Kamis, 20 November 2008

EGON

Catatan Perjalanan pasca letusan Egon (1)
Membaca Kedashyatan Amukan Egon


Oleh Steph Tupeng Witin

Kedashyatan semburan lahar dan abu panas Gunung Egon pada 15 April 2008 lalu begitu terasa saat memasuki Dusun Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete, Kamis (8/5). Abu Egon melaburi wilayah itu. Bau belerang masih terasa menyengat. Letusan itu telah menimpa Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara, Desa Egon dan Desa Nanga Tobong, Kecamatan Waigete. Sekretaris Karitas/Sekretaris Puspas Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih menginformasikan bahwa sejak Egon meletus Blidit adalah kawasan yang menjadi hunian pengungsi. Saat kunjungan itu masih 8 kepala keluarga yang mengungsi. Situasi memang sudah normal. Pertanyaan, mengapa 8 kepala keluarga masih bertahan sedangkan pengungsi yang lain sudah kembali ke titik normal?
Eduardus Eting, salah seorang pengungsi mengisahkan, letusan Gunung Egon telah menghancurkan rumah, kebun dan tanaman. Mereka tidak bisa kembali lagi ke kehidupan yang semula. Jika kembali pun, mereka harus memulai lagi dari awal. Coklat, kelapa, kemiri, kopi, vanili, cengkeh dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. “Padi dan jagung di kebun tidak bisa menghasilkan karena rata dengan tanah. Saat letusan itu padi masih basah, belum ada isi. Wortel dan ubi rusak karena terkena lahar panas. Kami tidak bisa tinggal lagi di atas. Kami hanya pergi pulang lokasi itu sebagai kebun. Kami minta pemerintah dan pihak LSM membantu hidup dan masa depan kami. Kami kehilangan semuanya.”
Kasianus Lado, pemilik rumah yang menampung para pengungsi Gunung Egon mengatakan, sejak letusan terjadi, para pengungsi mendapatkan bantuan dari pemerintah dan LSM serta Gereja berupa beras, sarimi dan jenis-jenis bantuan pangan lainnya. Menurutnya, kesulitan paling besar adalah ketersediaan air bersih. “Memang ada oto tangki yang menghantar air ke sini setiap hari. Tapi kami jadi ragu, apakah air yang dibawa mobil itu bersih atau tidak? Di sekitar sini ada mata air yang belum dimanfaatkan oleh pemerintah. Gunung Egon ini ‘kan tetap aktif. Maka kita minta pemerintah untuk mengantisipasi terjadinya letusan lagi dengan menyediakan sarana air minum yang bersih bagi warga pengungsi nanti yaitu memanfaatkan sumber mata air “ahu wair.” Kami di Blidit ini hidup dari mata air kecil “wair gu” tapi saat ini kapteringnya sudah rusak. Selama ini kami berusaha sendiri dengan membeli kaptering. Kami minta pemerintah atau pihak lain untuk membantu kami menyediakan sarana air bersih bagi hidup kami di masa yang akan datang, tidak hanya untuk pengungsi tapi juga terutama untuk warga di sekitar Blidit ini.”
Apakah benar bahwa tanaman dan rumah penduduk hancur? Benarkah bahwa kehidupan tidak lagi berjalan normal? Kami tiba di Ladan Gawat, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara. Matahari di atas ubun-ubun. Menyengat. Lokasi itu terletak persis di bawah Gunung Egon. Kedashyatan lahar panas dan abu sangat kuat terasa di sini. Dedaunan mangga dan pisang dilumuri lahar panas. Tanaman ubi, wortel dan keladi kehilangan daun. Buah advokat terjatuh. Dahan pepohonan patah karena tidak mampu menahan beratnya lumpur panas yang basah. Sejauh mata memandang, seluruh wilayah itu dilanda lahar panas yang telah mengering. Tengik belerang terasa menusuk hidung.
Maria Tuone Lenti (25) yang tengah menggendong anaknya, Hendrika Yeli (11 bulan) dalam sarung hitam, sedang berdiri di depan rumahnya yang berdinding belahan bambu dengan dua kamar yang diseraki buah advokat. Rumah itu kokoh berdiri dan tidak sedikit pun mengalami kerusakan. Tiang-tiangnya kokoh meski sederhana. Kamar-kamarnya kosong. “Semua barang sudah dibawa ke Blidit. Sejak letusan Gunung Egon. Kami datang pagi dan sore kembali ke Blidit. Kami bawa ubi, keladi dan sayur yang kami bersihkan,” katanya. Ia selanjutnya mengisahkan kejadiaan naas malam itu saat puncak Egon mengeluarkan lahar panas cair dan abu. “Malam itu sekitar jam 10.00. Kami siap untuk tidur. Tiba-tiba kami mendengar bunyi ledakan yang kuat. Lahar basah dan abu panas turun melanda wilayah ini. Tubuh kami juga terkena abu panas. Kayu-kayu patah. Batu-batu berhamburan. Kami berlari menuju Blidit. Hanya pakaian di badan. Lumpur jatuh melekat di badan. Panas. Rambut penuh lumpur dan abu. Untung kami cepat. Kalau tidak, mungkin kami mati.”
Saat kami memasuki kebun, kerusakan dan kehancuran tanaman tidak seperti yang diinformasikan saat kami berada di Blidit. Ubi, keladi, wortel dan tanaman pangan lain tetap aman dalam tanah. Cuma tanah bagian atas dan dedaunan yang dilumuri lahar panas dan abu vulkanik. Bahkan Kanisius Kasih, Sekretaris Karitas dan Flores Pos masuk ke kebun padi dan meraba bulir padi yang tetap berisi meski merunduk karena tertimpa beban lahar panas dan abu. “Padi tetap berisi. Memang sebagian kecil rusak. Jagung tetap baik, tidak rusak. Situasinya sudah normal. Mestinya mereka segera kembali ke lokasi untuk membersihkan kebun dan ladang mereka.”

_________________________________
*Catatan Perjalanan Pasca Letusan Egon (2)
Bencana, Solidaritas dan Pemberdayaan

Oleh Steph Tupeng Witin

Kali Wair Raat, kurang lebih 1 kilometer dari Dusun Baokrenget, Desa Egon Gahar, Kecamatan Mapitara terbelah besar. Bongkahan lahar panas yang telah mengering membentangi badan kali. Sebuah jembatan jebol. Inilah salah satu pusat lokasi aliran lahar panas dan abu pada letusan Egon 15 April 2008 lalu. Uskup Maumere, Mgr. Kherubim Pareira, SVD yang mengunjungi lokasi itu bersama Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr, Jumat (9/5) tidak membayangkan seandainya aliran lahar panas itu menerjang perumahan dan warga. Bahkan ke depan, gumpalan lahar panas itu sangat berbahaya jika terjadi banjir di kemudian hari yang akan berakhir di Waigete.
Uskup Kheru mengunjungi lokasi Egon sekaligus berdialog dengan sebagian kecil pengungsi yang memilih tetap bertahan di Blidit, Desa Egon, Kecamatan Waigete meski situasinya sudah kembali normal. Uskup berikhtiar melihat secara langsung situasi terakhir agar mendapatkan data yang pasti sekaligus berdialog dengan umat (pengungsi) untuk memperoleh informasi yang benar. Saat berdialog, pengungsi mengutarakan kesulitan yang dialami: tanaman pangan yang hancur, perumahan yang tertutup lahar dan abu vulkanik, bayangan ketakutan akan letusan susulan Gunung Egon dan beratnya niat untuk kembali lagi ke rumah. Uskup Kheru mengajak pengungsi untuk segera keluar dari persoalan ini dengan mencari lokasi yang aman untuk berpindah. Pengungsi setuju karena memiliki lokasi di Blidit. Tinggal bagaimana pihak-pihak terkait berjejaring mendukung niat warga ini.
Uskup Kheru mengatakan, meski kerusakan yang ditimbulkan cukup parah, namun pengungsi mesti segera “dibangunkan” untuk berupaya mencari jalan keluar dari kesulitan ini. Ada bahaya bahwa bencana terkadang mengurung orang dalam ketidakberdayaan, meski sebenarnya ia memiliki potensi yang besar. Orang bisa saja sembunyi di balik kedahsyatan bencana dan gelombang solidaritas kemanusiaan. Sikap pasif, hanya menunggu datangnya belaskasihan, sumbangan orang lain, mesti dilawan dengan upaya pemberdayaan kesadaran. Titik ini bisa “disalahmanfaatkan” oleh kelompok-kelompok tertentu untuk merekayasa proposal bantuan dan politisasi bencana untuk membangun resistensi dengan pihak pengambil kebijakan.
Direktur Puspas Keuskupan Maumere, Romo Sirilus Meo, Pr mengatakan, bahaya apatisme potensi dengan bersembunyi di balik tembok argumen bencana dan ketiadaan harapan hidup mesti dijernihkan dengan data lapangan dan informasi yang benar. Bencana adalah realitas alam yang kadang terjadi di luar dugaan dan perkiraan manusia. Bencana selalu membawa korban. Tetapi bencana tidak bisa membuat manusia larut di dalamnya. Mesti ada pemikiran dan upaya lain untuk mencari celah agar kesulitan yang saat ini menimpa bisa diatasi. Minimal, kekuatan yang ada dalam diri dan lingkungan dapat membantu membangun dan menumbuhkan energi untuk berubah.
Sekretaris Eksekutif Pusat Riset Agama dan Kebudayaan Candraditya, Maumere, Pater Eman Yosef Embu, SVD mengatakan, setiap upaya untuk membantu para korban bencana mesti tetap mengutamakan pemberdayaan kemampuan, minimal kesadaran bahwa orang mesti merasa ada kekuatan, betapa pun sederhananya, sebagai dasar pijak untuk bangkit dari “kejatuhan.” Menurutnya, kesadaran ini juga harus ada dalam pemikiran setiap komponen yang atas nama kemanusiaan hadir di lokasi pengungsian sebagai tanda solidaritas dengan para korban.Ibaratnya, kita datang memberi kail agar dengan usahanya sendiri mampu memancing ikan dari laut kenyataan (bencana) secara mandiri. Bahayanya, kalau di tengah situasi seperti ini kelompok yang memberi bantuan “memanfaatkan” situasi ketidakberdayaan korban untuk “memancing sesuatu” bagi diri dan kepentingannya. Gambar-gambar yang diatur sedemikian tragis kadang menjadi celah paling gampang untuk menarik simpati berupa dana, sumbangan dan sebagainya.
Sekretaris Karitas, lembaga yang bernaung di bawah Gereja Keuskupan Maumere, Kanisius Kasih mengatakan, sikap kritis dari setiap pemberi bantuan mesti ditempatkan dmeski dalam bendera solidaritas kemanusiaan. Bisa saja, orang terjebak dalam “permainan” kepentingan untuk mengail keuntungan yang tidak akan menumbuhkan kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. “Kita selalu turun ke lapangan, mengambil data, menganalisisnya dan merumuskan strategi bantuan yang akan diberikan kepada para pengungsi. Bantuan yang kita berikan selalu dalam perspektif pemberdayaan. Kekuatan dan peluang positif yang ada dalam diri korban harus dibangkitkan agar tumbuh rasa percaya pada kekuatan diri sebagai dasar untuk mandiri. Jujur, kalau kita tidak kritis akal sehat bisa dikalahkan oleh bujuk rayu, air mata dan kata-kata memelas yang merebut hati,” katanya.
Bencana apa pun selalu membangkitkan solidaritas kemanusiaan. Solidaritas kemanusiaan ini membuka jejaring kerja sama dengan berbagai elemen yang peka. Meski demikian, jejaring solidaritas itu mesti dilandasi oleh sikap kritis yang berupaya agar semangat mandiri, sadar akan kekuatan diri terus bertumbuh. Solidaritas tidak mesti mematikan energi dalam diri manusia untuk berkembang dan maju. Sikap ini yang mesti menjadi awasan setiap kali daerah ini kembali menjadi etalase bencana.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pastor boleh tahu bagaimana mengontak frans obon? saya sius wagung bekas teman sekolahnya dulu. katanya dia kerja di Flores Pos?