Kamis, 20 November 2008

Marmer di Flores

Inilah lokasi tambang marmer di Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende, NTT. Meski belum mengantongi satu surat izin pun, CV Floresindo Pratama Putra telah menggaruk lokasi. Rencana ini mendapat perlawanan dan penolakan dari masyarakat.

Foto: Steph Tupeng




Warga Ondorea Tolak Tambang Marmer
*Gunawan: Saya Terpanggil Bangun Ende

Oleh Steph Tupeng Witin

Warga Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende menolak rencana pertambangan batu marmer yang akan dilaksanakan oleh CV Floresindo Pratama Putra. Proses penambangan berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan masyarakat khususnya pemilik ulayat. Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Ginawan dinilai sangat merendahkan masyarakat dan arogan. Lahan yang saat ini sudah mulai digaruk alat berat itu merupakan lahan yang potensial dan subur. Di atasnya berdiri tanaman perdagangan berupa vanili, kakao, kemiri dan sebagainya. Rencana tambang juga mengancam tiga (3) mata air milik warga yang tepat berada di bawah lokasi pertambangan.
Hal ini mengemuka dalam dialog antara warga, Pemerintah Kabupaten Ende khususnya Dinas Pertambangan dan Bapedalda, DPRD Ende dan Direktur CV Floresindo Pratama Putra di Kantor Camat Nangapenda, Kamis (20/11). Hadir Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi, anggota DPRD Ende, Heribertus Gani, Kepala Dinas Pertambangan, Thom R. Benge, Kepala Bidang Hukum dan Pengendalian SDA pada Bapedalda Ende, Frans O Nggaa, Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan dan warga Ondorea. Sosialisasi dan dialog itu dipandu oleh Camat Nangapenda, Gabriel Da.
Warga Ondorea, Yakobus Lukas mengatakan, hingga saat ini sikap masyarakat sudah jelas dan tegas yaitu menolak rencana pertambangan marmer. Sikap ini lahir dari kesadaran akan keberadaan lahan pertanian yang sudah diwariskan turun temurun sejak nenek moyang. Ia juga meminta agar masalah terkait kepemilikan tanah dibicarakan secara terbuka. Hal ini dimaksudkan agar tudak melukai warga yang terabaikan hak-haknya.
“Proses perencanaan sangat tertutup dan keberadaan warga sangat diabaikan. Ketua Suku, Domi A Djuma Pani Pesa sudah terlalu melangkah dalam proses tambang ini. Kalau tambang ini jadi nantinya, bagaimana dengan kami yang selama ini menggarap di atas lahan yang dijadikan lokasi tambang itu? Hal ini harus kami ketahui dengan pasti. Kami tidak mau dibodohi oleh investor yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Kami minta Direktur CV Floresindo Pratama Putra membangun komunikasi dengan warga. Perusahaan anda akan berada di tengah masyarakat. Kerja tertutup bagaimana pun tetapi bau yang busuk akan diketahui juga,” katanya.
Kristianus Tato mempertanyakan janji-janji manis terkait sumbangan penerangan listrik untuk masyarakat Ae Fua dan alat penyedot air bersih untuk masyarakat Worhowona dan Mbotumboa. “Saya mau tanya kepada bapak-bapa yangh duduk di depan: apakah tanpa adanya pertambangan marmer di Ondorea kami warga Ondorea tidak bisa menikmati penerangan listrik dan jaminan air minum yang bersih? Listrik dan air minum adalah hak kami sebagai warga. Kami tolak tambang marmer ini karena kami ingin mempertahankan tiga sumber mata air kami yang selama ini menghidupi kami.”
Menurutnya, pertemuan hari ini pun sarat dengan rekayasa oleh Camat Gabriel Da yang tidak mengundang warga untuk hadir. Surat undangan hanya dikeluarkan untuk aparat desa dan pihak yang mendukung rencana tambang. “Kmi hadir di sini untuk berdemo menolak tambang yang datang tiba-tiba seperti pencuri di Desa Ondorea ini. Kami hendak menghentikan rencana pertambangan ini. Kami hadir di dalam ruangan ini karena menghargai seorang bapak yang bernama Gabriel Da yang meminta kami hadir dan bukan dalam kapasitas sebagai Camat Nangapenda. Kami sesalkan proses perekayasaan ini,” katanya.
Warga lainnya, Kadir meminta pemerintah untuk segera menghentikan rencana tambang di Ondorea karena sudah ditolak oleh masyarakat. Aspiraso menolak tambang marmer ini sudah disuarakat 2 kali oleh warga. Proses mediasi yang coba dibangun tidak menemui kata sepakat. “Dalam proses perencanaan tambang ini masyarakat sangat dibodohi oleh investor. Pimpinan CV Floresindo Pratama Putra dalam pemaparannya sangat arogan. Proses pertemuan ini tidak jelas. Semula akan berlangsung di kantor desa, tiba-tiba dipindahkan di kantor camat. Kami minta agar proses ini segera dihentikan dan tambang dibatalkan.”
Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Ondorea, Abu Tahir Hidayat mengatakan, seluruh warga Desa Ondorea menolak kehadiran tambang marmer. Proses perencaanaan berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan masyarakat. “Warga butuhkan lahan untuk hidup. Di atas lahan itu pun banyak tanaman perdagangan yang sedang menghasilkan. Kami minta rencana ini segera dihentikan agar masyarakat dapat bekerja dengan tenang untuk hidupnya.”

Terpanggil Bangun Ende
Direktur Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan mengatakan, rencana pertambangan marmer merupakan bagian dari komitmen dan panggilannya untuk membangun Ende. Sebagai putra daerah ia ingin mengembangkan potensi yang ada untuk meningkatkan tarah kesejahteraan warga dan menciptakan lapangan kerja warga penduduk lokal. Survey sudah dilakukan sejak Pebruari 2008 terkait deposit bongkahan batu, status kepemilikan lahan, sarana dan prasarana penunjang: mata air, listrik, akses jalan, lokasi pabrik pengolahan batu dan perkiraan dampak lingkungan dan pemukiman penduduk. Pihaknya sudah melaporkan hal itu kepada Dinas Pertambangan Kabupaten Ended an Bupati Ende dengan surat permohonan SIPD tanggal 22 Pebruari 2008.
“Saya tidak bisa disalahkan dalam proses ini. Saya telah menyampaikan itu kepada Bupati Ende selalu kepala daerah. Proses dokumen sedang berjalan. Saya belum mendatangkan alat-alat berat untuk bekerja. Substansi tambang belum disentuh. Saat ini kami sedang siapkan lokasi bangunan perusahaan. Dampaknya saya akan alami pertama bersama anak kerja saya. Saya baru gusur bukit untuk bangun basecamp. Nanti perusahaan ini dikelolah oleh orang-orang lokal sehingga mendapat penghasilan. Saya akan olah semuanya itu di sini. Kalau mau untung, ya saya berusaha untuk untung, malah saya mau rugi. Saya tidak gila. Saya juga piker keselamatan saya. Mari kita kerja sama-sama. Saya komit untuk bangun daerah ini. ”
Menurutnya, proses pengolahan batu marmer tidak dengan bahan kimia sehingga tidak akan mencemari lingkungan dan tanah. Debu juga tidak ada karena sudah masuk ke dalam air. Ia mencontohkan, di Padalarang, air hasil pengolahan batu marmer bisa dialirkan untuk sawah. Residu tidak akan mencemarkan air dan lingkungan, malah akan menyuburkan tanah. “Pengolahan kami sangat sederhana dalam skala yang kecil. Penambangan seperti ini ratusan jumlahnya di Jawa. Jangan bayangkan seperti di Buyat. Apakah anda pernah ke Buyat?”
Diberitakan sebelumnya, warga Desa Ondorea, Kabupaten Ende menolak rencana pertambangan marmer. Warga tidak merelakan lahan seluas kurang lebih 48.852 meter persegi untuk dijadikan lahan pertambangan dengan masa kontrak selama 25 tahun (2008-2033) yang dihargai dengan uang jasa sewa lahan senilai Rp35 juta. Proses itu berlangsung sangat tertutup dan tidak pernah melibatkan seluruh masyarakat. Hingga saat ini perusahaan belum mengantongi satu surat izin pun tetapi alat berat sudah menggaruk bukit dalam dua tingkat. Sebagian tanaman warga berupa kakao, vanili, kemiri dan sebagainya sudah digusur dan ditimbun.*
_________________________

Amdal, Tolok Ukur Pembangunan
*Ruben Resi: Masyarakat Tidak dilibatkan

Oleh Steph Tupeng Witin

Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) merupakan tolok ukur dalam rencana pertambangan, apa pun skalanya. Peraturan Pemerintah Nomor 27 tahun 1999 menegaskan bahwa semua pembangunan yang berdampak besar ataupun kecil harus melalui kajiaan mengenai dampak lingkungan. Dalam rencana pertambangan ini, hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahan adalah pembebasan lahan. Tanpa itu kajian apa pun tidak dapat dijalankan.
Hal ini dikemukakan oleh Kepala Bidang Hukum dan Pengendalian SDA Pada Bapedalda Ende, Frans O. Nggaa saat sosialisasi dan dialog terkait rencana tambang marmer di Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda yang berlangsung di kantor Camat Nangapenda, Kamis (20/11). Menurutnya, pertambangan harus mengikuti rambu-rambu yang ditetapkan pemerintah. Hingga saat ini belum ada upaya untuk membuat kajian amdal karena perusahaan belum mengajukan dokumen apa pun. “Amdal itu dibuat oleh pemrakarsa yaitu perusahaan yang akan melakukan penambangan, bukan dari Bapedalda. Kita hanya menilai dokumen amdal yang diajukan oleh perusahaan yang dibuat dengan melibatkan perguruan tinggi, lembaga independen maupun LSM lingkungan hidup. Jadi tidak ada yang tiba-tiba saja mulai kerja di lokasi dengan mengabaikan aturan-aturan yang harus dilewati dalam proses pertambangan,” katanya.
Staf Bapedalda, Evi Rerho menegaskan, rencana pertambangan mesti diawali dengan sosialisasi secara terbuka kepada seluruh masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk meminta persetujuan dan pertimbangan dari masyarakat terkait rencana tambang itu. “Perusahaan harus mengedarkan kuesioner untuk mengetahui dan menyerap aspirasi masyarakat. Hal ini bertujuan untuk membangun kepercayaan dari masyarakat sehingg di kemudian hari tidak muncul pertentangan dari masyarakat.”
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Ende, Thom R. Benge mengatakan, proses pertambangan mesti dilalui di atas aturan/regulasi. Di Nangapenda, rencana pertambangan belum memenuhi persyaratan. Dalam proses ini mesti ada kompromi antara pengusaha dan masyarakat terkait jaminan kesejahteraan. Syarat utama yang mesti dipenuhi perusahaan adalah analisa dampak lingkungan (amdal). “Investasi ini mesti dalam kerangka kepentingan rakyat, bukan hanya untuk keuntungan perusahaan. Nangapenda sangat potensial dalam bidang pertambangan tapi kita ambil yang paling kecil yaitu galian golongan C. Pihak investor diharapkan agar memberdayakan masyarakat,” katanya.

Masyarakat Diabaikan
Wakil Ketua .DPRD Ende, Ruben Resi mengatakan, pertentangan di tengah masyarakat ini terjadi karena sejak tahap awal masyarakat sangat diabaikan dan tidak dilibatkan. Proses perizinan untuk survey atau apa pun harus dimulai dengan masyarakat dulu. Pro dan kontra terkait rencana pertambangan ini mengemuka karena proses ini tidak transparan sejak awal.
“Lokasi pertmbangan bukan lahan tandus sebagaimana yang disampaikan selama ini. Lokasi itu potensial karena banyak tanaman perdagangan di atasnya. Lokasi itu dekat dengan jalan raya dan pemukiman penduduk. Tiga mata air akan terancam padahal batuan itu diyakini menyimpan air tanah selama ini. Mari kita lihat soal dengan hati nurani. Dampak-dampak social dan lingkungan harus diperhitungkan semua elemen pengambil kebijakan. Jangan sampai di kemudian timbul masalah dan masing-masing pihak saling tuding dan lempar tanggung jawab untuk cari selamat,” katanya.
Anggota DPRD Ende, Heri Gani mengimbau semua pihak agar berpikir dengan jernih untuk menyelesaikan persoalan pertambangan ini dengan baik. Ia mengatakan, proses pertambangan harus berjalan baik sehingga tidak ada merasa tersisih dan terabaikan.
“Kita sama-sama mengikuti proses ini dengan bijak. Bagi pengusaha, jika lebih banyak aspek negatifnya, kita minta hentikan. Tetapi jika banyak hal yang positif dari rencana ini, mengapa kita tidak dukung?” Camat Gabriel Da meminta maaf karena tidak mengeluarkan undangan untuk warga agar hadir dalam pertemuan ini. “Ini kesalahan teknis dan saya sudah meminta maaf kepada warga yang datang. Dalam kasus ini ini saya juga menandatangani surat perjanjian sewa lahan karena saya mendengar dari kedua belah pihak bahwa prosesnya sudah berjalan secara baik dan benar. Saat ini kita menemukan banyak masalah dalam kasus ini. Terkait penolakan warga, saya juga tidak bisa berbuat apa-apa. Ini aspirasi masyarakat,” katanya.

1 komentar:

Izak mengatakan...

He Tuan Steph, tugas mulia anda buat disini. Terimakasih atas kerja dan usaha anda utk memajukan dan mengingatkan orang-2 yg berpengaruh dalam pemerintahan dan politik di daerah kita.

Tuhan akan membantu dan memberkati usaha dan kerja anda utk kepentingan dan kebaikan bersama (common good.
God bless