Kamis, 20 November 2008

Abu Samah


Abu Samah:
Saya Tidak Perdagangkan Bukit Puakoyong

Oleh Steph Tupeng Witin


Sorot matanya tajam menerjang nurani siapa pun. Urat-urat perjuangan melengkungi dahi dan lengannya. Kulitnya legam terbakar terik matahari Kedang yang garang menggambarkan sosok pekerja keras yang pantang menyerah. Komitmennya untuk mempertahankan hak ulayat Puakoyong, yang menurut analisis Pemerintah Kabupaten Lembata dan PT Merukh Enterprise mengandung emas yang luar biasa, telah membuktikan itu. Sosok ini tidak bergeming sedikit pun pada tawaran lembaran-lembaran nikmat yang coba disodorkan pemerintah melalui siapa pun yang dianggap bisa mempengaruhi nurani dan menggoyahkan komitmen. Baginya, Puakoyong bukan sekedar gundukan tanah yang diatur oleh alam dan “telanjur” menjadi kekuasaan ulayatnya. Tetapi Puakoyong adalah napas hidup karena di bukit yang hijau itu kehidupan dan kematian menyatu. Leluhur dan generasi saat ini serta masa depan menggantungkan nasib.
“Sikap saya terkait tambang dari dulu tidak akan pernah berubah. Saya tetap menolak tambang sampai mati sekalipun. Puakoyong adalah warisan leluhur yang tidak akan saya gadaikan dengan uang berapa karung pun. Pemerintah sudah berulangkali mengutus “orang-orangnya” mendekati saya dengan berbagai cara dan jalan. Bupati pernah mengirim uang Rp150.000 dan saya kirim kembali melalui tukang ojek. Ini sangat menghina saya. Dari dulu saya miskin dan hidup dari keringat saya di kebun dan ladang. Saya tidak pernah hidup dari keringat orang lain. Saya selama ini hidup dengan sangat terhormat sebagai manusia. Terakhir bupati mengirim saya uang sebesar Rp1 juta. Beberapa minggu lalu bupati menyuruh utusannya untuk meminta uang itu kembali. Tetapi saya tidak mengembalikan uang itu. Saya telah mengamankan uang itu. Uang itu akan jadi alat bukti di pengadilan nanti karena saya akan menggugat bupati,” katanya saat ditemui di Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, Kamis (1/11).
Lelaki kelahiran Peuma, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri, 62 tahun lalu itu sangat keras menolak rencana tambang yang mencakup Puakoyong, ulayat miliknya. Menurutnya, penolakan ini berdasarkan sejarah leluhur yang menegaskan bahwa hak ulayat tidak boleh diperdagangkan karena yang akan menjadi korban adalah saudara perempuan sendiri. Menyerahkan tanah ulayat untuk dibongkar sama dengan menyerahkan kehormatan saudari untuk dinistakan oleh orang luar. Ulayat Puakoyong didukung oleh lima (5) suku yaitu Nuturamun, Moyeha, Latiha, Leuweha dan Orowala. “Keempat suku hanya menunggu suara dari saya. Ketika saya katakan saya mau menyerahkan tanah ulayat Puakoyong maka semua habis. Napas dan masa depan ribuan jiwa hilang dalam sekejap,” katanya.
Menurut lelaki yang tidak bersekolah ini, berulangkali dirinya dipengaruhi untuk menyerahkan Puakoyong. Namun keputusan dan komitmennya tidak akan pernah berubah. “Satu kali saja saya omong dan itu tidak akan saya tarik kembali. Saya tidak akan menjilat ludah yang saya sudah saya buang. Saya bukan anjing atau kucing. Saya diancam untuk dibunuh, diteror bahwa akan ditabrak mati dan diracun melalui makanan dan minuma. Tapi saya tetap biasa saja. Saya mempertahankan hak ulayat saya. Saya tidak pernah mencuri atau merampas hak milik orang lain. Saya orang kecil, rakyat jelata, tidak bersekolah tapi saya tidak diajarkan oleh leluhur saya untuk serakah dengan harta milik sesama. Saya diajarkan untuk bekerja keras dan berkeringat. Hidup dari kerja sendiri. Bukan menjadi penadah murahan yang tidak bermartabat. Saya yakin saya benar. Kalau pemerintah paksakan rencana ini, saya sudah katakan kepada anak-anak saya agar menguburkan saya di bukit Puakoyong itu agar dibongkar dan digusur bersama tanah ulayat oleh alat-alat berat pemerintah dan Merukh. Saya siap jadi tulang belulang demi membela dan mempertahankan hak saya,” katanya.
Ia mengatakan, sebagai tuan tanah, ia akan mempertanahkan tanah Puakoyong sampai mati.Tetapi jika pemerintah karena berdasarkan undang-undang mau masuk, silahkan masuk. “Dia masuk juga saya tidak suruh, dia tidak masuk juga saya tidak larang. Di sana baru dia urus dengan jin, dengan roh halus, bukan dengan saya. Bumi yang sedang kita pijak ini sedang sakit. Hari-hari kita injak di atas dia, kencing dan berak di atas dia, makan di atas dia lalu kita perdagangkan dia lagi. Alam yang sedang kita junjung, siang panas, malam dingin, sedang jadi saksi. Saya tidak akan pernah memperdagangkan Puakoyong hanya karena beberapa karung uang. Di bukit itu kehidupan dan kematian bersatu.”
Saat ini Bapa Abu, demikian disapa akrab setia mengaliri napas hidup bersama isteri dan anak-anaknya di Peuma dengan sederhana. Setiap hari ia ke kebun dan mengurus ternak. Rumahnya selalu terbuka. Beliau dikaruniai 8 anak dari 2 isteri. Dari Maimona Ena lahir Abdul Fatah, Mohamad Puas. H. Ahmad, Syukur Ahmad dan Naya Ahmad dan dari rahim Pangka Rahmat lahir Isa Ahmad, L. Ahmad dan Mone Ahmad. “Biarpun saya diancam, diteror dengan cara apa pun saya tidak akan gentar. Saya hidup seperti biasa dari dulu. Saya ini orang kampung yang tidak sekolah. Tapi saya tidak akan dipengaruhi oleh siapa pun untuk mengubah pendirian dan sikap saya. Saya tolak tambang. Saya tidak akan memperdagangkan bukit Puakoyong karena akan menyengsarakan banyak orang.”

Tidak ada komentar: