Kamis, 30 Oktober 2008

Perjuangan SVD dan OFM di LEMBATA

*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (1)
Jangan Lagi Resahkan Kami
“….Tidak ada kesedihan yang paling pahit di muka bumi ini selain kehilangan tanah kampung halaman.” (Filsuf Yunani, Euripides)

Steph Tupeng Witin

Sabtu (27/10), Lewoleba beranjak memasuki gerbang malam. Tim justice, peace and integrity of creation (Komisi Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan) SVD dan OFM bertatap muka dengan Deken Lembata, Romo Sinyo da Gomez, Pr di pendopo Dekenat Lembata. Tim ini terdiri dari Pater Gabriel Maing, OFM, Pater Mikhael Peruhe, OFM, Pater Laurens, OFM, Pater Andre Atawolo, OFM, Ibu Maria Kewa Raring, Pater Markus Tulu, SVD, Pater Frans Suar, SVD, Pater Marsel Vande Raring, SVD, Pater Vinsensius Wangge, SVD dan Pater Steph Tupeng Witin, SVD. Tim ini mengunjungi masyarakat lokasi tambang untuk memberikan pendidikan, pencerahan dan penguatan kepada masyarakat yang tengah diamuk gelisah oleh gelombang teror, intimidasi dan sosialisasi penuh kebohongan yang selama ini getol disuarakan oleh Pemerintah Kabupaten Lembata untuk menggolkan rencana pertambangan.
Tim ini menghadirkan fakta berupa film dokumenter dan tayangan gambar-gambar dari lokasi pertambangan PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, PT Newmont Minahasa Raya di mana Merukh memiliki saham 20%, PT Newmont Nusa Tenggara, Merukh memiliki saham 20%, tambang mangan di Serise, Manggarai dan tambang Barit di Atanila, Kedang, Lembata.
“Tim JPIC SVD dan OFM berikhtiar memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat soal rencana tambang yang digulirkan pemerintah. Kita tahu, rencana ini sangat dipaksakan untuk diterima masyarakat pemilik ulayat meski penolakan itu sangat keras. Masyarakat tidak akan menyerahkan sejengkal tanah pun untuk dijadikan lokasi tambang. Kami ingin memberikan pencerahan dengan menghadirkan tayangan gambar nyata dari lokasi-lokasi pertambangan. Kata-kata yang kita sampaikan dalam sosialisasi apa pun sering penuh dengan penipuan dan pembohongan tapi gambar tidak akan menipu. Gambar menghadirkan kenyataan konkret. Kita menghendaki agar pencerahan ini membangun kesadaran dan rasa tanggung jawab masyarakat untuk memilih antara menerima atau menolak tambang. Masyarakat harus dicerahkan dan bukan ditipu dan dibohongi dengan informasi murahan tanpa dasar yang dilakukan selama ini di lapangan oleh kelompok pemerintah,” katanya.
Romo Deken sangat responsif dan akomodatif dengan kegiatan penguatan dari tim JPIC SVD dan OFM. Menurutnya, selama ini banyak informasi yang membingungkan masyarakat khususnya di lokasi tambang yang sudah menyatakan sikap menolak rencana tambang. Beliau juga mengungkapkan keheranannya karena pemerintah sangat memaksakan rencana pertambangan sementara masyarakat pemilik ulayat di Leragere dan Kedang sudah menolak dengan sangat keras. “Kegiatan ini sangat penting untuk membuka wawasan dan kesadaran umat kita terkait rencana tambang. Fakta-fakta pertambangan yang akan dihadirkan tim ini kiranya mencerahkan masyarakat sehingga memilih menerima atau menolak tambang dengan dasar kesadaran dan pengetahuan yang benar,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, kehadiran tim ini menyatakan solidaritas dan dukungan terhadap perjuangan rakyat Leragere-Kedang yang saat ini sedang gelisah dan dibiarkan mengambang dalam ketidakpastian nasib. “SVD dan OFM sudah menyatakan sikap dengan tegas menolak rencana tambang yang digulirkan oleh Pemerintah Lembata. SVD dan OFM hadir untuk ada dan berjuang bersama masyarakat yang akan menjadi korban kebijakan pemerintah. Tim ini juga ingin membangun dialog dengan komponen-komponen yang menetukan garis pembangunan di Lembata. Kita ingin juga memberikan pencerahan kepada pejabat publik agar menghargai suara rakyat. kami juga akan memberikan pencerahan terkait fakta-fakta hukum yang selama ini dijalankan oleh pemerintah hanya dengan maksud meloloskan rencana tambang. Fakta-fakta hukum itu akan menjadi kekuatan bagi JPIC SVD dan OFM untuk menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan soal pelanggaran hukum dan HAM. Ini negara hukum dan kita tidak mau rakyat terus dibodohi dengan tindakan otoriter dan represip yang membungkam suara kritis,” katanya.
Pater Marsel Vande Raring, SVD yang selama ini berjuang bersama rakyat di Lembata mengatakan, para pastor Dekenat Lembata telah menyatakan sikap dalam surat pernyataan menolak rencana tambang Pemerintah Kabupaten Lembata. Pernyataan ini lahir dari kesadaran untuk berada dan berjuang bersama rakyat kecil, umat yang dalam banyak kebijakan hanya ditempatkan sebagai penonton yang pasip. “Kehadiran tim ini merupakan sebuah dukungan kepada para pastor sedekenat Lembata yang telah menyatakan sikap menolak rencana tambang. Kedua kongregasi besar ini menyatakan
kepedulian dan solidaritas dan mau bersama-sama para pastor sedeknat Lembata berada di pihak rakyat yang akan dijadikan korban dalam kebijakan tambang Lembata. Kita memiliki satu tekat yaitu memberikan pencerahan dan pendidikan kepada rakyat agar memilih secara sadar dan bertanggung jawab dalam problrm rencana tambang Lembata. Bukan dipaksa, diintimidasi, diteror, dimanipulasi dan memberikan sosialisasi yang penuh kebohongan dan kemunafikan,” katanya.
Minggu (28/10), tim bergerak menuju Desa Tapobaran, Kecamatan Lebatukan. Bukit-bukit menjulang dengan hamparan rumput kering yang meranggas. “Wilayah perbukit ini masuk dalam penguasaan marga kami. Kami telah serahkan itu untuk digarap oleh warga sekitar ini,” kata Pater Gabriel Maing, OFM. Kegiatan pencerahan di Tapobaran dihadiri oleh warga tiga desa pesisir yaitu Tapobaran, Tapolangu dan Dikesare. Ratusan warga memadati tempat pertemuan. Anggota tim JPIC SVD-OFM membangun dialog dengan warga terkait pemahaman dan pengetahuan tentang pertambangan. Warga juga membuka semua praktik kebohongan sosialisasi yang selama ini dijalankan pemerintah dan sikap pemerintah yang memaksakan rencana tambang kepada masyarakat. Yohanes Kian Raring membeberkan kebohongan pemerintah yang membodohi masyarakat. Misalnya, pernyataan Kabag Ekonomi, Longginus Lega bahwa limbah industri pertambangan akan dibuang ke laut, diolah untuk diminum masyarakat dan lumpur-lumpurnya akan dibuat sedemikian rupa untuk dibuat lapangan golf. “Pemerintah terkesan sengaja memperlambat sosialisasi kepada masyarakat agar mengedepankan alasan keterdesakan waktu. Mestinya suara kami masyarakat didengarkan terlebih dahulu.” Agus Ama Maing, tuan tanah meminta tim untuk menyampaikan kepada Bupati Manuk agar jangan lagi melakukan sosialisasi. “Kami tolak sosialisasi pemerintah. Tolak tambang adalah harga mati,” katanya. Senada juga disampaikan Leo Maing. “Lembata ini pulau kecil. Untuk apa tambang ini? Kami tetap tolak tambang meski dipaksakan oleh pemerintah dengan cara apa pun,” katanya.
Pater Gabriel Maing, OFM membagikan pengalamannya saat bekerja sebagai misionaris selama 16 tahun di Timika, Papua di mana ada lokasi tambang PT Freeport. Tiga gunung tinggi diratakan dengan alat-alat berat. Hutan-hutan ratusan hektar hancur karena limbah yang dibuang sejauh 80 kilometer. Kekayaan orang Papu diambil dan dibawa keluar sementara warga pemilik ulayat tetap miskin, tidak sejahtera seperti yang digembar-gemborkan. “Kami datang untuk kuatkan kamu. Rakyat berada pada posisi lemah tapi kita telah melakukan seremoni untuk berjuang bersama leluhur mempertahankan tanah kita ini. Kuatkan langkah untuk tetap mempertahankan tanah kita ini,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD meminta masyarakat untuk mendata semua bentuk intimidasi dan teror yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu untuk memaksa masyarakat menerima tambang. “Fakta-fakta hukum ini kita kumpulkan untuk menjadi bukti dalam mengadvokasi masalah hukum yang terkait dengan pertambangan di Leragere-Kedang ini. Jangan takut untuk mempertahankan hak-hak atas tanah kita. Ini negara hukum. Pemerintah atau siapa pun tidak berhak untuk secara arogan, represip dan sewenang-wenang memkasakan kehendak melalui cara dan pola yang tidak manusiawi dan melanggar HAM. Kami akan tetap berada bersama bapa dan mama semua dalam perjuangan menolak tambang,” katanya.
Saat dialog masyarakat juga menyampaikan keresahan yang dialami saat pertemuan dengan Ketua JPIC Keuskupan Larantuka, Romo Marsel Lamuri, Pr dan Sr. Amanda, OSU yang menyebut diri “utusan dari KWI Jakarta” untuk menjadi perantara yang mendamaikan situasi konflik akibat tambang. Philipus Arkian mengisahkan, selama pertemuan itu tidak ada sikap yang tegas apakah menerima atau menolak tambang. Romo Marsel mengatakan, pihaknya berupaya mencari jalan keluar dengan berembuk mencari solusi lain. Pihaknya mencari solusi terbaik dengan jalan dialog terbuka. Saat dialog Frans Nurani menantang keduanya dengan mempertanyakan kehadiran Komisi JPIC Keuskupan Larantuka dalam perjuangan rakyat Kedang-Leragere selama ini. “Kami sudah berjuang selama 1 tahun, tiga kali demo damai, tidak ada masalah. Tapi kamu ada di mana? Kehadiran tim ini ada keberpihakan dari pemerintah. Kami tolak tambang dan sekarang kamu kamu turun. Jangan-jangan kamu ini tangan bupati?” Saat itu Romo Marsel mengatakan dengan emosi, kalau masyarakat tetap tanam kaki dan bupati tetap tanam kaki, kalau ada kekacauan apakah Romo Marsel bertanggung jawab? Kalau tidak percaya, nanti hubungi saya di Postoh.
Mama Veronika Atawolo mengatakan, Suster Amanda, OSU menunjukkan jarinya yang dilingkari cincin emas. “Ini apa? Ini emas yang bisa dipakai di tangan, di leher dan telinga. Bumi ini Tuhan ciptakan untuk apa? Emas adalah barang berharga yang harus dimanfaatkan kalau tidak rugi. Di bukit ini banyak emas tapi dibiarkan saja di dalam tanah sementara kita hidup miskin. Tolak tambang adalah harga mati tapi jangan dulu. Masih ada kemungkinan lain. Tambang bisa dengan tenaga manusia, tidak perlu dengan proyek besar, ambil sedikit demi sedikit untuk digunakan,” katanya menirukan suster itu.
Martha Maing mengatakan, ia tidak suka dengar apa yang dikatakan Romo Marsel dan suster itu. “Mereka omong sembarang saja. Kami tidak mau tanah kami digali. Kami sudah tolak tambang. Jangan datang untuk resahkan kami. Kami tidak pernah meminta mereka menjadi mediator. Kami tidak kenal mereka,” katanya. *


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (2)
Kami Tidak Rela Kehormatan Ibu Dilucuti
Steph Tupeng Witin
“Kami mempertahankan tanah ini untuk anak-anak cucu kami. Kami tidak mau pergi untuk meninggalkan tanah Leragere kami ini.” (Agustina Wati, Petani Leragere)
Pada Minggu (28/10) Tim JPIC SVD-OFM mendapat informasi dari Pater Mikhael Peruhe, OFM bahwa Bupati Andreas Duli Manuk meluangkan waktu untuk bertemu dengan tim. “Senin (29/10) pukul 08.00 baru dipastikan lagi,” katanya menirukan ucapan Bupati Manuik. Tim JPIC menemukan angin segar untuk berdialog dengan pimpinan demi mendengar argumen di balik kukuhnya sikap untuk memaksakan kehendak dan membuka wawasan terkait pemahaman tentang tambang Lembata.
Esoknya, Senin (29/10) segenap anggota tim berkumpul di Biara CIJ Damian Lewoleba. Pukul 08.00 bupati menginformasikan bahwa ada rapat dengan DPRD Lembata sampai pukul 12.00 Wita. “Nanti saya informasikan lagi kalau sudah selesai rapat. Pater tunggu saja,” katanya menirukan ucapan Bupati Manuk. Pukul 12.00 Wita belum ada khabar dari Bupati Manuk. Pukul 13.45 Wita, Kabag Humas Lembata, Ambros Leyn menginformasikan bahwa hari Senin dan Selasa minggu ini Bupati Manuk sibuk dan tidak ada waktu untuk bertemu dengan para pastor. Harapan untuk bertemu dengan bupati sirna seketika.
“Kita memiliki kemauan baik untuk bertemu dan berdialog. Kita berikhtiar menghilangkan kecurigaan dan prasangka yang selama ini tercipta di antara kita. Apa pun yang terjadi, kita tetap menjalanka kegiatan penguatan ini kepada masyarakat,” kata Pater Markus Tulu, SVD.
Sekitar pukul 16.00 Wita sebuah kijang biru dan pick up bergerak meninggalkan Lewoleba menuju Lewoeleng. Di Hadakewa, ibukota Kecamatan Lebatukan Pater Laurens, OFM bergabung dalam rombongan JPIC. Pukul 18.00Wita kami menuju Lewoeleng, Paroki Lodoblolong. Warga Lewoleleng dan kampung-kampung sekitar berkumpul di balai desa. Warga begitu antusias, ratusan warga hanya melongok dari jauh. Bapai desa begitu kecil dan tidak mampu menampung warga yang ingin mendengarkan penguatan dari tim dan menyaksikan pemutaran film dokumenter dan penayangan gambar-gambar pertambangan di PT Freeport, Papua, PT Newmont Minahasa, PT Newmont Nusa Tenggara, tambang mangan Serise di Manggarai dan tambang barit Atanila, Kedang.
Pater Gabriel Maing, OFM, mengajak warga untuk tetap mempertahankan tanah ulayat sebagai simbol harkat dan harga diri. Warga Leragere memandang tanah sebagai ibu, bapa yang mengandung dan melahirkan mereka. Memperdagangkan tanah berarti melucuti pakaian ibu dan bapanya sendiri. “Kuatkan langkah untuk tetap menolak rencana tambang emas. Jangan biarkan ibu tanah Leragere ini dilucuti pakaian kehormatannya oleh orang luar. Jika ada pihak-pihak tertentu yang datang ke Leragere ini untuk mempengaruhi kamu dengan sogokan uang atau dengan memanfaatkan orang-orang Leragere di pemerintahan, katakan pada mereka: kami di Leragere tolak tambang. Ini harga amati. Kita lahir di atas bumi Leragere. Mama keluarkan darah untuk lahirkan kita dan orang luar datang buka pakaian ibu kita. Kita harus pertahankan Leragere, darah dan daging kita,” katanya.
Menurutnya, dalam menghadapi rencana kebijakan pertambangan, rakyat memang berada dalam posisi yang lemah. Situasi ini seperti ini kadang memaksa pemerintah untuk menggunakan kekerasan. Pastor kelahiran Lewoeleng ini mengingatkan warga untuk meletakkan kepercayaan penuh pada seremoni adat yang meminta leluhur untuk mempertahankan tanah. “Kita buat seremoni bukan untuk mematikan siapa-siapa di Lewoleba. Kita buat seremoni untuk meminta restu kekuatan leluhur agar membantu menguatkan kita dalam upaya mempertahankan tanah Leragere, ibu kandung kita sendiri,” katanya.
Pater Andre Atawolo, OFM mengingatkan rakyat Leragere agar menggunakan jalan damai dalam menyampaikan aspirasi terkait dengan penolakan tambang di kawasan Leragere. Menurutnya, kekerasan adalah jalan dan ruang bagi pemerintah dan aparat keamanan untuk masuk dan menguasai perjuangan kita. “Kita menyelenggarakan seremoni adat meminta leluhur agar membantu kita dalam perjuangan mempertahankan ibu Leragere ini. Perjuangan mesti tetap damai dan jauh dari anarki dan kekerasan,” katanya.
Ketua Forum Komunikasi antar Petani Kawasan Leragere-Lodoblolong (Fokall), Donatus Ola Atawolo mengatakan, seluruh warga 8 kampung kawasan Leragere kompak menolak rencana tambang. “Komitmen kami sudah satu: tolak rencana tambang. Seremoni adar telah merestui kesepakatan seluruh warga. Kami harapkan agar tidak ada Yudas yang muncul dari tengah-tengah masyarakat kawasan Leragere. Lewotanah dan leluhur Nuba Buto ini akan menghadapi dia. Kami hanya minta agar SVD dan OFM tetap berjuang bersama kami. Jangan tinggalkan kami. Ibu Leragere ini tidak akan kami serahkan untuk dilucuti pakaiannya oleh siapa pun yang datang,” katanya.
Pada Selasa (30/10) tim melanjutkan safarinya menuju Desa Balurebong yang terletak di ujung timur Kecamatan Lebatukan. Hamparan lautan kemiri membentangi kawasan itu. Leragere ibarat surganya kemiri. Tanaman perdagangan inilah yang menjadi sandaran utama kehidupan warga. “Banyak pejabat asal kawasan Leragere yang mendukung tambang dan dipakai untuk mempengaruhi warga ini dibiayai dengan kemiri. Sekarang mereka sudah menikmati kursi empuk lalu datang hendak menggusur lautan kemiri ini,” kata Tino Raring, sopir “aktivis” yang setia.
Kegiatan penguatan berlangsung di dalam kapela. Warga memadati kapela dengan atap yang bolong sana-sini. Gelombang penolakan begitu kuat terasa mengalir di tengah alam Balurebong yang gersang. Tuan tanah Balurebong, Thomas Laru mengatakan, nenek moyang sejak dulu telah melahirkan mereka di atas tanah Leragere ini. Tanah, ibu sudah sekian lama mengandung dan melahirkan. Di atas tanah ini anak cucu lahir dan berkembang. “Kami tidak pernah dipesan oleh leluhur kami untuk menjual dan memperdagangkan tanah kami ini. Tanah ini warisan kepada generasi berikut. Kami akan tetap bertahan hidup di sini. Kami tidak akan mau keluar dari tanah ini. Kami tolak tambang,” katanya.
Bapa Philipus Doni mengatakan, rakyat memang lemah ketika berhadapan dengan pemerintah yang memiliki kekuatan besar. “Para pastor yang datang ini sangat menguatkan kami. Kami merasa tidak berjuang sendiri dalam masalah tambang ini. Dulu menjelang Pemilu banyak “orang” yang datang malam-malam ke desa terjauh ini tapi ketika kami ditimpa masalah ini muka mereka tidak muncul. Tapi pastor-pastor yang tidak kami pilih ini datang dari jauh, tinggalkan tugas dan kesibukan untuk mengunjungi, meneguhkan dan menguatkan perjuangan kami,” katanya.
Albertus Raring mengingatkan bahwa ada begitu banyak orang yang solider dengan kegelisahan warga kasawan Leragere. Ia mengingatkan warga agar tidak menjadi Yudas yang menodai kebersamaan karena perjuangan ini penuh resiko. “Pemerintah dan DPRD lebih menganak-emaskan investor dari pada rakyatnya sendiri. Tanah adalah tumpuan hidup. Biar digantung pun kami akan tetap di atas tanah kami,” katahnya.
Kepala Desa Balurebong, Karolus W Raring menginformasikan, penduduk sebanyak 122 kepala keluarga yang tersebar dalam 3 dusun yaitu Paopue, Baomane dan Helnare. “Semua warga tolak tambang. Kami hidup dari penghasilan ladang kami. Kami tidak mau kearifan budaya lokal kami dihancurkan oleh keserakahan. Kami tidak serahkan tanah untuk ditelanjangi orang lain. Kalau dipaksa, kami siap berkorban,” katanya.
Pukul 15.30 Wita kami menuju Lodoblolong. Kegiatan penguatan berlangsung di dalam gereja. Ratusan umat memadati ruangan tengah gereja. Hadir Pastor Paroki, Romo Antonius Kia Uba, Pr. Saat memberikan sambutan Romo Anton mengungkapkan kebanggaannya atas kunjungan tim untuk memberi penguatan kepada umat Leragere yang gelisah. “Banyak orang bertanya, apa sikap pastor paroki soal tambang. Saya katakan, saya ada di sini, saya ada bersama umat,” katanya.
Pater Mikhael Peruhi, OFM mengatakan banyak orang mempertanyakan keterlibatan para pastor yang berbicara tentang tambang. Menurutnya, kehadiran kaum religius di tengah kegelisahan umat merupakan kesaksian bahwa gereja berpihak pada orang kecil dan tertindas dan bahwa gereja masih hidup, masih ada. Gereja hadir di tengah kecemasan dan kegelisahan umat. Kami tidak hanya berkotbah. Kami yang berjalan ini pun tidak memiliki kepentingan dan tidak sedang mengejar popularitas murahan.
”Kami tidak sedang mencari uang untuk serikat-serikat kami. Kami hadir untuk anda semua yang gelisah. Kami solider dengan perjuangan untuk bertahan hidup dari ladang dan laut. Kami tidak tutup mata dengan kegelisahan anda semua. Ketika gereja menutup mata di hadapan persoalan seperti ini, sesungguhnya gereja sedang membahayakan tugas perutusannya sendiri. Kami tidak mungkin hidup dengan tenang kalau mendengar jerit kegelisahan anda semua di Kedang dan Leragere ini,” katanya.


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (3)
Menuju Kedang, Melawan Represi
Steph Tupeng Witin
“Saya tidak akan merelakan tanah Puakoyong dibongkar oleh siapa pun. Saya tidak akan menjilat ludah yang sudah saya buang. Jika saya jilat kembali, saya bukan lagi Abu Samah tapi anjing.” (Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong

Rabu (31/10), sekitar pukul 8.30 Wita rombongan JPIC SVD-OFM meninggalkan Lewoleba yang gerah menuju Kedang. Wilayah pesisir mulai dari Tanatreket, Merdeka, Hadakewa, Tapobaran, dan Tapolangu satu persatu kami tinggalkan. Kami berhenti di “persinggahan” Lewolein untuk menikmati gurihnya ketupat, ikan bakar, ikan goreng, cumi-cumi lawar dan goreng dan tuak putih. Pasar Lewolein adalah tempat singgah bagi semua orang yang menuju dan kembali dari Kedang.
Kondisi jalan menuju Kedang sangat-sangat memprihatinkan. Lobang besar menganga di mana-mana. Aspal yang sumbing dengan bibir yang peot menjulur pada hampir seluruh badan jalan. Kendaraan terombang-ambing, menggeerit keras menindas bebatuan dan kerikil yang berlepotan aspal. Proyek-proyek jalan memang dikerjakan asal jadi. Apalagi biasanya dikerjakan pada musim hujan. Beberapa titik jalan memang sedang diperbaiki. Tumpukan batu dan tanah di kiri kanan jalan sering menghalangi kelancaran arus lalulintas.
Balauring tampak kumuh dengan rumah-rumah yang tertumpuk di pinggir pantai. Tower handphone adalah satu-satunya simbil kemajuan yang terpampang. Di belakangnya, bukit Puakoyong berdiri megah diseraki pepohonan dan rumpur kering yang meranggas. Di kaik Puakoyong deretan kelapa, dan pisang bagai pagar yang membatasi laut. Bakau-bakau asli menjalari bibir pantai, pasrah pada lumatan dan jilatan ombak yang setia mencumbu. Sebuah mata air mengalir dengan lamban di tengah gempuran kemarau yang garang. Puakoyong adalah bukit incaran Pemkab Lembata dan Merukh karena menurut penelitian, bukit ini mengandung emas dalam jumlah yang sangat besar. Kegelapan merambati Kedang ketika kami memasuki tubuh Balauring. Penduduk bergerombol di jalan dengan jeriken, ember dan wadah lain. “Di Kedang ada beberapa tempat yang airnya sangat susah di dapat. Orang harus mengantre berjam-jam seperti antrean warga penerima raskin. Apalagi dengan musim hujan yang semakin tidak menentu ini. Meski demikian penduduk tetap bertahan di atas tanahnya ini. Kesatuan dengan tanah tidak akan memisahkan mereka meski pemisahan itu coba dipaksakan,” kata Pater Vande.
Sekitar pukul 19.45 Wita kami memasuki Peu Uma, Desa Hingalamengi, Kecamatan Omesuri. Kami disambut dengan ramah oleh Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong. Pribadi ini begitu mempesona justru lahir dari ketegasan sikap dan ketegaran jiwa. Komitmen mempertahankan ulayat Puakoyong yang sangat diincar Pemkab Lembata dan PT Merukh Enterprise begitu kukuh dan tidak tergoyahkan. Ia dengan lugas membeberkan upaya pemerintah untuk mempengaruhinya menyerahkan Puakoyong dibongkar oleh keserakahan.
“Bupati pernah mengirim uang sebesar Rp150.000 kepada saya. Hal ini sangat menghina saya sebagai pemilik ulayat. Saya telah mengirimkan uang itu kembali melalui tukang ojek. Lalu Bupati Manuk kembali mengirimi saya uang sebesar Rp1 juta lengkap dengan kartu nama. Uang itu saya simpan, tidak saya gunakan. Saya dari dulu miskin dan bahagia hidup dari kerja dan keringat saya sendiri. Beberapa minggu lalu bupati mengutus orang menemui saya dan meminta agar uang itu dikembalikan. Saya katakan uang itu akan saya jadikan bukti dalam sidang di pengadilan nanti. Saya akan mengggugat bupati ke pengadilan. Pengacara sudah saya siapkan,” katanya. Menurutnya, bupati juga pernah mengutus wartawan Kupas NTT untuk menanyakan sikapnya terkait penyerahan tanah ulayat Puakoyong yang menjadi lokasi pertambangan emas terbesar di wilayah Kedang. Kupas NTT adalah salah satu koran lokal di Kabupaten Lembata yang sangat gencar memberitakan soal rencana tambang di Kabupaten Lembata. Wartawannya sangat setia mengikuti aktivitas bupati dan beberapa waktu lalu mengikuti studi banding anggota DPRD dan Pemkab Lembata. “Saya katakan bahwa sikap saya tidak berubah dalam menolak rencana tambang emas. Bukit Puakoyong tidak akan saya serahkan sejengkal pun kepada orang luar. Bahkan kepada Wakil Bupati Nula Liliweri dalam salah satu kegiatan keagamaan di masjid saya katakan saya tidak menyerahkan tanah Puakoyong. Saya tidak akan pernah menjadi kaya dengan uang sebanyak apa pun. Tanah itu harta yang tidak ternilai bagi saya.saya tidak akan menjilat ludah yang sudah saya buang ke tanah. Kalau saya menjilat ludah yang sudah saya buang, jangan panggil saya Abu Samah tapi panggil saya anjing,” katanya.
Ketika kami meninggalkan rumah Abu Samah, kegelapan menyelimuti Kedang. Ketegangan mulai terasa karena ada informasi bahwa kelompok pro tambang akan menghadang perjalanan bahkan memasang paku sepanjang jalan untuk menghalang-halangi perjalanan kami. Kami bergerak dalam kawalan motor pengurus Baraksatu, Anton Leumara dan teman-temannya. Kondisi jalan dan situasi tegang memaksa kami untuk hati-hati dalam perjalanan menuju Desa Buriwutung, Kecamatan Buyasuri. Isu agama dan etnis mulai digulirkan bahwa para pastor sedang mengkristenkan masyarakat Kedang. Bahkan ada short message service (SMS) yang menginformasikan bahwa Pemda sedang memprovokasi imam-imam masjid untuk berkotbah mendukung tambang di mimbar-mimbar masjid.
Kami memasuki Desa Buriwutung, Kecamatan Buyasuri sekitar pukul 20.45 Wita. Warga sudah berkumpul di lokasi pertunjukkan. Ketua Baraksatu, Eman Ubuq melalui pengeras suara mengajak warga untuk memasuki tempat pertunjukkan. Kepala Desa Buriwutung, Yos Tantra menghadang rombongan tim JPIC SVD-OFM dengan pertanyaan,”Mana pimpinan rombongan? Saya meminta surat izin kegiatan malam ini.” Pater Mikhael Peruhe, OFM mengajak Kades Tantra untuk berbicara baik-baik dengan para pastor. Tim JPIC menanyakan argumen pembatalan kegiatan pencerahan tambang untuk masyarakat.
“Saya meminta pastor-pastor memahami dan mengerti posisi saya sebagai pimpinan wilayah ini. Lagi tiga hari kami akan menggelar pemilihan kepala desa (Pilkades). Kami sedang berada dalam suasana tenang. Kegiatan ini bisa mengganggu ketenangan persiapan penduduk menjelang Pilkades.,” kata Kades Tantra. “Kami tidak bisa mengerti bapa kalau kegiatan ini dibatalkan tanpa alasan yang jelas. Ini hanya kecemasan bapa yang tidak berdasar dan berlebih-lebihan,” kata Pater Markus Tulu, SVD. “Tapi saya pemimpin wilayah ini. Saya tidai diberitahu bahwa ada kegiatan pencerahan kepada masyarakat di desa ini,” kata Kades Tantra. Ketua Baraksatu, Eman Ubuq menginformasikan bahwa penyampaian terkait kegiatan ini sudah disampaikan kepada sekretaris desa berhubung bapa desa tinggal di Lewoleba. “Tapi saya tidak diberitahu oleh sekretaris desa,” katanya. “Itu urusan bapa dengan sekretaris desa. Ini soal tidak adanya komunikasi antara bapa dan sekdes,” kata Eman. Kades Tantra mulai emosi dan dengan suara tinggi meminta para pastor untuk membatalkan kegiatan ini. “Saya merasa aneh karena bapa hendak membatalkan kegiatan pencerahan ini tanpa satu alasan yang tegas. Hanya kecemasan pribadi yang juga masih dalam bayang-bayang ketidakpastian. Kami membuat kegiatan untuk memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat terkait tambang. Kami tidak mengacaukan ketenangan warga menjelang Pilkades,” kata penulis. “Kalau sebentar terjadi apa-apa saya sendiri tidak bertanggung jawab,” kata Kades Tantra. “Kami tetap membuat kegiatan ini meski bapa desa tidak mengizinkan. Kami datang untuk mencerahkan masyarakat. Kalau sebentar terjadi kekacauan, bapa desa adalah dalangnya,” kata Pater Markus Tulu, SVD.
Kegiatan pencerahan kami laksanakan dengan sukses tanpa gangguan sedikit pun. Kades Tantra bahkan ikut menyaksikan kegiatan itu meski secara sembunyi-sembunyi di balik kegelapan malam. Bahkan saat berdiskusi dengan Kades Tantra anggota polisi Polsek Wairiang datang dengan “gagah” dan mengucapkan selamat malam dan dijawan oleh Sekretaris Baraksatu, Anton Leumara. Polisi itu menanyakan pemimpin rombongan. Anton mengatakan, ini kegiatan para pastor SVD-OFM. Polisi itu langsung pamit tergesa-gesa, taku ketahuan belangnya. “Saya beli rokok dulu,” katanya tanpa pernah kembali lagi.
Ulah Kades Tantra meresahkan sebagian warga yang sudah memadati lokasi pertunjukkan. Kaur Pemerintah Desa Buriwutung, Laurensius Laba mengatakan, tindakan Kades Tantra merupakan kecemasan yang tidak berdasar dan dilebih-lebihkan. “Kami tidak tahu banyak tentang tambang terutama sisi positif dan negatifnya. Sampai saat ini kami hanya mendengar ada rencana tambang tapi pemerintah belum pernah sosialisasi. Pada 23 Oktober 2007 lalu Wabup Liliweri diam-diam difasilitasi Kades Tantra bicara tentang tambang di Dusun III. Kami yang lain tidak tahu. Mengapa bicara soal tambang tidak terbuka seperti kegiatan para pastor ini?”
Tokoh masyarakat, Baltasar Lawa mengatakan, meski pemerintah sudah menjual tanah, pihaknya tidak setuju. “Pemerintah katakan bahwa tambang akan sejahterakan masyarakat tapi tambang Barit di Atanila jadi bukti. Kebun saya sudah siap tanam. Saya tidak setuju tambang karena tanah kami memberi hidup dari dulu. Tanah ini warisan leluhur yang tidak boleh kami perdagangkan kepada orang luar,” katanya. *


Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (4)
Peuma: Melawan Represi Irasional
Steph Tupeng Witin
“Biarkan kami hidup damai di atas tanah kami sendiri.”
Pada Kamis (1/11) tim JPIC memutuskan untuk bertemu dengan Camat Buyasuri. Penulis, Pater Gabriel Maing, OFM, Pater Markus Tulu, SVD, Pater Frans Suar, SVD dan Pater Vinsen Wangge, SVD meninggalkan Pastoran Aliuroba menuju Wairiang. Staf Camat Wairiang, Bosco Bataona menginformasikan bahwa camat sedang dalam perjalanan dari Lewoleba menuju Wairiang. “Kami hendak bertemu camat untuk menjelaskan kegiatan kami ini. Kami menjalankan kegiatan ini dengan maksud baik, tidak untuk mengacaukan umat. Kami ingin agar kehadiran kami tidak dilihat secara negatif,” kata Pater Gabriel Maing, OFM. Kami memutuskan kembali ke Aliuroba. Kegiatan pencerahan di Panama berlangsung dalam balai desa pada sore hari pukul 15.30 Wita. Ratusan warga hadir bersama Pastor Paroki Aliuroba, Romo Ellias Pally Werang, Pr. “Saya bersama bapa, mama dan saudara-saudari menolak rencana tambang. Kami para pastor Dekenat Lembata sudah menyatakan sikap penolakan itu. Kita sama-sama berjuang mempertahankan tanah kita ini,” katanya.
Pater Marsel Vande Raring, SVD mengingatkan seluruh umat agar tidak gampang terprovokasi oleh isu yang diembuskan pihak-pihak kuat bahwa kehadiran para pastor di Kedang untuk mengkristenkan Kedang. “Kami datang untuk memberikan pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat Leragere-Kedang agar tahu betul tambang dengan segala resiko dan dampaknya bagi kehidupan dan lingkungan kita. Kegiatan ini sangat terbuka untuk semua golongan dan agama dan untuk kelompok pro tambang maupun yang menolak tambang. Kami tidak sedang mengkristenkan Kedang. Kami mengajak kita semua agar menjadi orang Katolik yang sejati dan muslim yang sejati. Kami juga tidak mencari popularitas menjelang pemilihan DPRD 2009 dan Pilkada 2011 nanti,” katanya.
Sekitar pukul 17.20 Wita kami bergerak menuju Desa Mahal 2. warga sudah tidak sabar menantikan kehadiran tim JPIC SVD-OFM. Bahkan imam masjid mengikuti kegiatan ini dengan duduk pada deretan kursi terdepan. Kegiatan berlangsung aman, antusiasme warga luar biasa. “Kami selama ini hanya dengar bahwa ada tambang tetapi tidak pernah kami saksikan tentang akibat-akibat buruk tambang seperti yang dibuat oleh para pastor ini. Warga di sini rindu dengan informasi yang benar bukan dengan bohong dan membodohkan masyarakat. Seluruh warga sekitar Mahal ini menolak tambang. Warga sejak leluhur hidup damai dan tenang di atas tanah ini. Hasil kebun dan ladang tidak seberapa tapi kami tetap tidak akan menyerahkan tanah kepada orang luar. Kami tidak mau jadi kuli di atas tanah kami sendiri,” kata Kades Mahal 2.
Sekitar pukul 20.45 Wita kami tinggalkan Desa Mahal 2 dan bergerak menuju Peuma, Desa Hingalamengi. Inilah salah satu pusat pertambangan terbesar yaitu Puakoyong. Pemiliknya, Abu Samah sudah berulangkali diincar untuk dipengaruhi bahkan diancam untuk ditabrak mati,dibunuh bahkan diracun melalui makanan dan minuman. Saat kami tiba, suasana yang tegang sudah kuat terasa. Kelompok masyarakat yang menantikan kami tidak mengeluarkan sepatah kata pun saat kami memarkir kendaraan di pelataran halaman rumah Abu Samah. Menurut Abu Samah, Kepala Desa Hingalamengi sudah berulangkali menyruh Hansip memintanya agar membatalkan kegiatan para pastor malam itu. “Saya tidak berhak membatalkan karena ini bukan kegiatan saya. Para pastor datang untuk mencerahkan dan mendidik masyarakat. Ini bukan kegiatan sembarang. Silakan datang dan berbicara sendiri dengan para pastor yang akan membuat kegiatan malan ini,” katanya.
Malam itu Peuma tegang. Warga yang bergegas menuju balai dusun dihalang-halangi Hansip. Kelompok tolak tambang berkumpul di rumah Abu Samah. Setelah mendengar penyampaian Abu Samah, kami memutuskan melaksanakan kegiatan pencerahan malam itu. Siapa pun yang datang berusaha menggagalkan kegiatan ini akan kita ajak untuk berdialog, berdiskusi dan berargumen. Kepala dusun membuka pintu balai dusun dan mempersilakan kami membuat kegiatan. Warga berdatangan memenuhi ruangan. Kami berkemas menata ruangan pertunjukkan. Dua anggota Hansip lengkap dengan pentungan memasuki ruangan. Tanpa ucapan selamat malam. Begitu congkak dan angkuh. Berlagak penguasa keamanan negara. “Kami minta bertemu dengan para pastor.” Tim JPIC SVD-OFM mengelilingi keduanya. “Bapak Desa meminta kami untuk menyampaikan kepada para pastor agar membatalkan kegiatan malam ini,” Hansip tertua angkat bicara. “Apa alasan bapa desa membatalkan kegiatan kami malam ini?” tanya Pater Mikhael Peruhe,OFM. Pada saat itu belasan pemuda pro tambang memasuki ruangan balai dusun dan berlagak hendak menginterogasi kami. Masing-masing pemuda berbicara tak karuan. “Saya minta kita tenang dan bicara baik-baik. Kita tahu adat sopan santun dalam berbicara. Anda siapa?” seorang pemuda kaget dan tidak tahu mau menjawab apa. Terbengong bodoh. “Bapa-bapa ini datang tanpa izin dari kepala desa,” seorang di antara mereka bicara. “Anda ini siapa?” tanya Pater Mikhael. “Saya rakyat,” jawabnya. “Saya kira saudara suruhan kepala desa.” Pada saat bicara ia mengenakan kacamata reben. Penulis langsung menghardiknya. “Adik, kita semua orang Lamaholot. Kita tahu adat sopan santun dalam berbicara. Turunkan kacamata reben itu dari muka sebelum saya menurunkannya secara paksa. Saya juga anak tanah ini.” Ia menurunkan kacamata reben dan meninggalkan ruangan dengan menunduk.
Pemuda lain berkata,”Setiap tamu yang datang ke desa ini wajib melaporkan diri kepada kepala desa. Kegiatan seperti ini harus seisin kepala desa. Peraturan desa melarang setiap kegiatan tanpa sepengetahuan kepala desa.” Penulis langsung menyambar,”Sekarang juga tunjukkan peraturan desa itu kepada kami. Tertulis. Jangan hanya bicara untuk menakut-nakuti kami.” Seorang Hansip dan beberapa pemuda meninggalkan ruangan tanpa pernah kembali lagi. Akhirnya semua pemuda meninggalkan ruangan. Warga menertawakan kekalahan mereka.
Tim JPIC SVD-OFM yang terdiri dari penulis, Pater Gabriel Maing, OFM dan Pater Markus Tulu, SVD bersama kedua Hansip menuju rumah kepala desa. Kedua Hansip berebut tempat depan mobil kijang. Maklumlah! Di rumah kepala desa banyak warga pro tambang, laki-laki dan perempuan berkumpul. Saat memasuki rumah kades, suara-suara bersahutan ke arah kami tapi kami tidak mengerti karena disampaikan dalam bahasa Kedang. “Bapa-bapa malam-malam datang ke rumah saya? Ada yang bisa saya bantu?” Tiba-tiba suara perempuan keluar dari dalam kamar,”Orang tidak tahu adat, datang tanpa memberitahu tuan rumah.” Kami tidak tanggap. Hansip lalu menyampaikan maksud kedatangan kami kepadanya. Ia mengatakan bahwa kehadiran kami tidak disampaikan kepadanya sebagai pimpinan wilayah. “Masalah tolak dan dukung tambang itu biasa bagi saya.” Penulis menjelaskan, maksud kedatangan untuk memberikan pencerahan kepada masyarakat melalui jalur gereja dan hal itu disampaikan kepada semua pastor paroki dan umat. Tapi kegiatan ini terbuka kepada orang dari agama apa pun. Ini kegiatan kemanusiaan. “Tapi gereja dan masjid ada di desa saya. Saya harus tahu,” sahutnya. “Tim lokal sudah melakukan itu. Soal kemanusiaan tidak ada batas. Setiap orang berhak bicara tentang kemanusiaan tanpa ada pihak yang melarang,” kata penulis. “Ok, sekarang silahkan lanjutkan kegiatan karena sudah dimulai,” katanya. Saat kami tinggalkan rumah, seorang perempuan berteriak,”sebentar kalau ada pemuda yang serobot ke dalam ruangan, jangan marah, ya?”
Kegiatan kami jalankan dalam suasana tegang. Serombongan pemuda di jalan raya tanpa henti melempari balai dusun. Kadang mereka berteriak meminta rokok. “Mereka itu sudah didaftar menjadi pekerja tambang” kata Abu Samah. Ternyata, mereka rela menjadi kuli kasar di atas tanah ulayatnya sendiri. Malam itu kami tinggalkan balai dusun dalam kawalan mobil patroli polisi Polsek Balauring menuju Pastoran Holea.
Jumat (2/11), sekitar pukul 08.30 Wita kami tinggalkan pastoran Holea menuju Lewoleba. Di Wailolong, Pastor Paroki Holea, Romo John Leyn, Pr menginformasikan bahwa setelah kami berangkat, staf Kesbanglinmas, Markus Lela Udak datang ke pastoran. Ia menanyakan kegiatan kami selama berada di Kedang. “Saya katakan bahwa proses pertambangan kalau dibuka prosesnya sejak awal tidak ada masalah. Para pastor datang memberi pencerahan dan pendidikan kepada masyarakat soal tambang. Kalau mau tahu apa yang dibuat para pastor ini, datang dan hadir dalam seluruh kegiatan. Jangan sembunyi-sembunyi atau menjadi spion orang lain,” kata Romo John saat dihubungi dari Ende, Kamis (15/11). Menurut Romo John, Markus Lela Udak ditugaskan untuk “mengintipi” kegiatan para pastor selama berada di Lembata. “Ia mengaku pada saya bahwa ia disuruh oleh bupati,” kata Romo John.
Malam harinya, tim JPIC SVD-OFM menggelar kegiatan yang sama di Paroki Hadakewa, Kecamatan Lebatukan. Kegiatan ini dijaga ketat oleh aparat kepolisian dan sejumlah intel.saat kegiatan berlangsung listrik tiba-tiba padam. Padahal bukan giliran pemadaman listrik. Menurut Fr. Lerry, sebelum kegiatan berlangsung seorang polisi sempat menanyakan lamanya kegiatan. Pastor Paroki Hadakewa, Romo Domi menginformasikan bahwa paginya dua anggota polisi datang menanyakan tujuan kegiatan para pastor. “Saya katakan ini kegiatan pencerahan dan pendidikan bagi umat. Kami buat dalam gereja dan tidak mengganggu siapa pun.” Saat kami tiba, lagi-lagi seorang polisi datang menanyakan tujuan kegiatan dan menanyakan kepantasan tempat di dalam Gereja. “Ini kegiatan pencerahan bagi umat kami. Kami merefleksikan masalah pertambangan dalam nilai kitab suci dan teologis. Kenapa kami sepertinya hendak dilarang untuk melakukan kegiatan ini di dalam gereja?” tanya Pater Mikhael Peruhe, OFM. Romo Domi dalam sambutannya mengatakan, kegiatan pencerahan ini bukan kegiatan politik. “Para pastor yang datang ini bukan orang-orang politik. Mereka hendak mencerhkan pemahaman umat agar mengerti soal tambang,” katanya.


*Ziarah Pencerahan SVD-OFM di Lembata (5/Habis)
Bangun Solidaritas Boto, Karangora dan Lerek
Steph Tupeng Witin
“Kita menerima teknologi untuk kemajuan hidup tetapi teknologi yang merusak lingkungan harus kita tolak.” (John Paul II)
Sabtu (3/11), tim JPIC SVD-OFM menyempatkan waktu untuk berdialog dengan Kapolres Lembata, AKBP Geradus Bata Besu di Mapolres Lembata. Kapolres Besu dengan santai, rileks dan hangat menyambut rombongan para pastor. Ia didampingi Kasat Intel, Iptu Jamaludin yang berpenampilan “santai.” Kedua “ata Ende” ini menyampaikan posisi kepolisian dalam masalah tambang Lembata. “Masalah tambang saat ini menjadi perhatian serius aparat kepolisian. Kita netral dalam mengantisipasi dan menjaga keamanan. Setiap aparat senantiasa kita siagakan agar menjaga keamanan dan sedini mungkin mencegah segala kemungkinan yang bisa saja tersulut. Kalau ada aparat keamanan yang mengikuti kegiatan para pastor selama di Lembata ini, itulah tugas kami dalam menjaga keamanan,” kata Kapolres Besu.
Pater Mikhael Peruhe, OFM menggambarkan sekilas perjalanan pencerahan tim di Kedang-Leragere dan kesulitan yang dialami selama kegiatan tersebut khususnya di Desa Buriwutung dan Hingalamamengi. “Kami merasa bahwa ada upaya terstruktur untuk menggagalkan kegiatan pencerahan kami ini kepada masyarakat. Ada kesan bahwa aparat pemerintah desa sangat represip terhadap setiap upaya pemberdayaan dan pencerahan masyarakat. Suasana ini sangat terasa selama kegiatan kami ini. Lembata sepertinya sedang berada dalam sebuah konflik yang genting,” katanya.
Tim JPIC SVD-OFM melanjutkan pencerahan ke Kesbanglinmas Kabupaten Lembata untuk menyampaikan keberatan terkait kehadiran Markus Lela Udak , salah satu staf Kesbanglinmas yang “mengintipi” aktivitas pencerahan para pastor ke Leragere-Kedang. Pater Markus Tulu, SVD mengatakan, tim sangat memahami kewajiban Kesbanglinmas dalam memelihara dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Tetapi pola seperti yang dilakukan oleh Markus Lela Udak sangat tidak bertanggungjawab.
“Kami sangat menyayangkan bahwa institusi seperti Kesbanglinmas ini masih menjalankan tugasnya dengan cara yang tidak bertanggung jawab seperti ini. Kami datang dengan sangat terbuka, transparan dan tidak sembunyi-sembunyi melaksanakan kegiatan pencerahan ini. Kami sangat senang jika kita berdiskusi secara terbuka seperti ini. Kita hilangkan kecurigaan di antara kita. Kegiatan seperti yang dijalankan oleh staf Kesbanglinmas itu menunjukkan bahwa pola Orde Baru masih dijalankan di Lembata ini. Pola seperti sangat represip dan menindas kebebasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi,” katanya.
Kepala Kesbanglinmas, Meda Moses mengatakan, tugas Kesbanglinmas adalah memantaiu keamanan tanpa diskriminasi dan intimidasi. Kesbanglinmas mengikuti perkembangan, bukan “mengintip.” “Kam imengikuti perkembangan dan melaporkannya kepada atasan dan bukan untuk mendiskreditkan siapa-siapa,” katanya.
Menurutnya, terkait ada staf Kesbanglinmas di lapangan, sampai saat ini belum ada surat tugas kepada staf untuk turun ke lapangan. “Saya akan cek lagi dulu, mungkin ada pihak yang lebih tinggi yang menyuruh staf ke lapangan. Saya tidak tahu persis siapa yang turun. Kami meminta maaf jika pola yang kami pakai ini salah,” katanya.
Pukul 15.45 Wita kami menuju Paroki St. Yoseph Boto di Kecamatan Nagawutung. Rombongan kami ditambah Romo Sebast Ama Mea, Pr, misionaris Timika yang menyegarkan tin dengan gambar-gambar terbaru terkait situasi masyarakat dan lingkungan Timika akibat pertambangan. Menurutnya, kata-kata yang kita ucapkan boleh jadi penuh dengan rekayasan, tipuan dan kebohongan. Tetapi gambat yang dihadirkan tidak pernah menipu. “Bapa mama bisa lihat gejolak rakyat dan umat saya dalam tayangan-tayangan ini. Akibat pertambangan, kehidupan dan lingkungan alam hancur. Hanya segelintir elite politik-birokrasi yang kaya. Rakyat tetap miskin sampai saat ini,” katanya.
Kegiatan pencerahan umat Paroki Boto berlangsung di dalam gereja. Ketua Dewan Stasi St. Yoseph Boto, Petrus Pati Pukan mengajak segenap umat untuk memaknai pertemuan dengan pata pastor SVD-OFM ini sebagai kesempatan untuk menggali pengetahuan dan memperkaya wawasan terkait tambang yang selama ini terdengar. “Malam ini kita diberi kesempatan untuk belajar secara Cuma-Cuma. Kita mendapatkan pengetahuan yang baru yang mencerahkan kesadaran kita. Selanjutnya kita menjadi utusan untuk menceritakan ini kepada siapa saja yang kita jumpai dalam hidup,” katanya. Laurens Leuweheq mengeritik kebijakan pembangunan yang selama ini diterapkan pemerintah dalam bingkai proyek. “Misalnya Dinas Kehutana menurunkan anakan kepada masyarakat ketika musim hujan sudah berhenti. Tanaman itu akhirnya mati. Hal ini hampir selalu terjadi pada setiap sektor pembangunan. Pemerintah terkesan hanya menghabiskan anggaran dalam proyek ketimbang memikirkan relevansi dan hasilnya bagi kesejahteraan masyarakat. Terkait tambang, saya melihat pemerintah cenderung sangat memaksakan kehendak agar rencana ini terlaksana. Pertanyaannya adalah untuk siapa rencana tambang ini? Kalau untuk masyarakat, mengapa penolakan paling keras justru datang dari masyarakat,” katanya.
Gaby Mudaj dari Kluang mengapresiasi kegiatan safari pencerahan yang dijalankan tim JPIC SVD-OFM yang berkeliling Lembata meski mendapatkan banyak tantangan dari pihak pro tambang. “Informasi selama ini sangat minim. Masyarakat sepertinya hanya menerima bahwa rencana tambang ini jadi. Padahal resikonya sangat besar. Kami warga Paroki Boto tolak tambang karena solider dengan umat Leragere-Kedang. Ini persoalan seluruh rakyat Lembata. Gerakan penolakan harus menjadi sebuah gerakan bersama,” katanya.
Minggu (4/11), tim JPIC SVD-OFM akhirnya melanjutkan safari menuju Karangora, Paroki St. Antonius Kalikasa dan Paroki Lerek. Kegiatan pada kedua tempat ini berlangsung di dalam gereja. Antusiasi umat sangan tinggi khususnya di Karangora meski tim baru tiba pukul 22.00 Wita. Esoknya, Senin (5/11), kami menuju Lerek. Lingkaran wilayah ini sangat potensial. Alam seakan menyediakan potensi yang menjanjikan. Di Watuwawer, ada panas bumi yang katanya, memiliki kekuatan yang luar biasa. Ada tiga lobang yang sudah dibor dan kini dibiarkan seperti itu menunggu usaha lebih lanjut. Warga sekitar meletakkan bahan-bahan makanan di sekitar lokasi panas selama satu malam untuk kemudian menjadi santapan yang lezat.
Antusiame warga Lerek luar biasa. Ratusan umat yang juga berasal dari wilayah sekitar memadati ruangan gereja. Pastor Paroki Lerek, Romo Lorens Yatim, Pr mengajak seluruh umat untuk menyimak pencerahan tim JPIC SVD-OFM sebagai salah satu informasi yang benar, baik dan berguna bagi pemahaman masyarakat. Tokoh umat, Maksi Watun menegaskan, Kabupaten Lembata memiliki potesi luar biasa dalam bidang pertanian dan peternakan serta perikanan tapi belum ditunjukkan itu secara maksimal. “Saya tolak tambang karena tambang itu menghancurkan lingkungan. Dalam kasus tambang Lembata, pemerintah mesti mendengarkan suara rakyat. Tambang tidak akan membawa kesejahteraan,” katanya.
Pensiunan guru ini mengajak segenap warga paroki agar solider dengan umat di Leragere-Kedang yang selama ini berjuang mati-matian menolak tambang. “Kita di Lerek selama ini membiarkan mereka berjuang sendirian. Kita sibuk dengan pekerjaan kita masing-masing. Padahal akibat pertambangan itu akan kita alami. Kita ini satu pulau, ibarat satu tubuh. Kalau satu anggota tubuh sakit, tentu seluruh anggota tubuh yang lain akan sakit juga,” katanya.
Katharina Glole dan Agatha Prada mengatakan, selama ini pemerintah dan gereja selalu mengimbau umat agar menanam di mana-mana tapi kebijakan tambang ini akan menghancurkan semua tanaman dan lingkungan kita. “Kami rakyat kecil ini tidak tahu apa-apa. Selama ini kami hanya ikut apa yang dikatakan pemerintah. Kami tolak tambang karena kami punya lingkungan akan hancur dan kami tidak akan makan ikan lagi karena laut tercemar,” kata Mama Agatha.
Bapa Yohanes Bala hanya menitipkan pesan .kepada DPRD dan pemerintah agar lebih mendengarkan suara rakyat dan bukannya mengutamakan suara investor yang serakah itu. “Tolong sampaikan kepada DPRD dan Pemkab Lembata, kami di Paroki Lerek tolak tambang. Kami solider dengan warga Kedang-Leragere yang telah menolak tambang. Kami mendukung perjuangan mereka,” katanya.

Tidak ada komentar: