Minggu, 14 Desember 2008

Korem bukan urusan satu Keluarga

Korem Bukan Urusan Satu Keluarga

*Djeen: Kenapa Korem Mesti di Ende?

Oleh Steph Tupeng Witin dan Hieronimus Bokilia

Rencana pembangunan Korem di Flores merupakan masalah seluruh masyarakat Flores. Rakyat Flores sampai detik ini menolak rencana kehadiran Korem. Rakyat sudah hidup aman di atas tanahnya sendiri sejak nenek moyang. Alasan-alasan kehadiran Korem selama ini hanya taktik untuk melegitimasi kehadirannya yang sudah ditolak sejak tahun 1999. Selama ini berbagai upaya dilakukan institusi TNI di antaranya dengan merekayasa dukungan dari sebagian warga dengan janji-janji. Kenyataan itu tampak dalam kasus Korem yang menurut rencana akan dibangun di Kuru, Kecamatan Moni, Kabupaten Ende.
Hal ini mengemuka dalam sebuah diskusi terbatas yang digelar oleh JPIC KAE-SVD di Puspas KAE, Jumat (5/12). Romo Domi Nong, Pr mempertanyakan pernyataan pihak TNI di Kabupaten Ende yang mengatakan bahwa pihak TNI sudah memiliki tanah di Kuru untuk menjadi lokasi pembangunan Korem setelah salah seorang warga setempat, Yoseph Dao dan keluarganya menyerahkan tanah seluas 10 hektare.
“Kehadiran Korem bukan masalah sebuah keluarga saja. Tidak hanya karena sebuah keluarga menyerahkan sebidang tanah lalu aparat TNI mengatakan Korem bisa dibangun begitu saja. Sampai detik ini kita belum mendengar alasan kehadiran yang masuk akal. Institusi militer itu selalu menggembar-gemborkan bahwa Flores yang terletak antara Australia dan Timor Timur perlu kehadiran tentara. Kita tidak pernah merasakan ancaman dari kedua negara itu. Ini sebuah ketakutan terstruktur yang dibangun untuk mengelabui rakyat. Kita tolak kehadiran Korem karena kita tidak butuhkan Korem.”
Menurutnya, dakam kasus Korem di Ende TNI membuat banyak keganjilan yang patut dipertanyakan bahkan digugat oleh seluruh rakyat Indonesia. “Katanya anak dan keluarga Yoseph Dao diterima menjadi tentara hanya karena mereka menyerahkan tanah untuk menjadi lokasi pembangunan Korem. Apakah cara yang tidak mendidik ini pantas dilakukan oleh sebuah institusi resmi seperti TNI? Sejak kapan ada aturan yang menyatakan bahwa kalau ada warga yang serahkan tanah maka anaknya masuk tentara tanpa testing masuk? Bukankah ini sebuah diskriminasi?”
Menurut Romo Sipri Sadipun, Pr, kasus diterimanya anak dan keluarha Yoseph Dao karena ia menyerahkan tanah harus dilawan karena lembaga ini menghadirkan sebuah proses pendidikan yang salah. “Apakah orang menjadi tentara hanya karena balas budi penyerahan tanah seluas 5 hektare? Lebih buruk lagi kalau para PNS diterima hanya karena menyerahkan tanah kepada pemerintah. Apakah kita bisa mendapatkan aparatur pemerintah yang berkualitas dengan cara yang tidak mendidik ini? Kita harapkan agar institusi Negara seperti TNI AD tidak membuat tindakan yang melangkahi aturan-aturan resmi institusi. Apakah hanya karena bernafsu membangun Korem yang sudah ditolak sejak tahun 1999 oleh rakyat Flores lalu aturan-aturan resmi dilangkahi begitu saja?”
Menurutnya, proses penyerahan tanah itu pun dilakukan secara tertutup. Sampai sekarang pihak TNI menginformasikan bahwa ada 10 warga yang menandatangani surat pernyataan melepaskan tanah untuk dijadikan lokasi pembangunan Korem. “Yang kita tahu hanya Yoseph Dao yang juga statusnya masih dipertanyakan. Nama sembilan pemilik tanah yang lain itu sampai sekarang tidak kita ketahui. Apa maksud di balik sebuah upaya yang tersembunyi ini? Kenapa nama sembilan pemilik tanah hanya pemerintah, TNI dan Yoseph Dao yang tahu?”
Tokoh masyarakat, Max Djeen mempertanyakan kenekatan TNI AD yang mati-matian memaksakan kehadiran di Kabupaten Ende meski sejak tahun 1999 ditolak oleh masyarakat Flores umumnya dan Ende khususnya. “Kenapa TNI AD mesti mati-matian bangun Korem di Ende? Kenapa harus dibangun Korem di Flores? Kenapa Korem dibangun saja di sebuah tempat yang tidak masuk dalam wilayah Republik Indonesia saja?”
Menurutnya, kehadiran Korem di Flores selalu terkait dengan status tanah. Dalam budaya Ende-Lio, tanah adat tidak pernah dihibahkan tanpa diketahui oleh semua mosalaki. Pemindahan hak harus didahului dengan musyawarah bersama. Tanah adat yang dikuasai mosalaki biasanya memiliki kepala dan ekor atau batas-batas yangh jelas (uru-eko tanawatu). “Saya rasa ganjil bahwa dengan menghibahkan tanah kepada TNI maka otomatis TNI menjadi ana kalo fai walu-nya Yoseph Dao. Pengertian ana kalo fai walu itu untuk orang-orang kecil (janda dan yatim piatu) yang membutuhkan tanah untuk kehidupannya. Saya baru dengan di Ende ini tentara menjadi ana kalo fai walu.”

Tanam Pohon di Kuru
Pada Senin (1/12) lalu Dandim 1602 Ende, M. Shokir bersama puluhan aparat TNI menanam anakan pohon di lokasi yang direncanakan akan dibangun markas Korem. Berdasarkan undangan yang dikeluarkan, kegiatan itu sesuai dengan aksi kegiatan menanam nasional dan bulan menanam Indonesia, program kerja Kodim 1602 Ende TA 2008 bidang territorial dan pertimbangan Komando dan staf Kodim 1602 Ende tentang kegiatan tanam nasional dan bulan menanam TA 2008 di wilayah Kodim 1602 Ende.
Informasi yang dihimpun menyebutkan pagi itu dilangsungkan apel di lokasi. Dandim M Shokir menyerahkan anakan tanaman kepada 3 warga. Dalam arahannya, ia mengajak segenap warga untuk menanami semua tanah kosong dengan tanaman apa saja. Ketika seorang warga menanyakan kapan Korem akan dibangun bahkan diminta untuk mempercepat pembangunan, Dandim Shokir mengatakan, ia tidak tahu soal cepat atau lambatnya pembangunan korem di Kuru. Semuanya diserahkan kepada Yang Mahakuasa.
Kepala Desa Kuru, Bernadus Mboti saat ditemui di Kuru, Selasa (2/12) menginformasikan bahwa Dandim Shokir bersama para tentara menanam anakan pohon di lokasi milik Yoseph Dao seluas hanya 5 hektare. Ia diundang untuk hadir sebagai pribadi, bukan sebagai kepala desa. “Saya hadir di lokasi tapi hanya berdiri dari jauh. Saya mendapat undangan sebagai pribadi. Saat itu juga warga dari Desa Numbelaka (Peibenga) dan Werundari berdiri di batas tanahnya masing-masing. Warga menjaga keutuhan tanahnya.”
Kepala Desa Numbelaka, Hendrikus Rego mengatakan, ia diundang secara lisan oleh tentara tetapi ia sendiri tidak hadir di lokasi penanaman pohon. “Saya hanya dengar bahwa warga Peibenga dan Werundari berdiri di batas lokasi tanahnya masing-masing. Warga sebenarnya tidak menghadiri acara itu. Katanya, ada staf Dinas Kehutanan dan Sekcam Moni yang tiba terlambat di lokasi,” katanya.
Sejumlah warga Kuru dan Peibenga mempertanyakan motivasi penanaman pohon oleh Dandim Shokir dan para tentara di Kuru. “Kenapa mesti Kuru? Kita harapkan agar kegiatan penghijauan yang bagus ini tidak dimanfaatkan hanya untuk mencari popularitas murahan dan dukungan yang semu dari masyarakat. Kita harapkan agar esok-esok tidak muncul hal-hal yang lain di bali kegiatan penanaman anakan pohon ini.”

Sudah Dihibahkan
Komandan Komando Distrik Militer (Kodim) 1602 Ende, Letkol Inf. M Shokir di ruang kerjanya, Kamis (4/12) mengatakan, pelaksanaan penanaman pohon di Kuru, Moni Kecamatan Kelimutu pada 1 Desmber lalu merupakan penjabaran dari kesepakatan (MoU) yang ditandatangani oleh Kementrian Kehutanan dengan Departemen Pertahanan dan TNI AD. Dalam MoU tersebut, programnya adalah penanaman secara serentak 100 juta pohon dalam rangka 100 tahun kebangkitan nasional. Sedangkan pada 1 Desember lalu, penanaman dilakukan dalam rangka bulan menanam nasional yang seharusnya diawali pelaksanaannya oleh pemerintah daerah. Mengingat adanya MoU dan sebagai salah satu satuan yang terlibat dalam penandatanganan MoU tersebut maka Kodim 1602 Ende mengambil langkah melakukan penanaman pohon tanpa ada niat mengabaikan instansi tertentu.
Ditanya pemilihan lokasi di Kuru-Moni Kecamatan Kelimutu, Dandim Shokir mengatakan, pemilihan lahan di Kuru karena jika harus meminta lahan dari pemerintah butuh koordinasi yang cukup lama. Apalagi, kata Dandim Syokir, lahan di Kuru, Moni adalah lahan yang sebelumnya sudah diterima hibah dari pemilik tanah kepada pemerintah cq kepada TNI Angkatan Darat. Satu-satunya lahan yang sudah dimiliki TNI adalah di Kuru Moni tersebut apalagi di lahan tersebut kosong.
Terkait masih adanya polemik soal kepemilikan lahan, Dandim Shokir mengatakan pihaknya tidak mengintervensi persoalan yang ada. “Prinsipnya TNI mau terima kalau sudah clear and clean.” Penyerahan tanah dalam bentuk hibah oleh para pemilik tanah, katanya sudah dilakukan sejak 9 Februari lalu. Di dalam surat pernyataan yang ditulis tangan tersebut, katanya, sudah ditandatangani oleh sepuluh orang pemilik tanah yang menyerahkan lahan seluas 10 hektare. Surat pernyataan yang ditulis tangan itu juga sudah ditandatangani camat.
Dikatakan, dalam penyerahan tanah itu, tidak ada unsur pemaksaan. Para pemilik tanah secara sukarela menyerahkan lahan untuk kepentingan negara dan pertahanan. “Dihibahkan secara ikhlas tanpa paksaan dan tanpa jual beli.” Pada saat itu, kata dia, pemerintah Kabupaten Ende hanya menyerahkan uang sebesar Rp18 juta untuk urusan adat. Secara timbal balik, kata Dandim Shokir, anak dari Yosef Dao diterima masuk TNI bersama lima anak lainnya yang berasal dari Kuru. Di antara mereka, dua masuk bintara dan empat lainnya masuk tamtama dan sudah diangkat menjadi anggota TNI. Saat menerima hibah tanah itu, katanya, sudah dilakukan pengecekan ke PN Ende, apakah tanah tersebut sedang dalam proses persidangan. Ternyata di Pengadilan dinyatakan bahwa tanah tersebut tidak sedang dalam proses hukum. Selain mengecek ke pengadilan, juga sudah dilakukan pengecekan ke Badan Pertanahan terkait adanya persoalan kepemilikan atas tanah tersebut. Oleh pertanahan dinyatakan bahwa tidak ada persoalan di atas tanah yang diserahkan.

Tidak ada komentar: