Minggu, 26 Oktober 2008

PLTU Ropa 1

*Di Balik Lambannya Penanganan Kasus PLTU Ropa (1)

Ke Mana Rakyat Berharap?

Steph Tupeng Witin

Paulus Kola hanya termenung saat ditemui di Ropa, Maurole dua pekan lalu. Sesekali ia menarik napas panjang. Udara siang yang gerah mengalirkan keringat di wajahnya. Keriput. Umurnya sudah lanjut. Tergurat terang beratnya perjuangan. Anaknya, Gregrius Kari, Kepala Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole hanya bisa diam.
“Ke mana lagi kami bawa nasib hidup kami? Tanah untuk sawah dan kebun jambu saya sudah hilang. Di atas lokasi itu tengah berlangsung proyek PLTU Ropa. Saya kehilangan tanah untuk menghidupi keluarga. Kami tidak lagi menanam padi, jagung dan tanaman palawija lainnya. Pihak PLN Flores Bagian Barat belum membayar harga tanah kami sepeser pun. Keluarga kami tidak tahu lagi mau ke mana?”
Menurutnya, penyelesaian kasus tanah PLTU Ropa sudah mulai menunjukkan titik terang penyelesaian ketika tim JPIC Keuskupan Agung Ende dan SVD Ende bersama kuasa hukum dari Veritas Jakarta melaporkan ikhwal penyerobotan oleh pihak PLN Flores Bagian Barat pada April 2008. Aparat Polres sigap menanggapi laporan itu. Semua pihak yang terkait kasus PLTU Ropa sudah diperiksa satu persatu. Bahkan aparat Polres Ende “agresif” menangani kasus ini dengan terjun langsung ke lokasi untuk mengecek kenyataan batas-batas tanah dari semua pemilik tanah. Seluruh lokasi yang kini berubah menjadi ibarat sebuah stadion bola kaki itu sah milik mereka sesuai dengan sertifikat dari BPN Ende.
Sejak Pebruari 2007, pegawai PLN Ende bersama anak almarhum mosalaki Adrianus Paso Pande memasang pilar dan mengukur lokasi PLTU tanpa ada pemberitahuan kepada pemilik tanah. Padahal panitia pengadaan tanah (Tim Sembilan) baru dibentuk pada Juli 2007. Gregoriua Kari, ahli waris Paulus Kola yang juga kepala desa Keliwumbu, anggota panitia Tim Sembilan yang diangkat dengan SK Bupati Ende tidak pernah dilibatkan dalam seluruh proses itu. Bahkan hingga detik ini Gregirius Kari tidak pernah melihat “batanghidung”dari SK itu. Proses itu berlangsung sangat tertutup. Harga tanah dan tanaman tidak pernah dimusyawarahkan dengan pemilik tanah. Saat pengukuran Maret 2007, tanamana padi digilas dengan mobil (FP, 4/4/2008). Pemilik tanah baru bertemu Asisten I yang menjadi Wakil Ketua Panitia, Hendrik Seni pada 24 Desember 2007 untuk menerima uang dalam amplop tertutup (FP, 4/4/2008).
Pada April 2007, ke-7 pemilik tanah yaitu Petrus Segi, Raimundus Reo, Leonardus Gaka, Yoseph Sepu, Simon Sega, Rofinus Mage, Alex Segu bertemu dengan Kepala Tata Pemerintahan Setda Ende, Agus Ambi yang meminta ke-7 pemilik tanah untuk menandatangani sebuah surat yang tidak diketahui isinya. Kabag Ambi hanya mengatakan bahwa penandatanganan itu diperuntukkan bagi ke-7 pemilik tanah yang tanahnya masuk dalam lokasi proyek untuk memudahkan pengurusan selanjutnya. Penandatanganan tersebut sama sekali tidak ada kaitan dengan pemberian kuasa kepada Aleks Mari Paso Pande karena saat itu Aleks Mari tidak hadir dan tidak bertemu dengan ke-7 pemilik tanah dan ke-7 pemilik tanah tidak pernah memberikan kuasa kepada Aleks Mari untuk menerima uang pemilik tanah.
Pada 12 Agustus 2007, Ketua Panitia Pengadaan Tanah, Drs. Iskandar Moh Mberu membuat data harga tanah dan tanaman di lokasi PLTU Ropa, Desa Keliwumbu. Data itu menunjukkan bahwa ada 12 pemilik tanah, termasuk ke-11 pemilik tanah dengan nomor sertifikat, luas tanah masing-masing dan besarnya ganti rugi, baik tanah maupun tanaman. Pada 10 Desember 2007, Kepala Kantor Pertanahan Ende, Drs. Mansyur Mberu yang juga Sekretaris Panitia mengeluarkan peta kepemilikan tanah lokasi PLTU Ropa yang memuat sertifikat hak milik atas tanah yang terkena lokasi PLTU, terdiri dari 12 pemilik tanah.
Pada 22 Desember 2007, Camat Maurole, Gregorius Gadi menerangkan bahwa kegiatan PLTU Ropa diawali dengan survey yang berpuncak pada 22 Desember 2007 yaitu kompromi dengan pemilik tanah untuk dimulai pembayaran. Namun saat itu muncul lagi 4 sertifikat baru atas nama Paulus Kola, Klara Tea, Lorens Wawo dan Maria Ma. “Sebagai camat, saya langsung menjemput mereka namun yang hadir hanya Paulus Kola sebagai ketua kelompok yang menerima penyerahan tanah dari almarhum Paso Pande. Rapat dipimpin Asisten I, Hendrik Seni. Rapat sempat diskors agar Paulus Kola berembuk bersama Alex Mari. Keduanya sepakat, pembayaran dilakukan melalui Alex Mari. Hadir juga saat itu Romo Frans Tena.” Pembayaran harga tanah akhirnya dilakukan pada 24 Desember 2008 dalam amplop tertutup dan tidak pernah dihitung secara terbuka saat itu. Paulus Kola mengaku dirinya tidak pernah bersepakat dengan Alex terkait penyerahan kuasa kepada Alex untuk menerima uang harga tanah dari PLN Flores Bagian Barat.
Pada 4 Januari 2008, ke-11 pemilik tanah diminta untuk menandatangani surat pernyataan pelepasan hak atas tanah. Saat itu barulah ke-11 pemilik tanah mengetahui luas tanah, besarnya ganti rugi. Ternyata hak mereka lebih besar dari yang dibacakan dan riil diterima oleh ke-7 pemilik tanah pada 24 Desember 2007. Ke-4 pemilik tanah yang lain diminta untuk menandatangani surat pelepasan hak atas tanah padahal mereka tidak pernah menerima uang sepeser pun. Ke-11 pemilik tanah menolak untuk menandatangani surat tersebut yang dibuat pada 24 Desember 2007 untuk ke-11 pemilik tanah.
Pada 5 Pebruari 2008, Asisten I, Hendrik Seni saat bertemu dengan pemilik tanah di Kantor Desa Keliwumbu mengatakan bahwa uang senilai Rp6 miliar sudah diserahkan kepada Alex Mari Paso Pande dan pemilik tanah diminta untuk mendekati Alex Mari. Juru bayar PLN Ende, Karel Djami saat pertemuan di DPRD Ende, 9 April 2008 mengatakan, besarnya dana yang disiapkan Rp6,9 miliar dan semuanya sudah diserahkan kepada Alex Mari. Soal kekurangan pembayaran kepada 7 pemilik tanah yang diisi dalam amplop tertutup itu dilakukan atas permintaan Alex Mari Paso Pande. Saat penyerahan itu ditandatangani 2 kuitansi yaitu kuitansi intern dan ekstern.
Menurutnya, jumlah warga pemilik tanah yang dilaporkan hanya ada 7 warga sehingga hanya mereka yang mendapatkan ganti rugi. Selain itu ada surat kuasa yang diberikan yang menyatakan akan menyerahkan uang kepada Alex Mari sehingga untuk ke-4 pemilik tanah uangnya diserahkan kepada Alex Mari (FP, 10/4/2008).
Sampai di sini kita menemukan banyak kejanggalan dalam proses perencanaan. Ada “permainan” yang sangat “disembunyikan.” Fakta-fakta ini begitu telanjang untuk dibuka dari sisi hukum. Awalnya, polisi “agresip” menanggapi laporan JPIC dan tim pengacara Veritas Jakarta. Rakyat Ende sudah sekian lama menantikan gebrakan aparat Polres Ende. Tapi sampai saat ini kasusnya masih “mengendap” di laci Polres Ende. Rakyat mengharapkan agar kepolisian menuntaskan kasus ini secara utuh. Kepolisian adalah sandaran terakhir dari rakyat. Tetapi jika kepolisian hanya “berjalan di tempat”, bolak-balik argumen maka rakyat akan menempuh “caranya” sendiri. Kasus PLTU Ropa adalah batu ujian bagi kinerja kepolisian Polres Ende. Ini dambaan rakyat yang haus dengan keadilan dan kebenaran. Kedua nilai itu rasanya sulit sekali menjadi kenyataan dalam kasus PLTU Ropa. Seberapa sulit? Rakyat tetap menunggu dengan “cemas” penyelesaian kasus PLTU Ropa. Andaikan aparat kepolisian tidak mampu menuntaskan kasus PLTU Ropa ini, ke mana lagi rakat kecil yang tidak berdaya meletakkan harapannya? Siapa lagi yang dapat dipercaya oleh rakyat?

Tidak ada komentar: