Minggu, 14 Desember 2008

Tetap TOLAK!!

Warga Peibenga-Kuru Tolak Kehadiran Korem
*Danrem: Korem Tetap Dibangun


Oleh Steph Tupeng Witin
Warga Desa Peibenga dan Kuru, Kecamatan Moni, Kabupaten Ende menyatakan sikap tegas menolak rencana kehadiran Korem/Batalyon di wilayahnya. Kehidupan warga sejak nenek moyang berlangsung aman. Kehadiran militer tidak dibutuhkan. Rencana tersebut juga tidak pernah disosialisasikan atau disampaikan secara terbuka kepada masyarakat. Rencana itu sengaja ditutup-tutupi agar tidak menimbulkan gejolak sosial dan penolakan. Warga juga menolak rencana itu terkait keberadaan tanah ulayat yang selama ini menghidupi warga.
Pernyataan sikap itu terungkap dalam pertemuan antara warga Desa Peibenga dan Kuru bersama tim Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE) dan SVD, Minggu (25/8) lalu. Tim JPIC yang hadir, Romo Sipri Sadipun, Pr, Pater Markus Tulu, SVD dan Fr. Avent Saur, SVD. Pertemuan itu berlangsung usai perayaan ekaristi. Hadir ratusan warga, kebanyakan di antaranya kaum perempuan yang berasal dari wilayah sekitar yaitu Peibenga, Warundari, Wololele, Mokeobo, Mudetelo dan beberapa kampung lainnya.
Mosalaki Mateus Teke mengatakan, sejak nenek moyang kehidupan mereka sudah berjalan dengan aman dan damai. Pihaknya tidak menghendaki kehadiran pihak lain yang selama ini banyak menimbulkan keonaran dan ketidaknyamanan bagi warga. “Kami tolak Korem karena kami tidak perlu Korem. Kami sudah hidup aman dan tenang. TNI tidak ada alasan untuk mengamankan dan melindungi kami bahkan seluruh wilayah Flores. Kami banyak kali mendengar dari tempat lain bahwa kehadiran tentara justru menimbulkan keonaran di tengah warga. Kami tidak percaya bahwa tentara sudah berubah. Buktinya, rencana kehadirannya di Kuru-Peibenga sudah menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di antara pemilik tanah sudah retak,” katanya.
Mosalaki Andreas Langga mengatakan, warga tidak akan menyerahkan sejengkal tanah pun untuk pembangunan markas Korem, batalyon ataupun Kompi. Tanah adalah bagian dari hidup yang akan menjadi warisan tak tergantikan oleh generasi-generasi berikutnya. “Kami tidak akan serahkan tanah kepada siapa pun. Tanah milik kami sedikit saja dan tanah itu tidak akan pernah bertambah. Kami ini petani dan kami selalu ingat akan anak-anak kami. Mereka juga akan hidup dari tanah kami ini.”
Warga lainnya. Pius Peto mengingatkan warga yang berniat menyerahkan tanahnya kepada pihak luar untuk membangun apa pun agar tidak berpikir hanya sesaat, untuk hari ini tetapi melihat jauh ke depan karena jangan sampai kenikmatan sesaat hari ini mendatangkan bencana dan malapetakan sosial untuk anak cucu masa depan.
“Kami ingatkan warga siapa pun yang mungkin menyerahkan tanah kepada TNI agar tidak hanya melihat uang apalagi termakan oleh janji-janji muluk seperti hidupnya akan dijamin oleh TNI, anak-anaknya akan masuk tentara dengan sejumlah kemudahan, dan pihak itu akan disebut sebagai pahlawan karena telah menyerahkan tanah untuk pembangunan Korem/batalyon ataupun Kompi. Ingatlah akan masyarakat yang lain. Jangan terlalu berpikir untuk kesenangan diri sendiri.”

Pendampingan JPIC
Tokoh masyarakat Peibenga, Rofinus Wake mengatakan, pihaknya tidak menghendaki kehadiran tentara untuk membangun hidup mereka apalagi mengambil tanah untuk membangun gedung-gedung yang tidak mendatangkan manfaat bagi warga sekitar. Terkait itu ia meminta pendampingan dan penguatan dari para Romo dan Pastor melalui lembaga JPIC KAE dan SVD yang selama ini mendampingi warga suku Paumere, Kecamatan Nangapanda yang menolak rencana kehadiran Korem, warga Ropa, Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole yang menuntut PLN membayar harga tanah lokasi PLTU Ropa yang kasusnya saat ini ditangani pihak aparat kepolisian Polres Ende.
“Kemampuan kami terbatas, baik dalam berpikir maupun ekonomi. Kami minta para Romo dan Pastor untuk mendampingi, berjuang bersama kami dan membantu menyampaikan jeritan, keresahan dan sikap kami menolak kehadiran tentara di atas tanah kami ini. Kami sangat mengharapkan bantuan pendampingan dan penguatan dari Gereja karena inilah satu-satunya harapan perjuangan kami sebagai orang kecil dan lemah. Warga di sini akan kuat dan teguh dalam sikap ketika Gereja khususnya JPIC berada bersama dan di tengah kegelisahan, keresahan dan ketakutan kami.”
Romo Sipri Sadipun, Pr saat menanggapi permintaan warga mengatakan, pihak JPIC akan berada dan berjuang bersama warga untuk mempertahankan hak-haknya secara benar dan adil. Kehadiran JPIC merupakan suara profetis Gereja kepada siapapun agar menghargai hak warga atau umat secara adil dan tidak berlaku sewenang-wenang kepada manusia. “Hilangkan rasa takut kepada siapa pun dari hati anda sekalian. Kita teguh dan kuat berjuang karena mempertahankan hak-hak kita atas tanah milik kita. Kita ini petani yang hidup dari tanah. Tanah adalah hidup orang Ende-Lio. Tanah ini milik anak cucu kita di masa depan. Nilai persekutuan tanah harus dijunjung tinggi agar kekeluargaan dan kekerabatan tetap kuat berakar. Mari kita bersatu memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas tanah kita.”

Warga Takut Bicara
Warga Desa Kuru khususnya Kampung Mokeobo dan Mudetelo mengaku takut untuk berbicara tentang Korem karena berita tersebut akan memecahbelah warga. Sebagian warga mengatakan, pernah mendengar rencana kehadiran Korem tetapi tidak bisa bicara menolak karena tidak berhak (ana kalo fai walu). Selama pertemuan itu warga enggan membuka mulutnya untuk menyampaikan kegelisahan dan kecemasannya terkait kehadiran Korem meski mereka sesungghunya menolak rencana kehadiran Korem. Warga sangat dihantui oleh ketakutan dengan “orang-orang besar.”
Markus Seda mengatakan, pihaknya pernah mendengar rencana pembangunan markas tentara di wilayah Kuru dan ada pemilik tanah yang telah menyerahkan tanahnya untuk pembangunan tersebut. “Kami sebagai orang kecil tidak bisa bicara. Kami tidak punya hak apa-apa. Yang harus bicara tentang masalah ini adalah mosalaki. Kami tidak bisa bicara,” Laurensius Kili mengatakan, warga memang mendengar bahwa tentara akan membangun markas di Kuru tetapi informasi itu pun tidak jelas sumbernya. “Kami tahu bahwa Yoseph Dao serahkan tanah untuk tentara. Sekarang ini pun kami tidak tahu dia ke mana. Dia memang ketua lingkungan di sini. Warga umumnya merasa takut kalau bicara tentang tentara di sini. Yang hadir dalam pertemuan ini pun banyak di antaranya adalah anak buah Yoseph Dao.” Yoseph Dao adalah warga Kuru yang telah menyerahkan tanah persekutuan kepada TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan Korem/Batalyon. Penyerahan tanah itu menuai protes dari pemilik ulayat yang lain dan warga sekitar.
Leonardus Ledhe mengatakan, beberapa waktu lalu pihaknya pernah didatangi Yoseph Dao untuk meminta pendapat terkait rencana penyerahan tanah kepada TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan batalyon. “Saya katakan pada dia bahwa semua itu terserah padanya. Tetapi yang harus diingat adalah bahwa tanah ini tidak akan bertambah. Anak-anak cucu kita akan ke mana kalau mereka besar nanti. Kan tidak semuanya jadi pegawan negeri atau tentara. Jaminan air minum bersih, listrik dan jalan raya mulus hanya untuk kita sesaat, sekarang ini. Jangan sampai anak cucu kita menderita di kemudian hari.”
Kades Kuru, Bernadus Mboti saat ditemui di kediamannya, Minggu (24/8) mengatakan, sampai saat ini belum ada utusan resmi dari pemerintah yang datang untuk menginformasikan secara terbuka kepada warga terkait rencana kehadiran Korem/Batalyon di Kuru. Camat Moni hanya hadir di lokasi bersama Dandim untuk upacara serah terima dari Yoseph Dao beberapa waktu lalu. Itu pun camat tidak singgah di kantor desa padahal sehari sebelumnya ada informasi dari Ende terkait kunjungan itu.
“Saya lihat pemilik ulayat dan mosalaki tidak terlalu bereaksi atas penyerahan tanah itu. Warga desa pun tidak tahu apa-apa terkait rencana TNI itu. Sebagai kepala desa, saya tetap bersama warga desa dalam situasi apa pun. Saya harapkan agar informasi ini disampaikan secara terbuka kepada masyarakat,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, sebagai warga negara, semua rakyat berhak untuk tahu apa pun terkait rencana pembangunan. Hak untuk mendapatkan informasi itu dijamin oleh peraturan negara. Tidak ada seorang pun yang mengklaim paling berhak mendapatkan informasi, apalagi menyembunyikan dan membungkam warga dengan cara-cara represif dan arogan.
“Rakyat harus tahu bahwa ada rencana pembangunan Korem di Kuru. Ilegal kalau rencana itu hanya diketahui oleh oknum yang menyerahkan tanah itu. TNI hadir di Kuru bukan untuk keluarga atau orang perorang. Juga tidak benar bahwa karena Yoseph Dao serahkan tanah maka Korem dengan sendirinya berdiri di tanah Kuru. Untuk apa TNI hadir di Kuru? Siapa yang butuhkan TNI hadir di Kuru? Masyarakat jangan diperbodoh oleh kebijakan yang tertutup dan tidak memiliki alasan yang mendasar seperti ini.”
Terkait informasi bahwa kehadiran TNI akan membangun kesejahteraan warga, alumnus master hukum UGM Yogyakarta ini mengingatkan, pembangunan jalan raya, air minum dan listrik merupakan kewajiban pemerintah dalam membangun infratrukstur bagi rakyat. Rakyat yang telah membayar pajak berhak mendapatkan pembangunan yang adil. “Jangan mau dibohongi dan ditipu oleh siapa pun bahwa kehadiran TNI akan membangun jalan raya, air minum dan listrik bagi warga. Pembangunan adalah hak rakyat yang menjadi kewajiban pemerintah, bukan karena belaskasihan dari TNI. Juga tidak benar informasi bahwa anak tanah Kuru akan masuk tentara dan diperhatikan khusus. Ini namanya kolusi dan melanggar hukum. Mari kita bersama-sama berjuang melawan kebohongan dari siapa pun dan mempertahankan hak kita atas tanah secara benar dan adil,” katanya.

Korem Tetap Dibangun

Komandan Resort Militer (Danrem) 161/Wirasakti Kupang, Wilston P. Simanjuntak kepada wartawan Flores Pos, Leonard Ritan mengatakan, tokoh masyarakat Moni, Kabupaten Ende telah menyerahkan tanah sekitar 20 hektare kepada TNI-AD. Tanah itu selanjutnya akan dimanfaatkan untuk pembangunan markas-markas kompi, sedangkan untuk Makorem masih difokuskan di Nangapanda, Kabupaten Ende.
Hal itu disampaikan Danrem Simanjuntak ketika dihubungi melalui telepon selularnya, Senin (25/8). Menurut Simanjuntak, tanah seluas 20 hektare itu telah diserahkan tokoh masyarakat Moni kepada Komandan Distrik Militer (Dandim) Ende beberapa waktu lalu. “Dandim Ende pun sudah sampaikan ke saya terkait penyerahan tanah dimaksud. Rencananya, tanah tersebut nantinya dimanfaatkan untuk pembangunan markas-markas kompi,” katannya.
Terkait kapan markas kompi dibangun, Danrem Simanjuntak mengatakan, rencananya pembangunan itu akan dilaksanakan di atas tahun 2010. Pembangunannya akan dilaksanakan setelah Korem dibangun. “Untuk Makorem pun tanahnya sudah diserahkan. Tetapi karena keterbatasan dana, pembangunan Makorem belum dapat dilaksanakan saat ini. Diperkirakan sekitar tahun 2010 ke atas. Untuk sementara, Makorem akan dibangun di atas lokasi tanah yang sudah diserahkan di Nangapanda. Pertimbangannya, kebutuhan akan air bersih di Nangapanda dinilai cukup tersedia. Jumlah personil di Makorem cukup banyak sehingga harus membutuhkan air yang cukup.”
Kepala Penerangan (Kapen) Korem 161/Wirasakti Kupang, Kapten (Inf) Paulus M. Djie mengatakan, pelepasan hak milik atas tanah dari tokoh masyarakat sudah ada. “Dalam waktu dekat, Danrem akan lakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait pembangunan markas TNI-AD di sana.”

1 komentar:

lakencadigan mengatakan...

The best casinos in the UK - Jtmhub.com
Find the best slots 인천광역 출장안마 casinos 동해 출장마사지 for your trip with Jtmhub.com's ✓ Casino Sites ✓ 구미 출장마사지 No Deposit Bonuses ✓ 화성 출장안마 Mobile 사천 출장샵 friendly ✓ Secure.