Kamis, 20 November 2008







*Emas Imamat dan Perak Uskup Pain Ratu (1)
“Cahaya” Telah Terbit dari Lamawolo



Oleh: Steph Tupeng Witin



Lamawolo, kampung mungil yang bertengger di kaki Ile Boleng, sebelah selatan Pulau Adonara yang melayang-layang di atas hamparan laut. Secara administratif, Lamawolo masuk Kecamatan Adonara Timur, Kabupaten Flores Timur. Kampung lama masih jauh di kaki gunung Boleng sedangkan kampung baru sudah agak ke pantai. Kampung ini tampak tegar menahan gempuran ombak garang yang memukul dinding karang dan lahan garapan warga. Malam hari kampung ini dipendari cahaya listrik, swadaya murni warga. Meski struktur tanahnya berpasir, namun letaknya yang dekat dengan gunung berapi memungkinkan tumbuhnya padi, jagung dan ubi-ubian. Penduduk memperoleh penghasilan tambahan dari pohon tuak dan lontar yang tumbuh subur bersama kelapa.
Struktur tanah yang kurang subur turut mendorong arus perantauan warga. Dampak positifnya adalah kemajuan pembangunan dan penataan desa. Watak keras sebagai warisan leluhur dipadukan dengan pengalaman kemajuan dari luar memungkinkan Lamawolo dirancang menjadi sebuah “rumah” yang modern: perpaduan antara tradisi leluhur dan sentuhan nuansa pengalaman dari “seberang.” Sebuah Lamawolo yang apik. Ia telah mencatatkan dirinya sebagai salah satu desa teladan dalam pembangunan masyarakat desa di Provinsi NTT.
Di “rahim” kampung inilah Anton Pain Ratu dilahirkan pada 2 Januari 1929. Putra sulung dari tujuh bersaudara. Ia “terlempar” ke perut Lamawolo melalui perpaduan kasih mesra antara ayah Kosmas Kopong Liat (+1969), petani tulen dan tengkulak lewat perahu, Kepala Suku Ratumakin, kepala kampung, anggota majelis gereja dan Maria Boli Beraya (+2007), anak Kepala Suku Atakela, rajin, pekerja keras, memimpin kelompok kerja perempuan di kampung, penjual tembakau dan dendeng ikan paus. Keduanya dengan karakter pribadi masing-masing membangun keutuhan keluarga.
“Keduanya sudah mewariskan kepada kami hanya satu iman yaitu iman kepada Yesus Kristus. Keduanya buta huruf tetapi tidak buta iman. Ayah adalah sosok yang keras dan tegas. Setelah kematian barulah kami sadari bahwa kepemimpinannya telah membawa guna bagi kami dan masyarakat. Dasar inilah yang membuat kami berambisi keras untuk maju. Kadang menyeruak rasa cemburu tapi kami selalu saling membantu. Bapa mengajarkan kami bahwa manusia lebih penting daripada harta benda,” (Anton Bele (ed), Menuju Gereja Umat, Pastoral Akar Rumput, kenangan 40 tahun imamat Uskup Pain Ratu, Puspas Keuskupan Atambua, 1997, hlm.43-51).
Pendidikan dasar dilalui di SR Leworere, Tanah Boleng (1939), pendidikan lanjutan di Vervolgd School di Larantuka (1940-1942), Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko (1942-1950) dan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero (1950-1958). Ia ditahbiskan menjadi imam oleh Uskup Larantuka, Mgr. Gabriel Manek, SVD pada 15 Januari 1958 di Nita bersama Pater Clemens Cletus da Cunha, SVD, Pater Lambert Paji Seran, SVD, dan Romo Petrus Sepe, Pr. Motto tahbisan,”Sungguh Aku datang,” Ecce, venio (Ibr.10:7).
“Motto ini terlukis di atas patena yang dihadiahkan orangtua saya saat saya ditahbiskan. Ukiran itu kulihat setiap kali kupersembahkan misa, bilamana piala dan patena itu kupakai. Sering kalimat itu tidak berkata apa-apa kepada saya. Akan tetapi dalamsuasana tertentu, kalimat ini memperingatkan saya, untuk apa sebenarnya saya telah menjadi imam Allah. Kristus telah menyatakan siap datang ke dunia untuk melaksanakan kehendak Bapa-Nya. Maka saya pun hendaknya selalu siap untuk melakukan kehendak Kristus yang mengutus aku untuk kepentingan umat-Nya. Kalimat itu juga mengingatkan saya bahwa Kristus itu hidup dan siap selalu datang menyertai saya dalam ziarah hidup sebagai imam Allah. Kalimat itu juga menyadarkan saya bahwa orangtua dan keluarga menyertai perjalanan imamatku. Pesan itu dukungan yang haram untuk diabaikan oleh setiap anak yang masih ingat akan orangtuanya,” (hlm.1).
Setelah menempuh pendidikan lanjut antropoligi budaya dan East Asian Pastoral Isntitute (EAPI) (kateketik) dan melewati tahun-tahun pastoral, pada 12 April 1972 ia diangkat menjadi Regional SVD (sekarang provinsial) yang dijabatnya tiga periode berturut-turut. Pada 2 April 1982 dengan Bulla “Dilectio Filio” Pastor Anton diangkat sebagai Uskup Tituler Zaba dan sekaligus Uskup Auxilier pada Keuskupan Atambua dan ditahbiskan menjadi uskup pada 21 September 1982 oleh Mgr. Theodorus van den Tillaart, SVD dengan motto,”Maranatha,” (1kor 16:22). Pada 3 Februari 1984 dengan Bulla “Venebrati Fratri” ia diangkat menjadi Uskup Atambua dan mengambilalih takta Uskup Atambua pada 9 Mei 1984. Setelah sekian lama menggembalakan umat Allah di Keuskupan Atambua hingga usia lanjut, maka pada 22 April 2003 ia mengajukan surat pengunduran diri dari jabatan Uskup Atambua. Takhta suci akhirnya memilih Mgr. Dominikus Saku, Pr sebagai Uskup Atambua yang baru yang ditahbiskannya pada 21 September 2007. Sebuah tonggak keberhasilan pembangunan gereja lokal pada usia perak uskup. Kini Uskup Anton melewatkan hari-hari purna bhaktinya dengan tenang di kediamaanya yang sedernaha di Bitauni, Kiupukan, Dekenat TTU.
Pada Selasa (22/1/2008) lalu Uskup “Peci Merah” ini ini bale nagi Lamawolo. Ia disambut dengan meriah oleh orang-orang yang juga lahir dari rahim Lamawolo. Laki-laki dan perempuan berkeringat, berjingkrak sepanjang jalan kampung Lamawolo, menghunus pedang, melambaikan selendang dan menyoraki “cahaya” itu. Ia merayakan 50 tahun imamatnya dan 25 tahun sebagai uskup. Kurang lebih 49 tahun ia hidup dalam rengkuhan rahim tanah misi Timor. Ia sudah tua tapi masih gertak, suaranya menggeletar diselingi guyonan yang tajam, menyengat tapi bernada menghibur.
Sebuah kegembiraan untuk seluruh umat Paroki Tanaboleng. Hal ini menyata dalam rangkaian acara yang dikemas dalam nada syukur. Provinsial SVD Ende, Pater Amatus Woi, SVD melukiskan itu sebagai tanda dari kedewasaan dan tanggung jawab umat Tanaboleng dalam mewujudkan gereja lokal yang mandiri dan peka. Perayaan syukur dihadiri puluhan imam konselebrantes, biarawan-biarawati, Bupati Flotim, Simon Hayon, Bupati Lembata, Andreas Duli Manuk dan ratusan umat. Semua menyatu dalam nada syukur mengenang 50 tahun silam ketika cahaya itu terbit dari rahim dan menerangi punggung Lamawolo. Seorang “pemuda ganteng” menunjuk “cahaya” yang menghantarnya menuju altar imamat. Kini ia kembali dari “rantauan” misi dengan menghadirkan “cahaya” itu dalam kematangan waktu yang disepuh dengan kesetiaan dan kasih Tuhan. *
_________________________________






*Emas Imamat dan Perak Uskup Pain Ratu (2/Habis)
Suara Rakyat yang Tertindas



Oleh Steph Tupeng Witin



Pada 21 September 2006, langit Indonesia dicekam gelisah. Menurut rencana, pada 22 September 2006 dini hari, Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva, tiga petani sederhana asal Flores yang merantau ke Poso akan dieksekusi. Demonstrasi menggelora di seluruh dunia menentang hukuman mati. Di Atambua, rally massa yang melibatkan unsur-unsur lintas agama memprotes pelaksanaan hukuman mati. Yang menggetarkan adalah di barisan terdepan massa itu tampak jelas sosok Uskup Anton Pain Ratu, SVD, lengkap dengan jubah. Eksekusi akhirnya terlaksana. Atambua rusuh oleh aksi protes rakyat. Beberapa gedung simbol penegakan hukum dibakar massa. Siapa yang berani turun ke jalan untuk meredam gejolak massa?. Siapa yang bisa didengar suaranya oleh para aktivis dan menjadi sandaran aparat keamanan yang gelisah? Hanya Uskup Anton Pain Ratu, SVD seorang. Ia dibonceng sepeda motor berkeliling Atambua sambil menyerukan penghentian aksi kekerasan dan pengrusakan. Atambua kembali tenang.
Uskup Apin Ratu telah menunjukkan keterlibatannya di tengah persoalan sosial kemanusiaan. Sebagai nabi, Uskup Anton telah memberikan contoh tentang keberpihakan Gereja kepada kaum kecil dan tertindas dengan corak Alkitabiah yakni perjuangan tanpa kekerasan. Ketidakadilan memang harus ditolak tetapi kekerasan tidak dapat dibenarkan, apa pun alasannya.
Romo Frans Amanue, Pr dalam kotbah syukur emas imamat dan perak uskup di Lamawolo, Selasa (22/1) menguraikan keterlibatan Uskup Anton dalam deretan kenyataan keterlibatan menyuarakan aspirasi rakyat kecil dan tertindas. Di antaranya, bersuara tentang pengungsian besar-besaran dari Timor Timur yang memasuki Timor Barat. Ia menggerakkan upaya bantuan darurat bagi mereka sambil juga tetap menuntut tanggung jawab pemerintah atas kehidupan yang layak para pengungai. Jika mereka dipulangkan ke Timor LoroSae pun harus dipulangkan secara baik dan damai.
“Lepasnya Timor Timur dari Indonesia memberikan alasan bagi militer untuk menempatkan pasukan TNI dalam jumlah besar dengan maksud mengamankan lokasi perbatasan. Kehadiran aparat TNI melahirkan banyak aksi kekerasan oleh tentara, pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Uskup Pain Ratu tidak ragu-ragu mengecam keras dan meminta agar kehadiran militer di wilayah perbatasan dikurangi. Suara Uskup Pain Ratu nyaring dan tegas terdengar mendorong perjuangan untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Paling jelas dalam kasus rumpon dan Sarkes. Sebagai pemimpin, Uskup Anton pernah mengingatkan agar jangan berusaha menyenangkan segala orang. Nantinya jadi plin-plan, tidak jelas. Seorang pemimpin yang tidak jelas, bagaimana bisa menjadi pegangan, sandaran, peneguh hati di kala bingung. Bakal semua bingung,” katanya.
Menurut Pastor Paroki St. Yoseph Lewotobi ini, berdasarkan laporan media massa di NTT, orang dapat membaca betapa hati Uskup Anton dekat malah satu dengan orang kecil, tertindas, miskin dan menderita. Kenyataan bahwa Uskup Anton menguasai sekali dan fasih berbicara bahasa Dawan membuktikan bahwa ia sungguh menyatu dengan umat. Ia mulai sebaga pastor pembantu di gunung (Oeolo), bertemu dengan umat sederhana, miskin dan terpencil yang dikunjungi dengan berjalan kaki atau berkuda. Sejarah itu terekam dalam rentang waktu 49 tahun.
“Berbagai jabatan diemban dalam semangat pelayanan seturut teladan Yesus yang diikutinya. Jabatan memang memberikan kuasa tapi kuasa itu tidak dijalankan menurut pola pemerintahan bangsa-bangsa yang memerintah rakyatnya dengan tangan besi tetapi dijalankan untuk melayani kawanan. Kepemimpinannya sangat kuat menampakkan kebersamaan. Baginya, pemimpin cuma membantu dan membimbing. Umat yang punya potensi mesti diberdayakan agar mereka mampu memberdayakan sesamanya demi mewujudkan kehidupan yang bermutu,” katanya.
Romo Frans mengatakan, Uskup Anton sangat konsern dengan pemberdayaan dan peningkatan mutu hidup umat, khususnya dalam bidang sosial ekonomi. Iman mesti terlibat dalam kehidupan konkret yang bersentuhan dengan realitas kemiskinan, ketidakadilan, penindasan, kekerasan dan korupsi. Tidak cukup liturgi dirayakan dengan meriah tetapi tidak berpengaruh dalam hidup. “Di dalam ibadat, kita saleh sekali tetapi di luar kita tidak kurang jahat. Kita begitu bangga dan menepuk dada bahwa iman memiliki tradisi panjang di bumi Lamaholot, kita bangga punya Semana Santa tetapi di sini juga KKN begitu kasar dan tidak berperasaan. Masa, rajin ibadat kok rajin korupsi? Kita jelas bermuka dua,” katanya.
Ia mengatakan, berhadapan dengan persoalan sosial kemasyarakatan, Gereja tidak pernah boleh diam. Gereja harus berdiri di baris depan untuk menyuarakan suara kaum kecil yang tidak mampu bersuara karena ditindas. Kasus penembakan 6 petani Colol, Manggarai, kasus KKN Felix Fernandez di Flotim dan kasus tambang di Lembata masih menampakkan dugaan bahwa Gereja masih diam ketika berhadapan dengan kekuasaan. “Kita bertanya: di manakah Gereja mesti bediri? Rakyat atau penguasa dan pengusaha? Pilihan Gereja pasti: rakyat miskin dan lemah,” katanya.
Pada pertemuan pastoral VI konferensi waligereja Nusatenggara di Weetebula 2003, para uskup berikrar memperkuat independensi dan menunjukkan jati diri Injili secara lebih meyakinkan yaitu membangun kerja sama yang kritis dengan pihak yang berkuasa dengan berprinsip pada solidaritas dan keberpihakan yang tegas pada para korban atas dasar kebenaran, keadilan, kerendahan hati, terus terang dan kejujuran. Gereja akan memprakarsai gerakan-gerakan kemanusiaan yang membebaskan demi terjadinya perubahan sistem kekuasaan dan transformasi sosial. Kata-kata ini cukup bagus tetapi tidak cukup. Kita perlukan tindakan nyata. Barangkali sedikit keberanian baru.

2 komentar:

AK Ratumakin mengatakan...

Romo Selamat Tahun baru 2010,

saya Anton Ratumakin, senang membaca tulisan romo, selamat berjuang !

Jakarta

Anonim mengatakan...

senang membaca tulisan ini, hati serasa bergelora membaca kalimat demi kalimat...smp akhir tulisan.