Kamis, 20 November 2008

EGON

Catatan Perjalanan pasca letusan Egon (1)
Membaca Kedashyatan Amukan Egon


Oleh Steph Tupeng Witin

Kedashyatan semburan lahar dan abu panas Gunung Egon pada 15 April 2008 lalu begitu terasa saat memasuki Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kamis (8/5). Abu Egon melaburi wilayah itu. Bau belerang masih terasa menyengat. Letusan itu telah menimpa Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara, Desa Egon dan Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete. Sekretaris Karitas/Sekretaris Puspas Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih menginformasikan bahwa sejak Egon meletus Blidit adalah kawasan yang menjadi hunian pengungsi. Saat kunjungan itu masih 8 kepala keluarga yang mengungsi. Situasi memang sudah normal. Pertanyaan, mengapa 8 kepala keluarga masih bertahan sedangkan pengungsi yang lain sudah kembali ke titik normal?
Eduardus Eting, salah seorang pengungsi mengisahkan, letusan Gunung Egon telah menghancurkan rumah, kebun dan tanaman. Mereka tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang semula. Jika kembali pun, mereka harus memulai lagi dari awal. Coklat, kelapa, kemiri, kopi, vanili, cengkeh dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. “Padi dan jagung di kebun tidak bisa menghasilkan karena rata dengan tanah. Saat letusan itu padi masih basah, belum ada isi. Wortel dan ubi rusak karena terkena lahar panas. Kami tidak bisa tinggal lagi di atas. Kami hanya pergi pulang lokasi itu sebagai kebun. Kami minta pemerintah dan pihak LSM membantu hidup dan masa depan kami. Kami kehilangan semuanya.”
Kasianus Lado, pemilik rumah yang menampung para pengungsi Gunung Egon mengatakan, sejak letusan terjadi, para pengungsi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan LSM serta Gereja berupa beras, sarimi dan jenis-jenis bantuan pangan lainnya. Menurutnya, kesulitan paling besar adalah ketersediaan air bersih. “Memang ada oto tangki yang menghantar air ke sini setiap hari. Tapi kami jadi ragu, apakah air yang dibawa mobil itu bersih atau tidak? Di sekitar sini ada mata air yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Gunung Egon ini ‘kan tetap aktif. Maka kita minta pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya letusan lagi dengan menyediakan sarana air minum yang bersih bagi warga pengungsi nanti yaitu memanfaatkan sumber mata air “ahu wair.” Kami di Blidit ini hidup dari mata air kecil “wair gu” tapi saat ini kapteringnya sudah rusak. Selama ini kami berusaha sendiri dengan membeli kaptering. Kami minta pemerintah atau pihak lain untuk membantu kami menyediakan sarana air bersih bagi hidup kami di masa yang akan datang, tidak hanya untuk pengungsi tapi juga terutama untuk warga di sekitar Blidit ini.”
Apakah benar bahwa tanaman dan rumah penduduk hancur? Benarkah bahwa kehidupan tidak lagi berjalan normal? Kami tiba di Ladan Gawat, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara. Matahari di atas ubun-ubun. Menyengat. Lokasi itu terletak persis di bawah Gunung Egon. Kedashyatan lahar panas dan abu sangat kuat terasa di sini. Dedaunan mangga dan pisang dilumuri lahar panas. Tanaman ubi, wortel dan keladi kehilangan daun. Buah advokat terjatuh. Dahan pepohonan patah karena tidak mampu menahan beratnya lumpur panas yang basah. Sejauh mata memandang, seluruh wilayah itu dilanda lahar panas yang telah mengering. Tengik belerang terasa menusuk hidung.
Maria Tuone Lenti (25) yang tengah menggendong anaknya, Hendrika Yeli (11 bulan) dalam sarung hitam, sedang berdiri di depan rumahnya yang berdinding belahan bambu dengan dua kamar yang diseraki buah advokat. Rumah itu kokoh berdiri dan tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Tiang-tiangnya kokoh meski sederhana. Kamar-kamarnya kosong. “Semua barang sudah dibawa ke Blidit. Sejak letusan Gunung Egon. Kami datang pagi dan sore kembali ke Blidit. Kami bawa ubi, keladi dan sayur yang kami bersihkan,” katanya. Ia selanjutnya mengisahkan kejadiaan naas malam itu saat puncak Egon mengeluarkan lahar panas cair dan abu. “Malam itu sekitar jam 10.00. Kami siap untuk tidur. Tiba-tiba kami mendengar bunyi ledakan yang kuat. Lahar basah dan abu panas turun melanda wilayah ini. Tubuh kami juga terkena abu panas. Kayu-kayu patah. Batu-batu berhamburan. Kami berlari menuju Blidit. Hanya pakaian di badan. Lumpur jatuh melekat di badan. Panas. Rambut penuh lumpur dan abu. Untung kami cepat. Kalau tidak, mungkin kami mati.”
Saat kami memasuki kebun, kerusakan dan kehancuran tanaman tidak seperti yang diinformasikan saat kami berada di Blidit. Ubi, keladi, wortel dan tanaman pangan lain tetap aman dalam tanah. Cuma tanah bagian atas dan dedaunan yang dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. Bahkan Kanisius Kasih, Sekretaris Karitas dan Flores Pos masuk ke kebun padi dan meraba bulir padi yang tetap berisi meski merunduk karena tertimpa beban lahar panas dan abu. “Padi tetap berisi. Memang sebagian kecil rusak. Jagung tetap baik, tidak rusak. Situasinya sudah normal. Mestinya mereka segera kembali ke lokasi untuk membersihkan kebun dan ladang mereka.”

_________________________________
*Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (2)
Bencana, Solidaritas dan Pemberdayaan

Oleh Steph Tupeng Witin

Kali Wair Raat, kurang lebih 1 kilometer dari Dusun Baokrenget, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara terbelah besar. Bongkahan lahar panas yang telah mengering membentangi badan kali. Sebuah jembatan jebol. Inilah salah satu pusat lokasi aliran lahar panas dan abu pada letusan Egon 15 April 2008 lalu. Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD yang mengunjungi lokasi itu bersama Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr, Jumat (9/5) tidak membayangkan seandainya aliran lahar panas itu menerjang perumahan dan warga. Bahkan ke depan, gumpalan lahar panas itu sangat berbahaya jika terjadi banjir di kemudian hari yang akan berakhir di Waigete.
Uskup Kheru mengunjungi lokasi Egon sekaligus berdialog dengan sebagian kecil pengungsi yang memilih tetap bertahan di Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete meski situasinya sudah kembali normal. Uskup berikhtiar melihat secara langsung situasi terakhir agar mendapatkan data yang pasti sekaligus berdialog dengan umat (pengungsi) untuk memperoleh informasi yang benar. Saat berdialog, pengungsi mengutarakan kesulitan yang dialami: tanaman pangan yang hancur, perumahan yang tertutup lahar dan abu vulkanik, bayangan ketakutan akan letusan susulan Gunung Egon dan beratnya niat untuk kembali lagi ke rumah. Uskup Kheru mengajak pengungsi untuk segera keluar dari persoalan ini dengan mencari lokasi yang aman untuk berpindah. Pengungsi setuju karena memiliki lokasi di Blidit. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait berjejaring mendukung niat warga ini.
Uskup Kheru mengatakan, meski kerusakan yang ditimbulkan cukup parah, namun pengungsi mesti segera “dibangunkan” untuk berupaya mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Ada bahaya bahwa bencana terkadang mengurung orang dalam ketidakberdayaan, meski sebenarnya ia memiliki potensi yang besar. Orang bisa saja sembunyi di balik kedahsyatan bencana dan gelombang solidaritas kemanusiaan. Sikap pasif, hanya menunggu datangnya belaskasihan, sumbangan orang lain, mesti dilawan dengan upaya pemberdayaan kesadaran. Titik ini bisa “disalahmanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merekayasa proposal bantuan dan politisasi bencana untuk membangun resistensi dengan pihak pengambil kebijakan.
Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr mengatakan, bahaya apatisme potensi dengan bersembunyi di balik tembok argumen bencana dan ketiadaan harapan hidup mesti dijernihkan dengan data lapangan dan informasi yang benar. Bencana adalah realitas alam yang kadang terjadi di luar dugaan dan perkiraan manusia. Bencana selalu membawa korban. Tetapi bencana tidak bisa membuat manusia larut di dalamnya. Mesti ada pemikiran dan upaya lain untuk mencari celah agar kesulitan yang saat ini menimpa bisa diatasi. Minimal, kekuatan yang ada dalam diri dan lingkungan dapat membantu membangun dan menumbuhkan energi untuk berubah.
Sekretaris Eksekutif Pusat Riset Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, Pater Eman Yosef Embu, SVD mengatakan, setiap upaya untuk membantu para korban bencana mesti tetap mengutamakan pemberdayaan kemampuan, minimal kesadaran bahwa orang mesti merasa ada kekuatan, betapa pun sederhananya, sebagai dasar pijak untuk bangkit dari “kejatuhan.” Menurutnya, kesadaran ini juga harus ada dalam pemikiran setiap komponen yang atas nama kemanusiaan hadir di lokasi pengungsian sebagai tanda solidaritas dengan para korban.Ibaratnya, kita datang memberi kail agar dengan usahanya sendiri mampu memancing ikan dari laut kenyataan (bencana) secara mandiri. Bahayanya, kalau di tengah situasi seperti ini kelompok yang memberi bantuan “memanfaatkan” situasi ketidakberdayaan korban untuk “memancing sesuatu” bagi diri dan kepentingannya. Gambar-gambar yang diatur sedemikian tragis kadang menjadi celah paling gampang untuk menarik simpati berupa dana, sumbangan dan sebagainya.
Sekretaris Karitas, lembaga yang bernaung di bawah Gereja Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih mengatakan, sikap kritis dari setiap pemberi bantuan mesti ditempatkan dmeski dalam bendera solidaritas kemanusiaan. Bisa saja, orang terjebak dalam “permainan” kepentingan untuk mengail keuntungan yang tidak akan menumbuhkan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. “Kita selalu turun ke lapangan, mengambil data, menganalisisnya dan merumuskan strategi bantuan yang akan diberikan kepada para pengungsi. Bantuan yang kita berikan selalu dalam perspektif pemberdayaan. Kekuatan dan peluang positif yang ada dalam diri korban harus dibangkitkan agar tumbuh rasa percaya pada kekuatan diri sebagai dasar untuk mandiri. Jujur, kalau kita tidak kritis akal sehat bisa dikalahkan oleh bujuk rayu, air mata dan kata-kata memelas yang merebut hati,” katanya.
Bencana apa pun selalu membangkitkan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaan ini membuka jejaring kerja sama dengan berbagai elemen yang peka. Meski demikian, jejaring solidaritas itu mesti dilandasi oleh sikap kritis yang berupaya agar semangat mandiri, sadar akan kekuatan diri terus bertumbuh. Solidaritas tidak mesti mematikan energi dalam diri manusia untuk berkembang dan maju. Sikap ini yang mesti menjadi awasan setiap kali daerah ini kembali menjadi etalase bencana.

Abu Samah


Abu Samah:
Saya Tidak Perdagangkan Bukit Puakoyong

Oleh Steph Tupeng Witin


Sorot matanya tajam menerjang nurani siapa pun. Urat-urat perjuangan melengkungi dahi dan lengannya. Kulitnya legam terbakar terik matahari Kedang yang garang menggambarkan sosok pekerja keras yang pantang menyerah. Komitmennya untuk mempertahankan hak ulayat Puakoyong, yang menurut analisis Pemerintah Kabupaten Lembata dan PT Merukh Enterprise mengandung emas yang luar biasa, telah membuktikan itu. Sosok ini tidak bergeming sedikit pun pada tawaran lembaran-lembaran nikmat yang coba disodorkan pemerintah melalui siapa pun yang dianggap bisa mempengaruhi nurani dan menggoyahkan komitmen. Baginya, Puakoyong bukan sekedar gundukan tanah yang diatur oleh alam dan “telanjur” menjadi kekuasaan ulayatnya. Tetapi Puakoyong adalah napas hidup karena di bukit yang hijau itu kehidupan dan kematian menyatu. Leluhur dan generasi saat ini serta masa depan menggantungkan nasib.
“Sikap saya terkait tambang dari dulu tidak akan pernah berubah. Saya tetap menolak tambang sampai mati sekalipun. Puakoyong adalah warisan leluhur yang tidak akan saya gadaikan dengan uang berapa karung pun. Pemerintah sudah berulangkali mengutus “orang-orangnya” mendekati saya dengan berbagai cara dan jalan. Bupati pernah mengirim uang Rp150.000 dan saya kirim kembali melalui tukang ojek. Ini sangat menghina saya. Dari dulu saya miskin dan hidup dari keringat saya di kebun dan ladang. Saya tidak pernah hidup dari keringat orang lain. Saya selama ini hidup dengan sangat terhormat sebagai manusia. Terakhir bupati mengirim saya uang sebesar Rp1 juta. Beberapa minggu lalu bupati menyuruh utusannya untuk meminta uang itu kembali. Tetapi saya tidak mengembalikan uang itu. Saya telah mengamankan uang itu. Uang itu akan jadi alat bukti di pengadilan nanti karena saya akan menggugat bupati,” katanya saat ditemui di Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, Kamis (1/11).
Lelaki kelahiran Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, 62 tahun lalu itu sangat keras menolak rencana tambang yang mencakup Puakoyong, ulayat miliknya. Menurutnya, penolakan ini berdasarkan sejarah leluhur yang menegaskan bahwa hak ulayat tidak boleh diperdagangkan karena yang akan menjadi korban adalah saudara perempuan sendiri. Menyerahkan tanah ulayat untuk dibongkar sama dengan menyerahkan kehormatan saudari untuk dinistakan oleh orang luar. Ulayat Puakoyong didukung oleh lima (5) suku yaitu Nuturamun, Moyeha, Latiha, Leuweha dan Orowala. “Keempat suku hanya menunggu suara dari saya. Ketika saya katakan saya mau menyerahkan tanah ulayat Puakoyong maka semua habis. Napas dan masa depan ribuan jiwa hilang dalam sekejap,” katanya.
Menurut lelaki yang tidak bersekolah ini, berulangkali dirinya dipengaruhi untuk menyerahkan Puakoyong. Namun keputusan dan komitmennya tidak akan pernah berubah. “Satu kali saja saya omong dan itu tidak akan saya tarik kembali. Saya tidak akan menjilat ludah yang saya sudah saya buang. Saya bukan anjing atau kucing. Saya diancam untuk dibunuh, diteror bahwa akan ditabrak mati dan diracun melalui makanan dan minuma. Tapi saya tetap biasa saja. Saya mempertahankan hak ulayat saya. Saya tidak pernah mencuri atau merampas hak milik orang lain. Saya orang kecil, rakyat jelata, tidak bersekolah tapi saya tidak diajarkan oleh leluhur saya untuk serakah dengan harta milik sesama. Saya diajarkan untuk bekerja keras dan berkeringat. Hidup dari kerja sendiri. Bukan menjadi penadah murahan yang tidak bermartabat. Saya yakin saya benar. Kalau pemerintah paksakan rencana ini, saya sudah katakan kepada anak-anak saya agar menguburkan saya di bukit Puakoyong itu agar dibongkar dan digusur bersama tanah ulayat oleh alat-alat berat pemerintah dan Merukh. Saya siap jadi tulang belulang demi membela dan mempertahankan hak saya,” katanya.
Ia mengatakan, sebagai tuan tanah, ia akan mempertanahkan tanah Puakoyong sampai mati.Tetapi jika pemerintah karena berdasarkan undang-undang mau masuk, silahkan masuk. “Dia masuk juga saya tidak suruh, dia tidak masuk juga saya tidak larang. Di sana baru dia urus dengan jin, dengan roh halus, bukan dengan saya. Bumi yang sedang kita pijak ini sedang sakit. Hari-hari kita injak di atas dia, kencing dan berak di atas dia, makan di atas dia lalu kita perdagangkan dia lagi. Alam yang sedang kita junjung, siang panas, malam dingin, sedang jadi saksi. Saya tidak akan pernah memperdagangkan Puakoyong hanya karena beberapa karung uang. Di bukit itu kehidupan dan kematian bersatu.”
Saat ini Bapa Abu, demikian disapa akrab setia mengaliri napas hidup bersama isteri dan anak-anaknya di Peuma dengan sederhana. Setiap hari ia ke kebun dan mengurus ternak. Rumahnya selalu terbuka. Beliau dikaruniai 8 anak dari 2 isteri. Dari Maimona Ena lahir Abdul Fatah, Mohamad Puas. H. Ahmad, Syukur Ahmad dan Naya Ahmad dan dari rahim Pangka Rahmat lahir Isa Ahmad, L. Ahmad dan Mone Ahmad. “Biarpun saya diancam, diteror dengan cara apa pun saya tidak akan gentar. Saya hidup seperti biasa dari dulu. Saya ini orang kampung yang tidak sekolah. Tapi saya tidak akan dipengaruhi oleh siapa pun untuk mengubah pendirian dan sikap saya. Saya tolak tambang. Saya tidak akan memperdagangkan bukit Puakoyong karena akan menyengsarakan banyak orang.”

Simon Hayon

Bupati Simon Bantah Sebarkan Ajaran Sesat
*Romo Kerans: Kita sedang Kumpul Bukti


Oleh Steph Tupeng Witin

Bupati Simon Hayon dengan tegas membantah sebaran informasi yang tidak jelas sumbernya bahwa ia menyebarkan ajaran sesat di Kabupaten Flores Timur. Sebagian warga Flotim mengaku resah dan gelisah dengan pernyataan Bupati Simon Hayon yang hingga detik ini belum dibuktikan oleh siapa pun, termasuk para tokoh Katolik yang sudah menggelar pertemuan di ruang rapat Paroki San Juan Lebao-Larantuka, Sabtu (31/5) lalu. Menurutnya, pernyataan-pernyataan itu mesti dibaca sesuai konteks pembicaraan yang berkaitan dengan makna simbolik dan mesti dibedakan mana yang disebut makna dan mana yang disebut sejarah. Selain itu seluruh alur pembicaraan mesti diikuti secara tuntas dan bukan mengambil apalagi mengerti sepotong-sepotong dari pembicaraan dan ditafsirkan menurut kepentingan dan interese tertentu.
“Tuduhan dari beberapa kalangan terbatas bahwa saya menyebarkan ajaran sesat itu sama sekali tidak benar. Seingat saya, pernyataan-pernyataan yang dituduhkan itu tidak pernah saya lontarkan di depan publik Flotim dalam setiap kunjungan kerja. Saya tahu persis kapan, di mana dan bagaimana saya mengutarakan keyakinan pribadi dan apa yang mesti saya buka ke tengah publik sebagai konsekuensi dari kehadiran saya sebagai pejabat publik. Saya tidak pernah mencampuradukkan keyakinan pribadi untuk diikuti oleh rakyat apalagi memaksa. Semua pernyataan itu saya angkat dari khazanah budaya Lamaholot yang sangat kaya dan bukan saya bawa dari luar. Semua pembicaraan saya selama kunjungan kerja di Flotim terekam oleh Bagian Humas.”
Hal itu dikatakan Bupati Simon ketika ditemui di Larantuka, Minggu (8/6) lalu.sebagaimana dikaetahui, beberapa waktu lalu sejumlah tokoh Katolik di Kota Larantuka menggelar pertemuan di San Juan Lebao yang selanjutnya mempublikasikan kesimpulan pertemuan itu bahwa Bupati Simon dinilai menyesatkan warga dengan pernyataan-pernyataan publik bahwa Yesus Kristus lahir di Desa Wure, Kecamatan Adonara Barat, Nyi Lorokidul atau ratu pantai selatan berada di Desa Nobo Gayak, Kecamatan Ile Boleng, kuburan raja Firaun ada di Desa Nobo Gayak dan sebagainya. Bupati Simon memaknai semua tuduhan itu sebagai kritik terhadap dirinya sebagai pejabat publik. Ia mengajak kembali ke dokumen pembangunan sebagai dasar pijakan yang tercermin dalam visi-misi pemerintahan yang diupayakan untuk sejauh bisa dikonkretisasikan dalam pengelolaan pembangunan. Menurutnya, misi pertama adalah jati diri. Jati diri itu, selain koda, sabda yang diajarkan oleh agama-agama tetapi juga yang disebut koda dalam hukum adat. Jika semua nilai digali, Flotim sangat kaya dengan prinsip-prinsip, ajaran-ajaran yang sesungguhnya sangat menjamin hidup bersama secara layak dan berkesinambungan.
“Jadi semua itu sebenarnya kristalisasi dari ajaran agama maupun prinsip-prinsip ajaran yang kita temukan dalam hukum adat yang kita sebut koda pulo kirin lema. Itu sangat luar biasa. Saya dari lewo (desa) ke lewo ingin mengangkat itu. Jadi bukan sesuatu yang berada di luar lingkungan masyarakat Lamaholot. Ini kita gali dari kandungan masyarakat Lamaholot. Kalau kita bisa rumuskan ini menjadi jati diri, pijakan dan orientasi pembangunan maka adalah terlalu sederhana kalau kita hanya mengetahui ajaran-ajaran luhur. Mari kita melangkah lebih jauh. Siapa sesungguhnya yang mewarisi ajaran luhur ini, koko moja yang mewariskan ajaran yang baik.”

Bersih dan Berwibawa
Bupati Simon mengatakan, hal kedua yang diemban adalah menciptakan sebuah pemerintahan yang bersih dan berwibawa, termasuk upaya keras untuk memberantas praktek korupsi. Maka ia mengajak segenap rakyat untuk kembali ke fitrah, kebeningan meski dalam praktek pemerintahan, agama dan hukum adat, ada bias. “Bagi saya, makna pembangunaan adalah upaya untuk mengangkat harkat dan martabat manusia (ata diken). Saya lihat secara umum di Indonesia, setiap hari kita bicara tentang pembangunan tetapi setiap hari juga kita saksikan sebagian rakyat diusir-usir, dikejar-kejar seperti hewan. Saya tidak mau kita di sini mengalami hal yang sama. Marilah kita wujudkan keadilan, pemerataan supaya susah senang kita sama-sama. Prinsip, nilai hidup solidaritas itu ada, hidup di dalam masyarakat Lamaholot, di dalam agama dan hukum adat, tekan tabe gike uku, tenu tabe lobon luan. Itu yang saya angkat: Ini tentang ajaran.”
Bupati Simon mengatakan, selanjutnya ia mengajak untuk melangkah lebih jauh agar mengetahui siapa leluhur dan hal ini menghantar kita maka memasuki wilayah sejarah. Sejarah bicara tentang peristiwa apa, kejadian apa, siapa pelaku, di mana, kapan. Sejarah tidak menggugat soal ajaran meski sejarah bisa saja keliru karena ditulis oleh manusia. Maka sejarah terbuka untuk didiskusikan. “Jadi saya sendiri tidak paham kalau semua itu disebut ajaran sesat karena saya melihat orang-orang itu tidak bisa membedakan secara jernih mana ajaran dan mana yang disebut sejarah. Di lingkungan masyarakat Lamaholot, temutu/sejarah itu terungkap dalam bahasa-bahasa simbolik, bahasa perumpamaan sehingga kita perlu memaknai lebih jauh makna di balik bahasa perumpamaan. Kecuali kalau saya membawa ajaran dari luar. Seingat saya, saya tidak pernah bicara di depan publik soal Firaun, soal Wureh, laut mati, Nyi Roro Kidul.”
Menurutnya, beberapa waktu lalu satu lembaga dari Prancis yang namanya La Rocelle akan mengirim beberapa ahlinya ke Flotim: antropolog, linguistik, geolog dan arkeolog yang akan masuk dalam wilayah sejarah untuk membuat penelitian sehingga setiap pembicaraan selalu ada dasar-dasarnya dan bisa dipertanggungjawabkan. “Semua pembicaraan itu terekam. Misalnya, di dalam sole oha (tandak/dolo) ada ungkapan: belo kopong keni, barek ata kiwaan tani nete liman (pemuda yang terbunuh, perempuan menangis dengan tangan terulur). Bagi saya, kopong keni, bareka ata kiwan harus dimaknai lebih jauh dari itu. Tapi saya tidak pernah mengatakan Yesus lahir di sini, di sana, itu tidak. Saya juga agak hati-hati karena ada “kalangan” yang lain. Lain halnya kalau itu di kalangan sendiri, saya langsung mengatakan, itu ungkapan untuk Yesus. Kopong keni itu bukan satu orang dengan nama itu tetapi keropong, kemamu. Barek ata kiwan itu bisa diasosiasikan dengan Bunda Maria. Tapi apakah itu menunjukkan bahwa di sini tempatnya, belum tentu. Tetapi bahwa sebagian masyarakat Lamaholot mengenal itu sehingga dari zaman ke zaman dinyanyikan di dalam sole oha.”
Terkait upacara di Nobo, Bupati Simon mengatakan, upacara itu dalam Lewotana. Di Nobo itu ada lewo, desa, tapi Nobo yang kita maksud itu dalam konteks Lewotana. Anggapatan kita Solor watan lema, Solor lima pante. Upacara itu dalam konteks lewotana solor watan lema. “Kaitan dengan emas, hasil laboratorium memang positif. Sebenarnya pada 18 Mei 2008, tim langsung melakukan survey berdasarkan hasil lab tapi ini miliknya Lewotana, milik rakyat, ini semua tergantung pada rakyat. Jangan hanya diambil untuk kepentingan “orang lain.” Saya punya keyakinan, kalau tambang emas itu adalah warisan leluhur, maka mereka punya kemampuan untuk sembunyikan itu. Leluhur itu kan mereka yang suci yang kita sebut inam bela, brelo redong. Ini soal keyakinan saya. Untuk memastikan itu, kita cari orang yang memiliki teknologi.”

Lestariakan Budaya
Kabag Humas Setda Flotim, Nor Lanjong Kornelis di Larantuka, Minggu (8/6) menegaskan, selama tiga tahun memimpin Flotim, Bupati Simon sangat menjunjung tinggi adat Lamaholot yang mengandung koda adat (sabda) yang berisi ajaran hidup (koda pulo kirin lema) yang hidup di tengah rakyat yang menjadi landasan membangun hidup masyarakat. Menurut Lanjong, Bupati Simon menghidupkan ajaran-ajaran tersebut sejalan dengan tema kepemimpinan politik dalam perspektif pembangunan yang berparadigma budaya demi terwujudnya masyarakat Flotim yang maju, sejahtera, bermartabat serta berdaya saing dengan misi membentuk masyarakat Flotim yang memiliki jati diri (ata diken).
Terkait upacara di Nobo Gayak, Ile Boleng, Lanjong menginformasikan, upacara itu dilakukan untuk menghormati para leluhur yang sama seperti dilakukan ketika hendak mendirikan bangunan (rumah adat atau gereja) yang selalu didahului dengan penyembelihan hewan kurban. “Bupati Simon menghidupkan nilai dan ajaran yang hidup dalam Lamaholot. Beliau tidak membawa ajaran dari luar untuk sesatkan warga,” katanya.

Kumpul Bukti
Deken Larantuka, Romo Adu Kerans, Pr saat ditemui di Pastoran Lebao, Senin (9/6) lalu mengatakan, pernyataan bahwa Bupati Simon dinilai menyebarkan ajaran sesat mengungkapkan keresahan beberapa tokoh Katolik berdasarkan apa yang didengar. “Saya menarik kesimpulan bahwa semua itu hanya kita dengar. Sebagian besar peserta yang ikut pertemuan itu mengaku hanya mendengar. Saya tekankan supaya mencari bukti-bukti yang jelas untuk mendukung bahwa yang didengar itu betul. Saya juga sudah dekati bapak bupati. Ada banyak istilah yang dirangkaikan dengan keagamaan itu, dia tidak omong. Bupati lebih banyak dengan Alber Pito maka mereka kaitkan bahwa itu bupati yang omong. Forum pemerhati ini sedang cari data, bukti yang jelas. Semua mereka hanya dengar.”
Menurutnya, forum telah publikasikan penilaian itu di media. Langkah berikut adalah menjelaskan kepada umat supaya tidak resah. Misalnya, ada emas di Nobo. Sudah ada upacara adat maka langkah berikut adalah survei untuk membuktikan bahwa emas itu ada atau tidak. Itu ilmiahnya.
“Koran itu memuat sesuatu yang orang perlu buktikan. Kelompok spontan, punya inisiatif, lihat keresahan di dalam masyarakat, diskusi bersama untuk temukan langkah hilangkan keresahan itu. Tapi bupati bilang dia tidak omong. Maka sudah ada pencemaran nama baik pejabat (bupati). Kita anjurkan agar ada pemulihan nama pejabat. Kita minta DPRD untuk dialog dengan bupati terkait pencemaran nama baik itu. Ada yang minta agar massa turun untuk dialog bersama, tapi kita mesti waspada karena bisa jadi ada banyak pikiran emosional masuk dan itu berbahaya. Pikiran terakhir, nanti kita ke DPRD dengan utusan dari paroki. Maksudnya supaya mereka mengerti masalah yang sebenarnya.”
Romo Kerans mengatakan, Uskup Frans meminta agar diberi pemahaman yang jelas, jangan bersikap emosional, tetap rasional, dengan semangat baik, kebenaran. Banyak orang menangkap dan mengambil pernyataan bupati sepotong-sepotong tetapi melihat pesan waktu itu (konteks). Misalnya, Yesus lahir di Wureh. Pesannya bisa historis atau konteks, pesan rohani. Pemahaman itu bisa dimengerti secara konteks pembicaraan dan acara saat itu.
“Kita sedang cari dan kumpulkan bukti (Pulbaket). Mass media itu belum menjadoi kebenaran. Orang harus dengar langsung. Kesulitan kita adalah apakah orang yang mendengar langsung itu mau bertanggung jawab? Persoalan ini harus dlihat secara jernih. Kalau kita dengar apa yang orang katakan, kita bisa tahu latar belakang orang itu. Apakah kalah politik, pernah ada soal dengan beliau, pernah disakiti. Itu berbahaya, kita bisa ditarik masuk dalam lingkaran itu.”

Kenapa Resah?
Pastor Paroki Lewotobi, Romo Frans Amanue, Pr dari Larantuka, Selasa (17/6) mempertanyakan dasar keresahan, data dan bukti pernyataan serta dugaan bahwa ada kelompok yang sedang menggalang kekuatan untuk melawan pemerintah. Menurutnya, tokoh-tokoh Katolik menilai Bupati Simon sudah meresahkan umat beragama di Flotim. Pernyataan itu mesti ditunjukkan pada forum mana, kapan, siapa yang jadi saksi karena tidak cukup hanya mengatakan “orang bilang orang omong, banyak orang dengar seperti itu.”persisnya pernyataan itu berbunyi bagaimana? Pernyataan itu harus diletakkan dalam keseluruhan konteks, jangan sepenggal-sepenggal. Harus juga dibedakan forum publik dan forum diskusi/sharing.
“Mengapa resah dengan pernyatan Bupati Simon? Kalau resah, itu berarti iman kita masih belum mendalam. Apa kerja para pastor selama ini? Kita hidup dan bekerja di tengah umat, tidur bangun dengan umat setiap waktu tapi seorang Simon saja dengan pernyataannya telah membuat umat resah dan sebagian pastor kelabakan lalu ikut buat penilaian yang dimuat di media tanpa disertai bukti dan data yang akurat. Bupati Simon sudah menyatakan bahwa apa yang disampaikan itu merupakan keyakinan pribadi dan tidak pernah disampaikan di depan publik. Jelas ‘kan? Kenapa resah dan repot, malah pusing tujuh keliling?”
Menurutnya, pertemuan yang digelar di Lebao yang melibatkan tokoh-tokoh dari Paroki Waibalun, Kathedral, Lebao dan Weri berlebihan. Apa yang kamu cari? Soal ajaran sesat, sederhana sebenarnya yaitu hierarki bertindak. Ada uskup dan perangkat-perangkatnya, ada dewan imam, malah Keuskupan Larantuka memiliki pakar teologi. Tidak perlu dengan mengerahkan paroki-paroki. Dengan data dan fakta, Bupati Simon bisa dipanggil, ditegur, malah kalau perlu ekskomunikasikan dia. “Ketika Forum Reformasi Flotim (FRF) yakni sekelompok LSM bersama beberapa pastor menuding dugaan KKN Bupati Felix, institusi gereja tidak jelas sikapnya, malah “memusuhi” pastor-pastor itu. Padahal KKN merugikan rakyat. sekarang institusi gereja terlihat bermanuver, sepertinya menggalang kekuatanmelawan musuh. Kalau Simon sesat, katakan terus terang, tindaki dia, jangan seperti orang yang tidak percaya diri lalu galang kekuatan melawan. Apa yang kamu cari? Mau jatuhkan Simon sebagai bupati? Jika itulah yang tersembunyi di balik manuver tersebut, apa gereja tidak sedang berpolitik? Dulu, pastor-pastor FRF dituding berpolitik. Sekarang ini: siapa yang berpolitik?”
___________________________________

Kebijakan Uang Makan PNS Sesuai Aturan
*Agus Boli: Uang LP Tidak Wajib Hukumnya

Oleh Steph Tupeng Witin dan Frans Kolong Muda

Bupati Simon Hayon mengatakan, kebijakan terkait uang lauk pauk bagi pegawai negeri sipil (PNS) di Kabupaten Flores Timur telah sesuai dengan aturan yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 22/PMK tahun 2007 tanggal 23 Pebruari 2007, pemberian uang makan bagi PNS itu hanya berlaku bagi PNS pada lingkup departemen/kementerian (vertikal) dan di daerah hanya berlaku bagi PNS yang bekerja di departemen agama, badan pertanahan nasional (BPN), kejaksaan, pengadilan dan sebagainya dengan besaran Rp10.000. Sedangkan bagi PNS di daerah, berdasarkan surat edaran Mendagri kepada para gubernur dan bupati/walikota Nomor 841.7/680/BAKD tanggal 22 Agustus 2007 terkait penyediaan uang makan bagi PNS di daerah, pada poin kedua surat edaran tersebut mengatakan, pemberian uang makan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dengan standar biaya yang ditetapkan oleh kepala daerah dan pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Pemkab Flotim telah melahirkan edaran Bupati Flotim Nomor BPKAD.841.7/01/1/2008 tanggal 3 Januari 2008 terkait pemberian uang makan bagi PNS sebesar Rp7500.
Hal itu ditegaskan Bupati Simon ketika ditemui di Larantuka, Minggu (8/6) untuk menjawabi tuntutan para guru melalui wadah PGRI yang telah mendatangi DPRD Flotim sebanyak 4 kali untuk menuntut kenaikan uang lauk pauk dari Rp7500 menjadi Rp10.000. Bahkan dalam tuntutan uang lauk pauk ini juga disuarakan oleh Forum Dewan Pastoral Paroki se-Kota Larantuka yang mendatangi DPRD Flotim terkait ajaran sesat, Selasa (17/6). DPRD Flotim merespons tuntutan para guru itu dengan membuat keputusan DPRD Flotim No.20/DPRD.Kab/Flt/2008 tentang persetujuan DPRD Flotim untuk menambah uang makan bagi PNS lingkup Pemkab Flotim. Persetujuan DPRD Flotim ini mendapat perlawanan dan penentangan dari beberapa elemen masyarakat Flotim seperti warga Solor Barat, Jaringan Petani Wulanggitang (JANTAN), Komunitas Rakyat Demokrasi (KonRad) dan massa dari Forum Masyarakat Ile Boleng dan Klubagolit. Massa rakyat ini mempertanyakan pendasaran pembuatan keputusan DPRD tersebut.
Terkait desakan perlawanan massa rakyat tersebut, Ketua DPRD Flotim, Mikhael Betawi Tokan saat menerima massa Forum Masyarakat Ile Boleng dan Klubagolit, Rabu (18/6) mengatakan, sikap dewan sudah bulat yaitu akan menindaklanjuti aspirasi masyaarkat sesuai prosedur dan mekanisme DPRD. “Segala aspirasi akan kita bahas dan kita jadikan bahan pertimbangan dalam pembahasan APBD perubahan bulan Agustus 2008” (FP, 17/6).
“Peraturan Menteri Keuangan No 22 thn 2007sangat jelas mengatakan bahwa besaran uang lauk pauk Rp10.000 hanya berlaku bagi PNS dalam lingkungan kementerian negara. Itu berarti bahwa untuk PNS di daerah tidak berlaku. Ketentuan bagi PNS di daerah berlaku ketika ada surat edaran Mendagri yang membuka peluang agar daerah boleh mengalokasi dana sepanjang kemampuan keuangan daerah memungkinkan. Tidak ada dana khusus dari Jakarta yang dialokasikan perorang Rp10.000. Ini uang yang sudah masuk di APBD dan itu daerah yang mengatur. Ini kebijakan setempat. Saat rapat para Sekda se-Indonesia di Mataram beberapa waktu yang dihadiri Sekda Diaz Alffi, para Sekda se-Indonesia sangat heran karena Pemkab Flotim sudah bisa mengalokasikan uang lauk pauk bagi PNS daerah sebesar Rp7500,” kata Bupati Simon.

Solidaritas
Menurut Bupati Simon, saat bertemu dengan utusan Ranting PGRI Waibalun yang berdialog dengannya di kantor, ia menawarkan kalau para guru tidak mempercayai landasan kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah, pihaknya bisa memfasilitasi utusan para untuk ke Jakarta bertemu dengan Mendagri, tetapi para guru tidak mau. “Ketika saya melakukan kunjungan ke desa-desa, saya mengedepankan prinsip koda pulo kirin lema dan nilai utama yang saya angkat adalah tekan tabe liu uku, tenu tabe lobon rua. Itu prinsip solidaritas, saling tolong menolong, hidup bersama. Maka saya mengangkat persoalan guru ini sebagai contoh bagi masyarakat. Saya tidak dalam rangka melecehkan guru. Bahasa saya adalah: Saya ingat para PNS, saya ingat para guru tapi saya juga diberi kesempatan untuk mengingat rakyat Flores Timur yang jumlahnya 225 ribu jiwa lebih. Konteks mereka itu petani, nelayan, pedagang kecil. Mereka butuhkan air, jalan, listrik, bibit tanaman, pemberdayaan ekonomi. Tolong kita ingat dengan prinsip Lamaholot tadi yanbg juga diajarkan oleh agama-agama kita. Mari kita ingat juga saudara-saudara kita yang lain. Alokasinya uang lauk pauk sebesar Rp7500 saja itu sudah hampir Rp10 miliar kami siapkan. Kalau mereka menuntut lagi tambah Rp2500 berarti tambah sekitar Rp3 miliar lebih lagi. Jadi sekitar Rp13 miliar harus disiapkan. Nah kalau kita bangun jalan, sudah berapa ruas jalan, listrik, air minum yang rakyat, termasuk para PNS, guru, rakyat pada umumnya bisa nikmati?”

Terbuka Dikritik
Bupati Simon membantah penilaian segelintir “orang” bahwa ia stress dalam masa kepemimpinan di Flotim. “Saya enjoy dengan apa yang saya lakukan. Pembangunan fisik berjalan tapi saya tidak inginkan pembangunan cuma sampai di situ. Mari kita lebih jauh: soal nilai, bagi saya harus ada keseimbangan. Kita melihat Indonesia: pembangunan fisik, ya, tapi coba kita lihat hubungan persaudaraan, persatuan, seperti apa? Porak poranda. Raskin saja orang berkelahi. Itu artinya, nilai yang menjamin kebersamaan, keberlanjutan itu hilang. Percuma kita bangun infrastruktur tanpa diikat oleh nilai. Kristalisasi nilai-nilai itu, koda pulo kirin lema itu tercermin dalam diri masing-masing kita. Mampukah kita menunjukkan budi adat itu dalam kenyataan? Fakta di lapangan, ketika saya melakukan kunjungan untuk melantik kepala desa, rakyat penuh sesak mendengarkan pemerintah. Kalau rakyat tidak suka saya, pasti kosong, mungkin satu dua orang saja.”
Ia mengatakan, sejak memangku jabatan bupati, ia siap dikritik oleh siapa pun asalkan rasional dan disampaikan secara benar dan santun. “Saya terbuka untuk dikritik. Kita diciptakan tidak sempurna. Banyak orang bisa sempurnakan kita. Mari kita saling terbuka. Kalau kita bening, tidak ada soal sebenarnya. Kalau rakyat katakan Simon Hayon tolak tambahan Rp2500 itu keliru, tidak baik dan rakyat membela para guru, saya berhenti. Saya tidak ragu-ragu. Saya katakan itu juga di desa-desa yang saya kunjungi. Saya tidak akan berpihak pada kebatilan. Sepanjang saya tidak mengkhianati sumpah saya yaitu tidak makan uang rakyat, apa pun, silahkan mereka bikin. Saya sumpah kepada leluhur untuk tidak mengutak-atik apa yang menjadi hak rakyat. Saya makan apa yang menjadi hak saya. Saya yakin, kalau kita kerja jujur, leluhur yang di atas akan melindungi kita.”

Tidak Wajib Hukumnya
Direktur Lembaga Kajian dan Advokasi Bebas Rakyat NTT (LKABER NTT), Agust Payong Boli saat diwawancarai wartawan Flores Pos, Frans Kolong Muda, Jumat (20/6) mengatakan, sesuai peratutan Menteri Keuangan RI Nomor 22/PMK tanggal 22 Februari 2007, uang makan sebesar Rp10.000 hanya untuk PNS lingkup kementerian/departemen sedangkan landasan uang makan PNS daerah adalah surat Mendagri Nomor 841.7/680/BKAD/2007 khususnya poin ke-2 yang intinya, pemberian uang makan bagi PNS daerah disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah. “Pemkab Flotim menerjemahkan surat edaran Mendagri itu ke dalam Perda tentang APBD II tahun 2008 dengan mengalokir uang makan bagi PNS daerah sebesar Rp7500/PNS/hari kerja. Secara hukum, surat edaran Mendagri itu sama dengan imbauan atau permohonan untuk dilaksanakan tetapi tidak wajib hukumnya karena surat edaran itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat untuk menjadi dasar pembayaran uang makan bagi PNS daerah. Realisasi uang makan sebesar Rp7500/PNS/hari kerja karena kemauan baik Pemkab Flotim dan bukan karena kewajiban hukum. Dari aspek hukum, Pemkab Flotim tidak diwajibkan untuk mengalokir uang makan bagi PNS daerah, apalagi uang makan itu diambil dari APBD II Flotim yang merupakan milik bersama publik dan aparatur, tentu dengan mempertimbangkan kondisi keuangan daerah,” katanya.
Menurutnya, seandainya Pemkab Flotim tidak menambah uang makan bagi PNS daerah, bukan berarti mengabaikan aspirasi PGRI dan PNS daerah lainnya tetapi mesti mengedepankan kebutuhan dasar publik berupa jalan raya di daerah terisolir seperti Adonara Barat, Solor dan Flotim daratan, air bersih di Adonara, Solor dan Tanjung Bunga serta kebutuhan penerangan listrik yang merata di Flotim. “Kebijakan untuk tidak mengalokir uang makan bagi PNS daerah sama sekali tidak melanggar hukum. Tuntutan PGRI itu, hemat saya mungkin disebabkan oleh kurangnya pemahaman akibat kurangnya sosialisasi dari Pemkab Flotim. Kita harapkan agar demonstrasi di Flotim tidak disusupi kepentingan politik tertentu,” katanya.
Ketua Flores Institute for Resources Development (FIRD), Melky Koli Baran mengatakan, dengan adanya edaran bupati nomor BPKAD.841.7/01/1/2008 tanggal 3 Januari 2008 maka ada payung hukum untuk uang makan PNS di Flotim. APBD 2008 mengalokasikan uang makan bagi 5.151 PNS X 22 hari kerja X 12 bulan X Rp7500 = Rp10.198.980.000. Jelas, dana sebesar ini menyedor anggaran pembangunan publik lain. Ketika PNS menuntut tambahan uang makan menjadi Rp10.000 maka perlu tambahan Rp3.399.660.000 yang terjadi di tengah tahun anggaran tanpa proses penambahan belanja rutin pada APBD yang pasti menyedot lagi belanja pembangunan publik. “Jika kita andaikan, subsidi rakyat miskin untuk renovasi rumah dengan biaya Rp2 juta/rumah maka hanya dengan tidak menaikkan uang makan PNS, Pemkab sudah bisa mensubsidi kurang lebih 1.699 keluarga miskin pada tahun 2008 ini. Pengandaian yang sama bisa dibuat untuk subsidi sarana pendidikan, kesehatan dan sebagainya.”

PGRI Ambil Sikap
Ketua PGRI Flotim, Yohanes Emi Keyn kepada wartawan Flores Pos, Frans Kolong Muda, Jumat (20/6) mengatakan, PGRI Flotim akan segera mengambil sikap untuk melakukan rapat organisasi jika Pemkab Flotim tidak merealisasikan keputusan DPRD Flotim Nomor 20/DPRD.Kab/Flt/2008 tentang persetujuan DPRD Flotim terkait penambahan uang makan bagi PNS lingkup Pemkab Flotim.
Terkait penolakan dan desakan keras kelompok masyarakat yang menolak keputusan DPRD Flotim, Keyn mengatakan, pembangunan untuk publik tentu tidak mengorbankan para guru dan PNS lainnya. Demikian juga menaikkan uang makan PNS tidak boleh mengorbankan pembangunan umum. “Kalau pemerintah tidak merealisasikan tambahan uang makan sebagaimana yang sudah dilegitimasi DPRD, maka secara organisasi PGRI akan menggelar rapat untuk membicarakan hal itu. DPRD dan pemerintah punya institusi, PGRI sebagai organisasi juga punya sikap. Saya s elaku ketua PGRI tidak mengambil keputusan sepihak tapi harus mendengar putusan organisasi,” katanya.
Sekretaris PGRI Flotim, Bartholomeus Payong Dore yang dihubungi melalui telepon selulernya, Jumat (20/6) mengatakan, meski keputusan DPRD Flotim untuk menaikkan uang makan bagi PNS menjadi Rp10.000 belum direalisasikan, PGRI tetap berpegang pada keputusan politik DPRD tersebut. “Kalau pemerintah masih bertahan tidak naikkan uang makan, PGRI juga tetap akan bertahan. PGRI tidak mengenal istilah pembatalan tambahan uang makan bagi PNS.” Terkait tuntutan PGRI ini, Bupati Simon saat dikonfirmasi dari Ende, Minggu (22/6) mengatakan, berdasarkan notulen resmi dari DPRD Flotim yang diterima, belum ada keputusan untuk merealisasikan tuntutan para guru atau tidak. Aspirasi itu sesuai mekanisme DPRD masih akan ditindaklanjuti. “Saya masih harus tanya bagian keuangan daerah dulu karena kenaikan uang makan bagi PNS mempunyai resiko terhadap alokasi pembangunan daerah lainnya. Kita sedang berada di tengah perjalanan tahun anggaran ini,” katanya.

TOLAK Tambang

Eman Ubuq:
Setia Melawan Keserakahan

Oleh Steph Tupeng Witin

Pria ini bertampang sangar. Tampilan fisiknya menggambarkan kerasnya perjuangan hidup di tanah Kedang. Alam yang keras penuh tantangan tapi sesungguhnya mengandung uhe, kekuatan terdalam bagi manusia. Bagi masyarakat Kedang, ulayat adalah warisan leluhur yang harus dipertahankan, dengan cara apa pun, meski itu berarti mengorbankan hidup. Tanah menopang hidup warga. Inilah filosofi yang melandasi perjuangan pria ini bersama warga Kedang menolak rencana pertambangan emas dan tembaga yang digulirkan oleh Pemerintah Lembata yang sangat tertutup, penuh kemunafikan, kebohongan dan kepalsuan. “Rakyat Kedang-Leragere melakukan perlawanan terhadap rencana tambang yang mengumbar keserakahan untuk mencaplok apa saja yang menjadi hak dan milik rakyat. Kita sebenarnya tengah mengoreksi kebijakan yang serakah itu. Keserakahan itu dibangun atas nama kesejahteraan rakyat.”
Ia dilahirkan di Benihading II, Kecamatan Omesuri, 8 Desember 1972. Putera ke-3 dari enam bersaudara buah cinta pasangan Mikael Aba dan Theresia Ina. Salah seorang saudarinya adalah Sr. Hironima, SSpS, saat ini bekerja di RS St. Elizabeth Lela. Pendidikan dasar dilaluinya di SDK Aliuroba dan melanjutkan ke SMPK St. Don Bosco Aliuroba tapi tidak tamat. “Pengalaman masa kecil dalam keluarga yang paling membahagiakan adalah saat Natal dan Paska kami sekeluarga berlibur ke kampung nenek yaitu Buriwutung. Di sana kami saksikan keindahan kampung yang tersusun, kesederhanaan hidup dan kesetiaan warga berjuang untuk bertahan hidup,” katanya.
Ia meninggalkan bangku SMP karena mengalami gangguan jiwa yang berlangsung selama satu tahu lebih. Ia melewatkan waktunya di kampung. Tahun 1990 ia memutuskan untuk merantau ke Malaysia selama 15 tahun. “Di Malaysia saya dipercaya menjadi penengah dalam setiap persoalan, entah persoalan keluarga, relasi antar rekan kerja dan sebagainya,” katanya. Ia kemudian menikah dengan Yosefina Nona tahun 1996 dan dikaruniai 2 anak, putri berumur 11 tahun dan putra berusia 2 tahun. Di desa, ia dipercaya menjadi ketua tim pelaksana program pengembangan kecamatan (PPK).

Otodidak
Menurutnya, isu akan adanya tambang emas dan tembaga sudah didengar tahun 2005. Pengetahuannya tentang tambang kosong. “Kebetulan saya bertemu dengan aktivis Jatam, Meentje Simautauw yang saat itu menjadi tim sukses Joker yang “berkelana” mengelilingi Kedang saat pilkada. Saya diberi buku-buku dan data-data dari jaringan tambang. Saya mulai mengenal pertambangan itu khususnya dampak negatif yang merusak dan menghancurkan lingkungan alam. Saya akhirnya memutuskan untuk berjuang bersama masyarakat menolak tambang dan mempertahankan tanah,” katanya.
Eman mengatakan, masyarakat Kedang menolak tambang karena ada kesadaran rencana ini akan menggusur mereka dari ulayatnya sendir di mana secara turun temurun mereka hidup dan berladang. “Orang Kedang melihat bahwa kampung halaman ditaburi nilai sakral sebagai kenangan dari nenek moyang yang harus dipertahankan. Pemilik ulayat sadar bahwa di atas ulayat ini hidup anak, isteri, sanak saudara, keluarga yang mengikat mereka turun temurun. Menjual ulayat berarti menyingkirkan semua itu dari ulayat. Adat orang Kedang tidak seperti itu. Kami hargai kebijakan sosial ini. Emas adalah kekuatan dalam tanah yang menghidupkan orang Kedang. Emas adalah tiang penopang tanah ulayat. Orang Kedang percaya akan kekuatan di atas (khalik) dan di bawah yaitu emas (uhe),” katanya.
Menurutnya, saat ini pemerintah terjebak dalam skenario kejahatan perusahaan yang berpikir bahwa rakyat akan dengan gampang menerima. Pemerintah terkejut bahwa rakyat kritis terhadap kebijakannya. “Ketika masyarakat sudah kritis, Pemkab mengolah penipuan dan dengan penipuan pemerintah semakin takut untuk mengakui dengan jujur kepada masyarakat bahwa pihaknya salah. Sampai saat ini konsep-konsep penipuan terus dibangun. Gelombang manipulasi dan rekayasa dukungan murahan terus membohongi rakyat. Masyarakat sudah tahu bahwa pemerintah menipu tapi penipuan terus dilancarkan. Rakyat sesungguhnya membutuhkan sebuah birokrasi yang jujur dan menghargai kesakralan ulayat,” katanya.
Eman mengimbau pemerintah agar menghentikan berbagai upaya untuk terus memanas-manasi rakyat dengan isu yang tidak bertanggung jawab. “Pemerintah berhentilah menjadi seolah-olah perusahaan yang akan menambang emas. Masyarakat meminta agar tambang dibatalkan. Sosialisasi dari siapa pun sudah lewat waktunya. Rakyat saat ini sudah bulat tolak tambang.”
Keterlibatan dalam perjuangan bersama rakyat melawan kekuasaan yang serakah memang selalu sarat resiko. Ketua Barisan Rakyat Kedang Bersatu (Baraksatu) yang dikenal sebagai “Pejuang sandal jepit” ini menghabiskan sebagian besar waktunya untuk konsolidasi rakyat di seluruh Kedang. “Keluarga sangat mendukung perjuangan saya ini. Selama perjuangan ini isteri saya mengambilalih peran saya dalam keluarga. Saya didukung oleh keluarga dan orang kecil yang lemah ini. Saya berusaha membela nasib mereka. Keluarga dan orangtua mempersembahkan saya ini untuk berjuang menjaga keutuhan ulayat kami,” katanya.






*Emas Imamat dan Perak Uskup Pain Ratu (1)
“Cahaya” Telah Terbit dari Lamawolo



Oleh: Steph Tupeng Witin



Lamawolo, kampung mungil yang bertengger di kaki Ile Boleng, sebelah selatan Pulau Adonara yang melayang-layang di atas hamparan laut. Secara administratif, Lamawolo masuk Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur. Kampung lama masih jauh di kaki gunung Boleng sedangkan kampung baru sudah agak ke pantai. Kampung ini tampak tegar menahan gempuran ombak garang yang memukul dinding karang dan lahan garapan warga. Malam hari kampung ini dipendari cahaya listrik, swadaya murni warga. Meski struktur tanahnya berpasir, namun letaknya yang dekat dengan gunung berapi memungkinkan tumbuhnya padi, jagung dan ubi-ubian. Penduduk memperoleh penghasilan tambahan dari pohon tuak dan lontar yang tumbuh subur bersama kelapa.
Struktur tanah yang kurang subur turut mendorong arus perantauan warga. Dampak positifnya adalah kemajuan pembangunan dan penataan desa. Watak keras sebagai warisan leluhur dipadukan dengan pengalaman kemajuan dari luar memungkinkan Lamawolo dirancang menjadi sebuah “rumah” yang modern: perpaduan antara tradisi leluhur dan sentuhan nuansa pengalaman dari “seberang.” Sebuah Lamawolo yang apik. Ia telah mencatatkan dirinya sebagai salah satu desa teladan dalam pembangunan masyarakat desa di Provinsi NTT.
Di “rahim” kampung inilah Anton Pain Ratu dilahirkan pada 2 Januari 1929. Putra sulung dari tujuh bersaudara. Ia “terlempar” ke perut Lamawolo melalui perpaduan kasih mesra antara ayah Kosmas Kopong Liat (+1969), petani tulen dan tengkulak lewat perahu, Kepala Suku Ratumakin, kepala kampung, anggota majelis gereja dan Maria Boli Beraya (+2007), anak Kepala Suku Atakela, rajin, pekerja keras, memimpin kelompok kerja perempuan di kampung, penjual tembakau dan dendeng ikan paus. Keduanya dengan karakter pribadi masing-masing membangun keutuhan keluarga.
“Keduanya sudah mewariskan kepada kami hanya satu iman yaitu iman kepada Yesus Kristus. Keduanya buta huruf tetapi tidak buta iman. Ayah adalah sosok yang keras dan tegas. Setelah kematian barulah kami sadari bahwa kepemimpinannya telah membawa guna bagi kami dan masyarakat. Dasar inilah yang membuat kami berambisi keras untuk maju. Kadang menyeruak rasa cemburu tapi kami selalu saling membantu. Bapa mengajarkan kami bahwa manusia lebih penting daripada harta benda,” (Anton Bele (ed), Menuju Gereja Umat, Pastoral Akar Rumput, kenangan 40 tahun imamat Uskup Pain Ratu, Puspas Keuskupan Atambua, 1997, hlm.43-51).
Pendidikan dasar dilalui di SR Leworere, Tanah Boleng (1939), pendidikan lanjutan di Vervolgd School di Larantuka (1940-1942), Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko (1942-1950) dan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero (1950-1958). Ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek, SVD pada 15 Januari 1958 di Nita bersama Pater Clemens Cletus da Cunha, SVD, Pater Lambert Paji Seran, SVD, dan Romo Petrus Sepe, Pr. Motto tahbisan,”Sungguh Aku datang,” Ecce, venio (Ibr.10:7).
“Motto ini terlukis di atas patena yang dihadiahkan orangtua saya saat saya ditahbiskan. Ukiran itu kulihat setiap kali kupersembahkan misa, bilamana piala dan patena itu kupakai. Sering kalimat itu tidak berkata apa-apa kepada saya. Akan tetapi dalamsuasana tertentu, kalimat ini memperingatkan saya, untuk apa sebenarnya saya telah menjadi imam Allah. Kristus telah menyatakan siap datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Bapa-Nya. Maka saya pun hendaknya selalu siap untuk melakukan kehendak Kristus yang mengutus aku untuk kepentingan umat-Nya. Kalimat itu juga mengingatkan saya bahwa Kristus itu hidup dan siap selalu datang menyertai saya dalam ziarah hidup sebagai imam Allah. Kalimat itu juga menyadarkan saya bahwa orangtua dan keluarga menyertai perjalanan imamatku. Pesan itu dukungan yang haram untuk diabaikan oleh setiap anak yang masih ingat akan orangtuanya,” (hlm.1).
Setelah menempuh pendidikan lanjut antropoligi budaya dan East Asian Pastoral Isntitute (EAPI) (kateketik) dan melewati tahun-tahun pastoral, pada 12 April 1972 ia diangkat menjadi Regional SVD (sekarang provinsial) yang dijabatnya tiga periode berturut-turut. Pada 2 April 1982 dengan Bulla “Dilectio Filio” Pastor Anton diangkat sebagai Uskup Tituler Zaba dan sekaligus Uskup Auxilier pada Keuskupan Atambua dan ditahbiskan menjadi uskup pada 21 September 1982 oleh Mgr. Theodorus van den Tillaart, SVD dengan motto,”Maranatha,” (1kor 16:22). Pada 3 Februari 1984 dengan Bulla “Venebrati Fratri” ia diangkat menjadi Uskup Atambua dan mengambilalih takta Uskup Atambua pada 9 Mei 1984. Setelah sekian lama menggembalakan umat Allah di Keuskupan Atambua hingga usia lanjut, maka pada 22 April 2003 ia mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Uskup Atambua. Takhta suci akhirnya memilih Mgr. Dominikus Saku, Pr sebagai Uskup Atambua yang baru yang ditahbiskannya pada 21 September 2007. Sebuah tonggak keberhasilan pembangunan gereja lokal pada usia perak uskup. Kini Uskup Anton melewatkan hari-hari purna bhaktinya dengan tenang di kediamaanya yang sedernaha di Bitauni, Kiupukan, Dekenat TTU.
Pada Selasa (22/1/2008) lalu Uskup “Peci Merah” ini ini bale nagi Lamawolo. Ia disambut dengan meriah oleh orang-orang yang juga lahir dari rahim Lamawolo. Laki-laki dan perempuan berkeringat, berjingkrak sepanjang jalan kampung Lamawolo, menghunus pedang, melambaikan selendang dan menyoraki “cahaya” itu. Ia merayakan 50 tahun imamatnya dan 25 tahun sebagai uskup. Kurang lebih 49 tahun ia hidup dalam rengkuhan rahim tanah misi Timor. Ia sudah tua tapi masih gertak, suaranya menggeletar diselingi guyonan yang tajam, menyengat tapi bernada menghibur.
Sebuah kegembiraan untuk seluruh umat Paroki Tanaboleng. Hal ini menyata dalam rangkaian acara yang dikemas dalam nada syukur. Provinsial SVD Ende, Pater Amatus Woi, SVD melukiskan itu sebagai tanda dari kedewasaan dan tanggung jawab umat Tanaboleng dalam mewujudkan gereja lokal yang mandiri dan peka. Perayaan syukur dihadiri puluhan imam konselebrantes, biarawan-biarawati, Bupati Flotim, Simon Hayon, Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk dan ratusan umat. Semua menyatu dalam nada syukur mengenang 50 tahun silam ketika cahaya itu terbit dari rahim dan menerangi punggung Lamawolo. Seorang “pemuda ganteng” menunjuk “cahaya” yang menghantarnya menuju altar imamat. Kini ia kembali dari “rantauan” misi dengan menghadirkan “cahaya” itu dalam kematangan waktu yang disepuh dengan kesetiaan dan kasih Tuhan. *
_________________________________






*Emas Imamat dan Perak Uskup Pain Ratu (2/Habis)
Suara Rakyat yang Tertindas



Oleh Steph Tupeng Witin



Pada 21 September 2006, langit Indonesia dicekam gelisah. Menurut rencana, pada 22 September 2006 dini hari, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, tiga petani sederhana asal Flores yang merantau ke Poso akan dieksekusi. Demonstrasi menggelora di seluruh dunia menentang hukuman mati. Di Atambua, rally massa yang melibatkan unsur-unsur lintas agama memprotes pelaksanaan hukuman mati. Yang menggetarkan adalah di barisan terdepan massa itu tampak jelas sosok Uskup Anton Pain Ratu, SVD, lengkap dengan jubah. Eksekusi akhirnya terlaksana. Atambua rusuh oleh aksi protes rakyat. Beberapa gedung simbol penegakan hukum dibakar massa. Siapa yang berani turun ke jalan untuk meredam gejolak massa?. Siapa yang bisa didengar suaranya oleh para aktivis dan menjadi sandaran aparat keamanan yang gelisah? Hanya Uskup Anton Pain Ratu, SVD seorang. Ia dibonceng sepeda motor berkeliling Atambua sambil menyerukan penghentian aksi kekerasan dan pengrusakan. Atambua kembali tenang.
Uskup Apin Ratu telah menunjukkan keterlibatannya di tengah persoalan sosial kemanusiaan. Sebagai nabi, Uskup Anton telah memberikan contoh tentang keberpihakan Gereja kepada kaum kecil dan tertindas dengan corak Alkitabiah yakni perjuangan tanpa kekerasan. Ketidakadilan memang harus ditolak tetapi kekerasan tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya.
Romo Frans Amanue, Pr dalam kotbah syukur emas imamat dan perak uskup di Lamawolo, Selasa (22/1) menguraikan keterlibatan Uskup Anton dalam deretan kenyataan keterlibatan menyuarakan aspirasi rakyat kecil dan tertindas. Di antaranya, bersuara tentang pengungsian besar-besaran dari Timor Timur yang memasuki Timor Barat. Ia menggerakkan upaya bantuan darurat bagi mereka sambil juga tetap menuntut tanggung jawab pemerintah atas kehidupan yang layak para pengungai. Jika mereka dipulangkan ke Timor LoroSae pun harus dipulangkan secara baik dan damai.
“Lepasnya Timor Timur dari Indonesia memberikan alasan bagi militer untuk menempatkan pasukan TNI dalam jumlah besar dengan maksud mengamankan lokasi perbatasan. Kehadiran aparat TNI melahirkan banyak aksi kekerasan oleh tentara, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Uskup Pain Ratu tidak ragu-ragu mengecam keras dan meminta agar kehadiran militer di wilayah perbatasan dikurangi. Suara Uskup Pain Ratu nyaring dan tegas terdengar mendorong perjuangan untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Paling jelas dalam kasus rumpon dan Sarkes. Sebagai pemimpin, Uskup Anton pernah mengingatkan agar jangan berusaha menyenangkan segala orang. Nantinya jadi plin-plan, tidak jelas. Seorang pemimpin yang tidak jelas, bagaimana bisa menjadi pegangan, sandaran, peneguh hati di kala bingung. Bakal semua bingung,” katanya.
Menurut Pastor Paroki St. Yoseph Lewotobi ini, berdasarkan laporan media massa di NTT, orang dapat membaca betapa hati Uskup Anton dekat malah satu dengan orang kecil, tertindas, miskin dan menderita. Kenyataan bahwa Uskup Anton menguasai sekali dan fasih berbicara bahasa Dawan membuktikan bahwa ia sungguh menyatu dengan umat. Ia mulai sebaga pastor pembantu di gunung (Oeolo), bertemu dengan umat sederhana, miskin dan terpencil yang dikunjungi dengan berjalan kaki atau berkuda. Sejarah itu terekam dalam rentang waktu 49 tahun.
“Berbagai jabatan diemban dalam semangat pelayanan seturut teladan Yesus yang diikutinya. Jabatan memang memberikan kuasa tapi kuasa itu tidak dijalankan menurut pola pemerintahan bangsa-bangsa yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi tetapi dijalankan untuk melayani kawanan. Kepemimpinannya sangat kuat menampakkan kebersamaan. Baginya, pemimpin cuma membantu dan membimbing. Umat yang punya potensi mesti diberdayakan agar mereka mampu memberdayakan sesamanya demi mewujudkan kehidupan yang bermutu,” katanya.
Romo Frans mengatakan, Uskup Anton sangat konsern dengan pemberdayaan dan peningkatan mutu hidup umat, khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Iman mesti terlibat dalam kehidupan konkret yang bersentuhan dengan realitas kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan dan korupsi. Tidak cukup liturgi dirayakan dengan meriah tetapi tidak berpengaruh dalam hidup. “Di dalam ibadat, kita saleh sekali tetapi di luar kita tidak kurang jahat. Kita begitu bangga dan menepuk dada bahwa iman memiliki tradisi panjang di bumi Lamaholot, kita bangga punya Semana Santa tetapi di sini juga KKN begitu kasar dan tidak berperasaan. Masa, rajin ibadat kok rajin korupsi? Kita jelas bermuka dua,” katanya.
Ia mengatakan, berhadapan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, Gereja tidak pernah boleh diam. Gereja harus berdiri di baris depan untuk menyuarakan suara kaum kecil yang tidak mampu bersuara karena ditindas. Kasus penembakan 6 petani Colol, Manggarai, kasus KKN Felix Fernandez di Flotim dan kasus tambang di Lembata masih menampakkan dugaan bahwa Gereja masih diam ketika berhadapan dengan kekuasaan. “Kita bertanya: di manakah Gereja mesti bediri? Rakyat atau penguasa dan pengusaha? Pilihan Gereja pasti: rakyat miskin dan lemah,” katanya.
Pada pertemuan pastoral VI konferensi waligereja Nusatenggara di Weetebula 2003, para uskup berikrar memperkuat independensi dan menunjukkan jati diri Injili secara lebih meyakinkan yaitu membangun kerja sama yang kritis dengan pihak yang berkuasa dengan berprinsip pada solidaritas dan keberpihakan yang tegas pada para korban atas dasar kebenaran, keadilan, kerendahan hati, terus terang dan kejujuran. Gereja akan memprakarsai gerakan-gerakan kemanusiaan yang membebaskan demi terjadinya perubahan sistem kekuasaan dan transformasi sosial. Kata-kata ini cukup bagus tetapi tidak cukup. Kita perlukan tindakan nyata. Barangkali sedikit keberanian baru.

Marmer di Flores

Inilah lokasi tambang marmer di Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende, NTT. Meski belum mengantongi satu surat izin pun, CV Floresindo Pratama Putra telah menggaruk lokasi. Rencana ini mendapat perlawanan dan penolakan dari masyarakat.

Foto: Steph Tupeng




Warga Ondorea Tolak Tambang Marmer
*Gunawan: Saya Terpanggil Bangun Ende

Oleh Steph Tupeng Witin

Warga Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende menolak rencana pertambangan batu marmer yang akan dilaksanakan oleh CV Floresindo Pratama Putra. Proses penambangan berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan masyarakat khususnya pemilik ulayat. Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Ginawan dinilai sangat merendahkan masyarakat dan arogan. Lahan yang saat ini sudah mulai digaruk alat berat itu merupakan lahan yang potensial dan subur. Di atasnya berdiri tanaman perdagangan berupa vanili, kakao, kemiri dan sebagainya. Rencana tambang juga mengancam tiga (3) mata air milik warga yang tepat berada di bawah lokasi pertambangan.
Hal ini mengemuka dalam dialog antara warga, Pemerintah Kabupaten Ende khususnya Dinas Pertambangan dan Bapedalda, DPRD Ende dan Direktur CV Floresindo Pratama Putra di Kantor Camat Nangapenda, Kamis (20/11). Hadir Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi, anggota DPRD Ende, Heribertus Gani, Kepala Dinas Pertambangan, Thom R. Benge, Kepala Bidang Hukum dan Pengendalian SDA pada Bapedalda Ende, Frans O Nggaa, Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan dan warga Ondorea. Sosialisasi dan dialog itu dipandu oleh Camat Nangapenda, Gabriel Da.
Warga Ondorea, Yakobus Lukas mengatakan, hingga saat ini sikap masyarakat sudah jelas dan tegas yaitu menolak rencana pertambangan marmer. Sikap ini lahir dari kesadaran akan keberadaan lahan pertanian yang sudah diwariskan turun temurun sejak nenek moyang. Ia juga meminta agar masalah terkait kepemilikan tanah dibicarakan secara terbuka. Hal ini dimaksudkan agar tudak melukai warga yang terabaikan hak-haknya.
“Proses perencanaan sangat tertutup dan keberadaan warga sangat diabaikan. Ketua Suku, Domi A Djuma Pani Pesa sudah terlalu melangkah dalam proses tambang ini. Kalau tambang ini jadi nantinya, bagaimana dengan kami yang selama ini menggarap di atas lahan yang dijadikan lokasi tambang itu? Hal ini harus kami ketahui dengan pasti. Kami tidak mau dibodohi oleh investor yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Kami minta Direktur CV Floresindo Pratama Putra membangun komunikasi dengan warga. Perusahaan anda akan berada di tengah masyarakat. Kerja tertutup bagaimana pun tetapi bau yang busuk akan diketahui juga,” katanya.
Kristianus Tato mempertanyakan janji-janji manis terkait sumbangan penerangan listrik untuk masyarakat Ae Fua dan alat penyedot air bersih untuk masyarakat Worhowona dan Mbotumboa. “Saya mau tanya kepada bapak-bapa yangh duduk di depan: apakah tanpa adanya pertambangan marmer di Ondorea kami warga Ondorea tidak bisa menikmati penerangan listrik dan jaminan air minum yang bersih? Listrik dan air minum adalah hak kami sebagai warga. Kami tolak tambang marmer ini karena kami ingin mempertahankan tiga sumber mata air kami yang selama ini menghidupi kami.”
Menurutnya, pertemuan hari ini pun sarat dengan rekayasa oleh Camat Gabriel Da yang tidak mengundang warga untuk hadir. Surat undangan hanya dikeluarkan untuk aparat desa dan pihak yang mendukung rencana tambang. “Kmi hadir di sini untuk berdemo menolak tambang yang datang tiba-tiba seperti pencuri di Desa Ondorea ini. Kami hendak menghentikan rencana pertambangan ini. Kami hadir di dalam ruangan ini karena menghargai seorang bapak yang bernama Gabriel Da yang meminta kami hadir dan bukan dalam kapasitas sebagai Camat Nangapenda. Kami sesalkan proses perekayasaan ini,” katanya.
Warga lainnya, Kadir meminta pemerintah untuk segera menghentikan rencana tambang di Ondorea karena sudah ditolak oleh masyarakat. Aspiraso menolak tambang marmer ini sudah disuarakat 2 kali oleh warga. Proses mediasi yang coba dibangun tidak menemui kata sepakat. “Dalam proses perencanaan tambang ini masyarakat sangat dibodohi oleh investor. Pimpinan CV Floresindo Pratama Putra dalam pemaparannya sangat arogan. Proses pertemuan ini tidak jelas. Semula akan berlangsung di kantor desa, tiba-tiba dipindahkan di kantor camat. Kami minta agar proses ini segera dihentikan dan tambang dibatalkan.”
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ondorea, Abu Tahir Hidayat mengatakan, seluruh warga Desa Ondorea menolak kehadiran tambang marmer. Proses perencaanaan berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan masyarakat. “Warga butuhkan lahan untuk hidup. Di atas lahan itu pun banyak tanaman perdagangan yang sedang menghasilkan. Kami minta rencana ini segera dihentikan agar masyarakat dapat bekerja dengan tenang untuk hidupnya.”

Terpanggil Bangun Ende
Direktur Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan mengatakan, rencana pertambangan marmer merupakan bagian dari komitmen dan panggilannya untuk membangun Ende. Sebagai putra daerah ia ingin mengembangkan potensi yang ada untuk meningkatkan tarah kesejahteraan warga dan menciptakan lapangan kerja warga penduduk lokal. Survey sudah dilakukan sejak Pebruari 2008 terkait deposit bongkahan batu, status kepemilikan lahan, sarana dan prasarana penunjang: mata air, listrik, akses jalan, lokasi pabrik pengolahan batu dan perkiraan dampak lingkungan dan pemukiman penduduk. Pihaknya sudah melaporkan hal itu kepada Dinas Pertambangan Kabupaten Ended an Bupati Ende dengan surat permohonan SIPD tanggal 22 Pebruari 2008.
“Saya tidak bisa disalahkan dalam proses ini. Saya telah menyampaikan itu kepada Bupati Ende selalu kepala daerah. Proses dokumen sedang berjalan. Saya belum mendatangkan alat-alat berat untuk bekerja. Substansi tambang belum disentuh. Saat ini kami sedang siapkan lokasi bangunan perusahaan. Dampaknya saya akan alami pertama bersama anak kerja saya. Saya baru gusur bukit untuk bangun basecamp. Nanti perusahaan ini dikelolah oleh orang-orang lokal sehingga mendapat penghasilan. Saya akan olah semuanya itu di sini. Kalau mau untung, ya saya berusaha untuk untung, malah saya mau rugi. Saya tidak gila. Saya juga piker keselamatan saya. Mari kita kerja sama-sama. Saya komit untuk bangun daerah ini. ”
Menurutnya, proses pengolahan batu marmer tidak dengan bahan kimia sehingga tidak akan mencemari lingkungan dan tanah. Debu juga tidak ada karena sudah masuk ke dalam air. Ia mencontohkan, di Padalarang, air hasil pengolahan batu marmer bisa dialirkan untuk sawah. Residu tidak akan mencemarkan air dan lingkungan, malah akan menyuburkan tanah. “Pengolahan kami sangat sederhana dalam skala yang kecil. Penambangan seperti ini ratusan jumlahnya di Jawa. Jangan bayangkan seperti di Buyat. Apakah anda pernah ke Buyat?”
Diberitakan sebelumnya, warga Desa Ondorea, Kabupaten Ende menolak rencana pertambangan marmer. Warga tidak merelakan lahan seluas kurang lebih 48.852 meter persegi untuk dijadikan lahan pertambangan dengan masa kontrak selama 25 tahun (2008-2033) yang dihargai dengan uang jasa sewa lahan senilai Rp35 juta. Proses itu berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan seluruh masyarakat. Hingga saat ini perusahaan belum mengantongi satu surat izin pun tetapi alat berat sudah menggaruk bukit dalam dua tingkat. Sebagian tanaman warga berupa kakao, vanili, kemiri dan sebagainya sudah digusur dan ditimbun.*
_________________________

Amdal, Tolok Ukur Pembangunan
*Ruben Resi: Masyarakat Tidak dilibatkan

Oleh Steph Tupeng Witin

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan tolok ukur dalam rencana pertambangan, apa pun skalanya. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 menegaskan bahwa semua pembangunan yang berdampak besar ataupun kecil harus melalui kajiaan mengenai dampak lingkungan. Dalam rencana pertambangan ini, hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahan adalah pembebasan lahan. Tanpa itu kajian apa pun tidak dapat dijalankan.
Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang Hukum dan Pengendalian SDA Pada Bapedalda Ende, Frans O. Nggaa saat sosialisasi dan dialog terkait rencana tambang marmer di Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda yang berlangsung di kantor Camat Nangapenda, Kamis (20/11). Menurutnya, pertambangan harus mengikuti rambu-rambu yang ditetapkan pemerintah. Hingga saat ini belum ada upaya untuk membuat kajian amdal karena perusahaan belum mengajukan dokumen apa pun. “Amdal itu dibuat oleh pemrakarsa yaitu perusahaan yang akan melakukan penambangan, bukan dari Bapedalda. Kita hanya menilai dokumen amdal yang diajukan oleh perusahaan yang dibuat dengan melibatkan perguruan tinggi, lembaga independen maupun LSM lingkungan hidup. Jadi tidak ada yang tiba-tiba saja mulai kerja di lokasi dengan mengabaikan aturan-aturan yang harus dilewati dalam proses pertambangan,” katanya.
Staf Bapedalda, Evi Rerho menegaskan, rencana pertambangan mesti diawali dengan sosialisasi secara terbuka kepada seluruh masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk meminta persetujuan dan pertimbangan dari masyarakat terkait rencana tambang itu. “Perusahaan harus mengedarkan kuesioner untuk mengetahui dan menyerap aspirasi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk membangun kepercayaan dari masyarakat sehingg di kemudian hari tidak muncul pertentangan dari masyarakat.”
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Ende, Thom R. Benge mengatakan, proses pertambangan mesti dilalui di atas aturan/regulasi. Di Nangapenda, rencana pertambangan belum memenuhi persyaratan. Dalam proses ini mesti ada kompromi antara pengusaha dan masyarakat terkait jaminan kesejahteraan. Syarat utama yang mesti dipenuhi perusahaan adalah analisa dampak lingkungan (amdal). “Investasi ini mesti dalam kerangka kepentingan rakyat, bukan hanya untuk keuntungan perusahaan. Nangapenda sangat potensial dalam bidang pertambangan tapi kita ambil yang paling kecil yaitu galian golongan C. Pihak investor diharapkan agar memberdayakan masyarakat,” katanya.

Masyarakat Diabaikan
Wakil Ketua .DPRD Ende, Ruben Resi mengatakan, pertentangan di tengah masyarakat ini terjadi karena sejak tahap awal masyarakat sangat diabaikan dan tidak dilibatkan. Proses perizinan untuk survey atau apa pun harus dimulai dengan masyarakat dulu. Pro dan kontra terkait rencana pertambangan ini mengemuka karena proses ini tidak transparan sejak awal.
“Lokasi pertmbangan bukan lahan tandus sebagaimana yang disampaikan selama ini. Lokasi itu potensial karena banyak tanaman perdagangan di atasnya. Lokasi itu dekat dengan jalan raya dan pemukiman penduduk. Tiga mata air akan terancam padahal batuan itu diyakini menyimpan air tanah selama ini. Mari kita lihat soal dengan hati nurani. Dampak-dampak social dan lingkungan harus diperhitungkan semua elemen pengambil kebijakan. Jangan sampai di kemudian timbul masalah dan masing-masing pihak saling tuding dan lempar tanggung jawab untuk cari selamat,” katanya.
Anggota DPRD Ende, Heri Gani mengimbau semua pihak agar berpikir dengan jernih untuk menyelesaikan persoalan pertambangan ini dengan baik. Ia mengatakan, proses pertambangan harus berjalan baik sehingga tidak ada merasa tersisih dan terabaikan.
“Kita sama-sama mengikuti proses ini dengan bijak. Bagi pengusaha, jika lebih banyak aspek negatifnya, kita minta hentikan. Tetapi jika banyak hal yang positif dari rencana ini, mengapa kita tidak dukung?” Camat Gabriel Da meminta maaf karena tidak mengeluarkan undangan untuk warga agar hadir dalam pertemuan ini. “Ini kesalahan teknis dan saya sudah meminta maaf kepada warga yang datang. Dalam kasus ini ini saya juga menandatangani surat perjanjian sewa lahan karena saya mendengar dari kedua belah pihak bahwa prosesnya sudah berjalan secara baik dan benar. Saat ini kita menemukan banyak masalah dalam kasus ini. Terkait penolakan warga, saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini aspirasi masyarakat,” katanya.

Jumat, 14 November 2008

Suara Tolak Tambang dari Mataloko

















Foto Atas: Vikep Bajawa Romo Hengky Sareng, Pr dan
Foto Bawah: Pater Mikael Peruhe, OFM
Tambang Berdaya Rusak Permanen
Romo Hengky: Jaga Kelestarian Lingkungan

Oleh Steph Tupeng Witin


Tambang memiliki daya rusak yang permanen terhadap lingkungan hidup. Kelestarian lingkungan sebagai sumber hidup hancur ketika berhadapan dengan pertambangan. Tanah dan air akan hilang. Bahkan laut sebagai sumber hidup warga pun akan tercemar karena di mana-mana perusahaan tambang akan membuang limbah (tailing) ke laut. Cara ini paling murah diambil perusahaan ketimbang mengrluarkan biaya besar untuk membangun penampung limbah industri pertambangan yang beracun itu.
Hal itu disampaikan oleh staf JPIC OFM Indonesia, Pater Mikhael Peruhe, OFM di hadapan para pastor se-Kevikepan Bajawa di aula Kemah Tabor Mataloko, Rabu (12/11). Sosialisasi terkait daya rusak tambang terhadap lingkungan itu dilaksanakan oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace and Integrity of Creation/JPIC) OFM, SVD dan Keuskupan Agung Ende (KAE).
Menurut pastor aktivis itu, sejarah pertambangan selalu identik dengan penghancuran alam, pencemaran ligkungan dan peningkatan kemiskinan dan kemelaratan rakyat. Tambang hanya menguntungkan pemilik modal/pemilik perusahaan tambang dan pemerintah daerah yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang dangkal tentang tambang sehingga gampang ditipu oleh investor yang datang untuk menambang bahan-bahan galian mineral.
“Pencerahan kepada pemerintah dan rakyat terus kita gelorakan. Kita harapkan agar pemerintah yang kita pilih tidak begitu gampang menggadaikan tanah dan rakyatnya kepada investor. Izin kuasa pertambangan haris ditolak oleh pemerintah demi keberlanjutan hidup rakyat dan kelestarian alam lingkungan. Pulau Flores dan Lembata harus kita jaga dan pertahankan kemurniannya. Jangan kita biarkan alam Flores dan Lembata dihancurkan oleh perusahaan-perusahaan penambang yang akan mengambil semua kekayaan kita dan pergi meninggalkan kehancuran. Kelanjutan hidup generasi masa depan Flores dan Lembata sangat ditentukan oleh keputusan kita saat ini.”
Menurutnya, Gereja memiliki peran yang kuat dalam berjuang bersama warga yang dalam banyak kasus sering dibodohi oleh investor yang didukung pemerintah daerah dan DPRD dengan “janji-janji surga” yang meninabobokan. Pencerahan dan penguatan masyarakat sebagai basis perjuangan dalam rencana penolakan tambang harus terus digencarkan. Informasi yang benar, jujur dan dapat dipertanggungjawabkan secara moral terkait rencana tambang harus diberkan kepada rakyat untuk melawan penyesatan informasi terkait tambang yang dilancarkan oleh perusahaan tambang bersama pemerintah dan DPRD.
“Keterlibatan dalam sosialisasi terkait dampak negative dari tambang demi menggalang kekuatan rakyat/umat untuk menolak tambang adalah bagian utuh dari karya pastoral kita. Aksi ini merupakan jawaban kita atas tuntutan keadilan, perdamaian dan keutuhan alam ciptaan. Kita menjalankan peran profetis ini sebagai bagian dari panggilan dan misi kita. Gereja dipangil untuk berada dan berjuang bersama rakyat yang gelisah dan cemas dengan rencana kehadiran pertambangan di Flores dan Lembata. Mari kita tolak rencana tambang di Lembata dan Flores sebagai bukti kepedulian kita atas kelestarian alam lingkungan dan keberlanjutan hidup generasi yang akan datang,” katanya.

Komitmen JPIC
Ketua Komisi JPIC KAE, Romo Roni Neto Wuli, Pr mengatakan, Konsili Vatikan II melalui ensiklik Gaudium et Spes (Kegembiraan dan Haarapan) menyatakan sikap berada dan berjuang bersama rakyat kecil yang gelisah, cemas dan takut dengan kehidupan. Kehadiran Gereja menjadi sumber kekuatan bagi siapa pun yang paling diabaikan dalam kekuasaan politik dan modal dan dasar harapan bagi perjuangan masa depan.
“Rencana tambang di Flores dan Lembata telah menghadirkan kegelisahan dan kecemasan rakyat. Rakyat di Lembata telah berjuang sampai detik ini untuk mempertahankan tanah ulayatnya. Saat ini rencana tambang telah memasuki wilayah daratan Flores. Kevikepan Bajawa khususnya wilayah Riung masuk dalam rencana pertambangan itu. Kehadiran investor sudah menimbulkan keresahan umat kita. Sebagai agen pastoral kita berada bersama rakyat kita berjuang mempertahankan tanah ulayat dan mencegah penghancuran alam secara sistematis dan permanent oleh perusahaan tambang,” katanya.
Vikep Bajawa, Romo Hengky Sareng, Pr mengatakan, rencana pertambangan sangat berkaitan erat dengan ancaman terhadap kelestarian lingkungan hidup. Tambang memiliki daya rusak yang besar terhadap lingkungan. “Kegiatan sosialisasi yang dilakukan oleh JPIC hari ini merupakan sebuah upaya untuk membangun pemahaman dan kesadaran kita sebagai agen pastoral untuk memperhatikan kelestarian alam lingkungan sebagai salah satu karya pastoral kita. Kiranya kegiatan sosialisasi ini membawa dampak nyata dalam karya pastoral khususnya terkait dengan kelestarian lingkungan,” katanya.

Penguatan Rakyat
Pastor Paroki Jerebuu, Romo Bernardus Sebho, Pr mengatakan, berdasarkan pemaparan JPIC terkait daya rusak tambang terhadap lingkungan yang sulit untuk direklamasi, maka sesungguhnya tercipta kesepahaman bersama untuk berjuang bersama rakyat menolak rencana tambang. Mantan praeses Seminari Mataloko ini mengingatkan rakyat untuk lebih kritis menanggapi rencana perusahaan dalam bidang apa pun untuk mengambil kekayaan alam di wilayah Flores.
“Dulu begitu gencar sosialisasi yang penuh dengan janji-janji indah terkait dampak kehadiran perusahaan pembangkit listrik tenaga panas bumi Daratei, Mataloko yang hingga saat ini belum manampakkan hasil konkret. Saat sosialisasi pihak perusahaan mengatakan hanya dalam jangka waktu yang singkat tapi sampai sekarang ini tidak ada tanda-tanda akan jadi,” katanya.
Pater Steph Tupeng Witin, SVD mengatakan, apa pun proses dan cara perjuangan, rakyat adalah fokus utama dalam proses pemberdayaan, penguatan dan pencerahan. Banyak kasus menunjukkan bahwa pemerintah daerah dan DPRD lebih banyak menjadi perpanjangan tangan investor/pemodal. “Kita menguatkan rakyat karena bagaimana pun rakyat akan menjadi tujuan akhir perjuangan. Rakyat yang kuat dan tercerahkan yang didukung oleh gereja akan menjadi kekuatan besar yang diperhitungkan oleh investor atau bahkan pemerintah daerah,” katanya

Selasa, 11 November 2008

Tolak Tambang!!

*Semiloka JPIC Tolak Tambang di Flores dan Lembata (3/Habis)
DPRD: Wakil Rakyat atau Wakil Pemodal?

Oleh Steph Tupeng Witin

Staf ahli Litbang PDIP, Ansel Alaman mengajak peserta semiloka menelusuri lorong-lorong birokrasi pengambilan keputusan publik. Berbagai peraturan yang dihasilkan pengambil kebijakan umumnya mengarah pada terciptanya kesejahteraan umum. Apalagi di era otonomi daerah (Otda), kebijakan pengambilan keputusan publik begitu luas diberi kepada kepala daerah dan perangkatnya. DPRD memiliki kewenangan yang besar bersama pemerintah menentukan guliran roda pembangunan.
Romo John Lein, Pr membagikan pengalamannya dalam mendampingi umatnya menolak rencana tambang yang digulirkan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata. Beragam cara dan jalan diupayakan-sering dengan penyesatan informasi yang penuh kebohongan- untuk “merebut” hati rakyat. Sebuah kebijakan yang mengusung kesejahteraan rakyat disosialisasikan dengan cara yang tidak benar dan tidak jujur. Rencana tambang mendapatkan perlawanan dan penolakan dari segenap elemen masyarakat. Rakyat diombang-ambingkan dalam ketidakpastian: di satu pihak, gelombang penyesatan informasi digulirkan dan di sisi lain kelompok masyarakat yang kritis melawan dengan memberikan informasi yang benar kepada rakyat.
Menurutnya, di tengah situasi rakyat yang gamang, DPRD Lembata justu mengambil posisi yang berlawanan dengan rakyat yang diwakilinya. DPRD Lembata justru mengikuti “logika” pemodal yang bersama pemerintah sangat gencar menyosialisasikan rencana tambang yang semakin keras dan kuat mendapatkan penolakan dan perlawanan dari rakyat. Bahkan Ketua DPRD Lembata, Petrus Boliona Keraf menandatangani nota kesepahaman rencana tambang di Jakarta tanpa pernah bicara dan mendengarkan aspirasi rakyat. Sebuah keterwakilan yang kosong!
“Sikap DPRD Lembata ini menimbulkan pertanyaan: siapa sebenarnya yang sedang diwakili oleh DPRD Lembata? Rakyat yang memilih mereka atau pemodal yang datang untuk menghancurkan tanah Lembata dan mencemarkan laut? Maka kita dapat mengatakan bahwa DPRD tidak ada lagi di Lembata. Mereka bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil pengusaha/pemodal yang berambisi menghancurkan lingkungan Lembata yang sudah kering dan tandus itu. Hanya beberapa anggota DPRD yang komit berjuang bersama rakyat sampai hari ini.”
Pertanyaan “Apakah DPRD benar-benar mewakili rakyat?” menjadi sangat relevan ketika rakyat Flores-Lembata diperhadapkan pada persoalan seputar rencana tambang yang kini hampir merata menyebar. Selain Lembata, Kabupaten Ende, Ngada, Manggarai Timur, Manggarai dan Manggarai Barat tengah diliputi kecemasan terkait rencana kehadiran tambang.
Ketua JPIC Provinsi SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan, SVD membagikan pengalamannya bagaimana berjuang mendekati dan meyakinkan anggota DPRD di Kabupaten Manggarai untuk memperjuangkan aspirasi rakyat mempertahankan kelestarian alam lingkungan dari serbuan gusuran alat-alat berat. Menurutnya, pertambangan merupakan bencana dashyat bagi kelestarian alam lingkungan. Pemahaman ini sangat terbatas di kalangan pemikiran rakyat. Apalagi, bila rencana itu diikuti dengan “janji-janji surga” yang banyak kali “jauh panggang dari api.”
“Meski melelahkan tetapi perjuangan politik melalui gerbang legislatif mutlak diperlukan untuk membangun jejaring kerja sama dalam memperjuangkan aspirasi rakyat. Perjuangan ini butuh komitmen yang kuat karena banyak kali tidak berhasil. Kita berupaya mengetuk hati para anggota DPRD kita agar tidak berpaling dari rakyat dan berpikir keras untuk menyelamatkan lingkungan alam agar tetap lestari.”
Ansel Alaman mengatakan, prinsipnya, DPRD adalah wakil rakyat. Peran sebagai penyuara aspirasi rakyat adalah substansi perjuangan dan keberadaan di lembaga DPRD. Apa pun mekanisme yang menjadi rambu-rambu dalam mengambil kebijakan publik, keberadaannya sebagai wakil rakyat mesti tampak tegas dalam opsi.
“Kita mendapat keluhan bahwa sebagian wakil rakyat kita tidak lagi mewakili rakyat ketika sudah berada di dalam gedung dewan itu. Aspirasi rakyat hanya memenuhi mekanisme dalam tata tertib DPRD. Kita tetap mengharapkan agar anggota dewan kita tetap wakil rakyat. Komitmen dalam memperjuangkan hak dan aspirasi rakyat harus terus digemakan.”
Staf Puslit Candraditya, Maumere, Pater Robert Mirsel, SVD mengingatkan agar rakyat peka dan kritis dengan para calon legislatif yang saat ini gemar mempertontonkan diri di depan khalayak menjelang Pemilu 2009. Rakyat perlu disadarkan agar membaca tanda-tanda zaman ini dengan menentukan pilihannya secara tepat dalam memilih wakilnya secara berkualitas.
“Menjelang Pemilu legislatif 2009, para calon legislatif akan merebut simpati dan dukungan rakyat dengan mengangkat persoalan-persoalan seputar tambang. Rakyat mestinya sudah tahu siapa pejuang kepentingan rakyat yang sesungguhnya. Proses pemberdayaan politik kepada rakyat harus terus digencarkan. Kita butuhkan anggota DPRD yang berkualitas agar memperjuangkan kepentingan rakyat Flores-Lembata dalam menolak rencana investasi tambang dan melawan kekuasaan modal (uang).”

Senin, 10 November 2008

Ledalero



RUMAH PARA MISIONARIS

Kapela Agung Ledalero, tempat pendidikan para calon misionaris terbesar di dunia. Ledalero merupakan seminari tinggi terbesar di dunia. Ribuan misionaris dari Rumah ini sekarang bekerja di lima benua.

Foto: google

TOLAK KOREM di Flores!!!!!!!!!!!!!

Warga Paumere Tidak Serahkan Tanah
*Rencana Pembangunan Korem


Oleh Steph Tupeng Witin

Warga suku Paumere khususnya dan Nangapanda umumnya tetap menolak untuk menyerahkan tanah ulayatnya yang akan dijadikan lokasi pembangunan makas korem. Tanah adalah bagian dari hidup. Warisan nenek moyang ini menjadi asal dan sumber hidup. Kalaupun ada unsure pemaksaan dari pihak luar, warga suku Paumere siap mempertahankan harga diri hingga titik darah terakhir.
Hal itu terungkap dalam pertemuan antara warga suku Paumere dengan tim Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE) dan SVD Ende bersama warga suku Paumere di kampong Ndetufeo, Desa Sangarhorho, Rabu (15/10) malam. Hadir ratusan warga suku Paumere, Ketua Suku Paumere, Andreas Baju dan tim JPIC KAE dan SVD, Romo Domi Nong, Pr, Romo Sipri Sadipun, Pr, Pater Markus Tulu, SVD dan pengacara Veritas Jakarta, Valens Pogon.
Ketua Suku Paumere, Andreas Baju mengatakan, sejak munculnya rencana pembangunan korem di Nangapanda, persaudaraan dan ikatan kekeluargaan antara warga suku menjadi retak. Warga tidak lagi tenang dalam mengerjakan tanah ulayat untuk kehidupannya. Belum lagi ada isu dan tekanan dari pihak-pihak tertentu yang menakut-nakuti warga.
“Sebagai rakyat kecil, kami cemas, takut dan gelisah. Kami tampak tidak berdaya. Dalam proses pengadilan, baik perdata maupun pidana, rakyat kecil yang mestinya benar dikalahkan oleh kekuasaan. Kami mengharapkan agar gereja khususnya JPIC KAE dan SVD tetap berjuang bersama kami untuk mempertahankan hak-hak kami. Sebagai rakyat kecil, rasanya sulit bagi kami untuk menemukan kebenaran dan keadilan dalam kasus Nangapanda ini. Hanya gereja yang menjadi harapan kami untuk memperoleh keadilan dan kebenaran,” katanya.
Menurutnya, sebagai ketua suku, dirinya akan berjuang untuk kepentingan warga suku sampai titik darah terakhir. “Biar saya dipenjara sekalipun saya tidak takut karena saya berjuang untuk kebenaran dan keadilan bagi seluruh warga suku saya. Malah penjara akan menjadi kebanggan bagi saya karena saya telah berjuang untuk anak cucu kami suku Paumere ini. Perjuangan untuk mempertahankan hak atas tanah kami ini akan menjadi peringatan bagi generasi masa depan kami.”
Tokoh masyarakat suku Paumere, Baltasar Beka menegaskan, seluruh warga suku Paumere akan berjuang sampai titik darah terakhir untuk mempertahankan ulayat yang telah menghidupi mereka sejak leluhur. Ia meminta pihak-pihak terkait agar tidak memaksakan rencana pembentukan korem karena akan mendapatkan perlawanan dari pemilik tanah.
“Kami akan berjuang mempertahankan tanah sampai darah tumpah. Kam itidak akan sudi menyerahkan tanah ini kepada siapa pun. Di atas tanah kami telah ada tanaman yang sekian lama menghidupi kami. Tanah adalah hidup kami. Kami minta pemerintah untuk menghentikan rencana pembangunan korem ini. Recana tidak bermanfaat sedikit pun bagi kami sebagai rakyat. Malah akan membawa bencana dan kerugian bagi kami karena tanah kami telah direbut untuk sebuah rencana yang sarat kepentingan. Biar pun kami kalah di pengadilan, tapi tanah kami tidak akan kami beri kepada siapa pun. Kami minta gereja khususnya JPIC tetap berjuang bersama kami orang kecil ini,” katanya.

Rakyat Dikalahkan
Ketua Tim JPIC KAE-SVD, Romo Domi Nong, Pr mengatakan, putusan perkara perdata maupun pidana yang telah berlangsung di pengadilan negeri (PN) Ende membuktikan bahwa rakyat kecil yang tidak berdaya dikalahkan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan kekuasaan dan uang. Para hakim sebenarnya betula soal yang sebenarnya di Nangapanda tetapi tidak mau tahu untuk mengambil keputusan yang benar yang sesuai dengan rasa keadilan dan kebenaran rakyat.
“Ketika kita dikalahkan, kita tidak boleh merasa kalah, kehilangan segala-galanya, putus asa, kecewa dan sepertinya tidak tahu lagi jalan ke mana. Kita tetap berdiri dengan hidup di atas tanah milik kita sendiri. Kita tetap bekerja di atas tanah dan menikmati hasil kerja kita. Putusan pengadilan itu tidak akan pernah mengusir satu warga pun dari atas tanah kita ini.”
Menurut Ketua STIPAR Ende ini, fakta bahwa rakyat dikalahkan dalam keputusan para hakim di PN Ende mesti semakin menggelorakan nurani warga suku Paumere untuk berjuang mempertahankan hak atas tanah ulayat. Perjuangan untuk mempertahanakan tanah adalah kebenaran itu sendiri, bukan keputusan PN Ende yang sarat dengan muatan kepentingan murahan dari pihak lain. Fakta-fakta di pengadilan mestinya memenangkan rasa keadilan dan kebenaran rakyat.
“Inilah ironi hukum di Indonesia. Kebenaran selalu tidak berpihak pada rakyat kecil karena rakyat kecil tidak memiliki kekuatan apa-apa. Meski demikian, kita sebagai pemilik tanah memiliki kekuatan untuk terus memperjuangkan apa yang menjadi hak kita. Jangan hiraukan keputusan PN Ende itu. Kita tetap bekerja seperti biasa dan memperjuangkan kebenaran hak kita atas tanah.”

Tetap Bekerja
Kuasa Hukum warga suku Paumere dari Veritas Jakarta, Valens Pogon mengimbau warga suku Paumere agar tetap bekerja di atas tanahnya seperti biasa. Keputusan perdata dan pidana yang mengalahkan rakyat kecil di PN Ende sama sekali tidak berkaitan dengan hak kepemilikan atas tanah. Terkait kedua keputusan PN Ende yang mengalahkan rakyat kecil, pihaknya setelah berkonsultasi dengan warga menyatakan naik banding.
“Kami sebagai pengacara mengharapkan agar warga suku tetap bekerja di atas tanah seperti biasa. Jangan panik dengan keputusan di pengadilan itu. Mari kita bangun persatuan ke dalam suku dan bersama-sama berjuang untuk merebut kembali rasa keadilan dan kebenaran yang dikalahkan oleh para hakim di pengadilan Ende. Kita yakin, bahwa suatu saat kebenaran itu akan terungkap dan menjadi kenyataan hidup kita.”
Romo Sipri Sadipun, Pr meminta warga untuk terus berjuang mempertahankan hak-haknya dengan jalan yang damai dan adil. “Meski kita dikalahkan oleh pengadilan tetapi kita memiliki kekuatan untuk terus berjuang. Banyak orang yang peduli dengan perjuangan kita. Kita mesti tetap menjaga persatuan dan membangun budaya damai dalam perjuangan ini. Dengan ini kita menunjukkan bagaimana kita berjuang secara benar untuk keadilan,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD menguatkan warga suku agar tidak merasa kalah dalam perjuangan untuk mempertahankan haknya. “Keputusan PN Ende sama sekali tidak mengejutkan kita. Proses itu sangat melukai rasa keadilan rakyat kecil. Tapi itulah kenyataan hukum kita. Kita memang sulit menemukan ada keadilan untuk rakyat kecil apalagi muncul dari lembaga pengadilan,” katanya

TOLAK Tambang: HARUS itu!!!!!!

*Semiloka JPIC Tolak Tambang di Flores-Lembata (2)
Melawan Argumen Keserakahan Pemodal

Oleh Steph Tupeng Witin

“Apa yang mesti dilakukan ketika orang membuang limbah ke laut atau sungai?
Apakah kita membiarkan begitu saja orang mengorek isi perut bumi dan kemudiaan meninggalkan kehancuran?”

Gugatan yang menantang ini dilontarkan oleh Teolog dari STFK Ledalero, Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam sesi input teologis di aula OSF Detusoko, Sabtu (9/11). Pada sesi ini ia mengajak peserta semiloka menelusuri lorog-lorong teologi Kristiani dan Biblis untuk menguji sejauh mana argumen dari penguasa modal dan politik terkait penguasaan alam lingkungan. Menurutnya, kalangan pemilik modal dan pemerintah yang berikhtiar menambang bumi kerap memakai argumen-argumen teologis-biblis untuk melegitimasi kebijakan pertambangan. Ada yang mengatakan bahwa manusia sebagai puncak ciptaan memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan alam sebagai sebuah rahmat. Manusia berdosa jika tidak memanfaatkan alam. Menurutnya, hal itu mengungkapkan arogansi manusia terhadap ciptaan lain yang sebenarnya membahasakan ketamakan dan kelobaan manusia. “Pemahaman keliru seperti ini yang menyebabkan teologi Kristen dituduh sebagai salah satu penyebab dari perusakan alam selama ini.”
Ia mengatakan, pemahaman eko teologi menghadirkan pergeseran pemahaman terkait pengelolaan alam dari pandangan yang berpusat pada manusia (antroposentrisme) menuju pandangan yang terpusat pada Allah (teosentrisme). Seluruh ciptaan dilihat sebagai jejak kaki Allah, sakramen keselamatan. Seluruh ciptaan adalah tanda yang menghadirkan Allah karena diciptakan, dicintai dan diberkati oleh Allah. Pandangan ini pun menggariskan bahwa alam ciptaan merupakan satu kosmos yang mengindikasikan adanya aturan yang menata, yang teratur dan tertata.
Menurutnya, dalam teologi penciptaan, gagasan yang muncul adalah bahwa semua ciptaan baik. Jika manusia diciptakan pada hari ke-6 maka manusia sesungguhnya adalah pendatang baru dalam seluruh ciptaan. Artinya, sudah ada ciptaan lain yang mendahuluinya. Maka sebagai pendatang baru, manusia mestinya menghargai ciptaan yang lain yang sudah ada sebelumnya. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa secara arogan menempatkan diri sebagai penguasa ciptaan yang lain. Apalagi para pemilik modal khususnya perusahaan-perusahaan tambang yang memakai argumen “rahmat” di balik kekayaan alam untuk menyalurkan kelobaan dan ketamakannya. Gagasan bahwa Allah menciptakan alam secara bertahap melukiskan sebuah proses menuju kesempurnaan. Proses ini mestinya juga menjadi ilham dalam tahap pemanfaatan alam yang mesti memperhatikan dimensi waktu dan lintas generasi. Pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan dampak jangka panjang yang mencakup generasi yang akan datang.
Gagasan-gagasan ini mengilhami manusia untuk melihat alam ini dalam perspektif yang menyeluruh. Tuhan tidak pernah menciptakan bumi hanya untuk dihancurkan oleh segelintir orang yang kebetulan memiliki kuasa modal (uang) dan kuasa politik untuk berkuasa. Tuhan tidak pernah menciptakan semuanya ini untuk “segelintir” manusia yang tamak yang merasa begitu “berkekuatan” untuk menyingkirkan sesamanya dari atas tanah untuk selanjutnya dirusakkannya dengan penambangan, pembuangan limbah (tailing) dan peracunan sumber-sumber mata air dan laut.
Pater Budi mengatakan, perlawanan terhadap rencana pertambangan di Flores dan Lembata mestinya menginspirir kalangan pengambil kebijakan publik untuk memikirkan secara bijaksana proses pengelolaan kekayaan alam secara bijaksana. Berbagai analisis dan prediksi dari sisi ilmu pengetahuan mestinya menjadi rujukan untuk mendiskusikan berbagai kebijakan yang akan dihasilkan dengan tetap memperhatikan kelestarian alam lingkungan bagi generasi selanjutnya. “Terkait tambang, apabila berdasarkan pengalaman (sejarah) dan prediksi ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan disimpulkan bahwa aktivitas itu menggoncangkan ekosistem seluruh menyeluruh maka rencana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi iman.”
Ia mengatakan, manusia mestinya lebih menguasai diri dalam upaya pengelolaan alam. Penguasaan diri itu mengandaikan ada batasan-batasan yang mesti ditaati dalam memakai alam untuk hidup. Keberlanjutan hidup generasi mestinya menjadi perhatian serius ketika diperhadapkan dengan berbagai kebijakan untuk mengelolah dan memanfaatkan alam.
Terkait pengelolaan potensi alam, ia mengemukakan beberapa prinsip yaitu hormat kepada martabat manusia dan alam sebagai ciptaan Allah, solider dengan sesama dalam memanfaatkan kekayaan alam yang mestinya tercermin dalam keputusan publik yang berorientasi pada rakyat banyak. Solidaritas ini mesti dibangun terutama dengan mereka yang paling diabaikan (SRS, 45). Prinsip lain adalah partisipasi yaitu saling memperhatikan satu sama lain terutama terkait kewajibannya dan subsidiaritas, memberikan hak kepada rakyat untuk melaksanakan apa yang wajib dilaksanakannya dan negara tidak boleh pernah menggantikan hak dan kewajiban warganya. Kesejahteraan mesti diusahakan oleh rakyat. Tidak akan pernah ada kesejahteraan yang dipaksakan.
Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr mengatakan, penyadaran dan pemberdayaan rakyat mesti diusahakan dari kalangan akar rumput dengan prinsip dan patokan yang jelas dan tegas. Rakyat harus bisa merasakan sendiri bahwa mereka hidup bersama dengan orang lain. Proyek-proyek yang hanya menempatkan rakyat sebagai penadah sudah saatnya ditinggalakan. Negara ini memang telah sekian lama mendidik rakyatnya menjadi pengemis melalui proyak beras miskin, bantuan langsung tunai dan sebagainya.
Pemerintah memang berkewajiban membangun kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah (Otda) telah membuka ruang bagi pemerintah untuk mengatur pembangunan secara swadaya. Kesejahteraan memang diusahakan tetapi tidak mesti menghancurkan alam lingkungan. Pemerintah mesti membela rakyat bukan menjadi pelayan dan hamba investor/pemodal.