Minggu, 09 November 2008

Tolak Tambang!!

Pemandangan di Lamalera-Lembata, tempat pledang-pledang (Perahu-perahu para pemburu ikan paus tradisional Lembata)
Foto: Google






JPIC Keuskupan dan Tarekat Religius Tolak Tambang
*Cholid: Jangan Biarkan Tanah Flores Digaruk Alat Berat

Oleh Steph Tupeng Witin

Detusoko, Flores Pos
Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (Justice, Peace and Integrity of Creation/JPIC) yang berasal dari keuskupan-keuskupan dan tarekat religius di Flores dan Lembata menolak rencana dan proses eksploitasi pertambangan yang sedang dan akan dilaksanakan di Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya. Pernyataan ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga Flores dan Lembata serta pulau-pulau sekitar adalah petani dan nelayan yang sangat menggantungkan hidupnya pada tanah dan laut. Pertambangan hanya mendatangkan kerusakan bagi lingkungan hidup, baik di laut maupun darat dan semakin memiskinkan rakyat kecil. Penolakan ini mengemuka ketika memperhatikan semakin banyaknya perusahaan pertambangan yang masuk dan kegiatannya yang semakin ekspansif dan eksploitatif di Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya serta dampak-dampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan hidup.
Hal ini mengemuka dalam semiloka Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) yang diselenggarakan oleh JPIC SVD dan OFM yang berlangsung di Detusoko, Kabupaten Ende sejak Kamis (6/11)-Sabtu (9/11). Para peserta berasal dari keuskupan-keuskupan, pimpinan atau utusan tarekat religius, staf Puslit Candraditya, Maumere, para dosen dari STFK Ledalero, komunitas-komunitas religius se-Flores-Lembata dan JPIC Provinsi SVD Timor.
Pembicara yang memberi masukan adalah mantan Ketua Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Chalid Mohamad yang membawakan materi “Daya Rusak Tambang bagi Lingkungan Hidup,” Ansel Alaman dengan materi “Kebijakan Tambang dari Sisi Aturan Perundangan,” dan Pater Paul Budi Kleden, SVD yang memberi input teologis seputar eko-teologi, teologi kesejahteraan bersama dan spiritualitas keterlibatan JPIC dalam masalah-masalah keadilan sosial.
Hadir antara lain, Ketua JPIC Provinsi SVD Ende, Pater Alex Ganggu, SVD, Direktur JPIC OFM Indonesia, Pater Peter Aman, OFM, Ketua JPIC KAE, Romo Rony Neto Wuly, Pr, Provinsial SSpS Flores Bagian Timur, Sr. Christine Edith, SSpS, JPIC Provinsi SVDTimor, Pater Petrus Dile Keraf, SVD, anggota Dewan Provinsi SVD Ruteng, Pater Marsel Nahas, SVD, Ketua JPIC SVD Ruteng, Pater Simon Suban Tukan, SVD, utusan dari Dekenat Lembata, Romo John Lein, Pr, utusan dari Ruteng, Romo Kanis Ali, Pr, JPIC Keuskupan Maumere, Jacob Herin, utusan dari tarekat PRR, FMM, Ursulin dan CIJ.
Dalam pernyataan sikap yang akan dikirim ke semua instansi pemerintah pusat hingga ke daerah, peserta semiloka mengatakan bahwa pertambangan bukanlah pilihan yang tepat, baik dari sisi strategi, model maupun urgensi pembangunan di wilayah Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya. Pertambangan tidak relevan dan koheren dengan kondisi nyata geologi, topografi Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya dan kehidupan sosial-budaya serta ekonomi masyarakat yang berbasis pada pertanian, perikanan dan kelautan.
“Menjadikan pertambangan sebagai pilihan, strategi dan model pembangunan untuk masyarakat Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya yang agraris dan nelayan adalah kebijakan yang kontra-produktif dan menghancurkan keberlanjutan kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat karena Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya merupakan jalur gunung api, daerah patahan lempeng bumi yang sering terjadi gempa, dengan ketersediaan air yang sangat terbatas serta topografi wilayah yang umumnya terjal dan luas pulau yang amat kecil.”
Menurut utusan JPIC keuskupan dan tarekat religius itu, pertambangan hanya memberikan keuntungan terutama kepada korporasi, bukan untuk masyarakat lokal. Masyarakat hanya menerima “remah-remah keuntungan ekonomis” sambil mewarisi tanah dan laut yang sudah hancur secara permanen dan tidak lagi produktif untuk pertanian dan perikanan sebagai tumpuan dasar hidup mereka selanjutnya serta generasi penerus masyarakat Flores, Lembata dan pulau-pulau di sekitarnya.
“Kesejahteraan yang dijanjikan perusahaan tambang lebih merupakan sebuah mitos atau ilusi yang membius masyarakat untuk menyerahkan tanah dan bukan kesejahteraan dan perbaikan hidup secara nyata, menyeluruh dan berkelanjutan.”

Tolak Perusahaan Tambang
Peserta semiloka menyatakan sikap tegas untuk menolak rencana dan kehadiran perusahaan-perusahaan tambang di Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya. Peserta juga menuntut pemerintah dan pemerintah daerah untuk mencabut izin kuasa pertambangan yang telah diberikaan kepada perusahaan-perusahaan yang sekarang ini beroperasi di Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya dan menghentikan kegiatan perusahaan pertambangan yang sekarang ini beroperasi dan melakukan reklamasi (pemulihan lingkungan yang sudah hancur) akibat eksploitasi pertambangan dan mengganti rugi yang adil kepada masyarakat yang dirugikan akibat penambangan.
“Kami juga menuntut pemerintah dan daerah untuk tidak memberikan izin kuasa pertambangan (KP) kepada perusahaan-perusahaan tambang. Menuntut pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjalankan kewajiban menjamin kesejahteraan rakyat dengan mengoptimalkan potensi sosial, ekonomi dan budaya nyata masyarakat Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya dengan melibatkan masyarakat sebagai pelaku pembangunan di wilayahnya. Menjadikan isu ekologi sebagai salah satu isu sentral dalam politik dan kebijakan publik di Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya searah dengan gerakan dan tuntutan masyarakat global sekarang ini.”

Kekuatan Flores-Lembata
Mantan Ketua WALHI Indonesia, Cholid Mohamad mengatakan, penolakan rencana tambang di Flores dan Lembata mesti menjadi kekuatan bersama seluruh rakyat Flores. Tambang memiliki daya rusak yang luar biasa terhadap kelestarian lingkungan hidup. Sejarah pertambangan selalu menyisahkan cerita tentang keterbelakangan dan kemiskinan yang semakin merajalela. Ia mengapresiasi kepekaan dan keprihatinan kaum religius yang sesungguhnya menjadi kekuatan besar di daratan Flores-Lembata.
“Perjuangan menolak tambang ini harus menjadi sebuah opsi bersama seluruh rakyat Flores. Gerakan gelombang penolakan rencana tambang mesti menjadi isu keselamatan seluruh rakyat Flores. Rakyat Flores harus tegar mempertahankan tanah dan hidupnya sendiri. sesungguhnya isu gerakan pelokana tambang akan menjadi sebuah kekuatan bersama seluruh rakyat Flores. Jangan biarkan satu alat berat pun menggaruk tanah Flores-Lembata karena sekali menggaruk tanah, keserakahan dan ketamakan akan semakin menggila. Sekali garuk, mereka akan seterusnya menggaruk. Hanya satu kata, lawan rencana pertambangan di Flores-Lembata.”
Semiloka JPIC untuk tolak tambang di Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya ini diisi dengan pemaparan materi oleh pamateri, tanya jawab dengan pemateri, diskusi kelompok untuk membedah keterlibatan kaum religius dan komunitas religius serta mencari model-model keterlibatan gereja dan pleno. Kegiatan ini juga menyepakati rencan aksi nyata yang akan dilaksanakan oleh komunitas-komunitas religius dan keuskupan serta tarekat-tarekat. *
____________________________

*Semiloka JPIC Tolak Tambang di Flores-Lembata (1)
Tambang: Monster yang Menghancurkan Flores-Lembata



Oleh Steph Tupeng Witin



Detusoko adalah perkampungan yang sejuk dengan kabut yang lembut menaungi. Deretan perbukitan yang hijau melingkupi aktivitas pertanian rakyat. Sawah bertingkat adalah gambaran kesuburan hidup. Lumbung-lumbung petani di pinggir jalan negara menggambarkan ketahanan pangan hidup. Kehijauan tanaman padi dan palawija membuktikan keringat rakyat yang berjuang hidup dengan kekuatannya yang terbatas. Memandang persawahan Detusoko ibarat menolak beras miskin yang kadang penuh cacing yang “terpaksa” diterima hanya karena “kemurahan” yang “dipaksakan” oleh sebuah “program.”
Di tempat inilah para peserta semiloka melalui rentang waktu tiga hari memandang Pulau Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya yang sadar atatu tidak saat ini tengah “diintip” oleh sebuah monster, serigala yang mengaum-ngaum mencari mangsa. Pertambangan adalah sebuah bencana yang saat ini mulai digulirkan secara sistematis oleh sebuah tangan kekuasaan yang berlumur keserakahan dan ketamakan yang tidak tertahan lagi. Pertambangan adalah kumpulan kejahatan terselubung yang akan dengan sewenang-wenang merobek-robek bahkan menyayat tubuh Flores dan Lembata yang sekian abad begitu sempurna dalam tangan rakyat.
Komisi JPIC OFM dan SVD berikhtiarkan membangun kesadaran dan pemahaman yang holistik di kalangan agen-agen pastroal dan religius yang akan menjadi penyambung suara kekuatan untuk mengadvokasi, membangun pemahaman dan kesadaran di kalangan umat/rakyat kecil yang banyak kali dibodohi oleh permainan kekuasaan perusahaan yang memiliki modal/uang yang berselingkuh dengan kekuasaan publik yang memiliki otoritas politik.
Menurut mantan Ketua Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Indonesia, Cholid Muhamad, sejarah pertambangan adalah sejarah kemelaratan rakyat kecil yang sesungguhnya pemilik sah dari tanah yang ditambang. Perusahaan-perusahaan tambang dengan licik akan mempengaruhi pemegang kekuasaan politik dari pusat hingga ke kabupaten yang juga memiliki pengetahuan dan pemahaman yang dangkal bahkan kosong tentang tambang untuk menyalurkan keserakahannya dalam membongkar tanah rakyat. Janji-janji surga atas nama tambang yang dibingkai dalam tema “meningkatkan kesejahteraan rakyat .”
“Saya berkeliling hampir di seluruh dunia untuk meneliti dan mengamati aktivitas pertambangan. Janji kesejahteraan rakyat yang dikoarkan perusahaan dan didukung kaki-kaki tangan pemodal di jajaran kekuasaan politik dari pusat sampai kabupaten itu Cuma kebohongan belaka. Pertambangan menghancurkan kelestarian alam lingkungan. Tanah dan air tercemar limbah. Rakyat kehilangan tanah untuk hidup. perusahaan-perusahaan itu datang menggaruk dan mengeruk kekayaan alam kita lalu pergi meninggalkan kehancuran tanah dan lingkungan. Rakyat hanya bisa menikmati remah-remah yang ditinggalkan.”
Menurutnya, rencana tambang mesti gencar ditolak karena akan membawa kehancuran hidup. Penguatan masyarakat mesti terus dilakukan untuk membangun pemahaman masyarakat sehingga tidak gampang menerima penipuan dan kebohongan informasi dari perusahaan tambang dan “kaki tangan” yang menyebarkan kesesatan ke tengah publik. Ia melihat agama-agama di Flores-Lembata memiliki peran yang sangat besar dalam membangun pemahaman dan kesadaran rakyat ini.
“Jangan sekali-kali membiarkan tanah Flores-Lembata yang kaya dan indah ini digaruk apalagi dirobek-robrk oleh satu alat berat pun. Perusahaan tambang di mana-mana sangat serakah menggaruk tanah yang mengandung barang mineral yang bernilai ekonomis tinggi. Sekali alat berat menggaruk tanah di Flores-Lembata, saat itu dimulailah penghancuran tubuh Flores dan Lembata,” katanya.
Koordinator JPIC SVD Ende, Pater Alex Ganggu, SVD mengatakan, keterlibatan SVD dan OFM selama ini dalam mengadvokasi rakyat terkait kasus tambang di Lembata telah berandil membuka mata dan kesadaran banyak kalangan untuk peka melihat kenyataan dan membaca tanda-tanda bahaya penghancuran alam dan lingkungan hidup. Keterlibatan mestinya menyadarkan siapa pun untuk peka dengan bahaya kehancuran lingkungan. Advokasi terhadap rakyat kecil yang memiliki pengetahuan dan pemahaman yang minim telah menumbuhkan rasa memiliki yang tinggi di kalangan rakyat sehingga akhirnya rakyat sendiri yang bangkit untuk melawan arogansi kekuasaan modal dan politik yang sebetulnya mengabdi kepentingan rakyat.
Sr. Eustochia, SSpS mengatakan, kasus tambang di Flores-Lembata menggambarkan bahwa pemerintah yang dipilih oleh rakyat lebih mengabdi kepada kekuatan modal dari pada rakyatnya sendiri yang telah memilih mereka untuk menduduki kekuasaan politik. “Apa pun yang terjadi, rakyat harus dikuatkan untuk berani membangun perlawanan dengan kekuasaan modal dan politik ini. Perjuangan rakyat adalah tanda bahwa rakyat ingin hidupnya aman dan damai. Rencana kehadiran tambang telah menghancurkan relasi sosial dan kekerabatan serta kekeluargaan. Rakyat Flores-Lembata harus bersatu untuk melawan dan menolak rencana pertambangan ini.”
Jacob Herin dari JPIC Keuskupan Maumere mengatakan, perlawanan mesti terus digencarkan dengan menggunakan berbagai jalan politik yang bisa membantu perjuangan bersama rakyat ini. “Kita mesti terus memberikan tekanan yang keras kepada pemerintah agar tidak gampang mengurus berbagai izin pertambangan yang sama sekali tidak mengindahkan hak rakyat. Pemerintah harus mendengarkan rakyat. Kita juga harapkan agar DPR/DPRD memperjuangkan aspirasi rakyat terkait penolakan tambang ini.”
Pater Mikhael Peruhe, OFM mengingatkan bahwa apa pun cara perjuangan, sasarannya akhirnya adalah penguatan pemahaman dan kesadaran rakyat akan hidup yang mesti diperjuangkannya sendiri. “Banyak pengalaman advokasi terhadap rakyat menyadarkan bahwa kita mesti berjuang untuk melawan penyebaran informasi bohong dan penipuan yang menyesatkan pemahaman rakyat. Di tempat-tempat itu kami temukan bahwa perusahaan tambang yang diperkuat oleh pemerintah memberikan informasi yang menjanjikan surga bagi rakyat. Proses advokasi rakyat mesti memperhatikan hal ini.”
Di Detusoko, pemahaman itu mulai semakin jauh digulirkan oleh kaum religius dan kelompok rakyat yang peduli dengan masalah tambang. Benih-benih perlawanan rasional terkait rencana tambang mulai ditancapkan. Perlawanan terhadap rencana tambang, monster yang siap menghancurkan lekak lekuk tubuh Flores, Lembata dan pulau-pulau sekitarnya mulai semakin digencarkan. Monster yang serakah itu sudah saatnya dilawan oleh rakyat Flores dan Lembata.

Tidak ada komentar: