Kamis, 30 Oktober 2008

Polemik seputar Tambang Lembata








Gambar: Peta Lembata dan Tradisi Penangkapan Ikan Paus di Lamalera. Tampak penikam (Lamafa) sedang mengudara untuk menombak paus dengan tempuling. Foto: google
_______________________
Pemerintahan yang Ramah Lingkungan
(Kritik di Balik Kebijakan Tambang Lembata)

Steph Tupeng Witin

Gagasan-gagasan yang mengalir dari dinding ruang konferensi Bali terkait perubahan iklim (climate change) menghantar kita pada titik kesadaran yang mencemaskan: Kita sedang berada di gerbang kiamat ekologis (FP, 21/12). Alam yang sedang memangku kita ibarat monster yang menakutkan. Selama berada-abad, alam begitu memanjakan kita hingga lupa merawat kelestariannya. Kita jadi serakah mengeksploitasi kandungannya. Kita robek dan cabik keutuhan tubuhnya. Saat ini alam tampak berbalik mengancam hidup kita. Mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim mengatakan, keserakahan manusia dalam mengeksploitasi keutuhan alam menyebabkan alam berbalik memukul manusia. Hal ini disebabkan campur tangan manusia yang “berlebihan” terhadap alam. Ekosistem dan hukum lingkungan terabaikan. Kepentingan alam dan kepentingan manusia tidak lagi selaras. Timpang. Bencana ini mesti menjadi tanggung jawab bersama (Chang William, Jiwa Kosmis Fransiskus dari Asisi, Nusa Indah, 1989, hal 19-20).
Penulis berpendapat, salah satu kunci keberhasilan pemeliharaan lingkungan adalah pemerintah. Penegakan hukum lingkungan, proyek-proyek lingkungan, pengefektivan peran polisi kehutanan dan sebagainya berada pada pemerintah. Persoalannya adalah pemerintahan kita tidak pernah dibangun di atas roda kepentingan rakyat. Kekuasaan politis-birokratis hanya menunggangi tubuh rakyat yang dekil-kotor-berbau untuk menggapai “kursi” yang nikmat dan “menidurkan.” Bahkan dalam banyak kasus, pemerintah era otda lebih menampakkan wajah otoritarianisme yang sangar: berlaku seolah-olah pemilik tanah yang menggadaikan daerah kepada investor secara sepihak dan tidak bertanggung jawab.

Dualisme Kebijakan
Salah satu kasus menarik yang pantas diangkat adalah rencana kebijakan tambang yang digulirkan oleh Pemkab Lembata. Rencana ini mendapat perlawanan terbuka yang keras dari rakyat pemilik ulayat dan masyarakat Lembata umumnya. Rencana ini memang digagas secara sepihak oleh Pemkab yang “bersatu” dengan DPRD. Hingga saat ini rencana tambang belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Meski di lapangan, sosialisasi secara “kucing-kucingan” yang biasanya dilakukan oleh pemerintah dengan cara-cara “kotor” terus disebarkan. Tetapi pemilik ulayat tetap bersikeras melawan secara terbuka yang didukung oleh LSM dan institusi religius (Pastor Dekenat Lembata, SVD-OFM, SSpS). Meski rakyat menolak dengan keras, Pemkab terus memaksakan rencana ini. Ada apa? Sementara moncong DPRD telah lama mandul, kehilangan daya kritis dan terang-terangan “menghina” harkatnya sebaga wakil rakyat. Dalam kasus tambang Lembata, DPRD bukan lagi dewan perwakilan rakyat tetapi Dewan Perwakilan Tambang. Ujung-ujungnya jelas: belum tambang saja, DPRD-nya sudah “kenyang” dengan fulus (uang). Ketika Ipi Bediona mengatakan, gedung dewan hanyalah tempat cari makan, banyak anggota dewan yang blingsatan: kaget lalu gagap mencari argumen untuk membenarkan harga diri dan eksistensinya yang telanjur ia sendiri hinakan. Itulah kehebatan DPRD Lembata yang amat memalukan!
Mengikuti geliat pembangunan di Lembata, tampaknya ada dualisme dalam rencana kebijakan pembangunan di Lembata. Di satu sisi, pemerintah melalui dinas kehutanan giat menggalakkan proyek gerakan reboisasi hutan dan lahan (Gerhan). Terkait ini para kepala desa diharuskan menandatangani surat perjanjian kerja sama (SPKS) dengan dinas kehutanan sebagai bukti tanggung jawab dalam menyukseskan kegiatan penghijauan ini (FP, 5/12). Program Gerhan menandaskan bahwa ada upaya untuk menyelamatkan lingkungan dari bencana kehancuran. Cita-cita penyelamatan lingkungan juga diungkapkan oleh Bupati Andreas Duli Manuk dalam sambutannya yang dibacakan Asisten II Setda Lembata, Lukas Lipataman Witak saat kegiatan apresiasi Amdal beberapa waktu lalu. Menurutnya, kualitas lingkungan mulai menurun akibat ulah manusia yang mengeksploitasi alam tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Keserakahan aktivitas perusakan alam ini dapat diminimalisir melalui upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan yang melibatkan semua komponen. “Pemecahan masalah lingkungan harus melalui suatu pemahaman tentang relasi timbal balik antara manusia dan lingkungan. Hal ini bertujuan menciptakan lingkungan yang lestari menuju kelanjutan pembangunan di Lembata.” (FP, 14/11).
Di sisi lain, kebijakan tambang yang digagas oleh Pemkab Lembata jelas-jelas berlawanan dengan program Gerhan dan idealisme Bupati Manuk di atas. Jelas bahwa tambang sangat-sangat merusak dan menghancurkan kelestarian lingkungan. Racunnya mematikan tumbuh-tumbuhan. Limbah yang dibuang akan menghancurkan keutuhan tanah. Tanah yang digali untuk tambang akan membentuk bukit baru yang mubasir. Rakyat kehilangan lahan garapan hidup. Pertanyaannya: mengapa pemerintah mati-matian memprovokasi, meneror, menyuap dan mengintimidasi pemilik ulayat untuk menerima rencana tambang padahal tambang menghancurkan lingkungan? Apakah pemerintah sedang bersandiwara melalui proyek Gerhan hanya untuk mengelabui mata rakyat? Menurut informasi terakhir, proyek Gerhan berusaha memasuki wilayah-wilayah yang menjadi pusat lokasi tambang. Di Buriwutung, Kecamatan Buyasuri, proyek Gerhan ditolak oleh warga karena dicurigai sebagai pintu masuk untuk menguasai ulayat rakyat. Kalau kecurigaan ini kemudian terbukti, sebenarnya Pemkab Lembata sedang merancang sebuah skenario pembangunan yang membodohi warga, melukai nurani dan merendahkan martabat pemerintah sendiri. Proyek pembangunan bisa saja menyembunyikan rencana politis yang serakah. Kejahatan bisa saja tersenyum renyah di balik gebyar rencana pembangunan yang gemerlap. Ternyata, rencana bulus bisa dicurigai dengan cerdas oleh rakyat. Kejahatan, betapa pun dekilnya, masih menyimpan petuah bijaksana untuk sebuah hati yang masih lapang dan ikhlas.

Menuju Pemerintahan Ramah Lingkungan
Mantan Menteri Lingkungan Hidup era Gus Dur-Mega, Dr. Sonny Keraf , sangat keras menolak rencana tambang Lembata. Dalam pertemuan antara Koalisi Jakarta dan Komisi VII DPR RI, ia menegaskan bahwa secara pribadi ia menolak rencana tambang karena Lembata terlalu kecil dan akan tenggelam jika rencana itu dipaksakan. Resiko pertambangan sangat merusak lingkungan hidup. Sikap yang berlawanan ditunjukkan oleh kakaknya, Ketua DPRD Lembata, Petrus Boliona Keraf yang berjuang habis-habisan mendukung rencana pemerintah. Bahkan ia ikut menandatangani kesepakatan kerja sama dengan PT Merukh di Hotel Kemang Jakarta. Penulis heran: masakan Dr. Sonny Keraf yang memiliki pengetahuan luas tentang dampak pertambangan menolak rencana tambang tetapi mengapa Pemkab dan DPRD Lembata yang tidak memiliki kualitas pengetahuan yang memadai tentang tambang begitu nekat-nekatan menerima tambang? Bahkan stuba yang menghabiskan dana ratusan juta itu sebagai kedok untuk mendapatkan pengetahuan tentang tambang sampai saat ini tidak menampakkan hasil. Dekilnya, rombongan stuba ke Minahasa tidak sampai di lokasi tetapi begitu berani membuat laporan hasil stuba. Benar-benar sangat memalukan! Kehormatan dan kewibawaan lembaga terhormat DPRD begitu “loyo” bahkan “diloyokan” di depan kerakusan dan kelobaan Merukh yang sebagian keserakahan itu disalurkan melalui moncong pemerintah yang juga sudah kehilangan rasa malu berhadapan dengan kemurnian aspirasi dan perjuangan rakyat kecil.
Pada Desember 2006, Dr. Sonny Keraf menulis buku “Etika Lingkungan” yangditerbitkan oleh Kompas. Buku itu diinspirir oleh masa “kuliah” yang paling luas, intensif dan mendalam selama menjadi Menteri Lingkungan Hidup RI. Menurutnya, ada hubungan yang erat dan korelasi positif antara penyelenggaraan pemerintahan yang baik dengan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) akan mempengaruhi dan menentukan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Pemerintahan yang baik mengandaikan adanya integritas moral dari penyelenggara. Integritas moral akan membingkai penyelenggaraan pemerintahan sehingga berlangsung profesional, tidak seenaknya mengangkangi ketentuan formal, dan tidak mengorbankan lingkungan untuk kepentingan sempit penguasa. Lemahnya moralitas pejabat publik telah menghancurkan lingkungan setelah melalui penyalahgunaan kekuasaan secara sadar. Hal ini menunjukkan kebobrokan mental yang pejabat publik yang lemah secara moral sehingga mudah dipengaruhi oleh uang dan kedudukan (Keraf: 202-204).
Di era otonomi daerah, sebenarnya terbuka ruang yang besar bagi pengelolaan lingkungan hidup karena dekatnya relasi pemerintah dengan rakyat, adanya kontrol yang lebih langsung, dan aspirasi masyarakat adat akan lebih terakomodir. Menurutnya, otonomi daerah mesti menjadi sebuah ruang di mana pemerintah dan rakyat lebih terbuka, saling mendengarkan, saling percaya, saling mengontrol dan bekerja sama dalam menjamin lingkungan hidup yang baik dan layak huni. Singkatnya, ada komitmen untuk membangun sebuah pemerintahan yang ramah dengan lingkungan hidup (Keraf: 208). Peluang itu sudah terpatri dalam bingkai era otonomi daerah. Siapkah pemerintah kita? Ataukah ruang otonomi semakin menggumpalkan keserakahan dan kelobaan pejabat dan DPRD?

Penulis adalah wartawan Dian/Flores Pos,
tinggal di Ende

Tidak ada komentar: