Kamis, 30 Oktober 2008

SAGA and the True story

Musyawarah, Kunci Selesaikan Konflik Pembangunan
*4 Paket Bicara pada Pertemuan Mosalaki Ende

Steph Tupeng Witin

Musyawarah menuju mufakat merupakan landasan utama dalam penyelesaian setiap persoalan yang dihadapi rakyat dalam pembangunan. Terkait dengan penyelesaian konflik pembangunan itu mosalaki dan masyarakat adat menduduki tempat yang sentral sebagai salah satu pilar, berbarengan dengan lembaga agama dalam proses pembangunan Kabupaten Ende. Selain itu diupayakan perlunya proses belajar bersama wilayah lain, misalnya Bali khususnya dalam upaya memperkokoh nilai-nilai adat yang berkaitan dengan manusia maupun alam. Terkait konflik pengelolaan Taman Nasional Kelimutu, kita perlu membangun contoh-contoh pengelolaan kawasan hutan (TNK) yang manusiawi.Dalam konteks pengelolaan tersebut prinsip utamanya adalah hutan tetap lestari tetapi juga rakyat mendapatkan penghasilan secara ekonomis.
Hal ini merupakan benang merah dalam pemaparan dan diskusi antara para bakal calon bupati dan wakil bupati Kabupaten Ende di hadapan para mosalaki dan pemilik ulayat se-Kabupaten Ende yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) di Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Rabu (10/9). Paket yang hadir adalah Sirianus Reda Lio (Paket SETIA), Petrus Lengo (Paket Lengo-Pase), David Dalla (Paket DAMAI) dan Marsel Petu-Stefanus Temu Tani (Paket PETANI). Pemaparan dan dialog bersama peserta pertemuan itu dipandu oleh Philipus Kami. Keempat paket diberi waktu selama 10 menit untuk memaparkan pandangannya terkait posisi, peran dan fungsi mosalaki dalam pembangunan di Kabupaten Ende.
Cabup dari Paket DAMAI, David Dalla mengatakan, mosalaki memiliki peran yang sentral dalam pelaksanaan pembangunan di Kabupaten Ende. Konflik yang selama ini terjadi di Kabupaten Ende terkait pelaksanaan pembangunan merupakan akibat tidak dilibatkannya mosalaki dalam rencana pembangunan. “Mosalaki dan hukum adat kita perlukan dalam pembangunan sepanjang itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum,” katanya.
Calon Bupati dari Partai Golkar, Marsel Petu menegaskan, mosalaki memiliki kedudukan yang strategis dalam pelaksanaan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak. “Jika saya terpilih nanti, langkah pertama yang sama tempuh adalah menyatukan mosalaki dan tokoh agama untuk bersama-sama berpikir dan merancang pembangunan di Kabupaten Ende lima tahun ke depan. Kita berjuang agar nilai-nilai adat budaya tetap menjadi kekuatan bagi kita terutama generasi muda dalam menghadapi globalisasi,” katanya.
Cabup Petrus Lengo mengajak para mosalaki untuk berpartisipasi dalam seluruh proses pembangunan di Kabupaten Ende. Menurutnya, peran mosalaki sudah ditunjukkan secara nyata dalam upaya mensejahterakan ana kalo fai walu. “Kita saat ini memerlukan nilai ketahanan dalam menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan. Mosalaki berperan dalam menghidupkan dan mengokohkan kearifan-kearifan lokal sebagai warisan kebijaksanaan dari pendahulu kita. Kita harapkan peran agama dan adat untuk mengokohkan kehidupan kita secara konkret, bukan sebatas dalam lembaran Perda atau peraturan desa (Perdes.”
Cabup Paket independen SETIA, Sipri Reda Lio mengatakan, mosalaki memiliki tanggung jawab dalam membangun kesejahteraan hidup ana kalo fai walu. Peran mosalaki mesti disinergikan dengan peran gereja dan pemerintah dalam membangun Kabupaten Ende secara bersama. Menurutnya, peran mosalaki ini telah membantu pemerintah dalam mengikis kemiskinan dan memperkecil angka pengangguran.
“Entah jadi Bupati Ende atau tidak, saya tetap dukung segala kegiatan AMATT dalam upaya menghidupkan nilai-norma dan hukum adat kita yang menyimpan kebijaksanaan untuk bekal dan warisan hidup,” katanya.

Konflik TNK
Mosalaki Saga, Gregorius Gata saat diskusi mengangkat persoalan lama terkait konflik pengelolaan kawasan Taman Nasional Kelimutu (TNK) antara pemerintah dan rakyat pemilik ulayat sekitar kawasan. Menurutnya, konflik ini telah menggerakkan rakyat untuk berjuang hingga tingkat nasional karena terkait dengan hak ulayat. “Kami mengharapkan agar bapa-bapa ini jika terpilih nanti tidak menjadi rakyat sebagai barang mainan kekuasaan. Pemimpin harus memiliki sikap tegas berpihak kepada rakyatnya.”
Sipri Reda Lio menegaskan, keberadaan Taman Nasional Kelimutu memang menjadi kewenangan pemerintah pusat sesuai dengan aturannya tetapi pelaksanaan di lapangan mesti disesuai dengan situasi terutama kondisi riil rakyat kecil yang menjadi pemilik ulayat, yang selama ini hidup dari tanah wilayah itu.
“Saya memang terlibat dalam upaya menyelesaikan konflik itu. Kita memang berjalan di atas roda aturan tetapi pelaksanaannya harus memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan terutama menyangkut rakyat kecil (ana kalo fai walu) yang hidup dari ulayat sekitar taman nasional itu. Prinsipnya, Taman Nasional Kalimutu itu tetap ada menjadi aset wisata kita tetapi rakyat sekitar tidak boleh dilarang untuk menyambung hidup. Saya tidak setuju kalau rakyat yang hendak memetik kopi yang ditanam oleh nenek moyang sebelum pematokan tapal batas itu dilarang oleh pemerintah. Tindakan ini sudah tidak manusiawi lagi,” katanya.
Cawabup Paket PETANI, Stefanus Temu Tani mengatakan, terkait konflik TNK, semua elemen perlu duduk bersama untuk membicarakan agar tidak terjadi konflik berkepanjangan. “Kita menerima bahwa Kelimutu merupakan aset wisata kebanggaan kita yang perlu dilestarikan. Tetapi serentak juga tidak boleh ada larangan bagi ana kalo fai walu untuk menggarap tanah di sekitar sepanjang tidak mengganggu kelestarian lingkungannya,” katanya.

Kecewa dengan Paket Lain
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma saat dialog menyaampaikan kekecewaannya terkait ketidakhadiran lima paket lain tanpa pemberitahuan sesuai dengan adat sopan santun. Menurutnya, para bakal pemimpin Kabupaten Ende mesti menghargai para mosalaki dan pemegang ulayat sebagai salah satu komponen dalam pembangunan Ende. “Kita tidak menghadirkan para kandidat untuk berkampanye di forum pertemuan ini. Para mosalaki ingin berbagi pengalaman hidup dengan para kandidat. Para kandidat juga mesti menghargai suara rakyat. Kita mesti bersama-sama membangun Ende ke depan.”
Ketua JPIC SVD Ende, Pater Aleks Ganggu, SVD mengatakan, pertemuan para mosalaki ini dilaksanakan untuk membangun kebersamaan, persaudaraan dan kekuatan di antara para mosalaki. “Kita melihat para mosalaki sebagai kekuatan pembangunan yang besar. Kita menyatukan mereka agar terbangun solidaritas dalam menanggapi berbagai persoalan sosial dan pembangunan. Solidaritas bersama dalam persoalan-persoalan sosial inilah yang menjadi kekuatan bersama sehingga semua memiliki satu suara.”
Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) dideklarasikan di Wolomoni pada 19 April 2002. Organisasi masyarakat adat ini dikukuhkan di Saga pada 10 Oktober 2002. Menurut Ketua AMATT, Nikolaus Ruma, AMATT didirikan sebagai tanggapan atas konflik tapal batas Taman Nasional Kelimutu untuk menyatukan sikap dalam memperjuangkan hak ukayat, tanah adat dan lokasi garapan yang diambil semena-mena oleh pemerintah untuk dijadikan areal TNK berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI.
“Dokumen BAP menunjukkan seolah-olah pelaksanaan pengambilalihan tanah sesuai dengan prosedur yang disertai dengan tanda tangan dari para mosalaki. Ternyata semua itu hasil rekayasa. Para mosalaki tidak pernah menandatangani BAP itu. Kita ingin menegakkan hak kita atas tanah dan sumber daya alam. Kita harapkan agar para mosalaki dikemablikan pada posisi yang sebenarnya sebagai pemegang hak ulayat yang mesti dilibatkan dalam seluruh proses pembangunan.” *

Rakyat Flores Tidak Butuh Korem
*Sipri Reda: Hanya Tumpuk Orang

Steph Tupeng Witin

Rencana pembangunan korem di Flores hingga saat ini masih ditolak oleh masyarakat Flores. Penolakan itu lahir dari rahim rakyat Flores yang tidak merelakan tanahnya untuk dijadikan lokasi korem. Rencana kehadirannya pun telah berandil memecah belah kerukunan dan persaudaraan antara mosalaki dan ana kalo fai walu. Rencana kehadirannya mesti dilihat kembali dan tidak dipaksakan. Saat ini rakyat Flores membutuhkan keadilan dan kesejahteraan dalam pembangunan.
Hal ini mengemuka dalam dialog antara para mosalaki se-Kabupaten Ende yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) bersama empat paket Pilkada Ende di Saga, Kecamatan Detusoko, Rabu (10/9). Dialog itu dipandu oleh Hironimus Nori. Selain dihadiri para mosalaki, hadir juga Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi, Ketua JPIC SVD Ende, Pater Aleks Ganggu, SVD dan tokoh masyarakat, Max Djeen.
Para Bacabup mengatakan, rencana kehadiran korem mesti dibicarakan secara terbuka dengan seluruh masyarakat dan bukannya tiba-tiba datang lalu memaksakan diri untuk diterima oleh rakyat Flores tanpa sebuah alasan yang substansial (mendasar). Apalagi rencana itu tidak pernah melibatkan mosalaki dan hanya “memanfaatkan” segelintir pemilik tanah dan mosalaki yang tidak memiliki hak untuk menjual tanah.
Menurut Cawabup Paket PETANI, Stefanus Temu Tani, rencana kehadiran korem mesti melibatkan mosalaki sebagai pemangku adat setempat. Rencana itu pun mesti didahului dengan kajian ilimiah yang tetap menjamin hak-hak ana kalo fai walu. “Kalau mosalaki tolak korem, rencana pembangunannya tidak boleh dipaksakan. Apalagi rencana itu tidak didahului dengan kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik. Penelitian mesti dilandasi oleh moralitas dalam arti penelitian itu tidak dijalankan atas pesan sponsor tertentu.”
Cabup Paket DAMAI, David Dalla mengatakan, rencana korem tidak boleh melangkahi hak-hak rakyat. Mosalaki mesti dihargai terutama dalam kaitan dengan hak hidup ana kalo fai walu yang menjadi tanggung jawabnya. “Saya lihat rencana kehadiran korem ini sepertinya menghilangkan kewenangan mosalaki. Mosalaki jangan takut untuk memperjuangkan kebenaran bagi ana kalo fai walu.”

Hanya Tumpuk Orang
Cabup Paket independen SETIA, Sipri Reda Lio menekankan pentingnya perencanaan dalam rencana pembangunan apa pun di Kabupaten Ende. Program pembangunan tidak bisa tiba-tiba datang begitu saja ibarat sesuatu yang jatuh dari langit. “Mestinya program pembangunan apa pun, termasuk rencana pembangunan korem mulai dengan perencanaan yang terbuka dengan semua elemen masyarakat. Khusus di Ende, mosalaki dan ana kalo fai walu menduduki peran yang sangat penting. Kita bicara dulu, memang ada undang-undang yang mengatur tapi pertanyaan utama yang harus dijawab adalah apakah rakyat Flores butuh korem? Apakah rakyat setuju untuk relakan tanahnya sebagai lokasi pembangunan markas korem yang menyita banyak tanah itu? Kalau tidak ada tanah, kita taruh korem itu di tengah laut. Jangan-jangan kita hanya bangun korem untuk tumpuk orang saja. Kita butuh TNI untuk bantu korban bencana banjir tapi setelah itu mereka kembali, tidak tinggal di sini.”
Cabup Petrus Lengo menekankan pentingnya kepemimpinan yang kuat ke depan khususnya di Kabupaten Ende. Pemimpin yang kuat tahu dengan baik kebutuhan rakyat dan setia mendengarkan aspirasi rakyat yang akan ditanggapi secara konkret dalam pembangunan. “Pemimpin harus kuat, tegas dalam mengambil sikap. Pemimpin harus berpihak pada rakyat. Dia harus jujur untuk mengatakan sesuatu kepada masyarakat. Kejujuran yang membawa perubahan itu harus mulai dari diri sendiri,” katanya.

Hilangnya Solidaritas
Timotius Usman, mosalaki suku Paumere, Kecamatan Nangapanda mengatakan, rencana kehadiran korem di atas ulayat suku Paumere telah menghancurkan persaudaraan yang selama ini dibangun oleh warga di atas tanah ulayat. “Bertahun-tahun kami hidup sebagai saudara, bekerja di atas tanah ulayat yang sama tetapi masuknya rencana korem telah hancurkan semuanya. Masalahnya sampai saat ini sudah masuk ke pengadilan. Kami sebagai rakyat kecil merasa tidak memiliki kekuatan karena hak ulayat kami diobrak-abrik dengan pasal-pasal hukum di pengadilan yang kami sendiri tidak tahu. Sebagai rakyat kecil, kami ditinggalkan oleh pemerintah dan DPRD yang telah kami pilih. Sampai saat ini kami tetap didampingi oleh JPIC Keuskupan Agung Ende dan SVD Ende,” katanya.
Mosalaki Mboa Poma, Andreas Daki mengatakan, di balik rencana kehadiran korem ada orang pintar yang katanya berpegang pada peraturan negara tetapi mengabaikan hukum adat terkait kepemilikan tanah ulayat. Tanah kosong diambil begitu saja oleh orang yang bukan pemilik dan menjualnya kepada “orang lain” untuk pembangunan korem.
Mosalaki Nangapanda, Elias Mbani mengatakan, rencana kehadiran korem di Nangapanda yang sangat menggoyahkan pemegang ulayat karena hilangnya nilai solidaritas yang menyebabkan hilangnya wibawa mosalaki. “Solidaritas antara mosalaki sangat lemah. Kasus Nangapanda sudah sekian lama tetapi masing-masing mosalaki bertahan pada posisi masing-masing. Mosalaki di luar suku Paumere merasa tidak menjadi masalahnya sedangkan mosalaki suku Paumere merasa masalah itu bisa diatasi dengan kekuatan sendiri.”

Tanah Sakral
Terkait penjualan tanah oleh segelintir mosalaki kepada “orang luar” Romo Sipri mengingatkan para mosalaki untuk menyadari nilai kesakralan tanah dalam pandangan agama dan adat budaya kita. Menurutnya, tanah bukan barang atau benda yang bisa dijual tetapi tanah adalah manusia yang lain yang mesti dihidupi secara adat. Tanah dan manusia sama-sama berasal dari Tuhan. “Manusia dan tanah itu berasal dari Tuhan. Manusia dan tanah akan kembali menjadi tanah. Maka tanah itu sakral, kudus dan bukan untuk diperjualbelikan.” *

Pembangunan Mesti Berbasis Nilai
*Nimus Pala: Penerima Raskin Kian Banyak
Oleh Steph Tupeng Witin
Saga, Flores Pos
Adat dan agama telah mewariskan berbagai nilai hidup seperti persaudaraan, kekerabatan dan kekudusan tanah. Nilai itu hidup di tengah-tengah kita. Ia bisa berada di depan kita, tengah berjalan bersama kita dan berada di belakang kita. Nilai-nilai itu telah membantu kita untuk hidup di tengah masyarakat sebagai orang yang beriman dan beradat budaya. Nilai-nilai itulah yang mesti menjadi dasar, landasan dan fondasi berbagai aktivitas pembangunan yang kita jalankan setiap hari. Terkait pelaksanaan nilai, mesti ada indikator, tolok ukur untuk menilai pelaksanaan dan pengamalan nilai tersebut.
Hal itu disampaikan oleh Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr di hadapan para mosalaki se-Kabupaten Ende di Saga, Kecamatan Detusoko, Kamis (11/9). Kegiatan itu diprakarsai oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) yang berlangsung sejak Selasa (9/9)-Kamis (12/9). Diskusi dipandu oleh Herman Leonis, volunteer AMATT.
Menurutnya, nilai-nilai itu mesti digali dari dalam diri, adat dan budaya kita. Agama Kristen mengajarkan bahwa kasih adalah nilai utama dalam hidup. Melalui kasih dalam iman, buah-buah kebaikan akan berkembang menjadi sesuatu yang nyata di dalam keseharian.
“Berbagai kegiatan pembangunan mesti didasarkan pada nilai kehidupan seperti kebaikan, kejujuran, kebenaran, keadilan dan lain-lain. Masyarakat Ende mestinya dipimpin oleh nilai. Kita tidak dipimpin orang tetapi oleh nilai. Bupati, camat, kepala, mosalaki atau siapa pun harus dipimpin oleh nilai kekeluargaan, persaudaraan, kejujuran dan keadilan itu.”
Romo Sipri mengatakan, untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan nilai dalam hidup bermasyarakat dan bergereja, perlu ada indikator, tolok ukur untuk menilai sejauh mana penghayatan nilai-nilai kehidupan itu dan kualitas kehidupan. Nilai dan tolok ukur, indikator itulah yang mesti disepakati bersama dalam komunitas adat. “Misalnya, nilai persaudaraan, kita mesti tahu apa indikator atau tolok ukur untuk menilai sejauh mana kualitas penghayatan nilai-nilai itu di tengah masyarakat dan komunitas-komunitas kita.”

Mosalaki Mesti Jujur
Mosalaki Saga, Gregorius Gato mengimbau para mosalaki agar jujur dalam kata dan perbuatan. Menurutnya, banyak mosalaki sewenang-wenang dalam hal penjualan tanah kepada “orang luar” sementara ana kalo fai walu banyak yang tidak memiliki tanah. “Misalnya ada mosalaki yang mengklaim tanah sebagai miliknya padahal sejarah sudah menggariskan bahwa tanah itu sudah ditentukan menjadi milik orang lain. Ada orang yang setelah sekolah tinggi pulang kampung dan mulai tipu kami yang bodoh ini,” katanya.
Moses Tibo, mosalaki Kebesani Detukeli mengingatkan, saat ini banyak tradisi leluhur yang berangsur punah. Selain itu mulai ada gejala kuat bahwa ana kalo fai walu kurang percaya lagi kepada mosalaki. “Banyak mosalaki yang tidak tahu lagi perannya dalam komunitas adat,” katanya.
Direktur Yayasan Tananua Flores, Hironimus Pala dalam sesi dialog mengingatkan, mosalaki mesti menyadari perannya sebagai pemimpin komunitas lokal yang memiliki kekuatan untuk membangun warganya sehingga menjadi sejahtera. “Saat ini kita pertanyakan peran mosalaki untuk mensejahterakan ana kalo fai walu. Jumlah ana kalo fai walu yang menerima Raskin semakin banyak. Raskin itu sebenarnya menghina mosalaki yang sebenarnya memiliki peran utama untuk mensejahterakan warganya,” katanya. *

*Suara Mosalaki dari “Kampung Adat” Saga (1)
Kembali ke Jati Diri
Oleh Steph Tupeng Witin
“Kampung adat” Saga terletak kurang lebih 4 kilo meter dari badan jalan raya negara Roa, Kecamatan Detusoko. Pendakian aspal setapak-sempit yang robek sana sini sangat terasa bahwa perkampungan ini “sedikit jauh” dari perhatian. Tetapi memasuki haribaan Saga ibarat memasuki aura kesejukan yang menenteramkan. Rumah-rumah penduduk, sekolah, puskesmas dikelilingi kehijauan: Kelapa, pisang, cengkeh, kopi, kakao dan deretan tanaman perdagangan lainnya. Suasana adat yang sakral tampak pada rumah adat. Bukit Wolomasi (pusat seremoni adat pertama sebelum turun ke Saga), Rateladho (kubur leluhur-pejuang-pemakaman Ladho), Mbotubewa (bukit tinggi) dan Okajara (padang penggembalaan dulu, zona adat) tampak setia menjaga aktivitas kurang lebih 200 lebih kepala keluarga KK).
Di kampung ini pada 10 Oktober 2002 Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) dikukuhkan sebagai reaksi atas pengaplingan tanah di sekitar kawan Taman Nasional Kelimutu (TNK) oleh pemerintah. Warga dilarang untuk memetik kopi milik warga di sekitar kawasan Kelimutu yang sudah ditanam sebelum patokan kawasan TNK itu dipasang. Di kampung ini pun sejak Selasa (9/9)-Kamais (11/9) para mosalaki yang berasal dari komunitas adat di seluruh Kabupaten Ende berkumpul untuk mendengar, berbicara, berdiskusi dan urun rembuk tentang hal ikhwal seputar “dunia” mosalaki: identitas, peran dan fungsi di tengah gelombang perubahan zaman yang semakin tidak terbendung lagi. Diskusi sepanjang dua hari ini masing-masing mosalakimenghadirkan kembali “dunia” komunitasnya, melihat langkah yang telah lalu, membaca kenyataan saat ini dalam terang refleksi kritis dan merumuskan langkah-langkah ke depan. Berbagai pengalaman para mosalaki dari komunitasnya masing-masing dihadirkan, dibedah, didiskusikan dan dikritisi oleh para mosalaki sendiri, pastor yang hadir, teman-teman aktivias LSM dan para tokoh masyarakat yang peduli.
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma saat membuka kegiatan mengatakan, kegiatan ini merupakan saat yan berharga bagi para mosalaki untuk melihat kembali peran dan fungsinya dalam membangun kesejahteraan bagi ana kalo fai walu yang menjadi tanggung jawabnya. Menurutnya, berbagai peristiwa akhir-akhir ini telah menempatkan para mosalaki dalam posisi yang “linglung.” Identitas semakin tidak menentu terutama berhadapan dengan “godaan” uang dan berbagai privilese lainnya.
Ketua Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) SVD, Pater Aleks Ganggu, SVD yang banyak kali terlibat dalam aktivitas pemberdayaan masyarakat kecil mengatakan, saat kebersamaan seperti ini mesti membangun kebersamaan dan solidaritas antar para mosalaki sehingga selalu merasa bahwa persoalan di wilayah tertentu dengan peka ditanggapi dan menjadi bagian dari persoalan tersebut yang menuntut keterlibatan konkret.
Selama dua hari para mosalaki mendapatkan masukan dari berbagai narasumber, para bakal calon bupati dan wakil bupati yang akan bertarung dalam Pilkada Ende Oktober 2008 dan beberapa pembicara lain yang membedah peran dan fungsi mosalaki serta tata nilai kehidupan. Para mosalaki begitu antusias menyampaikan pikiran dan gagasannya, berdiskusi dalam kelompok, semua begitu teratur dan mengalir. Berbagai masukan, diskusi dan sharing terasa menggoyahkan dan menggentingkan identitas mosalaki di komunitas-komunitas adatnya masing-masing. Gagasan-gagasan yang dibedah selama kegiatan itu menggambarkan luasnya cakupan pengalaman, pengetahuan dan intensitas keterlibataan dalam ruang komunitasnya.
Pertemuan para mosalaki ini terasa sangat penting ketika identitas mosalaki di wilayah Ende-Lio semakin dipertanyakan di tengah merebaknya aksi jual tanah secara sepihak, baik oleh segelintir mosalaki yang sebetulnya tidak memiliki hak dan beberapa penggarap yang sesungguhnya “tidak bertanggung jawab.” Kasus penjualan tanah untuk rencana pembangunan korem di suku Paumere, Kecamatan Nangapanda, kasus penjualan tanah di wilayah Moni-Kuru-Peibenga, Kecamatan Moni dan kasus tanah PLTU Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole mendapatkan intensitas perhatian para peserta.
Elias Mbani, mosalaki Nangapanda mengatakan, dalam kasus tanah suku Paumere, tampak jelas bahwa solidaritas dan kepekaan di antara para mosalaki sangat lemah bahkan tidak ada sama sekali. Masing-masing mosalaki masih merasa bahwa persoalan itu masih sebatas miliknya. Jejaring kerja sama antar mosalaki belum terbangun. Mosalaki yang dilengkapi dengan sederet privilese adat-budaya masih merasa “mampu” untuk mengatasi persoalannya sendiri meski dalam kasus Nangapanda misalnya, terbaca terang bahwa mosalaki memiliki pemahaman yang sangat minim.
Ketua AMATT, Nikolaus Ruma mengatakan, kegiatan seperti ini membuka cakrawala pemahaman dan pengetahuan para mosalaki agar terbangun sebuah kerangka kerja sama dan solidaritas yang oleh Pater Aleks Ganggu, SVD dilukiskan sebagai sebuah kekuatan bersama yang bisa mempengaruhi kekuasaan publik yang lebih luas dalam mengambil kebijakan. Kekuatan bersama yang dihimpun oleh ruang kerja sama dan solidaritas para mosalaki mesti membangun jejaring kerja sama yang akan mempertautkan semua elemen untuk peka dan terlibat dalam menanggapi realitas. *


*Suara Mosalaki dari “Kampung Adat” Saga
Solidaritas dan Partisipasi

Steph Tupeng Witin

Nikolaus Fedho, Mosalaki Pu,u Nduaria merefleksikan kehadirannya di tengah ana kalo fai walu. Sebaagi mosalaki, ia telah menjalanka kewajibannya: memimpin komunitas, membagi-bagi tanah, mengatur penggunaan tanah dan sebagainya. Namun akhir-akhir ini, antusiasme ana kalo fai walu semakin menggelisahkannya. “Mereka tidak antusias lagi dengan apa yang saya sampaikan. Saya mulai merefleksikan peran dan kewajiban saya? Mengapa ana kalo fai walu semakin tidak peduli dengan peran mosalaki? Apa yang salah dengan kebijakan yang saya ambil?”
Sentilan ini diiakan oleh semua mosalaki. Hal ini terungkap saat dialog hari kedua pertemuan mosalaki yang difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Tiwu Telu (AMATT) di Saga, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende, Kamis (11/9). Masalah ini kemudian menyebar dalam sesi diskusi. Masing-masing kelompok coba menginventarisasi permasalahan nilai dalam komunitasnya masing-masing.
“Pemandangan” itu sangat menarik. Para mosalaki sibuk berdiskusi, berdebat dan beradu argumen. Kepala yang dilapisi topi kebesaran mosalaki bergoyang, tangan bergerak-gerak, kadang dengan menghentakkan pantat di kursi. Bibir yang merah merekah karena “gincu” sirih pinang begitu akrab dengan kata-kata adat yang bernilai sastra tinggi. Kebijaksanaan yang mengalir dari kesederhanaan tanaman, bukit, gunung dan lembah. Realitas kesahajaan alam terasa mengalirkan kesejukan ketika balai pertemuan Desa Saga diseroboti berkas-berkas cahaya matahari.
Max Djeen, tokoh masyarakat yang telah “makan garam” dalam dunia pergerakan sosial-adat-budaya Ende-Lio tampak begitu “muda” menginspirir para mosalaki untuk menyadari keberadaannya. Keberakaran dalam keberadaan adat-budaya Ende-Lio yang kaya dengan khazanahnya menghadirkan nilai-nilai hidup. Ia menghentak para mosalaki untuk masuk dalam ruang “hidup” dan merefleksikan makna kehadirannya dalam kerangka pemberdayaan terhadap ana kalo fai walu.
Pater Alex Ganggu, SVD yang telah sekian lama “berkelana” dalam area pemberdayaan masyarakat mengingatkan bahwa budaya Ende-Lio sangat kokoh berakar. Ritual-ritual terasa kental dalam komunitas-komunitas adat. “Saya telah menjelajah wilayah-wilayah dampingan di Flores ini. Saya boleh katakan bahwa budaya Ende-Lio memiliki kekhasan karena tetap bertahan, kaya dan sarat dengan kebijkasanaan. Nilai-nilai itu membingkai hidup kita. Saat ini di tengah kenyataan perubahan zaman dan tantangan, kita dituntut untuk menghidupkan nilai-nilai itu.”
Volunteer AMATT, Herman Leonis mengatakan, mosalaki memiliki kekhasan sebagai salah satu pilar dalam pembangunan. Peran ini mesti dioptimalkan agar ada nilai “lebih” dalam pembangunan. Mosalaki memiliki kekhasan untuk menghidupkan kembali nilai-nilai yang adat yang selama ini mulai kehilangan “roh” di tengah carut marut hadirnya budaya-budaya global yang instan dan miskin kadar nilai. Aktivis “lintas zaman” Ronny Soo mencoba merangkum kiblat yang mesti dimainkan para mosalaki itu dengan kata-kata,”menjadikan Kelimutu sebagai mahkota dalam ranah perlintasan wisata budaya yang mesti berakar kokoh dalam ruang budaya.”
Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr membagikan pengalaman pendampingan-pemberdayaan masyarakat Kabupaten Ngada sekitar Inerie dalam kerangka pengembangan potensi wisata budaya berbasis nilai. “Kita mendampingi masyarakat agar berdaya dengan potensi yang dimiliki. Rakyat sendiri yang mengelolah semua aset itu. Kita mengarahkan dan mendampingi rakyat agar mampu membangun diri sendiri, menumbuhkan solidaritas satu sama lain untuk selanjutnya berpartisipasi, mengambil bagian secara aktif dalam pembangunan karena lahir dari kesadaran.”
Solidaritas dan partisipasi inilah yang sesungguhnya menjadi rancang-bangun terselenggaranya pertemuan ini. Saatnya telah tiba bahwa para mosalaki membangun jejaring kerja sama untuk merangkai kekuatan bersama menghadapi “gempuran” pengaruh luar yang coba mengusik, menyentil dan membelokkan mosalaki memasuki “dunia baru” yang “mencemarkan.” Refleksi ini mengemuka ketika fakta ketidakberdayaan dalam menghadapi realitas kekuasaan politik yang bisa saja begitu gampang menyeret mosalaki dalam permainan yang tidak diketahuinya. Mosalaki juga mesti diberdayakan agar ia tidak menjadi “lugu” saat berhadapan dengan realitas politik kekuasaan. Solidaritas dan partisipasi merupakan nilai yang bila disatukan akan menjadi daya tawar kekuatan “lain” yang mesti diperhitungkan oleh kekuasaan (pemerintah) dan agama (gereja).

Gerakan Sosial Flores

Mewaspadai Bahaya Tirani Minoritas
(Catatan di Balik Gerakan Sosial Flores)

Steph Tupeng Witin

Antropolog Sareng Orinbao menyebut Pulau Flores sebagai Nusa Nipah atau Pulau Ular. Nusa Nipah ini tampak meliuk “genit” di antara hamparan badan laut biru yang memenuhi setiap lekuk, sudut dan lengkungan daratan. Di atas tubuh “pulau ular” ini aneka potensi dan kekayaan tersebar, entah yang telah dikelolah penghuninya meski masih sangat alami maupun yang masih terpendam karena masih minimnya sentuhan teknologi. Kapten Angkatan Laut Jepang, Tasuku Sato yang pernah “bercinta” dengan Nusa Bunga saat bertugas di sini nun di tahun 1943, dalam bukunya I Remember Flores menulis,”Flores yang terletak di Lautan Pasifik Selatan merupakan satu tempat yang penuh misteri dengan hutan-hutan tropis yang subur, pohon-pohon buah-buahan liar, angin yang mendesir dan air pancuran yang gemercik. Masa tugasku di Flores memang sangat singkat namun teramat dramatis sepanjang hidupku. Usai perang, Flores mengalami derita yang dahsyat. Kota Ende yang dulunya sangat indah akhirnya porak poranda akibat bom. Reruntuhan katedral sungguh membuat hatiku sedih. Tapi rakyat Flores telah mengajarkan saya bahwa biarpun bom-bom dapat menghancurkan gereja tapi ada satu yang akan tetap hidup yaitu iman umat. Di Flores, saya berada dekat api dan bara iman yang ikut serta membakar jiwaku. Semua usahaku untuk memadamkannya sia-sia. Hanya satu jalan: pasrah kepada Tuhan yang telah mengejarku dengan tidak kenal lelah di Flores dan terus hingga sekarang.”
I Remember Flores mengakui bahwa Gereja Katolik telah memainkan peran yang sangat penting dan berharga dalam pembangunan masyarakat Flores. Buku ini menghadirkan sebuah pelajaran berharga bagi umat di Flores yaitu bahwa religiositas tidak dipisahkan dari kenyataan sosial. Hal ini telah ditunjukkan secara amat nyata oleh umat Katolik ketika berada dalam himpitan masa sulit saat berkecamuknya perang pasifik dan perang dunia II. Apa yang kita saksikan sekarang ini? Tanpa mengabaikan sejuta kemajuan, saya boleh mengatakan (bisa saja salah) bahwa pembangunan fisik-jasmaniah telah berandil menciptakan individu-individu yang begitu gampang terpengaruh dengan “hal-hal luar,” begitu tampak tak berdaya di hadapan tawaran “kebendaan” yang menyulap “orang Flores” menjadi sosok yang materialistis dan egoistis. Flores saat ini memang tidak porak poranda lagi oleh bom penjajah dari udara tetapi hancur lebur oleh berbagai pengaruh yang begitu gampang merubah orang Flores hanya dalam sekejap. Pertanyaannya: apakah agama, iman, religiositas orang Flores telah menjadi sangat mendalam sehingga kehilangan “akarnya” atau karena cuma “tergantung” pada kulit luar agama yang dihiasi dengan elemen liturgi yang dilapisi doktrinasi agama yang pada gilirannya menciptakan individu yang tidak seimbang, linglung, gagap, hura-hura, senang yang gebyar-agung-dahsyat-show-dangdutan bahkan ekstrim?
Para Padri Dominikan asal Portugis, imam-imam Yesuit dan para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) telah memikat hati umat: bekerja tanpa pamrih, dengan bendera kebenaran dan daya tarik “menobatkan” orang Flores melalui bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi. Karya-karya itu dilanjutkan hingga saat ini, baik oleh gereja maupun lembaga-lembaga sosial yang berintensi memberdayakan masyarakat. Keterlibatan di tengah realitas sosial kemasyarakatan diharapkan merupakan dorongan dari kehidupan rohani sebagai sumbu pembakar semangat. Artinya, kehidupan rohani menjadi dasar keterlibatan sosial dan bukannya berbagai upacara liturgi terorganisir hanya menciptakan “katedral” di atas bukit kenyataan sosial, asing dari keseharian. Agama, iman, religiositas mesti semakin menyuburkan sensitivitas, kepekaan dan solidaritas dengan aneka kenyataan sosial yang sesungguhnya menuntut keterlibatan konkret. Sebuah agama, iman, religiositas yang memasyarakat.
Beberapa tahun terakhir ini Gereja Katolik telah menunjukkan wajah keterlibatannya yang tegas, jelas dan kritis dalam ranah kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Gereja lantang bersuara atas berbagai kasus pelanggaran HAM, pembelaan terhadap rakyat kecil yang sering menjadi korban “permainan kekuasaan” dan kritis terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang hanya memamerkan keangkuhan dan kelobaan kuasa. Meski keterlibatan gereja/agama telah menyata dalam kenyataan sosial, harus diakui dengan jujur bahwa halangan terbesar masih datang dari dalam “tubuh” gereja/agama sendiri yang tampak dalam tingkah segelintir petugas pastoral/agama yang keranjingan “main mata” dengan kekuasaan yang identik dengan kekayaan, kemewahan dan keglamouran yang sebenarnya “melarat” di tengah himpitan kemiskinan rakyat kecil yang “terhormat.” Tantangan juga datang dari pemegang kekuasaan lokal yang “ogah” dikritik meski jelas-jelas kebijakannya melanggar etika sosial dan pembangunan, malah memamerkan kesombongan kekuasaan yang sebenarnya cuma “pinjaman” kepercayaan rakyat yang disalahgunakan untuk memperbesar perut diri, keluarga dan kroni.
Keterlibatan ini telah menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri rakyat kecil dan kelompok LSM yang bergerak pada tataran pemberdayaan rakyat. Rakyat mulai berani tampil bersuara berhadapan dengan kekuasaan politik-birokratif-legislatif. Laporan media massa telah berandil positif dalam membangun kesadaran dan kepekaan ini. Demonstrasi rakyat begitu leluasa kita saksikan di Flores ini. Berbagai kelompok berdasarkan profesi, agama telah tampil menyuarakan kepentingannya. Kelompok-kelompok ini, entah sadar atau tidak telah membentuk ruang minoritas di tengah hamparan mayoritas rakyat Flores. Kelompok-kelompok minoritas yang subur terbentuk dengan berbagai latar belakang, kebutuhan dan kepentingan ini, di satu sisi menjadi gambaran kemajuan pemahaman demokrasi, perkembangan kesadaran berpolitik dan kepekaan yang tumbuh dari agama, iman dan relogiositas tetapi pada sisi lain bisa berkembang ke arah tirani, kesewenang-wenangan dan mudah mengarah pada kekerasan sebagai mekanisme pembelaan kepentingan yang egoistik tanpa peduli lagi dengan etika, aturan dan koridor sosial-hukum-kemasyarakatan yang telah menjelma dalam tradisi. Kelompok-kelompok minoritas yang tumbuh yang merupakan buah dari pesemaian gereja/agama bisa saja merasa diri paling penting, terhebat bahkan pada tahap tertentu bisa sangat memaksakan kehendak kepada pemerintah atau gereja/agama meski pada sisi lain hal itu tidak berdasar, jauh dari argumentasi yang mendasar. Atas nama kelompok minoritas, bisa saja orang kehilangan rasionalitas dan membabibuta, tidak tahu lagi arah yang jelas dan benar dalam mengarahkan tuntutan dan aspirasi. Orang beriman tahu saluran yang tepat untuk salurkan keluh kesah. Dia tidak sewenang-wenang melarang orang lain berbeda pendapat, berbeda keyakinan apalagi mempolitisasi pendapat orang lain dengan “dakwaan berlapis,” mengerahkan massa, mengatasnamakan “orang lain” untuk menggolkan kepentingan “tertentu” yang “direkatkan.” Bahayanya, kalau hal ini tidak ditanggapi secara kritis oleh gereja/agama yang tercermin melalui budaya “ikut arus” dan “asal teriak” dari segelintir petugas gereja/agama yang gampang dibonceng, diajak dan ditarik masuk dalam “permainan” ini. Agama/gereja akhirnya terjebak dalam tirani minoritas yang akhirnya menempatkan agama/gereja pada posisi “memecahbelah.” Agama/gereja lalu menjadi ibarat “kerbau dicocok hidung.” Ketika bahaya tirani minoritas menyeret agama/gereja ke dalam arena “permainannya” maka agama/gereja perlu menyediakan ruang untuk merefleksikan kembali kiprahnya di tengah masyarakat. Sesungguhnya, agama/gereja adalah kekuatan yang diharapkan cerdas membaca kenyataan, peka menanggapi aspirasi dan bijaksana mengutarakan kebenaran yang telah diverifikasi/dimurnikan dalam bingkai ilmu-ilmu sosial, teologi, politik, hukum dan HAM. Di balik-balik gerakan-gerakan sosial atas nama politik, agama/keyakinan dan sebagainya di atas tubuh Nusa Nipah ini, bahaya tirani minoritas mesti diwaspadai agar pulau ini terus semerbak mengharumi nusantara dan tidak menjadi bangkai yang membusukkan peradaban. Pulau Flores mesti menjadi tempat yang menjamin kebebasan hidup, berkeyakinan, berpendapat. Tidak ada yang merasa paling berhak mendikte, memaksa dan memasung apalagi melarang orang lain untuk tidak berbeda pendapat, bahkan mempertanyakan dan melarang orang lain untuk tidak boleh berdemo “melawan” tirani minoritas tertentu. Pulau Flores mesti memastikan bahwa para pemeluk agama, apa pun, tetap kuat beriman tanpa menjadi preman.

Penulis adalah wartawan HU Flores Pos,
tinggal di Ende.

Ropa

Kartini, Neti dan Ropa
(Ziarah Menuju “Ende Sare Lio Pawe”)

Steph Tupeng Witin

Hari ini Indonesia mengenang Kartini. Perempuan Jepara ini menghentak nurani maskulinitas Indonesia yang menempatkan perempuan pada titik terendah. Kartini hidup dalam lingkaran budaya feodalisme akut. Ruang gerak perempuan sangat dibatasi. Laki-laki menjadi simbol kekuasaan feodal yang angkuh. Garis-garis kebijakan akan mengabdi kepada kepentingan kuasa (laki-laki). Suara perempuan, simbol kelompok tertindas boleh didengarkan tetapi sebatas membingkai garis pinggir kebijakan kekuasaan laki-laki. Suara perempuan adalah mozaik lukisan kebijakan yang hanya ditempatkan sejauh memperindah dan memperangkuh wajah kuasa. Di tengah himpitan dan tindasan kekuasaan maskulin inilah Kartini menemunkan ruang perlawanannya. Ia menyibak gorden ketertutupan budaya dengan membaca buku-buku Eropa dan membangun relasi dengan perempuan-perempuan “luar” untuk memperkuat basis “perlawanannya.” Sentuhan dengan “dunia luar” menerbitkan optimisme bahwa kungkungan harus dilepas. Tali belenggu mesti diurai agar masa depan membuka ruang bagi hadirnya emansipasi. Bangsa ini terlalu luas hanya untuk dibebankan kepada kaum laki-laki. Kaum perempuan mesti diberi ruang yang pantas untuk mengekspresikan talenta yang ditanam Tuhan. Kartini menemukan keberanian untuk berjuang “memukul” tembok kuasa laki-laki yang angkuh sekaligus membuka ruang kemerdekaan bagi kaum perempuan untuk berkiprah.
Menurut Ruth Indiah Rahayu, benih perlawanan Kartini muncul dari kesahajaan kota kelahiran yang terletak dekat pantai yang mempunyai kebudayaan “pesisiran.” Salah satu ciri khas watak “pesisiran” adalah terbuka menerima ide-ide pembaharuan dan perubahan. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pintu masuknya ide pembaharuan dan perubahan khususnya di tanah Jawa adalah wilayah-wilayah di sepanjang pantai utara Jawa. Watak “pesisiran” ini menyeruakkan sosok dengan gerakan yang agresif, gesit, dinamik dan terkadang cenderung beringas. Alam pikiran “dirajam” oleh laut yang bergelora dan gelombang yang kadang beringas. Perlahan-lahan “watak” ini menyelinap ke dalam keseharian Kartini yang menempanya menjadi sosok pemberani bahkan pemberontak yang lugas. Kartini menjelma menjadi perempuan yang tidak mendiamkan gelombang penindasan budaya maupun politik tetapi memberontaki status quo, kekuasaan kaum feodal yang menciptakan dan melestarikan kekuasaan adat dan politik yang membelenggu (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Hasta Mitra 2000, hlm XVIII). Kartini menghadirkan terang bukan dari kursi kekuasaan budaya dan politik feodal yang menindas melainkan dari perlawanan rasional terhadap keangkuhan kekuasaan. Ia menerbitkan terang di tengah kegelapan penindasan budaya dan politik yang dibangun oleh kekuasaan maskulin yang pongah dan serakah. Ia adalah terang yang membakar dirinya sendiri justru di atas tetesan air mata derita, tangisan penindasan dan lenguhan kungkungan. Ia membungkam kepongahan kuasa (budaya dan politik) yang tertawa renyah bahkan terbahak-bahak di atas ketidakadilan yang coba ditutupi dengan kepongahan dan keangkuhan struktur politik berwajah penindas yang pura-pura lugu dan berkedok nurani. Sesungguhnya perlawanan Kartini bersumber dari ketajaman nurani, kelembutan kewanitaan dan kegarangan tempaan lingkungan.

Perempuan Bebas
Benih perlawanan Kartini diuraikan lebih intens oleh Mangunwijaya melalui tokoh Neti dalam novel Burung-Burung Rantau. Novel ini menghadirkan obsesi Mangunwijaya terkait keberadaan dan harkat wanita. Kisah diawali dengan perbantahan ringan antara ibu Yuniati dan anaknya, Neti, yang tidak suka memakai “beha.” Neti adalah gambaran perempuan zaman ini yang lebih suka memakai celana jeans ketimbang rok yang dianggap penghalang keleluasaan bergerak. Ia adalah manusia bebas yang berkuasa penuh atas diri dalam menentukan langkah. Ia bebas jatuh cinta dengan pemuda Punjabi. Sebuah cinta yang universal yang tidak bisa dibendung oleh tembok primordial apa pun. Romo Mangun melukiskan sebuah horison keterbukaan yang mesti dialami manusia Indonesia di era globalisasi ini. Di tengah amukan gelombang kemajuan yang menawarkan sederet kemudahan, manusia Indonesia mesti kian terbuka dan mampu berkomunikasi dengan siapa pun dari latar apa pun. Neti adalah simbol perempuan Indonesia yang memiliki roh bebas tak terpuaskan, selalu mengembara, menyelidiki, memberontak dan ingin tahu, selalu tergerak untuk membongkar seluk beluk misteri kejahatan, manipulasi dan kebohongan berpayung penindasan. Atas nama emansipasi, perempuan, kita semua harus bebas seperti burung-burung rantau yang kebetulan lahir di timur tapi dunia adalah rumahnya. Kita mesti keluar dari kubangan lumpur keberadaan kolektif, isolasi mentalitas picik, dari batas-batas wilayah (negara), cap-cap diskriminatif: pendatang (ata mai) dan asli (ata mera) agar menjadi terbuka terhadap kebenaran. Neti mengecam keras kepura-puraan yang memalukan, laporan yang salah, kebohongan untuk “maksud baik” dan kebenaran yang palsu: “Jika orang nusantara mati-matian mempertahankan semua gengsi serta penampilan yang halus bergengsi dalam iklim keselarasan yang berusaha jangan sampai menyakiti kawan, Neti kini berkenalan dengan benua (India) yang sudah terbiasa disakiti, terbiasa dengan perbedaan pendapat, yang tidak ingin mengorbankan kebenaran hanya demi penampilan palsu luar belaka” (321). Perihal keseragaman yang “dikoorkan Orba” bahkan berjalan mulus hingga kini dan kebohongan yang membungkus kebenaran, Mangun melalui mulut Neti menyindir sangat halus tapi sesungguhnya sangat keras memukul suara hati ketimuran kita: “Ah, ya, di India kebaikan sama dengan kebenaran. Di Indonesia kebaikan berarti bohong menutup-nutupi karena kasihan atau takut menimbulkan heboh” (324).

Perlawanan dari Ropa
Ropa adalah sebuah kampung mungil yang terletak di pinggir laut Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Kampung ini menjadi tenar ketika PLN merencanakan pembangunan PLTU. Ropa menjadi terkenal justru karena “perlawanan” yang ditunjukkan oleh ke-11 warga sederhana, orang kampung, petani-penggarap yang menuntut keadilan atas hak-haknya. Menariknya, perlawanan orang-orang sederhana begitu simpatik dan terasa menohok jaringan kekuasaan adat yang masih kuat dan kekuasan politik yang asing dari semangat pelayanan. Suara rakyat sederhana terasa kuat menggetarkan jala kekuasaan birokrasi, legislatif dan BUMN (PLN). Proyek senilai Rp6 miliar lebih ini terancam gagal. Kegagapan jaringan birokrasi tampak dalam sederet pertemuan, entah terbuka atau tertutup yang melibatkan Pemkab Ende (Tim Sembilan), PLN Flores Bagian Barat dan keluarga Paso Pande yang “mengamankan” dana rakyat itu. Rakyat tetap menuntut keadilan sebagai landasan hukum untuk pelepasan tanah dan tanaman yang telah menghasilkan.
Gerakan kebangkitan kesadaran rakyat yang ddukung kuat oleh Gereja Keuskupan Agung Ende telah membuka mata kesadaran publik Ende bahkan NTT untuk mengurai benang kusut “permainan” proyek atas nama uang rakyat yang ujung-ujungnya menumbalkan rakyat. Rakyat adalah subyek dan tujuan utama pembangunan. Itu slogan yang indah dalam pidato pejabat publik. Sayangnya, pidato itu tidak menyentuh realitas ketimpangan dan ketidakadilan yang begitu telanjang di mata publik. Boleh jadi pejabat itu tidak tahu karena “anak-anak buahnya” di lapangan melaporkan semua berjalan beres. Kasus PLTU Ropa membuka mata siapa pun di Kabupaten Ende untuk membaca, melihat dan mengkritisi pelaksanaan kebijakan pembangunan. Kasus PLTU Ropa mencemaskan bahkan menggemaskan banyak kalangan di Ende hanya karena perlawanan rakyat yang sederhana, orang kampung yang kerap dibentak-bentak pejabat, diteror oleh “kekuasaan,” dipaksa menandatangani BAP, terancam diusir dari tanah dan diperintah sana sini sekehendak penguasa. Kasus Ropa menyadarkan siapa pun untuk mulai saat ini meninggalkan cara dan gaya pembangunan yang asing dengan aspirasi rakyat.
Kasus Ropa kiranya menjadi cermin bagi kita semua: Kita menempatkan rakyat sebagai subyek pelayanan dan orientasi pengabdian kita. Setiap kita berpartisipasi, menyumbangkan bagian (pars) kita untuk bersama-sama membangun Ende sebagai sebuah “rumah bersama” yang bersendikan keterbukaan, menghilangkan diskriminasi antara pendatang (ata mai) dan orang asli (ata mera). “Rumah bersama” Ende ini mesti kita rajut dari keberbedaan ide, pendapat dan gagasan yang kita satukan menjadi campuran yang kuat menuju Ende sare Lio pawe. Siapa pun, betapa pun berjasanya, tidak boleh mengklaim diri sebagai yang paling berhak membangun Ende sepanjang kita berjalan di atas tubuh Indonesia. Pemimpin yang mengisolasi diri adalah pemimpin yang kerdil dalam pikiran dan tidak matang dalam politik. Kematangan pemimpin terletak dalam keterbukaan untuk dikritik, menerima kritik, siap dikoreksi terbuka membangun argumentasi yang rasional sebagai ikhtiar menuju kesempurnaan. Bukannya mencari pembenaran diri, lempar masalah, membangun mekanisme kambing hitam, memarahi rakyat tanpa dasar yang kuat dan cuci tangan ala Pilatus. Keterbukaan dan saling menerima akan memuluskan ziarah pembebasan kita langkah menuju “Ende sare Lio pawe” yang sekaligus membenamkan julukan “Ende bodoh, Lio ngongo.”


Penulis adalah wartawan Flores Pos,
warga Kelurahan Potulando, Ende.

Korem Flores

Irak, Lapindo Brantas dan Korem Flores

Steph Tupeng Witin

Kami memulai sesi pertama kursus jurnalisme naratif /sastrawi di Kantor Yayasan Pantau Jakarta dengan membaca “The Boy Who Was Like a Flower: The Sky Exploded and Arkan Daif.” Wartawan The Washington Post, Anthony Shadid melaporkan perihal tiga anak Irak yang mati mengenaskan. Ia memulai lukisan itu dengan menggambarkan aktivitas pembersihan mayat di Masjid Kota Nadjab, kota suci di Irak. Anthony dalam gaya jurnalisme naratif/sastrawi menghadirkan tragedi itu dari perspektif korban. Keluarga dan saksi mata peristiwa itu berbicara dalam nada yang galau dan kehilangan keseimbangan kesadaran. Keluarga korban dan saksi mata mempertanyakan nilai kehadiran tentara Amerika: kalau mereka datang untuk membebaskan kami, mengapa mereka tega membunuh anak-anak yang murni dan tidak bersalah? Mengapa kecanggihan teknologi perang menghadirkan tragedi kemanusiaan?
Janet E .Steele, profesor media pada The George Washington University, guru kursus jurnalisme naratif mengatakan karya ini sangat mengharukan nurani kemanusiaan rakyat Amerika. Anthony menghadirkan sebuah sisi lain dari gebyar perang yang dilancarkan AS ke Irak. Ia sama sekali tidak mengutip pernyatan pejabat militer AS. Sesuatu yang dianggap mustahil oleh teman-teman jurnalis Indonesia yang menganggap konfirmasi kepada pejabat sebagai sesuatu yang niscaya berdasarkan kode etik pers nasional. “Berita itu pasti tidak dimuat karena tidak berimbang,” kata Bang Tanto, mantan wartawan Equator Pontianak yang “diberhentikan” karena menentang ketidakadilan manajemen. “Pemred atau editorku pasti menyuruh untuk bertemu dengan pimpinan militer,” timpal Maria dari TEMPO.”Semua itu sangat bergantung pada kebijakan pimpinan redaksi,” kata Bang Cahyo dari Intisari
Ketika membaca laporan jurnalistik Anthony yang memenangkan karya jurnalistik AS tahun 2003 itu, saya membayangkan tentara AS yang gagah berani itu. Presiden George W. Bush berulangkali membela misi kehadiran tentaranya di Irak. Saya membayangkan ketiga anak tanpa dosa itu jadi korban. Ratusan orang telah gugur dalam perang yang dilukiskan sebagai momen pembebasan. Janet Steele mengatakan, tulisan itu membangkitkan rasa simpati rakyat AS sekaligus antipati terhadap tentara As. Makna kehadiran misi tentara kembali digugat justru oleh kemanusiaan.
Pertanyaan yang dilontarkan Janet adalah apakah misi kehadiran tentara itu mesti dengan mengorbankan orang tidak bersalah? Pertanyaan itu lebih jauh mengilhami kita untuk merefleksikan misi tentara dalam ranah pembangunan. Saya teringat gerakan ABRI masuk desa (AMD). Banyak pilar dan prasasti di wilayah Flores-Lembata yang memahat perjalanan misi tentara. Mereka membangun jalan, jembatan, rumah ibadah dan balai pertemuan. Semua karya monumental itu meninggalkan bekas ingatan di nurani penduduk. Sekurang-kurangnya dengan memandang pilar atau prasasti itu, rakyat ingat tentara yang berpakaian persis warna-warna dedaunan hutan. Dalam banyak kasus bencana alam, misalnya di Aceh dan Medan (2005/2006), Maumere (1992), lumpur Lapindo Brantas dan terakhir jatuhnya pesawat Adam Air dan tenggelamnya Senopati, tentara memiliki peran yang signifikan.
Janet Steele mendapat tugas untuk menulis catatan tentang Indonesia tahun 2006 untuk sebuah lembaga donor dunia. Salah satu masalah yang harus ia tulis adalah bencana lumpur panas Lapindo-Brantas. Ia mesti turun ke lokasi bencana. Menurut sejarahwan ini, hal yang sangat mencengangkan adalah ketika ia menyaksikan ratusan tentara bekerja bersama rakyat mengatasi bencana lumpur panas. Menurutnya, fenomena itu yang “luput” dari pemberitaan pers. Pers Indonesia tidak pernah menulis secara detail dan mendalam tentang peran tentara dalam kasus bencana lumpur panas Sidoarjo itu. Misalnya, tentang peran tentara dan siapa yang membayar mereka. Mengapa para wartawan Indonesia tidak pernah meliput atau menulis secara mendalam tentang peran tentara dalam membantu penduduk yang tertimpa bencana lumur panas Lapindo?
Pertanyaan Janet itu mengundang tawa para jurnalis yang mengikuti kursus jurnalisme naratif itu. Buat apa menulis tentang peran tentara? Kan itu tugas mereka? Daripada ditumpuk di barak, bikin onar sana sini dan tidak ada medan perang, sebaiknya mereka membantu warga mengatasi bencana. Apalagi beberapa “medan strategis” seperti Aceh dan Papua yang selama ini terkenal sebagai gudang karun TNI harus dilepas.akibat desakan serius rakyat dan dunia internasional. Tampaknya tentara kita akan kehilangan banyak lahan strategis dalam negeri yang sekian lama membuat mereka tertawa renyah justru ketika rakyat Aceh dan Papua misalnya, dua wilayah yang kaya tapi rakyatnya mesti merangkak dalam lembah kemiskinan yang akut. Kita dapat memastikan bahwa suatu saat bangsa ini akan kebanjiran tentara. Barak-barak akan diperluas karena tidak mampu menampung tentara lagi. Barisan ini hanya menunggu saat untuk diutus menjaga keamanan internasional atau diterbangkan ke daerah konflik dalam negeri. Boleh jadi setiap saat konflik harus terjadi agar aparat TNI kita bisa diterjunkan dengan persenjataan mentereng biar pun hasil mengutang.
Barangkali dalam kerangka pemikiran inilah maka rencana pembangunan korem/batalyon atau apa pun namanya yang beberapa waktu lalu ditolak warga Kuru, Kabupaten Ende itu diletakkan. Argumen yang dibangun Dandim Henu Basworo adalah karena wilayah kita berdekatan dengan Australia yang menjadi ancaman serius dan fakta bahwa beberapa pulau kita dikuasai orang asing. Apakah rakyat pernah merasa terancam oleh Australia? Jangan-jangan aparat TNI yang merasa terancam eksistensinya di negeri ini. Sampai saat ini saya belum mampu percaya dan menerima bahwa rakyat Kuru yang sederhana atau Kabupaten Ende merasa terancam oleh Australia. Saat ini Australia berupaya membangun hubungan secara politis sementara TNI merasa terancam. Ada apa ini? Sampai saat ini kita belum mendengar argumen bahwa rencana pembanguan korem/batalyon itu dalam kerangka pembagian jatah tentara yang mulai kelebihan di pusat.Ibarat pedagang rombengan Tanah Abang Jakarta atau Pasar Turi Surabaya yang mendrop barang-barng bekas untuk dijual murah di Flores Saya kira alasan ini yang paling penting yang dengan sengaja dilupakan atau dibungkus dalam argumen militeristik yang kuno:demi keamanan. Bangsa ini berkehendak mendistribusikan tentara ke berbagai wilayah dengan alasan klasik menjaga keutuhan negara.
Argumen yang lebih lucu adalah kehadiran korem/batalyon dapat meningkatkan perekonomian rakyat. Jalan-jalan akan menjadi mulus dan beraspal licin. Rakyat akan menikmati listrik. Hasil-hasil komoditi rakyat akan mudah terdistribusi ke pasar. Emil Seko, anggota DPRD Ende memberikan contoh yang menarik: kalau setiap hari ada satu anggota batalyon membeli pisang dapat dibayangkan berapa tandan pisang masyarakat yang terjual hari itu. Pernyataan ini juga terlampau sederhana apalagi sekedar dipaksakan agar menjadi argumen untuk membangun batalyon. Saya membayangkan di belakang argumen ini tampak seolah korem/batalyon itu semacam perusahaan raksasa dengan investasi yang menjanjikan. Jangan sampai korem/batalyon justru bekerjasama dengan pihak tertentu mengeluarkan berbagai potensi masyarakat yang akhir-akhirnya semakin menenggelamkan rakyat dalam kemiskinan.
Kita harapkan agar pengambil kebijakan mendengar suara rakyat. Kita tidak pernah mengharapkan bahwa kehadiran korem/batalyon menyingkirkan rakyat dari atas lahannya. Kita tidak menginginkan bahwa tragedi di Masjid Kota Najab, Irak terulang dalam porsi yang berbeda. Kita berikhtiar agar suatu saat rakyat bangsa ini mencintai tentara karena pengabdian kemanusiaannya secara tulus. Hal ini tentu tidak akan membuat para jurnalis tertawa seperti peserta kursus beberapa waktu lalu itu.

Steph Tupeng Witin, wartawan DIAN/Flores Pos,
peserta kursus jurnalisme naratif/sastrawi di Yayasan Pantau Jakarta ,
9-21 Januari 2007.

Polemik seputar Tambang Lembata








Gambar: Peta Lembata dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus di Lamalera. Tampak penikam (Lamafa) sedang mengudara untuk menombak paus dengan tempuling. Foto: google
_______________________
Pemerintahan yang Ramah Lingkungan
(Kritik di Balik Kebijakan Tambang Lembata)

Steph Tupeng Witin

Gagasan-gagasan yang mengalir dari dinding ruang konferensi Bali terkait perubahan iklim (climate change) menghantar kita pada titik kesadaran yang mencemaskan: Kita sedang berada di gerbang kiamat ekologis (FP, 21/12). Alam yang sedang memangku kita ibarat monster yang menakutkan. Selama berada-abad, alam begitu memanjakan kita hingga lupa merawat kelestariannya. Kita jadi serakah mengeksploitasi kandungannya. Kita robek dan cabik keutuhan tubuhnya. Saat ini alam tampak berbalik mengancam hidup kita. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim mengatakan, keserakahan manusia dalam mengeksploitasi keutuhan alam menyebabkan alam berbalik memukul manusia. Hal ini disebabkan campur tangan manusia yang “berlebihan” terhadap alam. Ekosistem dan hukum lingkungan terabaikan. Kepentingan alam dan kepentingan manusia tidak lagi selaras. Timpang. Bencana ini mesti menjadi tanggung jawab bersama (Chang William, Jiwa Kosmis Fransiskus dari Asisi, Nusa Indah, 1989, hal 19-20).
Penulis berpendapat, salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan lingkungan adalah pemerintah. Penegakan hukum lingkungan, proyek-proyek lingkungan, pengefektivan peran polisi kehutanan dan sebagainya berada pada pemerintah. Persoalannya adalah pemerintahan kita tidak pernah dibangun di atas roda kepentingan rakyat. Kekuasaan politis-birokratis hanya menunggangi tubuh rakyat yang dekil-kotor-berbau untuk menggapai “kursi” yang nikmat dan “menidurkan.” Bahkan dalam banyak kasus, pemerintah era otda lebih menampakkan wajah otoritarianisme yang sangar: berlaku seolah-olah pemilik tanah yang menggadaikan daerah kepada investor secara sepihak dan tidak bertanggung jawab.

Dualisme Kebijakan
Salah satu kasus menarik yang pantas diangkat adalah rencana kebijakan tambang yang digulirkan oleh Pemkab Lembata. Rencana ini mendapat perlawanan terbuka yang keras dari rakyat pemilik ulayat dan masyarakat Lembata umumnya. Rencana ini memang digagas secara sepihak oleh Pemkab yang “bersatu” dengan DPRD. Hingga saat ini rencana tambang belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Meski di lapangan, sosialisasi secara “kucing-kucingan” yang biasanya dilakukan oleh pemerintah dengan cara-cara “kotor” terus disebarkan. Tetapi pemilik ulayat tetap bersikeras melawan secara terbuka yang didukung oleh LSM dan institusi religius (Pastor Dekenat Lembata, SVD-OFM, SSpS). Meski rakyat menolak dengan keras, Pemkab terus memaksakan rencana ini. Ada apa? Sementara moncong DPRD telah lama mandul, kehilangan daya kritis dan terang-terangan “menghina” harkatnya sebaga wakil rakyat. Dalam kasus tambang Lembata, DPRD bukan lagi dewan perwakilan rakyat tetapi Dewan Perwakilan Tambang. Ujung-ujungnya jelas: belum tambang saja, DPRD-nya sudah “kenyang” dengan fulus (uang). Ketika Ipi Bediona mengatakan, gedung dewan hanyalah tempat cari makan, banyak anggota dewan yang blingsatan: kaget lalu gagap mencari argumen untuk membenarkan harga diri dan eksistensinya yang telanjur ia sendiri hinakan. Itulah kehebatan DPRD Lembata yang amat memalukan!
Mengikuti geliat pembangunan di Lembata, tampaknya ada dualisme dalam rencana kebijakan pembangunan di Lembata. Di satu sisi, pemerintah melalui dinas kehutanan giat menggalakkan proyek gerakan reboisasi hutan dan lahan (Gerhan). Terkait ini para kepala desa diharuskan menandatangani surat perjanjian kerja sama (SPKS) dengan dinas kehutanan sebagai bukti tanggung jawab dalam menyukseskan kegiatan penghijauan ini (FP, 5/12). Program Gerhan menandaskan bahwa ada upaya untuk menyelamatkan lingkungan dari bencana kehancuran. Cita-cita penyelamatan lingkungan juga diungkapkan oleh Bupati Andreas Duli Manuk dalam sambutannya yang dibacakan Asisten II Setda Lembata, Lukas Lipataman Witak saat kegiatan apresiasi Amdal beberapa waktu lalu. Menurutnya, kualitas lingkungan mulai menurun akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keserakahan aktivitas perusakan alam ini dapat diminimalisir melalui upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan yang melibatkan semua komponen. “Pemecahan masalah lingkungan harus melalui suatu pemahaman tentang relasi timbal balik antara manusia dan lingkungan. Hal ini bertujuan menciptakan lingkungan yang lestari menuju kelanjutan pembangunan di Lembata.” (FP, 14/11).
Di sisi lain, kebijakan tambang yang digagas oleh Pemkab Lembata jelas-jelas berlawanan dengan program Gerhan dan idealisme Bupati Manuk di atas. Jelas bahwa tambang sangat-sangat merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan. Racunnya mematikan tumbuh-tumbuhan. Limbah yang dibuang akan menghancurkan keutuhan tanah. Tanah yang digali untuk tambang akan membentuk bukit baru yang mubasir. Rakyat kehilangan lahan garapan hidup. Pertanyaannya: mengapa pemerintah mati-matian memprovokasi, meneror, menyuap dan mengintimidasi pemilik ulayat untuk menerima rencana tambang padahal tambang menghancurkan lingkungan? Apakah pemerintah sedang bersandiwara melalui proyek Gerhan hanya untuk mengelabui mata rakyat? Menurut informasi terakhir, proyek Gerhan berusaha memasuki wilayah-wilayah yang menjadi pusat lokasi tambang. Di Buriwutung, Kecamatan Buyasuri, proyek Gerhan ditolak oleh warga karena dicurigai sebagai pintu masuk untuk menguasai ulayat rakyat. Kalau kecurigaan ini kemudian terbukti, sebenarnya Pemkab Lembata sedang merancang sebuah skenario pembangunan yang membodohi warga, melukai nurani dan merendahkan martabat pemerintah sendiri. Proyek pembangunan bisa saja menyembunyikan rencana politis yang serakah. Kejahatan bisa saja tersenyum renyah di balik gebyar rencana pembangunan yang gemerlap. Ternyata, rencana bulus bisa dicurigai dengan cerdas oleh rakyat. Kejahatan, betapa pun dekilnya, masih menyimpan petuah bijaksana untuk sebuah hati yang masih lapang dan ikhlas.

Menuju Pemerintahan Ramah Lingkungan
Mantan Menteri Lingkungan Hidup era Gus Dur-Mega, Dr. Sonny Keraf , sangat keras menolak rencana tambang Lembata. Dalam pertemuan antara Koalisi Jakarta dan Komisi VII DPR RI, ia menegaskan bahwa secara pribadi ia menolak rencana tambang karena Lembata terlalu kecil dan akan tenggelam jika rencana itu dipaksakan. Resiko pertambangan sangat merusak lingkungan hidup. Sikap yang berlawanan ditunjukkan oleh kakaknya, Ketua DPRD Lembata, Petrus Boliona Keraf yang berjuang habis-habisan mendukung rencana pemerintah. Bahkan ia ikut menandatangani kesepakatan kerja sama dengan PT Merukh di Hotel Kemang Jakarta. Penulis heran: masakan Dr. Sonny Keraf yang memiliki pengetahuan luas tentang dampak pertambangan menolak rencana tambang tetapi mengapa Pemkab dan DPRD Lembata yang tidak memiliki kualitas pengetahuan yang memadai tentang tambang begitu nekat-nekatan menerima tambang? Bahkan stuba yang menghabiskan dana ratusan juta itu sebagai kedok untuk mendapatkan pengetahuan tentang tambang sampai saat ini tidak menampakkan hasil. Dekilnya, rombongan stuba ke Minahasa tidak sampai di lokasi tetapi begitu berani membuat laporan hasil stuba. Benar-benar sangat memalukan! Kehormatan dan kewibawaan lembaga terhormat DPRD begitu “loyo” bahkan “diloyokan” di depan kerakusan dan kelobaan Merukh yang sebagian keserakahan itu disalurkan melalui moncong pemerintah yang juga sudah kehilangan rasa malu berhadapan dengan kemurnian aspirasi dan perjuangan rakyat kecil.
Pada Desember 2006, Dr. Sonny Keraf menulis buku “Etika Lingkungan” yangditerbitkan oleh Kompas. Buku itu diinspirir oleh masa “kuliah” yang paling luas, intensif dan mendalam selama menjadi Menteri Lingkungan Hidup RI. Menurutnya, ada hubungan yang erat dan korelasi positif antara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan mempengaruhi dan menentukan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pemerintahan yang baik mengandaikan adanya integritas moral dari penyelenggara. Integritas moral akan membingkai penyelenggaraan pemerintahan sehingga berlangsung profesional, tidak seenaknya mengangkangi ketentuan formal, dan tidak mengorbankan lingkungan untuk kepentingan sempit penguasa. Lemahnya moralitas pejabat publik telah menghancurkan lingkungan setelah melalui penyalahgunaan kekuasaan secara sadar. Hal ini menunjukkan kebobrokan mental yang pejabat publik yang lemah secara moral sehingga mudah dipengaruhi oleh uang dan kedudukan (Keraf: 202-204).
Di era otonomi daerah, sebenarnya terbuka ruang yang besar bagi pengelolaan lingkungan hidup karena dekatnya relasi pemerintah dengan rakyat, adanya kontrol yang lebih langsung, dan aspirasi masyarakat adat akan lebih terakomodir. Menurutnya, otonomi daerah mesti menjadi sebuah ruang di mana pemerintah dan rakyat lebih terbuka, saling mendengarkan, saling percaya, saling mengontrol dan bekerja sama dalam menjamin lingkungan hidup yang baik dan layak huni. Singkatnya, ada komitmen untuk membangun sebuah pemerintahan yang ramah dengan lingkungan hidup (Keraf: 208). Peluang itu sudah terpatri dalam bingkai era otonomi daerah. Siapkah pemerintah kita? Ataukah ruang otonomi semakin menggumpalkan keserakahan dan kelobaan pejabat dan DPRD?

Penulis adalah wartawan Dian/Flores Pos,
tinggal di Ende

Polemik seputar Tambang Lembata

Selamat Datang ke Lokasi Tambang
(Kepada Pemkab, DPRD dan Merukh)

Steph Tupeng Witin

Paripurna DPRD Lembata, Sabtu (15/9) perlahan-lahan akhirnya membuka celah masuk PT Merukh Enterprise ke rahim tanah Lembata. Bagi DPRD Lembata, khususnya tim II (Mataram), tidak ada alasan menolak kehadiran investor untuk mengobrak-abrik keutuhan ulayat rakyat. Keputusan politik ini ibarat akhir dari drama dan sandiwara murahan yang sekian lama diulur-ulur dan dipertontonkan anggota DPRD. Akting anggota DPRD begitu menggelikan justru ketika mereka berada pada titik yang membuktikan siapa mereka sebenarnya di tanah Lembata. Keputusan ini semakin menegaskan bahwa DPRD Lembata adalah wakil pemerintah dan konglomerat. Penolakan yang selama ini disuarakan melalui media massa hanya “umpan balik” untuk meminta belas kasihan pemerintah dan pengusaha.
Belas kasihan itu menyata dalam studi banding selama 10 hari di Minahasa dan Mataram. Kedua wilayah tambang sudah lama dihancurkan Merukh: monster yang sudah tidak tahan lagi hendak menghancurkan hal ulayat masyarakat adat kawasan Leragere dan Kedang. Kedua kawasan produktif ini sudah lama dijual oleh Bupati Ande Manuk dan Ketua DPRD, Petrus Boliona Keraf kepada Merukh nun jauh di Jakarta. Kedua sesepuh politik Lembata ini begitu merasa berhak menjual tanah Lembata dengan sengaja meminggirkan peran, suara dan asipirasi rakyat. Kedua tokoh sarat pengalaman ini rupanya merasa memiliki wewenang politik untuk merelakan tanah Lembata ditenggelamkan oleh Merukh. Keputusan yang ditandatangani di Hotel Kemang Jakarta ini ibarat lagu sendu yang mengiringi keduanya menikmati masa-masa senja kekuasaan.
Saya pikir, keputusan politik DPRD Lembata merupakan tindakan yang wajar setelah mereka melewati “hari-hari membahagiakan” selama 10 hari di Minahasa dan Mataram. Keputusan ini memang sudah lama ditunggu-tunggu oleh warga Kedang dan Leragere bersama beberapa pastor dan LSM yang berjuang sampai saat ini. Keputusan ini sama sekali tidak mengejutkan. Sebelum anggota dewan melakukan studi banding pun warga Kedang-Leragere sudah tahu substansi keputusan yang akan ditetapkan DPRD. Keputusan menerima rencana tambang merupakan harga yang wajar setelah anggota DPRD membagi-bagi jarahan: Rp13 juta per orang yang stuba ke Mataram dan Rp17,5 juta untuk yang stuba ke Minahasa. Apalagi setelah stuba anggota DPRD terhormat masih menyisahkan sedikit waktu untuk “berziarah” ke kediaman Yusuf Merukh, konglomerat yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai utusan tuhan untuk membangun tanah Lembata. Maka keputusan politik DPRD Lembata ibarat kolekte dansumbangan konkret dari inspirasi “penyembahan ” itu.
Setelah melakukan stusi banding beberapa anggota DPRD mengatakan, terkait rencana tambang Lembata mesti dikembalikan kepada masyarakat. Paul Ua Udak bernyanyi: dampak positif yang mencolok adalah development community seperti sarana kesehatan, pendidikan dan perumahan. Semua itu ditanggung perusahaan. Menurutnya, berdasarkan penjelasan Yusuf Merukh, yang mendominasi perut Lembata bukan emas tetapi tembaga. Sementara Vian Burin mengatakan, masalah tambang sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat (FP, Kamis, 23/8). Ternyata, keputusan mereka bertolak belakang 100 persen dengan aspirasi rakyat. Rupanya anggota DPRD kita mau menjadi martir Merukh: tuhan yang telah mereka sembah karena turut membiayai stuba. Keputusan ini ibarat tonggak untuk menunjukkan kepada pemerintah dan Merukh bahwa mereka telah berjuang dan berusaha semaksimal mungkin dengan mengerahkan berbagai sarana dan fasilitas politik legislatif.
Keputusan politik menerima rencana tambang di Kedang dan Leragere di gedung DPRD Lembata menunjukkan miskinnya sensitivitas nurani anggota DPRD. Rakyat Kedang-Leragere sudah sekian lama menyatakan sikap menolak keras rencana tambang emas. Suara dan aspirasi masyarakat itu telah disampaikan secara terbuka dalam demonstrasi di depan kantor bupati Lembata. Bahkan para anggota DPRD turut melebur bersama warga Lewoleba menyaksikan demonstrasi dan mendengarkan orasi penolakan dari masyarakat pemilik hak ulayat. DPRD Lembata sendiri telah menggelar diskusi dan dialog dengan berbagai elemen masyarakat yang intinya menolak rencana tambang. Ternyata, semua suara dan aspirasi itu tidak berdaya sedikit pun di hadapan nurani anggota DPRD.
Suara bulat menerima rencana tambang menunjukkan kualitas anggota DPRD Lembata saat mengambil sebuah keputusan urgen yang amat bersentuhan intim dengan hak azasi rakyat untuk hidup di atas dunia. Keputusan itu ibarat buldozer yang secara amat tragis mencabut hak hidup warga Kedang-Leragere turun temurun. Keputusan ini menggambarkan “kematangan” anggota DPRD menganalisis berbagai dampak positif dan negatif dari rencana tambang. Para peneliti sosial tenar umumnya menghabiskan waktu penelitian selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mengambil sebuah kesimpulan meski kesimpulan itu sangat terbuka terhadap koreksi dan kritik. Tetapi anggota DPRD Lembata hanya membutuhkan waktu 10 hari untuk melakukan sebuah studi: istilah yang “dalam” pada tataran akademis tetapi menghasilkan buah yang amat “sederhana”, sudah diketahui dan sama sekali tidak mengejutkan. Di sisi lain keputusan ini sangat layak untuk dipertanyakan kualitasnya. Kita pantas mempertanyakan kapasitas, kualitas dan latar belakang pemahaman anggota DPRD tentang pertambangan. Banyak di antara anggota DPRD adalah pensiunan guru yang sama sekali miskin pengetahuan tentang tambang. Barangkali yang tersisa adalah nama-nama tempat tambang di Indonesia yang mesti dihafal oleh murid-muridnya. Beberapa di antaranya adalah orangtua yang lebih pantas beristirahat pada usia senja hidup ketimbang “dipaksa” berpikir keras untuk menyanggah berbagai keputusan dan kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak populis. Pernyataan-pernyataan pers selama ini menunjukkan kosongnya pemahaman mereka tentang tambang. Mereka berkutat pada istilah eksplorasi dan eksploitasi tanpa penjelasan yang masuk akal. Pater Mikhael Pruhe, OFM misalnya pernah tertawa geli ketika mewawancarai seorang pejabat DPRD yang kaget bahwa ada zat beracun yang mematikan apa saja yang dilalui. Bahkan ada pejabat pemerintah yang saat sosialisasi mengatakan bahwa limbah dan racun tambang bisa diolah menjadi air minum.

Rakyat : Ketua dan Majikan
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Desa Pesisir (Forkomdisir) , Rafael Suban Ikun mengirim pesan singkat: “DPRD boleh setuju tapi jika rakyat menolak, apakah rencana itu harus dipaksakan? DRPD cuma wakil, rakyat adalah ketua.” Pantaskah wakil mengambil sebuah keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi ketua? Mengapa DPRD setelah studi banding dan menampung sekian banyak aspirasi penolakan masyarakat masih mengambil keputusan yang melawan suara orang-orang sederhana dari kawasan Leragere-Kedang yang mengangkat mereka untuk duduk di kursi itu? Sampai detik ini tidak satu pun anggota DPRD Lembata yang mengoreksi aspirasi penolakan rencana tambang dari rakyat yang diwakilinya. Malah mereka beramai-ramai, tanpa sedikitpun risih dan malu berkomentar layaknya humas pemerintah. Fungsi kritis lembaga legislatif di Lembata sudah mandul. Malah kalau kita mengerti bahwa anggota DPRD adalah wakil rakyat maka keputusan untuk menerima masuknya PT Merukh Enterprise untuk membongkar tanah Lembata adalah sebuah keputusan lupa diri dan identitas. Tampaknya yang bermain adalah kepentingan bisnis dan permainan politik kekuasaan yang usang dan lusuh. Rafael Ikun melanjutkan sms: “DPRD itu cuma pekerja. Jadi seharusnya mereka mendengar suara majikannya. DPRD boleh setuju tapi rakyat tetap menolak. Saran saya, sebaiknya DPRD Lembata mengurus hal-hal lain yang jauh lebih urgen. Jangan dipaksakan rencana tambang itu ”
Kita memang tengah berupaya menyaksikan hadirnya firdaus Lembata hasil kesepakatan tiga saudara kembar siam: pemerintah DPRD dan Merukh. Tak terbersit sedikitpun keraguan di benak mereka. Apalagi Merukh telah menyatakan diri sebagai utusan tuhan untuk membangun Lembata. Pemerintah dan DPRD Lembata, beberapa wartawan yang dibiayai Merukh dan segelintir masyarakat pro tambang telah menyembah berhala kepada Yusuf Merukh: tuhan yang akan tengah mereka bela karena menyorong lembaran- lembaran uang, akan membangun apartemen mewah untuk rakyat Leragere yang tiap hari makan sirih pinang dan tinggal di kebun-kebun ulayat dan helikopter untuk rakyat Kedang yang akan memuntahkan lempengan emas dan tembaga dari pantatnya yang berasap. Saat paripurna , Sabtu (15/9), DPRD meminta pemerintah untuk bersikap tegas dengan rakyat yang menolak tambang. Apa konsep tegas ini? Masakan pemerintah yang diserahi tanggung jawab diminta menindak tegas pemilik tanah ulayat? Masakan pemerintah yang tidak tahu malu menjual ulayat rakyat diminta menindak pemiliknya? Pantaskan seorang wakil rakyat meminta pemerintah menindak ketua dan majikannya? DPRD benar-benar lupa diri!
Akhirnya kita mengucapkan selamat datang kepada pemerintah, DPRD dan PT Merukh Enterprise memasuki kawasan lokasi tambang: Kedang-Leragere. Khususnya warga kawasan Leragere sudah lama merindukan wajah Bupati Ande Manuk bersama anggota DPRD yang sebelum Pilkada dikalung dengan selendang tenunan tangan rakyat sendiri. Selama ini Bupati Ande hanya berjanji ke Leragere tapi tinggal kerinduan yang bergayut di dahan hati rakyat. Satu yang pasti: tidak akan ada tulisan selamat datang di gerbang dan pengalungan selendang. Keputusan DPRD kian menggumpalkan gelora perlawanan rakyat.

Penulis, putera Lembata, tinggal dan bekerja di Ende.

Perjuangan SVD dan OFM di LEMBATA

*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (1)
Jangan Lagi Resahkan Kami
“….Tidak ada kesedihan yang paling pahit di muka bumi ini selain kehilangan tanah kampung halaman.” (Filsuf Yunani, Euripides)

Steph Tupeng Witin

Sabtu (27/10), Lewoleba beranjak memasuki gerbang malam. Tim justice, peace and integrity of creation (Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) SVD dan OFM bertatap muka dengan Deken Lembata, Romo Sinyo da Gomez, Pr di pendopo Dekenat Lembata. Tim ini terdiri dari Pater Gabriel Maing, OFM, Pater Mikhael Peruhe, OFM, Pater Laurens, OFM, Pater Andre Atawolo, OFM, Ibu Maria Kewa Raring, Pater Markus Tulu, SVD, Pater Frans Suar, SVD, Pater Marsel Vande Raring, SVD, Pater Vinsensius Wangge, SVD dan Pater Steph Tupeng Witin, SVD. Tim ini mengunjungi masyarakat lokasi tambang untuk memberikan pendidikan, pencerahan dan penguatan kepada masyarakat yang tengah diamuk gelisah oleh gelombang teror, intimidasi dan sosialisasi penuh kebohongan yang selama ini getol disuarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata untuk menggolkan rencana pertambangan.
Tim ini menghadirkan fakta berupa film dokumenter dan tayangan gambar-gambar dari lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, PT Newmont Minahasa Raya di mana Merukh memiliki saham 20%, PT Newmont Nusa Tenggara, Merukh memiliki saham 20%, tambang mangan di Serise, Manggarai dan tambang Barit di Atanila, Kedang, Lembata.
“Tim JPIC SVD dan OFM berikhtiar memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat soal rencana tambang yang digulirkan pemerintah. Kita tahu, rencana ini sangat dipaksakan untuk diterima masyarakat pemilik ulayat meski penolakan itu sangat keras. Masyarakat tidak akan menyerahkan sejengkal tanah pun untuk dijadikan lokasi tambang. Kami ingin memberikan pencerahan dengan menghadirkan tayangan gambar nyata dari lokasi-lokasi pertambangan. Kata-kata yang kita sampaikan dalam sosialisasi apa pun sering penuh dengan penipuan dan pembohongan tapi gambar tidak akan menipu. Gambar menghadirkan kenyataan konkret. Kita menghendaki agar pencerahan ini membangun kesadaran dan rasa tanggung jawab masyarakat untuk memilih antara menerima atau menolak tambang. Masyarakat harus dicerahkan dan bukan ditipu dan dibohongi dengan informasi murahan tanpa dasar yang dilakukan selama ini di lapangan oleh kelompok pemerintah,” katanya.
Romo Deken sangat responsif dan akomodatif dengan kegiatan penguatan dari tim JPIC SVD dan OFM. Menurutnya, selama ini banyak informasi yang membingungkan masyarakat khususnya di lokasi tambang yang sudah menyatakan sikap menolak rencana tambang. Beliau juga mengungkapkan keheranannya karena pemerintah sangat memaksakan rencana pertambangan sementara masyarakat pemilik ulayat di Leragere dan Kedang sudah menolak dengan sangat keras. “Kegiatan ini sangat penting untuk membuka wawasan dan kesadaran umat kita terkait rencana tambang. Fakta-fakta pertambangan yang akan dihadirkan tim ini kiranya mencerahkan masyarakat sehingga memilih menerima atau menolak tambang dengan dasar kesadaran dan pengetahuan yang benar,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, kehadiran tim ini menyatakan solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan rakyat Leragere-Kedang yang saat ini sedang gelisah dan dibiarkan mengambang dalam ketidakpastian nasib. “SVD dan OFM sudah menyatakan sikap dengan tegas menolak rencana tambang yang digulirkan oleh Pemerintah Lembata. SVD dan OFM hadir untuk ada dan berjuang bersama masyarakat yang akan menjadi korban kebijakan pemerintah. Tim ini juga ingin membangun dialog dengan komponen-komponen yang menetukan garis pembangunan di Lembata. Kita ingin juga memberikan pencerahan kepada pejabat publik agar menghargai suara rakyat. kami juga akan memberikan pencerahan terkait fakta-fakta hukum yang selama ini dijalankan oleh pemerintah hanya dengan maksud meloloskan rencana tambang. Fakta-fakta hukum itu akan menjadi kekuatan bagi JPIC SVD dan OFM untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan soal pelanggaran hukum dan HAM. Ini negara hukum dan kita tidak mau rakyat terus dibodohi dengan tindakan otoriter dan represip yang membungkam suara kritis,” katanya.
Pater Marsel Vande Raring, SVD yang selama ini berjuang bersama rakyat di Lembata mengatakan, para pastor Dekenat Lembata telah menyatakan sikap dalam surat pernyataan menolak rencana tambang Pemerintah Kabupaten Lembata. Pernyataan ini lahir dari kesadaran untuk berada dan berjuang bersama rakyat kecil, umat yang dalam banyak kebijakan hanya ditempatkan sebagai penonton yang pasip. “Kehadiran tim ini merupakan sebuah dukungan kepada para pastor sedekenat Lembata yang telah menyatakan sikap menolak rencana tambang. Kedua kongregasi besar ini menyatakan
kepedulian dan solidaritas dan mau bersama-sama para pastor sedeknat Lembata berada di pihak rakyat yang akan dijadikan korban dalam kebijakan tambang Lembata. Kita memiliki satu tekat yaitu memberikan pencerahan dan pendidikan kepada rakyat agar memilih secara sadar dan bertanggung jawab dalam problrm rencana tambang Lembata. Bukan dipaksa, diintimidasi, diteror, dimanipulasi dan memberikan sosialisasi yang penuh kebohongan dan kemunafikan,” katanya.
Minggu (28/10), tim bergerak menuju Desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan. Bukit-bukit menjulang dengan hamparan rumput kering yang meranggas. “Wilayah perbukit ini masuk dalam penguasaan marga kami. Kami telah serahkan itu untuk digarap oleh warga sekitar ini,” kata Pater Gabriel Maing, OFM. Kegiatan pencerahan di Tapobaran dihadiri oleh warga tiga desa pesisir yaitu Tapobaran, Tapolangu dan Dikesare. Ratusan warga memadati tempat pertemuan. Anggota tim JPIC SVD-OFM membangun dialog dengan warga terkait pemahaman dan pengetahuan tentang pertambangan. Warga juga membuka semua praktik kebohongan sosialisasi yang selama ini dijalankan pemerintah dan sikap pemerintah yang memaksakan rencana tambang kepada masyarakat. Yohanes Kian Raring membeberkan kebohongan pemerintah yang membodohi masyarakat. Misalnya, pernyataan Kabag Ekonomi, Longginus Lega bahwa limbah industri pertambangan akan dibuang ke laut, diolah untuk diminum masyarakat dan lumpur-lumpurnya akan dibuat sedemikian rupa untuk dibuat lapangan golf. “Pemerintah terkesan sengaja memperlambat sosialisasi kepada masyarakat agar mengedepankan alasan keterdesakan waktu. Mestinya suara kami masyarakat didengarkan terlebih dahulu.” Agus Ama Maing, tuan tanah meminta tim untuk menyampaikan kepada Bupati Manuk agar jangan lagi melakukan sosialisasi. “Kami tolak sosialisasi pemerintah. Tolak tambang adalah harga mati,” katanya. Senada juga disampaikan Leo Maing. “Lembata ini pulau kecil. Untuk apa tambang ini? Kami tetap tolak tambang meski dipaksakan oleh pemerintah dengan cara apa pun,” katanya.
Pater Gabriel Maing, OFM membagikan pengalamannya saat bekerja sebagai misionaris selama 16 tahun di Timika, Papua di mana ada lokasi tambang PT Freeport. Tiga gunung tinggi diratakan dengan alat-alat berat. Hutan-hutan ratusan hektar hancur karena limbah yang dibuang sejauh 80 kilometer. Kekayaan orang Papu diambil dan dibawa keluar sementara warga pemilik ulayat tetap miskin, tidak sejahtera seperti yang digembar-gemborkan. “Kami datang untuk kuatkan kamu. Rakyat berada pada posisi lemah tapi kita telah melakukan seremoni untuk berjuang bersama leluhur mempertahankan tanah kita ini. Kuatkan langkah untuk tetap mempertahankan tanah kita ini,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD meminta masyarakat untuk mendata semua bentuk intimidasi dan teror yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk memaksa masyarakat menerima tambang. “Fakta-fakta hukum ini kita kumpulkan untuk menjadi bukti dalam mengadvokasi masalah hukum yang terkait dengan pertambangan di Leragere-Kedang ini. Jangan takut untuk mempertahankan hak-hak atas tanah kita. Ini negara hukum. Pemerintah atau siapa pun tidak berhak untuk secara arogan, represip dan sewenang-wenang memkasakan kehendak melalui cara dan pola yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Kami akan tetap berada bersama bapa dan mama semua dalam perjuangan menolak tambang,” katanya.
Saat dialog masyarakat juga menyampaikan keresahan yang dialami saat pertemuan dengan Ketua JPIC Keuskupan Larantuka, Romo Marsel Lamuri, Pr dan Sr. Amanda, OSU yang menyebut diri “utusan dari KWI Jakarta” untuk menjadi perantara yang mendamaikan situasi konflik akibat tambang. Philipus Arkian mengisahkan, selama pertemuan itu tidak ada sikap yang tegas apakah menerima atau menolak tambang. Romo Marsel mengatakan, pihaknya berupaya mencari jalan keluar dengan berembuk mencari solusi lain. Pihaknya mencari solusi terbaik dengan jalan dialog terbuka. Saat dialog Frans Nurani menantang keduanya dengan mempertanyakan kehadiran Komisi JPIC Keuskupan Larantuka dalam perjuangan rakyat Kedang-Leragere selama ini. “Kami sudah berjuang selama 1 tahun, tiga kali demo damai, tidak ada masalah. Tapi kamu ada di mana? Kehadiran tim ini ada keberpihakan dari pemerintah. Kami tolak tambang dan sekarang kamu kamu turun. Jangan-jangan kamu ini tangan bupati?” Saat itu Romo Marsel mengatakan dengan emosi, kalau masyarakat tetap tanam kaki dan bupati tetap tanam kaki, kalau ada kekacauan apakah Romo Marsel bertanggung jawab? Kalau tidak percaya, nanti hubungi saya di Postoh.
Mama Veronika Atawolo mengatakan, Suster Amanda, OSU menunjukkan jarinya yang dilingkari cincin emas. “Ini apa? Ini emas yang bisa dipakai di tangan, di leher dan telinga. Bumi ini Tuhan ciptakan untuk apa? Emas adalah barang berharga yang harus dimanfaatkan kalau tidak rugi. Di bukit ini banyak emas tapi dibiarkan saja di dalam tanah sementara kita hidup miskin. Tolak tambang adalah harga mati tapi jangan dulu. Masih ada kemungkinan lain. Tambang bisa dengan tenaga manusia, tidak perlu dengan proyek besar, ambil sedikit demi sedikit untuk digunakan,” katanya menirukan suster itu.
Martha Maing mengatakan, ia tidak suka dengar apa yang dikatakan Romo Marsel dan suster itu. “Mereka omong sembarang saja. Kami tidak mau tanah kami digali. Kami sudah tolak tambang. Jangan datang untuk resahkan kami. Kami tidak pernah meminta mereka menjadi mediator. Kami tidak kenal mereka,” katanya. *


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (2)
Kami Tidak Rela Kehormatan Ibu Dilucuti
Steph Tupeng Witin
“Kami mempertahankan tanah ini untuk anak-anak cucu kami. Kami tidak mau pergi untuk meninggalkan tanah Leragere kami ini.” (Agustina Wati, Petani Leragere)
Pada Minggu (28/10) Tim JPIC SVD-OFM mendapat informasi dari Pater Mikhael Peruhe, OFM bahwa Bupati Andreas Duli Manuk meluangkan waktu untuk bertemu dengan tim. “Senin (29/10) pukul 08.00 baru dipastikan lagi,” katanya menirukan ucapan Bupati Manuik. Tim JPIC menemukan angin segar untuk berdialog dengan pimpinan demi mendengar argumen di balik kukuhnya sikap untuk memaksakan kehendak dan membuka wawasan terkait pemahaman tentang tambang Lembata.
Esoknya, Senin (29/10) segenap anggota tim berkumpul di Biara CIJ Damian Lewoleba. Pukul 08.00 bupati menginformasikan bahwa ada rapat dengan DPRD Lembata sampai pukul 12.00 Wita. “Nanti saya informasikan lagi kalau sudah selesai rapat. Pater tunggu saja,” katanya menirukan ucapan Bupati Manuk. Pukul 12.00 Wita belum ada khabar dari Bupati Manuk. Pukul 13.45 Wita, Kabag Humas Lembata, Ambros Leyn menginformasikan bahwa hari Senin dan Selasa minggu ini Bupati Manuk sibuk dan tidak ada waktu untuk bertemu dengan para pastor. Harapan untuk bertemu dengan bupati sirna seketika.
“Kita memiliki kemauan baik untuk bertemu dan berdialog. Kita berikhtiar menghilangkan kecurigaan dan prasangka yang selama ini tercipta di antara kita. Apa pun yang terjadi, kita tetap menjalanka kegiatan penguatan ini kepada masyarakat,” kata Pater Markus Tulu, SVD.
Sekitar pukul 16.00 Wita sebuah kijang biru dan pick up bergerak meninggalkan Lewoleba menuju Lewoeleng. Di Hadakewa, ibukota Kecamatan Lebatukan Pater Laurens, OFM bergabung dalam rombongan JPIC. Pukul 18.00Wita kami menuju Lewoeleng, Paroki Lodoblolong. Warga Lewoleleng dan kampung-kampung sekitar berkumpul di balai desa. Warga begitu antusias, ratusan warga hanya melongok dari jauh. Bapai desa begitu kecil dan tidak mampu menampung warga yang ingin mendengarkan penguatan dari tim dan menyaksikan pemutaran film dokumenter dan penayangan gambar-gambar pertambangan di PT Freeport, Papua, PT Newmont Minahasa, PT Newmont Nusa Tenggara, tambang mangan Serise di Manggarai dan tambang barit Atanila, Kedang.
Pater Gabriel Maing, OFM, mengajak warga untuk tetap mempertahankan tanah ulayat sebagai simbol harkat dan harga diri. Warga Leragere memandang tanah sebagai ibu, bapa yang mengandung dan melahirkan mereka. Memperdagangkan tanah berarti melucuti pakaian ibu dan bapanya sendiri. “Kuatkan langkah untuk tetap menolak rencana tambang emas. Jangan biarkan ibu tanah Leragere ini dilucuti pakaian kehormatannya oleh orang luar. Jika ada pihak-pihak tertentu yang datang ke Leragere ini untuk mempengaruhi kamu dengan sogokan uang atau dengan memanfaatkan orang-orang Leragere di pemerintahan, katakan pada mereka: kami di Leragere tolak tambang. Ini harga amati. Kita lahir di atas bumi Leragere. Mama keluarkan darah untuk lahirkan kita dan orang luar datang buka pakaian ibu kita. Kita harus pertahankan Leragere, darah dan daging kita,” katanya.
Menurutnya, dalam menghadapi rencana kebijakan pertambangan, rakyat memang berada dalam posisi yang lemah. Situasi ini seperti ini kadang memaksa pemerintah untuk menggunakan kekerasan. Pastor kelahiran Lewoeleng ini mengingatkan warga untuk meletakkan kepercayaan penuh pada seremoni adat yang meminta leluhur untuk mempertahankan tanah. “Kita buat seremoni bukan untuk mematikan siapa-siapa di Lewoleba. Kita buat seremoni untuk meminta restu kekuatan leluhur agar membantu menguatkan kita dalam upaya mempertahankan tanah Leragere, ibu kandung kita sendiri,” katanya.
Pater Andre Atawolo, OFM mengingatkan rakyat Leragere agar menggunakan jalan damai dalam menyampaikan aspirasi terkait dengan penolakan tambang di kawasan Leragere. Menurutnya, kekerasan adalah jalan dan ruang bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk masuk dan menguasai perjuangan kita. “Kita menyelenggarakan seremoni adat meminta leluhur agar membantu kita dalam perjuangan mempertahankan ibu Leragere ini. Perjuangan mesti tetap damai dan jauh dari anarki dan kekerasan,” katanya.
Ketua Forum Komunikasi antar Petani Kawasan Leragere-Lodoblolong (Fokall), Donatus Ola Atawolo mengatakan, seluruh warga 8 kampung kawasan Leragere kompak menolak rencana tambang. “Komitmen kami sudah satu: tolak rencana tambang. Seremoni adar telah merestui kesepakatan seluruh warga. Kami harapkan agar tidak ada Yudas yang muncul dari tengah-tengah masyarakat kawasan Leragere. Lewotanah dan leluhur Nuba Buto ini akan menghadapi dia. Kami hanya minta agar SVD dan OFM tetap berjuang bersama kami. Jangan tinggalkan kami. Ibu Leragere ini tidak akan kami serahkan untuk dilucuti pakaiannya oleh siapa pun yang datang,” katanya.
Pada Selasa (30/10) tim melanjutkan safarinya menuju Desa Balurebong yang terletak di ujung timur Kecamatan Lebatukan. Hamparan lautan kemiri membentangi kawasan itu. Leragere ibarat surganya kemiri. Tanaman perdagangan inilah yang menjadi sandaran utama kehidupan warga. “Banyak pejabat asal kawasan Leragere yang mendukung tambang dan dipakai untuk mempengaruhi warga ini dibiayai dengan kemiri. Sekarang mereka sudah menikmati kursi empuk lalu datang hendak menggusur lautan kemiri ini,” kata Tino Raring, sopir “aktivis” yang setia.
Kegiatan penguatan berlangsung di dalam kapela. Warga memadati kapela dengan atap yang bolong sana-sini. Gelombang penolakan begitu kuat terasa mengalir di tengah alam Balurebong yang gersang. Tuan tanah Balurebong, Thomas Laru mengatakan, nenek moyang sejak dulu telah melahirkan mereka di atas tanah Leragere ini. Tanah, ibu sudah sekian lama mengandung dan melahirkan. Di atas tanah ini anak cucu lahir dan berkembang. “Kami tidak pernah dipesan oleh leluhur kami untuk menjual dan memperdagangkan tanah kami ini. Tanah ini warisan kepada generasi berikut. Kami akan tetap bertahan hidup di sini. Kami tidak akan mau keluar dari tanah ini. Kami tolak tambang,” katanya.
Bapa Philipus Doni mengatakan, rakyat memang lemah ketika berhadapan dengan pemerintah yang memiliki kekuatan besar. “Para pastor yang datang ini sangat menguatkan kami. Kami merasa tidak berjuang sendiri dalam masalah tambang ini. Dulu menjelang Pemilu banyak “orang” yang datang malam-malam ke desa terjauh ini tapi ketika kami ditimpa masalah ini muka mereka tidak muncul. Tapi pastor-pastor yang tidak kami pilih ini datang dari jauh, tinggalkan tugas dan kesibukan untuk mengunjungi, meneguhkan dan menguatkan perjuangan kami,” katanya.
Albertus Raring mengingatkan bahwa ada begitu banyak orang yang solider dengan kegelisahan warga kasawan Leragere. Ia mengingatkan warga agar tidak menjadi Yudas yang menodai kebersamaan karena perjuangan ini penuh resiko. “Pemerintah dan DPRD lebih menganak-emaskan investor dari pada rakyatnya sendiri. Tanah adalah tumpuan hidup. Biar digantung pun kami akan tetap di atas tanah kami,” katahnya.
Kepala Desa Balurebong, Karolus W Raring menginformasikan, penduduk sebanyak 122 kepala keluarga yang tersebar dalam 3 dusun yaitu Paopue, Baomane dan Helnare. “Semua warga tolak tambang. Kami hidup dari penghasilan ladang kami. Kami tidak mau kearifan budaya lokal kami dihancurkan oleh keserakahan. Kami tidak serahkan tanah untuk ditelanjangi orang lain. Kalau dipaksa, kami siap berkorban,” katanya.
Pukul 15.30 Wita kami menuju Lodoblolong. Kegiatan penguatan berlangsung di dalam gereja. Ratusan umat memadati ruangan tengah gereja. Hadir Pastor Paroki, Romo Antonius Kia Uba, Pr. Saat memberikan sambutan Romo Anton mengungkapkan kebanggaannya atas kunjungan tim untuk memberi penguatan kepada umat Leragere yang gelisah. “Banyak orang bertanya, apa sikap pastor paroki soal tambang. Saya katakan, saya ada di sini, saya ada bersama umat,” katanya.
Pater Mikhael Peruhi, OFM mengatakan banyak orang mempertanyakan keterlibatan para pastor yang berbicara tentang tambang. Menurutnya, kehadiran kaum religius di tengah kegelisahan umat merupakan kesaksian bahwa gereja berpihak pada orang kecil dan tertindas dan bahwa gereja masih hidup, masih ada. Gereja hadir di tengah kecemasan dan kegelisahan umat. Kami tidak hanya berkotbah. Kami yang berjalan ini pun tidak memiliki kepentingan dan tidak sedang mengejar popularitas murahan.
”Kami tidak sedang mencari uang untuk serikat-serikat kami. Kami hadir untuk anda semua yang gelisah. Kami solider dengan perjuangan untuk bertahan hidup dari ladang dan laut. Kami tidak tutup mata dengan kegelisahan anda semua. Ketika gereja menutup mata di hadapan persoalan seperti ini, sesungguhnya gereja sedang membahayakan tugas perutusannya sendiri. Kami tidak mungkin hidup dengan tenang kalau mendengar jerit kegelisahan anda semua di Kedang dan Leragere ini,” katanya.


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (3)
Menuju Kedang, Melawan Represi
Steph Tupeng Witin
“Saya tidak akan merelakan tanah Puakoyong dibongkar oleh siapa pun. Saya tidak akan menjilat ludah yang sudah saya buang. Jika saya jilat kembali, saya bukan lagi Abu Samah tapi anjing.” (Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong

Rabu (31/10), sekitar pukul 8.30 Wita rombongan JPIC SVD-OFM meninggalkan Lewoleba yang gerah menuju Kedang. Wilayah pesisir mulai dari Tanatreket, Merdeka, Hadakewa, Tapobaran, dan Tapolangu satu persatu kami tinggalkan. Kami berhenti di “persinggahan” Lewolein untuk menikmati gurihnya ketupat, ikan bakar, ikan goreng, cumi-cumi lawar dan goreng dan tuak putih. Pasar Lewolein adalah tempat singgah bagi semua orang yang menuju dan kembali dari Kedang.
Kondisi jalan menuju Kedang sangat-sangat memprihatinkan. Lobang besar menganga di mana-mana. Aspal yang sumbing dengan bibir yang peot menjulur pada hampir seluruh badan jalan. Kendaraan terombang-ambing, menggeerit keras menindas bebatuan dan kerikil yang berlepotan aspal. Proyek-proyek jalan memang dikerjakan asal jadi. Apalagi biasanya dikerjakan pada musim hujan. Beberapa titik jalan memang sedang diperbaiki. Tumpukan batu dan tanah di kiri kanan jalan sering menghalangi kelancaran arus lalulintas.
Balauring tampak kumuh dengan rumah-rumah yang tertumpuk di pinggir pantai. Tower handphone adalah satu-satunya simbil kemajuan yang terpampang. Di belakangnya, bukit Puakoyong berdiri megah diseraki pepohonan dan rumpur kering yang meranggas. Di kaik Puakoyong deretan kelapa, dan pisang bagai pagar yang membatasi laut. Bakau-bakau asli menjalari bibir pantai, pasrah pada lumatan dan jilatan ombak yang setia mencumbu. Sebuah mata air mengalir dengan lamban di tengah gempuran kemarau yang garang. Puakoyong adalah bukit incaran Pemkab Lembata dan Merukh karena menurut penelitian, bukit ini mengandung emas dalam jumlah yang sangat besar. Kegelapan merambati Kedang ketika kami memasuki tubuh Balauring. Penduduk bergerombol di jalan dengan jeriken, ember dan wadah lain. “Di Kedang ada beberapa tempat yang airnya sangat susah di dapat. Orang harus mengantre berjam-jam seperti antrean warga penerima raskin. Apalagi dengan musim hujan yang semakin tidak menentu ini. Meski demikian penduduk tetap bertahan di atas tanahnya ini. Kesatuan dengan tanah tidak akan memisahkan mereka meski pemisahan itu coba dipaksakan,” kata Pater Vande.
Sekitar pukul 19.45 Wita kami memasuki Peu Uma, Desa Hingalamengi, Kecamatan Omesuri. Kami disambut dengan ramah oleh Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong. Pribadi ini begitu mempesona justru lahir dari ketegasan sikap dan ketegaran jiwa. Komitmen mempertahankan ulayat Puakoyong yang sangat diincar Pemkab Lembata dan PT Merukh Enterprise begitu kukuh dan tidak tergoyahkan. Ia dengan lugas membeberkan upaya pemerintah untuk mempengaruhinya menyerahkan Puakoyong dibongkar oleh keserakahan.
“Bupati pernah mengirim uang sebesar Rp150.000 kepada saya. Hal ini sangat menghina saya sebagai pemilik ulayat. Saya telah mengirimkan uang itu kembali melalui tukang ojek. Lalu Bupati Manuk kembali mengirimi saya uang sebesar Rp1 juta lengkap dengan kartu nama. Uang itu saya simpan, tidak saya gunakan. Saya dari dulu miskin dan bahagia hidup dari kerja dan keringat saya sendiri. Beberapa minggu lalu bupati mengutus orang menemui saya dan meminta agar uang itu dikembalikan. Saya katakan uang itu akan saya jadikan bukti dalam sidang di pengadilan nanti. Saya akan mengggugat bupati ke pengadilan. Pengacara sudah saya siapkan,” katanya. Menurutnya, bupati juga pernah mengutus wartawan Kupas NTT untuk menanyakan sikapnya terkait penyerahan tanah ulayat Puakoyong yang menjadi lokasi pertambangan emas terbesar di wilayah Kedang. Kupas NTT adalah salah satu koran lokal di Kabupaten Lembata yang sangat gencar memberitakan soal rencana tambang di Kabupaten Lembata. Wartawannya sangat setia mengikuti aktivitas bupati dan beberapa waktu lalu mengikuti studi banding anggota DPRD dan Pemkab Lembata. “Saya katakan bahwa sikap saya tidak berubah dalam menolak rencana tambang emas. Bukit Puakoyong tidak akan saya serahkan sejengkal pun kepada orang luar. Bahkan kepada Wakil Bupati Nula Liliweri dalam salah satu kegiatan keagamaan di masjid saya katakan saya tidak menyerahkan tanah Puakoyong. Saya tidak akan pernah menjadi kaya dengan uang sebanyak apa pun. Tanah itu harta yang tidak ternilai bagi saya.saya tidak akan menjilat ludah yang sudah saya buang ke tanah. Kalau saya menjilat ludah yang sudah saya buang, jangan panggil saya Abu Samah tapi panggil saya anjing,” katanya.
Ketika kami meninggalkan rumah Abu Samah, kegelapan menyelimuti Kedang. Ketegangan mulai terasa karena ada informasi bahwa kelompok pro tambang akan menghadang perjalanan bahkan memasang paku sepanjang jalan untuk menghalang-halangi perjalanan kami. Kami bergerak dalam kawalan motor pengurus Baraksatu, Anton Leumara dan teman-temannya. Kondisi jalan dan situasi tegang memaksa kami untuk hati-hati dalam perjalanan menuju Desa Buriwutung, Kecamatan Buyasuri. Isu agama dan etnis mulai digulirkan bahwa para pastor sedang mengkristenkan masyarakat Kedang. Bahkan ada short message service (SMS) yang menginformasikan bahwa Pemda sedang memprovokasi imam-imam masjid untuk berkotbah mendukung tambang di mimbar-mimbar masjid.
Kami memasuki Desa Buriwutung, Kecamatan Buyasuri sekitar pukul 20.45 Wita. Warga sudah berkumpul di lokasi pertunjukkan. Ketua Baraksatu, Eman Ubuq melalui pengeras suara mengajak warga untuk memasuki tempat pertunjukkan. Kepala Desa Buriwutung, Yos Tantra menghadang rombongan tim JPIC SVD-OFM dengan pertanyaan,”Mana pimpinan rombongan? Saya meminta surat izin kegiatan malam ini.” Pater Mikhael Peruhe, OFM mengajak Kades Tantra untuk berbicara baik-baik dengan para pastor. Tim JPIC menanyakan argumen pembatalan kegiatan pencerahan tambang untuk masyarakat.
“Saya meminta pastor-pastor memahami dan mengerti posisi saya sebagai pimpinan wilayah ini. Lagi tiga hari kami akan menggelar pemilihan kepala desa (Pilkades). Kami sedang berada dalam suasana tenang. Kegiatan ini bisa mengganggu ketenangan persiapan penduduk menjelang Pilkades.,” kata Kades Tantra. “Kami tidak bisa mengerti bapa kalau kegiatan ini dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Ini hanya kecemasan bapa yang tidak berdasar dan berlebih-lebihan,” kata Pater Markus Tulu, SVD. “Tapi saya pemimpin wilayah ini. Saya tidai diberitahu bahwa ada kegiatan pencerahan kepada masyarakat di desa ini,” kata Kades Tantra. Ketua Baraksatu, Eman Ubuq menginformasikan bahwa penyampaian terkait kegiatan ini sudah disampaikan kepada sekretaris desa berhubung bapa desa tinggal di Lewoleba. “Tapi saya tidak diberitahu oleh sekretaris desa,” katanya. “Itu urusan bapa dengan sekretaris desa. Ini soal tidak adanya komunikasi antara bapa dan sekdes,” kata Eman. Kades Tantra mulai emosi dan dengan suara tinggi meminta para pastor untuk membatalkan kegiatan ini. “Saya merasa aneh karena bapa hendak membatalkan kegiatan pencerahan ini tanpa satu alasan yang tegas. Hanya kecemasan pribadi yang juga masih dalam bayang-bayang ketidakpastian. Kami membuat kegiatan untuk memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat terkait tambang. Kami tidak mengacaukan ketenangan warga menjelang Pilkades,” kata penulis. “Kalau sebentar terjadi apa-apa saya sendiri tidak bertanggung jawab,” kata Kades Tantra. “Kami tetap membuat kegiatan ini meski bapa desa tidak mengizinkan. Kami datang untuk mencerahkan masyarakat. Kalau sebentar terjadi kekacauan, bapa desa adalah dalangnya,” kata Pater Markus Tulu, SVD.
Kegiatan pencerahan kami laksanakan dengan sukses tanpa gangguan sedikit pun. Kades Tantra bahkan ikut menyaksikan kegiatan itu meski secara sembunyi-sembunyi di balik kegelapan malam. Bahkan saat berdiskusi dengan Kades Tantra anggota polisi Polsek Wairiang datang dengan “gagah” dan mengucapkan selamat malam dan dijawan oleh Sekretaris Baraksatu, Anton Leumara. Polisi itu menanyakan pemimpin rombongan. Anton mengatakan, ini kegiatan para pastor SVD-OFM. Polisi itu langsung pamit tergesa-gesa, taku ketahuan belangnya. “Saya beli rokok dulu,” katanya tanpa pernah kembali lagi.
Ulah Kades Tantra meresahkan sebagian warga yang sudah memadati lokasi pertunjukkan. Kaur Pemerintah Desa Buriwutung, Laurensius Laba mengatakan, tindakan Kades Tantra merupakan kecemasan yang tidak berdasar dan dilebih-lebihkan. “Kami tidak tahu banyak tentang tambang terutama sisi positif dan negatifnya. Sampai saat ini kami hanya mendengar ada rencana tambang tapi pemerintah belum pernah sosialisasi. Pada 23 Oktober 2007 lalu Wabup Liliweri diam-diam difasilitasi Kades Tantra bicara tentang tambang di Dusun III. Kami yang lain tidak tahu. Mengapa bicara soal tambang tidak terbuka seperti kegiatan para pastor ini?”
Tokoh masyarakat, Baltasar Lawa mengatakan, meski pemerintah sudah menjual tanah, pihaknya tidak setuju. “Pemerintah katakan bahwa tambang akan sejahterakan masyarakat tapi tambang Barit di Atanila jadi bukti. Kebun saya sudah siap tanam. Saya tidak setuju tambang karena tanah kami memberi hidup dari dulu. Tanah ini warisan leluhur yang tidak boleh kami perdagangkan kepada orang luar,” katanya. *


Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (4)
Peuma: Melawan Represi Irasional
Steph Tupeng Witin
“Biarkan kami hidup damai di atas tanah kami sendiri.”
Pada Kamis (1/11) tim JPIC memutuskan untuk bertemu dengan Camat Buyasuri. Penulis, Pater Gabriel Maing, OFM, Pater Markus Tulu, SVD, Pater Frans Suar, SVD dan Pater Vinsen Wangge, SVD meninggalkan Pastoran Aliuroba menuju Wairiang. Staf Camat Wairiang, Bosco Bataona menginformasikan bahwa camat sedang dalam perjalanan dari Lewoleba menuju Wairiang. “Kami hendak bertemu camat untuk menjelaskan kegiatan kami ini. Kami menjalankan kegiatan ini dengan maksud baik, tidak untuk mengacaukan umat. Kami ingin agar kehadiran kami tidak dilihat secara negatif,” kata Pater Gabriel Maing, OFM. Kami memutuskan kembali ke Aliuroba. Kegiatan pencerahan di Panama berlangsung dalam balai desa pada sore hari pukul 15.30 Wita. Ratusan warga hadir bersama Pastor Paroki Aliuroba, Romo Ellias Pally Werang, Pr. “Saya bersama bapa, mama dan saudara-saudari menolak rencana tambang. Kami para pastor Dekenat Lembata sudah menyatakan sikap penolakan itu. Kita sama-sama berjuang mempertahankan tanah kita ini,” katanya.
Pater Marsel Vande Raring, SVD mengingatkan seluruh umat agar tidak gampang terprovokasi oleh isu yang diembuskan pihak-pihak kuat bahwa kehadiran para pastor di Kedang untuk mengkristenkan Kedang. “Kami datang untuk memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat Leragere-Kedang agar tahu betul tambang dengan segala resiko dan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan kita. Kegiatan ini sangat terbuka untuk semua golongan dan agama dan untuk kelompok pro tambang maupun yang menolak tambang. Kami tidak sedang mengkristenkan Kedang. Kami mengajak kita semua agar menjadi orang Katolik yang sejati dan muslim yang sejati. Kami juga tidak mencari popularitas menjelang pemilihan DPRD 2009 dan Pilkada 2011 nanti,” katanya.
Sekitar pukul 17.20 Wita kami bergerak menuju Desa Mahal 2. warga sudah tidak sabar menantikan kehadiran tim JPIC SVD-OFM. Bahkan imam masjid mengikuti kegiatan ini dengan duduk pada deretan kursi terdepan. Kegiatan berlangsung aman, antusiasme warga luar biasa. “Kami selama ini hanya dengar bahwa ada tambang tetapi tidak pernah kami saksikan tentang akibat-akibat buruk tambang seperti yang dibuat oleh para pastor ini. Warga di sini rindu dengan informasi yang benar bukan dengan bohong dan membodohkan masyarakat. Seluruh warga sekitar Mahal ini menolak tambang. Warga sejak leluhur hidup damai dan tenang di atas tanah ini. Hasil kebun dan ladang tidak seberapa tapi kami tetap tidak akan menyerahkan tanah kepada orang luar. Kami tidak mau jadi kuli di atas tanah kami sendiri,” kata Kades Mahal 2.
Sekitar pukul 20.45 Wita kami tinggalkan Desa Mahal 2 dan bergerak menuju Peuma, Desa Hingalamengi. Inilah salah satu pusat pertambangan terbesar yaitu Puakoyong. Pemiliknya, Abu Samah sudah berulangkali diincar untuk dipengaruhi bahkan diancam untuk ditabrak mati,dibunuh bahkan diracun melalui makanan dan minuman. Saat kami tiba, suasana yang tegang sudah kuat terasa. Kelompok masyarakat yang menantikan kami tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat kami memarkir kendaraan di pelataran halaman rumah Abu Samah. Menurut Abu Samah, Kepala Desa Hingalamengi sudah berulangkali menyruh Hansip memintanya agar membatalkan kegiatan para pastor malam itu. “Saya tidak berhak membatalkan karena ini bukan kegiatan saya. Para pastor datang untuk mencerahkan dan mendidik masyarakat. Ini bukan kegiatan sembarang. Silakan datang dan berbicara sendiri dengan para pastor yang akan membuat kegiatan malan ini,” katanya.
Malam itu Peuma tegang. Warga yang bergegas menuju balai dusun dihalang-halangi Hansip. Kelompok tolak tambang berkumpul di rumah Abu Samah. Setelah mendengar penyampaian Abu Samah, kami memutuskan melaksanakan kegiatan pencerahan malam itu. Siapa pun yang datang berusaha menggagalkan kegiatan ini akan kita ajak untuk berdialog, berdiskusi dan berargumen. Kepala dusun membuka pintu balai dusun dan mempersilakan kami membuat kegiatan. Warga berdatangan memenuhi ruangan. Kami berkemas menata ruangan pertunjukkan. Dua anggota Hansip lengkap dengan pentungan memasuki ruangan. Tanpa ucapan selamat malam. Begitu congkak dan angkuh. Berlagak penguasa keamanan negara. “Kami minta bertemu dengan para pastor.” Tim JPIC SVD-OFM mengelilingi keduanya. “Bapak Desa meminta kami untuk menyampaikan kepada para pastor agar membatalkan kegiatan malam ini,” Hansip tertua angkat bicara. “Apa alasan bapa desa membatalkan kegiatan kami malam ini?” tanya Pater Mikhael Peruhe,OFM. Pada saat itu belasan pemuda pro tambang memasuki ruangan balai dusun dan berlagak hendak menginterogasi kami. Masing-masing pemuda berbicara tak karuan. “Saya minta kita tenang dan bicara baik-baik. Kita tahu adat sopan santun dalam berbicara. Anda siapa?” seorang pemuda kaget dan tidak tahu mau menjawab apa. Terbengong bodoh. “Bapa-bapa ini datang tanpa izin dari kepala desa,” seorang di antara mereka bicara. “Anda ini siapa?” tanya Pater Mikhael. “Saya rakyat,” jawabnya. “Saya kira saudara suruhan kepala desa.” Pada saat bicara ia mengenakan kacamata reben. Penulis langsung menghardiknya. “Adik, kita semua orang Lamaholot. Kita tahu adat sopan santun dalam berbicara. Turunkan kacamata reben itu dari muka sebelum saya menurunkannya secara paksa. Saya juga anak tanah ini.” Ia menurunkan kacamata reben dan meninggalkan ruangan dengan menunduk.
Pemuda lain berkata,”Setiap tamu yang datang ke desa ini wajib melaporkan diri kepada kepala desa. Kegiatan seperti ini harus seisin kepala desa. Peraturan desa melarang setiap kegiatan tanpa sepengetahuan kepala desa.” Penulis langsung menyambar,”Sekarang juga tunjukkan peraturan desa itu kepada kami. Tertulis. Jangan hanya bicara untuk menakut-nakuti kami.” Seorang Hansip dan beberapa pemuda meninggalkan ruangan tanpa pernah kembali lagi. Akhirnya semua pemuda meninggalkan ruangan. Warga menertawakan kekalahan mereka.
Tim JPIC SVD-OFM yang terdiri dari penulis, Pater Gabriel Maing, OFM dan Pater Markus Tulu, SVD bersama kedua Hansip menuju rumah kepala desa. Kedua Hansip berebut tempat depan mobil kijang. Maklumlah! Di rumah kepala desa banyak warga pro tambang, laki-laki dan perempuan berkumpul. Saat memasuki rumah kades, suara-suara bersahutan ke arah kami tapi kami tidak mengerti karena disampaikan dalam bahasa Kedang. “Bapa-bapa malam-malam datang ke rumah saya? Ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba suara perempuan keluar dari dalam kamar,”Orang tidak tahu adat, datang tanpa memberitahu tuan rumah.” Kami tidak tanggap. Hansip lalu menyampaikan maksud kedatangan kami kepadanya. Ia mengatakan bahwa kehadiran kami tidak disampaikan kepadanya sebagai pimpinan wilayah. “Masalah tolak dan dukung tambang itu biasa bagi saya.” Penulis menjelaskan, maksud kedatangan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui jalur gereja dan hal itu disampaikan kepada semua pastor paroki dan umat. Tapi kegiatan ini terbuka kepada orang dari agama apa pun. Ini kegiatan kemanusiaan. “Tapi gereja dan masjid ada di desa saya. Saya harus tahu,” sahutnya. “Tim lokal sudah melakukan itu. Soal kemanusiaan tidak ada batas. Setiap orang berhak bicara tentang kemanusiaan tanpa ada pihak yang melarang,” kata penulis. “Ok, sekarang silahkan lanjutkan kegiatan karena sudah dimulai,” katanya. Saat kami tinggalkan rumah, seorang perempuan berteriak,”sebentar kalau ada pemuda yang serobot ke dalam ruangan, jangan marah, ya?”
Kegiatan kami jalankan dalam suasana tegang. Serombongan pemuda di jalan raya tanpa henti melempari balai dusun. Kadang mereka berteriak meminta rokok. “Mereka itu sudah didaftar menjadi pekerja tambang” kata Abu Samah. Ternyata, mereka rela menjadi kuli kasar di atas tanah ulayatnya sendiri. Malam itu kami tinggalkan balai dusun dalam kawalan mobil patroli polisi Polsek Balauring menuju Pastoran Holea.
Jumat (2/11), sekitar pukul 08.30 Wita kami tinggalkan pastoran Holea menuju Lewoleba. Di Wailolong, Pastor Paroki Holea, Romo John Leyn, Pr menginformasikan bahwa setelah kami berangkat, staf Kesbanglinmas, Markus Lela Udak datang ke pastoran. Ia menanyakan kegiatan kami selama berada di Kedang. “Saya katakan bahwa proses pertambangan kalau dibuka prosesnya sejak awal tidak ada masalah. Para pastor datang memberi pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat soal tambang. Kalau mau tahu apa yang dibuat para pastor ini, datang dan hadir dalam seluruh kegiatan. Jangan sembunyi-sembunyi atau menjadi spion orang lain,” kata Romo John saat dihubungi dari Ende, Kamis (15/11). Menurut Romo John, Markus Lela Udak ditugaskan untuk “mengintipi” kegiatan para pastor selama berada di Lembata. “Ia mengaku pada saya bahwa ia disuruh oleh bupati,” kata Romo John.
Malam harinya, tim JPIC SVD-OFM menggelar kegiatan yang sama di Paroki Hadakewa, Kecamatan Lebatukan. Kegiatan ini dijaga ketat oleh aparat kepolisian dan sejumlah intel.saat kegiatan berlangsung listrik tiba-tiba padam. Padahal bukan giliran pemadaman listrik. Menurut Fr. Lerry, sebelum kegiatan berlangsung seorang polisi sempat menanyakan lamanya kegiatan. Pastor Paroki Hadakewa, Romo Domi menginformasikan bahwa paginya dua anggota polisi datang menanyakan tujuan kegiatan para pastor. “Saya katakan ini kegiatan pencerahan dan pendidikan bagi umat. Kami buat dalam gereja dan tidak mengganggu siapa pun.” Saat kami tiba, lagi-lagi seorang polisi datang menanyakan tujuan kegiatan dan menanyakan kepantasan tempat di dalam Gereja. “Ini kegiatan pencerahan bagi umat kami. Kami merefleksikan masalah pertambangan dalam nilai kitab suci dan teologis. Kenapa kami sepertinya hendak dilarang untuk melakukan kegiatan ini di dalam gereja?” tanya Pater Mikhael Peruhe, OFM. Romo Domi dalam sambutannya mengatakan, kegiatan pencerahan ini bukan kegiatan politik. “Para pastor yang datang ini bukan orang-orang politik. Mereka hendak mencerhkan pemahaman umat agar mengerti soal tambang,” katanya.


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (5/Habis)
Bangun Solidaritas Boto, Karangora dan Lerek
Steph Tupeng Witin
“Kita menerima teknologi untuk kemajuan hidup tetapi teknologi yang merusak lingkungan harus kita tolak.” (John Paul II)
Sabtu (3/11), tim JPIC SVD-OFM menyempatkan waktu untuk berdialog dengan Kapolres Lembata, AKBP Geradus Bata Besu di Mapolres Lembata. Kapolres Besu dengan santai, rileks dan hangat menyambut rombongan para pastor. Ia didampingi Kasat Intel, Iptu Jamaludin yang berpenampilan “santai.” Kedua “ata Ende” ini menyampaikan posisi kepolisian dalam masalah tambang Lembata. “Masalah tambang saat ini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Kita netral dalam mengantisipasi dan menjaga keamanan. Setiap aparat senantiasa kita siagakan agar menjaga keamanan dan sedini mungkin mencegah segala kemungkinan yang bisa saja tersulut. Kalau ada aparat keamanan yang mengikuti kegiatan para pastor selama di Lembata ini, itulah tugas kami dalam menjaga keamanan,” kata Kapolres Besu.
Pater Mikhael Peruhe, OFM menggambarkan sekilas perjalanan pencerahan tim di Kedang-Leragere dan kesulitan yang dialami selama kegiatan tersebut khususnya di Desa Buriwutung dan Hingalamamengi. “Kami merasa bahwa ada upaya terstruktur untuk menggagalkan kegiatan pencerahan kami ini kepada masyarakat. Ada kesan bahwa aparat pemerintah desa sangat represip terhadap setiap upaya pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Suasana ini sangat terasa selama kegiatan kami ini. Lembata sepertinya sedang berada dalam sebuah konflik yang genting,” katanya.
Tim JPIC SVD-OFM melanjutkan pencerahan ke Kesbanglinmas Kabupaten Lembata untuk menyampaikan keberatan terkait kehadiran Markus Lela Udak , salah satu staf Kesbanglinmas yang “mengintipi” aktivitas pencerahan para pastor ke Leragere-Kedang. Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, tim sangat memahami kewajiban Kesbanglinmas dalam memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tetapi pola seperti yang dilakukan oleh Markus Lela Udak sangat tidak bertanggungjawab.
“Kami sangat menyayangkan bahwa institusi seperti Kesbanglinmas ini masih menjalankan tugasnya dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti ini. Kami datang dengan sangat terbuka, transparan dan tidak sembunyi-sembunyi melaksanakan kegiatan pencerahan ini. Kami sangat senang jika kita berdiskusi secara terbuka seperti ini. Kita hilangkan kecurigaan di antara kita. Kegiatan seperti yang dijalankan oleh staf Kesbanglinmas itu menunjukkan bahwa pola Orde Baru masih dijalankan di Lembata ini. Pola seperti sangat represip dan menindas kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi,” katanya.
Kepala Kesbanglinmas, Meda Moses mengatakan, tugas Kesbanglinmas adalah memantaiu keamanan tanpa diskriminasi dan intimidasi. Kesbanglinmas mengikuti perkembangan, bukan “mengintip.” “Kam imengikuti perkembangan dan melaporkannya kepada atasan dan bukan untuk mendiskreditkan siapa-siapa,” katanya.
Menurutnya, terkait ada staf Kesbanglinmas di lapangan, sampai saat ini belum ada surat tugas kepada staf untuk turun ke lapangan. “Saya akan cek lagi dulu, mungkin ada pihak yang lebih tinggi yang menyuruh staf ke lapangan. Saya tidak tahu persis siapa yang turun. Kami meminta maaf jika pola yang kami pakai ini salah,” katanya.
Pukul 15.45 Wita kami menuju Paroki St. Yoseph Boto di Kecamatan Nagawutung. Rombongan kami ditambah Romo Sebast Ama Mea, Pr, misionaris Timika yang menyegarkan tin dengan gambar-gambar terbaru terkait situasi masyarakat dan lingkungan Timika akibat pertambangan. Menurutnya, kata-kata yang kita ucapkan boleh jadi penuh dengan rekayasan, tipuan dan kebohongan. Tetapi gambat yang dihadirkan tidak pernah menipu. “Bapa mama bisa lihat gejolak rakyat dan umat saya dalam tayangan-tayangan ini. Akibat pertambangan, kehidupan dan lingkungan alam hancur. Hanya segelintir elite politik-birokrasi yang kaya. Rakyat tetap miskin sampai saat ini,” katanya.
Kegiatan pencerahan umat Paroki Boto berlangsung di dalam gereja. Ketua Dewan Stasi St. Yoseph Boto, Petrus Pati Pukan mengajak segenap umat untuk memaknai pertemuan dengan pata pastor SVD-OFM ini sebagai kesempatan untuk menggali pengetahuan dan memperkaya wawasan terkait tambang yang selama ini terdengar. “Malam ini kita diberi kesempatan untuk belajar secara Cuma-Cuma. Kita mendapatkan pengetahuan yang baru yang mencerahkan kesadaran kita. Selanjutnya kita menjadi utusan untuk menceritakan ini kepada siapa saja yang kita jumpai dalam hidup,” katanya. Laurens Leuweheq mengeritik kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan pemerintah dalam bingkai proyek. “Misalnya Dinas Kehutana menurunkan anakan kepada masyarakat ketika musim hujan sudah berhenti. Tanaman itu akhirnya mati. Hal ini hampir selalu terjadi pada setiap sektor pembangunan. Pemerintah terkesan hanya menghabiskan anggaran dalam proyek ketimbang memikirkan relevansi dan hasilnya bagi kesejahteraan masyarakat. Terkait tambang, saya melihat pemerintah cenderung sangat memaksakan kehendak agar rencana ini terlaksana. Pertanyaannya adalah untuk siapa rencana tambang ini? Kalau untuk masyarakat, mengapa penolakan paling keras justru datang dari masyarakat,” katanya.
Gaby Mudaj dari Kluang mengapresiasi kegiatan safari pencerahan yang dijalankan tim JPIC SVD-OFM yang berkeliling Lembata meski mendapatkan banyak tantangan dari pihak pro tambang. “Informasi selama ini sangat minim. Masyarakat sepertinya hanya menerima bahwa rencana tambang ini jadi. Padahal resikonya sangat besar. Kami warga Paroki Boto tolak tambang karena solider dengan umat Leragere-Kedang. Ini persoalan seluruh rakyat Lembata. Gerakan penolakan harus menjadi sebuah gerakan bersama,” katanya.
Minggu (4/11), tim JPIC SVD-OFM akhirnya melanjutkan safari menuju Karangora, Paroki St. Antonius Kalikasa dan Paroki Lerek. Kegiatan pada kedua tempat ini berlangsung di dalam gereja. Antusiasi umat sangan tinggi khususnya di Karangora meski tim baru tiba pukul 22.00 Wita. Esoknya, Senin (5/11), kami menuju Lerek. Lingkaran wilayah ini sangat potensial. Alam seakan menyediakan potensi yang menjanjikan. Di Watuwawer, ada panas bumi yang katanya, memiliki kekuatan yang luar biasa. Ada tiga lobang yang sudah dibor dan kini dibiarkan seperti itu menunggu usaha lebih lanjut. Warga sekitar meletakkan bahan-bahan makanan di sekitar lokasi panas selama satu malam untuk kemudian menjadi santapan yang lezat.
Antusiame warga Lerek luar biasa. Ratusan umat yang juga berasal dari wilayah sekitar memadati ruangan gereja. Pastor Paroki Lerek, Romo Lorens Yatim, Pr mengajak seluruh umat untuk menyimak pencerahan tim JPIC SVD-OFM sebagai salah satu informasi yang benar, baik dan berguna bagi pemahaman masyarakat. Tokoh umat, Maksi Watun menegaskan, Kabupaten Lembata memiliki potesi luar biasa dalam bidang pertanian dan peternakan serta perikanan tapi belum ditunjukkan itu secara maksimal. “Saya tolak tambang karena tambang itu menghancurkan lingkungan. Dalam kasus tambang Lembata, pemerintah mesti mendengarkan suara rakyat. Tambang tidak akan membawa kesejahteraan,” katanya.
Pensiunan guru ini mengajak segenap warga paroki agar solider dengan umat di Leragere-Kedang yang selama ini berjuang mati-matian menolak tambang. “Kita di Lerek selama ini membiarkan mereka berjuang sendirian. Kita sibuk dengan pekerjaan kita masing-masing. Padahal akibat pertambangan itu akan kita alami. Kita ini satu pulau, ibarat satu tubuh. Kalau satu anggota tubuh sakit, tentu seluruh anggota tubuh yang lain akan sakit juga,” katanya.
Katharina Glole dan Agatha Prada mengatakan, selama ini pemerintah dan gereja selalu mengimbau umat agar menanam di mana-mana tapi kebijakan tambang ini akan menghancurkan semua tanaman dan lingkungan kita. “Kami rakyat kecil ini tidak tahu apa-apa. Selama ini kami hanya ikut apa yang dikatakan pemerintah. Kami tolak tambang karena kami punya lingkungan akan hancur dan kami tidak akan makan ikan lagi karena laut tercemar,” kata Mama Agatha.
Bapa Yohanes Bala hanya menitipkan pesan .kepada DPRD dan pemerintah agar lebih mendengarkan suara rakyat dan bukannya mengutamakan suara investor yang serakah itu. “Tolong sampaikan kepada DPRD dan Pemkab Lembata, kami di Paroki Lerek tolak tambang. Kami solider dengan warga Kedang-Leragere yang telah menolak tambang. Kami mendukung perjuangan mereka,” katanya.