkan” untuk berupaya mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Ada bahaya bahwa bencana terkadang mengurung orang dalam ketidakberdayaan, meski sebenarnya ia memiliki potensi yang besar. Orang bisa saja sembunyi di balik kedahsyatan bencana dan gelombang solidaritas kemanusiaan. Sikap pasif, hanya menunggu datangnya belaskasihan, sumbangan orang lain, mesti dilawan dengan upaya pemberdayaan kesadaran. Titik ini bisa “disalahmanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merekayasa proposal bantuan dan politisasi bencana untuk membangun resistensi dengan pihak pengambil kebijakan.
Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr mengatakan, bahaya apatisme potensi dengan bersembunyi di balik tembok argumen bencana dan ketiadaan harapan hidup mesti dijernihkan dengan data lapangan dan informasi yang benar. Bencana adalah realitas alam yang kadang terjadi di luar dugaan dan perkiraan manusia. Bencana selalu membawa korban. Tetapi bencana tidak bisa membuat manusia larut di dalamnya. Mesti ada pemikiran dan upaya lain untuk mencari celah agar kesulitan yang saat ini menimpa bisa diatasi. Minimal, kekuatan yang ada dalam diri dan lingkungan dapat membantu membangun dan menumbuhkan energi untuk berubah.
Sekretaris Eksekutif Pusat Riset Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, Pater Eman Yosef Embu, SVD mengatakan, setiap upaya untuk membantu para korban bencana mesti tetap mengutamakan pemberdayaan kemampuan, minimal kesadaran bahwa orang mesti merasa ada kekuatan, betapa pun sederhananya, sebagai dasar pijak untuk bangkit dari “kejatuhan.” Menurutnya, kesadaran ini juga harus ada dalam pemikiran setiap komponen yang atas nama kemanusiaan hadir di lokasi pengungsian sebagai tanda solidaritas dengan para korban.Ibaratnya, kita datang memberi kail agar dengan usahanya sendiri mampu memancing ikan dari laut kenyataan (bencana) secara mandiri. Bahayanya, kalau di tengah situasi seperti ini kelompok yang memberi bantuan “memanfaatkan” situasi ketidakberdayaan korban untuk “memancing sesuatu” bagi diri dan kepentingannya. Gambar-gambar yang diatur sedemikian tragis kadang menjadi celah paling gampang untuk menarik simpati berupa dana, sumbangan dan sebagainya.
Sekretaris Karitas, lembaga yang bernaung di bawah Gereja Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih mengatakan, sikap kritis dari setiap pemberi bantuan mesti ditempatkan dmeski dalam bendera solidaritas kemanusiaan. Bisa saja, orang terjebak dalam “permainan” kepentingan untuk mengail keuntungan yang tidak akan menumbuhkan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. “Kita selalu turun ke lapangan, mengambil data, menganalisisnya dan merumuskan strategi bantuan yang akan diberikan kepada para pengungsi. Bantuan yang kita berikan selalu dalam perspektif pemberdayaan. Kekuatan dan peluang positif yang ada dalam diri korban harus dibangkitkan agar tumbuh rasa percaya pada kekuatan diri sebagai dasar untuk mandiri. Jujur, kalau kita tidak kritis akal sehat bisa dikalahkan oleh bujuk rayu, air mata dan kata-kata memelas yang merebut hati,” katanya.
Bencana apa pun selalu membangkitkan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaan ini membuka jejaring kerja sama dengan berbagai elemen yang peka. Meski demikian, jejaring solidaritas itu mesti dilandasi oleh sikap kritis yang berupaya agar semangat mandiri, sadar akan kekuatan diri terus bertumbuh. Solidaritas tidak mesti mematikan energi dalam diri manusia untuk berkembang dan maju. Sikap ini yang mesti menjadi awasan setiap kali daerah ini kembali menjadi etalase bencana.

Abu Samah


Abu Samah:
Saya Tidak Perdagangkan Bukit Puakoyong

Oleh Steph Tupeng Witin


Sorot matanya tajam menerjang nurani siapa pun. Urat-urat perjuangan melengkungi dahi dan lengannya. Kulitnya legam terbakar terik matahari Kedang yang garang menggambarkan sosok pekerja keras yang pantang menyerah. Komitmennya untuk mempertahankan hak ulayat Puakoyong, yang menurut analisis Pemerintah Kabupaten Lembata dan PT Merukh Enterprise mengandung emas yang luar biasa, telah membuktikan itu. Sosok ini tidak bergeming sedikit pun pada tawaran lembaran-lembaran nikmat yang coba disodorkan pemerintah melalui siapa pun yang dianggap bisa mempengaruhi nurani dan menggoyahkan komitmen. Baginya, Puakoyong bukan sekedar gundukan tanah yang diatur oleh alam dan “telanjur” menjadi kekuasaan ulayatnya. Tetapi Puakoyong adalah napas hidup karena di bukit yang hijau itu kehidupan dan kematian menyatu. Leluhur dan generasi saat ini serta masa depan menggantungkan nasib.
“Sikap saya terkait tambang dari dulu tidak akan pernah berubah. Saya tetap menolak tambang sampai mati sekalipun. Puakoyong adalah warisan leluhur yang tidak akan saya gadaikan dengan uang berapa karung pun. Pemerintah sudah berulangkali mengutus “orang-orangnya” mendekati saya dengan berbagai cara dan jalan. Bupati pernah mengirim uang Rp150.000 dan saya kirim kembali melalui tukang ojek. Ini sangat menghina saya. Dari dulu saya miskin dan hidup dari keringat saya di kebun dan ladang. Saya tidak pernah hidup dari keringat orang lain. Saya selama ini hidup dengan sangat terhormat sebagai manusia. Terakhir bupati mengirim saya uang sebesar Rp1 juta. Beberapa minggu lalu bupati menyuruh utusannya untuk meminta uang itu kembali. Tetapi saya tidak mengembalikan uang itu. Saya telah mengamankan uang itu. Uang itu akan jadi alat bukti di pengadilan nanti karena saya akan menggugat bupati,” katanya saat ditemui di Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, Kamis (1/11).
Lelaki kelahiran Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, 62 tahun lalu itu sangat keras menolak rencana tambang yang mencakup Puakoyong, ulayat miliknya. Menurutnya, penolakan ini berdasarkan sejarah leluhur yang menegaskan bahwa hak ulayat tidak boleh diperdagangkan karena yang akan menjadi korban adalah saudara perempuan sendiri. Menyerahkan tanah ulayat untuk dibongkar sama dengan menyerahkan kehormatan saudari untuk dinistakan oleh orang luar. Ulayat Puakoyong didukung oleh lima (5) suku yaitu Nuturamun, Moyeha, Latiha, Leuweha dan Orowala. “Keempat suku hanya menunggu suara dari saya. Ketika saya katakan saya mau menyerahkan tanah ulayat Puakoyong maka semua habis. Napas dan masa depan ribuan jiwa hilang dalam sekejap,” katanya.
Menurut lelaki yang tidak bersekolah ini, berulangkali dirinya dipengaruhi untuk menyerahkan Puakoyong. Namun keputusan dan komitmennya tidak akan pernah berubah. “Satu kali saja saya omong dan itu tidak akan saya tarik kembali. Saya tidak akan menjilat ludah yang saya sudah saya buang. Saya bukan anjing atau kucing. Saya diancam untuk dibunuh, diteror bahwa akan ditabrak mati dan diracun melalui makanan dan minuma. Tapi saya tetap biasa saja. Saya mempertahankan hak ulayat saya. Saya tidak pernah mencuri atau merampas hak milik orang lain. Saya orang kecil, rakyat jelata, tidak bersekolah tapi saya tidak diajarkan oleh leluhur saya untuk serakah dengan harta milik sesama. Saya diajarkan untuk bekerja keras dan berkeringat. Hidup dari kerja sendiri. Bukan menjadi penadah murahan yang tidak bermartabat. Saya yakin saya benar. Kalau pemerintah paksakan rencana ini, saya sudah katakan kepada anak-anak saya agar menguburkan saya di bukit Puakoyong itu agar dibongkar dan digusur bersama tanah ulayat oleh alat-alat berat pemerintah dan Merukh. Saya siap jadi tulang belulang demi membela dan mempertahankan hak saya,” katanya.
Ia mengatakan, sebagai tuan tanah, ia akan mempertanahkan tanah Puakoyong sampai mati.Tetapi jika pemerintah karena berdasarkan undang-undang mau masuk, silahkan masuk. “Dia masuk juga saya tidak suruh, dia tidak masuk juga saya tidak larang. Di sana baru dia urus dengan jin, dengan roh halus, bukan dengan saya. Bumi yang sedang kita pijak ini sedang sakit. Hari-hari kita injak di atas dia, kencing dan berak di atas dia, makan di atas dia lalu kita perdagangkan dia lagi. Alam yang sedang kita junjung, siang panas, malam dingin, sedang jadi saksi. Saya tidak akan pernah memperdagangkan Puakoyong hanya karena beberapa karung uang. Di bukit itu kehidupan dan kematian bersatu.”
Saat ini Bapa Abu, demikian disapa akrab setia mengaliri napas hidup bersama isteri dan anak-anaknya di Peuma dengan sederhana. Setiap hari ia ke kebun dan mengurus ternak. Rumahnya selalu terbuka. Beliau dikaruniai 8 anak dari 2 isteri. Dari Maimona Ena lahir Abdul Fatah, Mohamad Puas. H. Ahmad, Syukur Ahmad dan Naya Ahmad dan dari rahim Pangka Rahmat lahir Isa Ahmad, L. Ahmad dan Mone Ahmad. “Biarpun saya diancam, diteror dengan cara apa pun saya tidak akan gentar. Saya hidup seperti biasa dari dulu. Saya ini orang kampung yang tidak sekolah. Tapi saya tidak akan dipengaruhi oleh siapa pun untuk mengubah pendirian dan sikap saya. Saya tolak tambang. Saya tidak akan memperdagangkan bukit Puakoyong karena akan menyengsarakan banyak orang.”

Simon Hayon

Bupati Simon Bantah Sebarkan Ajaran Sesat
*Romo Kerans: Kita sedang Kumpul Bukti


Oleh Steph Tupeng Witin

Bupati Simon Hayon dengan tegas membantah sebaran informasi yang tidak jelas sumbernya bahwa ia menyebarkan ajaran sesat di Kabupaten Flores Timur. Sebagian warga Flotim mengaku resah dan gelisah dengan pernyataan Bupati Simon Hayon yang hingga detik ini belum dibuktikan oleh siapa pun, termasuk para tokoh Katolik yang sudah menggelar pertemuan di ruang rapat Paroki San Juan Lebao-Larantuka, Sabtu (31/5) lalu. Menurutnya, pernyataan-pernyataan itu mesti dibaca sesuai konteks pembicaraan yang berkaitan dengan makna simbolik dan mesti dibedakan mana yang disebut makna dan mana yang disebut sejarah. Selain itu seluruh alur pembicaraan mesti diikuti secara tuntas dan bukan mengambil apalagi mengerti sepotong-sepotong dari pembicaraan dan ditafsirkan menurut kepentingan dan interese tertentu.
“Tuduhan dari beberapa kalangan terbatas bahwa saya menyebarkan ajaran sesat itu sama sekali tidak benar. Seingat saya, pernyataan-pernyataan yang dituduhkan itu tidak pernah saya lontarkan di depan publik Flotim dalam setiap kunjungan kerja. Saya tahu persis kapan, di mana dan bagaimana saya mengutarakan keyakinan pribadi dan apa yang mesti saya buka ke tengah publik sebagai konsekuensi dari kehadiran saya sebagai pejabat publik. Saya tidak pernah mencampuradukkan keyakinan pribadi untuk diikuti oleh rakyat apalagi memaksa. Semua pernyataan itu saya angkat dari khazanah budaya Lamaholot yang sangat kaya dan bukan saya bawa dari luar. Semua pembicaraan saya selama kunjungan kerja di Flotim terekam oleh Bagian Humas.”
Hal itu dikatakan Bupati Simon ketika ditemui di Larantuka, Minggu (8/6) lalu.sebagaimana dikaetahui, beberapa waktu lalu sejumlah tokoh Katolik di Kota Larantuka menggelar pertemuan di San Juan Lebao yang selanjutnya mempublikasikan kesimpulan pertemuan itu bahwa Bupati Simon dinilai menyesatkan warga dengan pernyataan-pernyataan publik bahwa Yesus Kristus lahir di Desa Wure, Kecamatan Adonara Barat, Nyi Lorokidul atau ratu pantai selatan berada di Desa Nobo Gayak, Kecamatan Ile Boleng, kuburan raja Firaun ada di Desa Nobo Gayak dan sebagainya. Bupati Simon memaknai semua tuduhan itu sebagai kritik terhadap dirinya sebagai pejabat publik. Ia mengajak kembali ke dokumen pembangunan sebagai dasar pijakan yang tercermin dalam visi-misi pemerintahan yang diupayakan untuk sejauh bisa dikonkretisasikan dalam pengelolaan pembangunan. Menurutnya, misi pertama adalah jati diri. Jati diri itu, selain koda, sabda yang diajarkan oleh agama-agama tetapi juga yang disebut koda dalam hukum adat. Jika semua nilai digali, Flotim sangat kaya dengan prinsip-prinsip, ajaran-ajaran yang sesungguhnya sangat menjamin hidup bersama secara layak dan berkesinambungan.
“Jadi semua itu sebenarnya kristalisasi dari ajaran agama maupun prinsip-prinsip ajaran yang kita temukan dalam hukum adat yang kita sebut koda pulo kirin lema. Itu sangat luar biasa. Saya dari lewo (desa) ke lewo ingin mengangkat itu. Jadi bukan sesuatu yang berada di luar lingkungan masyarakat Lamaholot. Ini kita gali dari kandungan masyarakat Lamaholot. Kalau kita bisa rumuskan ini menjadi jati diri, pijakan dan orientasi pembangunan maka adalah terlalu sederhana kalau kita hanya mengetahui ajaran-ajaran luhur. Mari kita melangkah lebih jauh. Siapa sesungguhnya yang mewarisi ajaran luhur ini, koko moja yang mewariskan ajaran yang baik.”

Bersih dan Berwibawa
Bupati Simon mengatakan, hal kedua yang diemban adalah menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih dan berwibawa, termasuk upaya keras untuk memberantas praktek korupsi. Maka ia mengajak segenap rakyat untuk kembali ke fitrah, kebeningan meski dalam praktek pemerintahan, agama dan hukum adat, ada bias. “Bagi saya, makna pembangunaan adalah upaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia (ata diken). Saya lihat secara umum di Indonesia, setiap hari kita bicara tentang pembangunan tetapi setiap hari juga kita saksikan sebagian rakyat diusir-usir, dikejar-kejar seperti hewan. Saya tidak mau kita di sini mengalami hal yang sama. Marilah kita wujudkan keadilan, pemerataan supaya susah senang kita sama-sama. Prinsip, nilai hidup solidaritas itu ada, hidup di dalam masyarakat Lamaholot, di dalam agama dan hukum adat, tekan tabe gike uku, tenu tabe lobon luan. Itu yang saya angkat: Ini tentang ajaran.”
Bupati Simon mengatakan, selanjutnya ia mengajak untuk melangkah lebih jauh agar mengetahui siapa leluhur dan hal ini menghantar kita maka memasuki wilayah sejarah. Sejarah bicara tentang peristiwa apa, kejadian apa, siapa pelaku, di mana, kapan. Sejarah tidak menggugat soal ajaran meski sejarah bisa saja keliru karena ditulis oleh manusia. Maka sejarah terbuka untuk didiskusikan. “Jadi saya sendiri tidak paham kalau semua itu disebut ajaran sesat karena saya melihat orang-orang itu tidak bisa membedakan secara jernih mana ajaran dan mana yang disebut sejarah. Di lingkungan masyarakat Lamaholot, temutu/sejarah itu terungkap dalam bahasa-bahasa simbolik, bahasa perumpamaan sehingga kita perlu memaknai lebih jauh makna di balik bahasa perumpamaan. Kecuali kalau saya membawa ajaran dari luar. Seingat saya, saya tidak pernah bicara di depan publik soal Firaun, soal Wureh, laut mati, Nyi Roro Kidul.”
Menurutnya, beberapa waktu lalu satu lembaga dari Prancis yang namanya La Rocelle akan mengirim beberapa ahlinya ke Flotim: antropolog, linguistik, geolog dan arkeolog yang akan masuk dalam wilayah sejarah untuk membuat penelitian sehingga setiap pembicaraan selalu ada dasar-dasarnya dan bisa dipertanggungjawabkan. “Semua pembicaraan itu terekam. Misalnya, di dalam sole oha (tandak/dolo) ada ungkapan: belo kopong keni, barek ata kiwaan tani nete liman (pemuda yang terbunuh, perempuan menangis dengan tangan terulur). Bagi saya, kopong keni, bareka ata kiwan harus dimaknai lebih jauh dari itu. Tapi saya tidak pernah mengatakan Yesus lahir di sini, di sana, itu tidak. Saya juga agak hati-hati karena ada “kalangan” yang lain. Lain halnya kalau itu di kalangan sendiri, saya langsung mengatakan, itu ungkapan untuk Yesus. Kopong keni itu bukan satu orang dengan nama itu tetapi keropong, kemamu. Barek ata kiwan itu bisa diasosiasikan dengan Bunda Maria. Tapi apakah itu menunjukkan bahwa di sini tempatnya, belum tentu. Tetapi bahwa sebagian masyarakat Lamaholot mengenal itu sehingga dari zaman ke zaman dinyanyikan di dalam sole oha.”
Terkait upacara di Nobo, Bupati Simon mengatakan, upacara itu dalam Lewotana. Di Nobo itu ada lewo, desa, tapi Nobo yang kita maksud itu dalam konteks Lewotana. Anggapatan kita Solor watan lema, Solor lima pante. Upacara itu dalam konteks lewotana solor watan lema. “Kaitan dengan emas, hasil laboratorium memang positif. Sebenarnya pada 18 Mei 2008, tim langsung melakukan survey berdasarkan hasil lab tapi ini miliknya Lewotana, milik rakyat, ini semua tergantung pada rakyat. Jangan hanya diambil untuk kepentingan “orang lain.” Saya punya keyakinan, kalau tambang emas itu adalah warisan leluhur, maka mereka punya kemampuan untuk sembunyikan itu. Leluhur itu kan mereka yang suci yang kita sebut inam bela, brelo redong. Ini soal keyakinan saya. Untuk memastikan itu, kita cari orang yang memiliki teknologi.”

Lestariakan Budaya
Kabag Humas Setda Flotim, Nor Lanjong Kornelis di Larantuka, Minggu (8/6) menegaskan, selama tiga tahun memimpin Flotim, Bupati Simon sangat menjunjung tinggi adat Lamaholot yang mengandung koda adat (sabda) yang berisi ajaran hidup (koda pulo kirin lema) yang hidup di tengah rakyat yang menjadi landasan membangun hidup masyarakat. Menurut Lanjong, Bupati Simon menghidupkan ajaran-ajaran tersebut sejalan dengan tema kepemimpinan politik dalam perspektif pembangunan yang berparadigma budaya demi terwujudnya masyarakat Flotim yang maju, sejahtera, bermartabat serta berdaya saing dengan misi membentuk masyarakat Flotim yang memiliki jati diri (ata diken).
Terkait upacara di Nobo Gayak, Ile Boleng, Lanjong menginformasikan, upacara itu dilakukan untuk menghormati para leluhur yang sama seperti dilakukan ketika hendak mendirikan bangunan (rumah adat atau gereja) yang selalu didahului dengan penyembelihan hewan kurban. “Bupati Simon menghidupkan nilai dan ajaran yang hidup dalam Lamaholot. Beliau tidak membawa ajaran dari luar untuk sesatkan warga,” katanya.

Kumpul Bukti
Deken Larantuka, Romo Adu Kerans, Pr saat ditemui di Pastoran Lebao, Senin (9/6) lalu mengatakan, pernyataan bahwa Bupati Simon dinilai menyebarkan ajaran sesat mengungkapkan keresahan beberapa tokoh Katolik berdasarkan apa yang didengar. “Saya menarik kesimpulan bahwa semua itu hanya kita dengar. Sebagian besar peserta yang ikut pertemuan itu mengaku hanya mendengar. Saya tekankan supaya mencari bukti-bukti yang jelas untuk mendukung bahwa yang didengar itu betul. Saya juga sudah dekati bapak bupati. Ada banyak istilah yang dirangkaikan dengan keagamaan itu, dia tidak omong. Bupati lebih banyak dengan Alber Pito maka mereka kaitkan bahwa itu bupati yang omong. Forum pemerhati ini sedang cari data, bukti yang jelas. Semua mereka hanya dengar.”
Menurutnya, forum telah publikasikan penilaian itu di media. Langkah berikut adalah menjelaskan kepada umat supaya tidak resah. Misalnya, ada emas di Nobo. Sudah ada upacara adat maka langkah berikut adalah survei untuk membuktikan bahwa emas itu ada atau tidak. Itu ilmiahnya.
“Koran itu memuat sesuatu yang orang perlu buktikan. Kelompok spontan, punya inisiatif, lihat keresahan di dalam masyarakat, diskusi bersama untuk temukan langkah hilangkan keresahan itu. Tapi bupati bilang dia tidak omong. Maka sudah ada pencemaran nama baik pejabat (bupati). Kita anjurkan agar ada pemulihan nama pejabat. Kita minta DPRD untuk dialog dengan bupati terkait pencemaran nama baik itu. Ada yang minta agar massa turun untuk dialog bersama, tapi kita mesti waspada karena bisa jadi ada banyak pikiran emosional masuk dan itu berbahaya. Pikiran terakhir, nanti kita ke DPRD dengan utusan dari paroki. Maksudnya supaya mereka mengerti masalah yang sebenarnya.”
Romo Kerans mengatakan, Uskup Frans meminta agar diberi pemahaman yang jelas, jangan bersikap emosional, tetap rasional, dengan semangat baik, kebenaran. Banyak orang menangkap dan mengambil pernyataan bupati sepotong-sepotong tetapi melihat pesan waktu itu (konteks). Misalnya, Yesus lahir di Wureh. Pesannya bisa historis atau konteks, pesan rohani. Pemahaman itu bisa dimengerti secara konteks pembicaraan dan acara saat itu.
“Kita sedang cari dan kumpulkan bukti (Pulbaket). Mass media itu belum menjadoi kebenaran. Orang harus dengar langsung. Kesulitan kita adalah apakah orang yang mendengar langsung itu mau bertanggung jawab? Persoalan ini harus dlihat secara jernih. Kalau kita dengar apa yang orang katakan, kita bisa tahu latar belakang orang itu. Apakah kalah politik, pernah ada soal dengan beliau, pernah disakiti. Itu berbahaya, kita bisa ditarik masuk dalam lingkaran itu.”

Kenapa Resah?
Pastor Paroki Lewotobi, Romo Frans Amanue, Pr dari Larantuka, Selasa (17/6) mempertanyakan dasar keresahan, data dan bukti pernyataan serta dugaan bahwa ada kelompok yang sedang menggalang kekuatan untuk melawan pemerintah. Menurutnya, tokoh-tokoh Katolik menilai Bupati Simon sudah meresahkan umat beragama di Flotim. Pernyataan itu mesti ditunjukkan pada forum mana, kapan, siapa yang jadi saksi karena tidak cukup hanya mengatakan “orang bilang orang omong, banyak orang dengar seperti itu.”persisnya pernyataan itu berbunyi bagaimana? Pernyataan itu harus diletakkan dalam keseluruhan konteks, jangan sepenggal-sepenggal. Harus juga dibedakan forum publik dan forum diskusi/sharing.
“Mengapa resah dengan pernyatan Bupati Simon? Kalau resah, itu berarti iman kita masih belum mendalam. Apa kerja para pastor selama ini? Kita hidup dan bekerja di tengah umat, tidur bangun dengan umat setiap waktu tapi seorang Simon saja dengan pernyataannya telah membuat umat resah dan sebagian pastor kelabakan lalu ikut buat penilaian yang dimuat di media tanpa disertai bukti dan data yang akurat. Bupati Simon sudah menyatakan bahwa apa yang disampaikan itu merupakan keyakinan pribadi dan tidak pernah disampaikan di depan publik. Jelas ‘kan? Kenapa resah dan repot, malah pusing tujuh keliling?”
Menurutnya, pertemuan yang digelar di Lebao yang melibatkan tokoh-tokoh dari Paroki Waibalun, Kathedral, Lebao dan Weri berlebihan. Apa yang kamu cari? Soal ajaran sesat, sederhana sebenarnya yaitu hierarki bertindak. Ada uskup dan perangkat-perangkatnya, ada dewan imam, malah Keuskupan Larantuka memiliki pakar teologi. Tidak perlu dengan mengerahkan paroki-paroki. Dengan data dan fakta, Bupati Simon bisa dipanggil, ditegur, malah kalau perlu ekskomunikasikan dia. “Ketika Forum Reformasi Flotim (FRF) yakni sekelompok LSM bersama beberapa pastor menuding dugaan KKN Bupati Felix, institusi gereja tidak jelas sikapnya, malah “memusuhi” pastor-pastor itu. Padahal KKN merugikan rakyat. sekarang institusi gereja terlihat bermanuver, sepertinya menggalang kekuatanmelawan musuh. Kalau Simon sesat, katakan terus terang, tindaki dia, jangan seperti orang yang tidak percaya diri lalu galang kekuatan melawan. Apa yang kamu cari? Mau jatuhkan Simon sebagai bupati? Jika itulah yang tersembunyi di balik manuver tersebut, apa gereja tidak sedang berpolitik? Dulu, pastor-pastor FRF dituding berpolitik. Sekarang ini: siapa yang berpolitik?”
___________________________________

Kebijakan Uang Makan PNS Sesuai Aturan
*Agus Boli: Uang LP Tidak Wajib Hukumnya

Oleh Steph Tupeng Witin dan Frans Kolong Muda

Bupati Simon Hayon mengatakan, kebijakan terkait uang lauk pauk bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Flores Timur telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 22/PMK tahun 2007 tanggal 23 Pebruari 2007, pemberian uang makan bagi PNS itu hanya berlaku bagi PNS pada lingkup departemen/kementerian (vertikal) dan di daerah hanya berlaku bagi PNS yang bekerja di departemen agama, badan pertanahan nasional (BPN), kejaksaan, pengadilan dan sebagainya dengan besaran Rp10.000. Sedangkan bagi PNS di daerah, berdasarkan surat edaran Mendagri kepada para gubernur dan bupati/walikota Nomor 841.7/680/BAKD tanggal 22 Agustus 2007 terkait penyediaan uang makan bagi PNS di daerah, pada poin kedua surat edaran tersebut mengatakan, pemberian uang makan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dengan standar biaya yang ditetapkan oleh kepala daerah dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemkab Flotim telah melahirkan edaran Bupati Flotim Nomor BPKAD.841.7/01/1/2008 tanggal 3 Januari 2008 terkait pemberian uang makan bagi PNS sebesar Rp7500.
Hal itu ditegaskan Bupati Simon ketika ditemui di Larantuka, Minggu (8/6) untuk menjawabi tuntutan para guru melalui wadah PGRI yang telah mendatangi DPRD Flotim sebanyak 4 kali untuk menuntut kenaikan uang lauk pauk dari Rp7500 menjadi Rp10.000. Bahkan dalam tuntutan uang lauk pauk ini juga disuarakan oleh Forum Dewan Pastoral Paroki se-Kota Larantuka yang mendatangi DPRD Flotim terkait ajaran sesat, Selasa (17/6). DPRD Flotim merespons tuntutan para guru itu dengan membuat keputusan DPRD Flotim No.20/DPRD.Kab/Flt/2008 tentang persetujuan DPRD Flotim untuk menambah uang makan bagi PNS lingkup Pemkab Flotim. Persetujuan DPRD Flotim ini mendapat perlawanan dan penentangan dari beberapa elemen masyarakat Flotim seperti warga Solor Barat, Jaringan Petani Wulanggitang (JANTAN), Komunitas Rakyat Demokrasi (KonRad) dan massa dari Forum Masyarakat Ile Boleng dan Klubagolit. Massa rakyat ini mempertanyakan pendasaran pembuatan keputusan DPRD tersebut.
Terkait desakan perlawanan massa rakyat tersebut, Ketua DPRD Flotim, Mikhael Betawi Tokan saat menerima massa Forum Masyarakat Ile Boleng dan Klubagolit, Rabu (18/6) mengatakan, sikap dewan sudah bulat yaitu akan menindaklanjuti aspirasi masyaarkat sesuai prosedur dan mekanisme DPRD. “Segala aspirasi akan kita bahas dan kita jadikan bahan pertimbangan dalam pembahasan APBD perubahan bulan Agustus 2008” (FP, 17/6).
“Peraturan Menteri Keuangan No 22 thn 2007sangat jelas mengatakan bahwa besaran uang lauk pauk Rp10.000 hanya berlaku bagi PNS dalam lingkungan kementerian negara. Itu berarti bahwa untuk PNS di daerah tidak berlaku. Ketentuan bagi PNS di daerah berlaku ketika ada surat edaran Mendagri yang membuka peluang agar daerah boleh mengalokasi dana sepanjang kemampuan keuangan daerah memungkinkan. Tidak ada dana khusus dari Jakarta yang dialokasikan perorang Rp10.000. Ini uang yang sudah masuk di APBD dan itu daerah yang mengatur. Ini kebijakan setempat. Saat rapat para Sekda se-Indonesia di Mataram beberapa waktu yang dihadiri Sekda Diaz Alffi, para Sekda se-Indonesia sangat heran karena Pemkab Flotim sudah bisa mengalokasikan uang lauk pauk bagi PNS daerah sebesar Rp7500,” kata Bupati Simon.

Solidaritas
Menurut Bupati Simon, saat bertemu dengan utusan Ranting PGRI Waibalun yang berdialog dengannya di kantor, ia menawarkan kalau para guru tidak mempercayai landasan kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah, pihaknya bisa memfasilitasi utusan para untuk ke Jakarta bertemu dengan Mendagri, tetapi para guru tidak mau. “Ketika saya melakukan kunjungan ke desa-desa, saya mengedepankan prinsip koda pulo kirin lema dan nilai utama yang saya angkat adalah tekan tabe liu uku, tenu tabe lobon rua. Itu prinsip solidaritas, saling tolong menolong, hidup bersama. Maka saya mengangkat persoalan guru ini sebagai contoh bagi masyarakat. Saya tidak dalam rangka melecehkan guru. Bahasa saya adalah: Saya ingat para PNS, saya ingat para guru tapi saya juga diberi kesempatan untuk mengingat rakyat Flores Timur yang jumlahnya 225 ribu jiwa lebih. Konteks mereka itu petani, nelayan, pedagang kecil. Mereka butuhkan air, jalan, listrik, bibit tanaman, pemberdayaan ekonomi. Tolong kita ingat dengan prinsip Lamaholot tadi yanbg juga diajarkan oleh agama-agama kita. Mari kita ingat juga saudara-saudara kita yang lain. Alokasinya uang lauk pauk sebesar Rp7500 saja itu sudah hampir Rp10 miliar kami siapkan. Kalau mereka menuntut lagi tambah Rp2500 berarti tambah sekitar Rp3 miliar lebih lagi. Jadi sekitar Rp13 miliar harus disiapkan. Nah kalau kita bangun jalan, sudah berapa ruas jalan, listrik, air minum yang rakyat, termasuk para PNS, guru, rakyat pada umumnya bisa nikmati?”

Terbuka Dikritik
Bupati Simon membantah penilaian segelintir “orang” bahwa ia stress dalam masa kepemimpinan di Flotim. “Saya enjoy dengan apa yang saya lakukan. Pembangunan fisik berjalan tapi saya tidak inginkan pembangunan cuma sampai di situ. Mari kita lebih jauh: soal nilai, bagi saya harus ada keseimbangan. Kita melihat Indonesia: pembangunan fisik, ya, tapi coba kita lihat hubungan persaudaraan, persatuan, seperti apa? Porak poranda. Raskin saja orang berkelahi. Itu artinya, nilai yang menjamin kebersamaan, keberlanjutan itu hilang. Percuma kita bangun infrastruktur tanpa diikat oleh nilai. Kristalisasi nilai-nilai itu, koda pulo kirin lema itu tercermin dalam diri masing-masing kita. Mampukah kita menunjukkan budi adat itu dalam kenyataan? Fakta di lapangan, ketika saya melakukan kunjungan untuk melantik kepala desa, rakyat penuh sesak mendengarkan pemerintah. Kalau rakyat tidak suka saya, pasti kosong, mungkin satu dua orang saja.”
Ia mengatakan, sejak memangku jabatan bupati, ia siap dikritik oleh siapa pun asalkan rasional dan disampaikan secara benar dan santun. “Saya terbuka untuk dikritik. Kita diciptakan tidak sempurna. Banyak orang bisa sempurnakan kita. Mari kita saling terbuka. Kalau kita bening, tidak ada soal sebenarnya. Kalau rakyat katakan Simon Hayon tolak tambahan Rp2500 itu keliru, tidak baik dan rakyat membela para guru, saya berhenti. Saya tidak ragu-ragu. Saya katakan itu juga di desa-desa yang saya kunjungi. Saya tidak akan berpihak pada kebatilan. Sepanjang saya tidak mengkhianati sumpah saya yaitu tidak makan uang rakyat, apa pun, silahkan mereka bikin. Saya sumpah kepada leluhur untuk tidak mengutak-atik apa yang menjadi hak rakyat. Saya makan apa yang menjadi hak saya. Saya yakin, kalau kita kerja jujur, leluhur yang di atas akan melindungi kita.”

Tidak Wajib Hukumnya
Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi Bebas Rakyat NTT (LKABER NTT), Agust Payong Boli saat diwawancarai wartawan Flores Pos, Frans Kolong Muda, Jumat (20/6) mengatakan, sesuai peratutan Menteri Keuangan RI Nomor 22/PMK tanggal 22 Februari 2007, uang makan sebesar Rp10.000 hanya untuk PNS lingkup kementerian/departemen sedangkan landasan uang makan PNS daerah adalah surat Mendagri Nomor 841.7/680/BKAD/2007 khususnya poin ke-2 yang intinya, pemberian uang makan bagi PNS daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. “Pemkab Flotim menerjemahkan surat edaran Mendagri itu ke dalam Perda tentang APBD II tahun 2008 dengan mengalokir uang makan bagi PNS daerah sebesar Rp7500/PNS/hari kerja. Secara hukum, surat edaran Mendagri itu sama dengan imbauan atau permohonan untuk dilaksanakan tetapi tidak wajib hukumnya karena surat edaran itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk menjadi dasar pembayaran uang makan bagi PNS daerah. Realisasi uang makan sebesar Rp7500/PNS/hari kerja karena kemauan baik Pemkab Flotim dan bukan karena kewajiban hukum. Dari aspek hukum, Pemkab Flotim tidak diwajibkan untuk mengalokir uang makan bagi PNS daerah, apalagi uang makan itu diambil dari APBD II Flotim yang merupakan milik bersama publik dan aparatur, tentu dengan mempertimbangkan kondisi keuangan daerah,” katanya.
Menurutnya, seandainya Pemkab Flotim tidak menambah uang makan bagi PNS daerah, bukan berarti mengabaikan aspirasi PGRI dan PNS daerah lainnya tetapi mesti mengedepankan kebutuhan dasar publik berupa jalan raya di daerah terisolir seperti Adonara Barat, Solor dan Flotim daratan, air bersih di Adonara, Solor dan Tanjung Bunga serta kebutuhan penerangan listrik yang merata di Flotim. “Kebijakan untuk tidak mengalokir uang makan bagi PNS daerah sama sekali tidak melanggar hukum. Tuntutan PGRI itu, hemat saya mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman akibat kurangnya sosialisasi dari Pemkab Flotim. Kita harapkan agar demonstrasi di Flotim tidak disusupi kepentingan politik tertentu,” katanya.
Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Melky Koli Baran mengatakan, dengan adanya edaran bupati nomor BPKAD.841.7/01/1/2008 tanggal 3 Januari 2008 maka ada payung hukum untuk uang makan PNS di Flotim. APBD 2008 mengalokasikan uang makan bagi 5.151 PNS X 22 hari kerja X 12 bulan X Rp7500 = Rp10.198.980.000. Jelas, dana sebesar ini menyedor anggaran pembangunan publik lain. Ketika PNS menuntut tambahan uang makan menjadi Rp10.000 maka perlu tambahan Rp3.399.660.000 yang terjadi di tengah tahun anggaran tanpa proses penambahan belanja rutin pada APBD yang pasti menyedot lagi belanja pembangunan publik. “Jika kita andaikan, subsidi rakyat miskin untuk renovasi rumah dengan biaya Rp2 juta/rumah maka hanya dengan tidak menaikkan uang makan PNS, Pemkab sudah bisa mensubsidi kurang lebih 1.699 keluarga miskin pada tahun 2008 ini. Pengandaian yang sama bisa dibuat untuk subsidi sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya.”

PGRI Ambil Sikap
Ketua PGRI Flotim, Yohanes Emi Keyn kepada wartawan Flores Pos, Frans Kolong Muda, Jumat (20/6) mengatakan, PGRI Flotim akan segera mengambil sikap untuk melakukan rapat organisasi jika Pemkab Flotim tidak merealisasikan keputusan DPRD Flotim Nomor 20/DPRD.Kab/Flt/2008 tentang persetujuan DPRD Flotim terkait penambahan uang makan bagi PNS lingkup Pemkab Flotim.
Terkait penolakan dan desakan keras kelompok masyarakat yang menolak keputusan DPRD Flotim, Keyn mengatakan, pembangunan untuk publik tentu tidak mengorbankan para guru dan PNS lainnya. Demikian juga menaikkan uang makan PNS tidak boleh mengorbankan pembangunan umum. “Kalau pemerintah tidak merealisasikan tambahan uang makan sebagaimana yang sudah dilegitimasi DPRD, maka secara organisasi PGRI akan menggelar rapat untuk membicarakan hal itu. DPRD dan pemerintah punya institusi, PGRI sebagai organisasi juga punya sikap. Saya s elaku ketua PGRI tidak mengambil keputusan sepihak tapi harus mendengar putusan organisasi,” katanya.
Sekretaris PGRI Flotim, Bartholomeus Payong Dore yang dihubungi melalui telepon selulernya, Jumat (20/6) mengatakan, meski keputusan DPRD Flotim untuk menaikkan uang makan bagi PNS menjadi Rp10.000 belum direalisasikan, PGRI tetap berpegang pada keputusan politik DPRD tersebut. “Kalau pemerintah masih bertahan tidak naikkan uang makan, PGRI juga tetap akan bertahan. PGRI tidak mengenal istilah pembatalan tambahan uang makan bagi PNS.” Terkait tuntutan PGRI ini, Bupati Simon saat dikonfirmasi dari Ende, Minggu (22/6) mengatakan, berdasarkan notulen resmi dari DPRD Flotim yang diterima, belum ada keputusan untuk merealisasikan tuntutan para guru atau tidak. Aspirasi itu sesuai mekanisme DPRD masih akan ditindaklanjuti. “Saya masih harus tanya bagian keuangan daerah dulu karena kenaikan uang makan bagi PNS mempunyai resiko terhadap alokasi pembangunan daerah lainnya. Kita sedang berada di tengah perjalanan tahun anggaran ini,” katanya.