Kamis, 30 Oktober 2008

Ropa

Kartini, Neti dan Ropa
(Ziarah Menuju “Ende Sare Lio Pawe”)

Steph Tupeng Witin

Hari ini Indonesia mengenang Kartini. Perempuan Jepara ini menghentak nurani maskulinitas Indonesia yang menempatkan perempuan pada titik terendah. Kartini hidup dalam lingkaran budaya feodalisme akut. Ruang gerak perempuan sangat dibatasi. Laki-laki menjadi simbol kekuasaan feodal yang angkuh. Garis-garis kebijakan akan mengabdi kepada kepentingan kuasa (laki-laki). Suara perempuan, simbol kelompok tertindas boleh didengarkan tetapi sebatas membingkai garis pinggir kebijakan kekuasaan laki-laki. Suara perempuan adalah mozaik lukisan kebijakan yang hanya ditempatkan sejauh memperindah dan memperangkuh wajah kuasa. Di tengah himpitan dan tindasan kekuasaan maskulin inilah Kartini menemunkan ruang perlawanannya. Ia menyibak gorden ketertutupan budaya dengan membaca buku-buku Eropa dan membangun relasi dengan perempuan-perempuan “luar” untuk memperkuat basis “perlawanannya.” Sentuhan dengan “dunia luar” menerbitkan optimisme bahwa kungkungan harus dilepas. Tali belenggu mesti diurai agar masa depan membuka ruang bagi hadirnya emansipasi. Bangsa ini terlalu luas hanya untuk dibebankan kepada kaum laki-laki. Kaum perempuan mesti diberi ruang yang pantas untuk mengekspresikan talenta yang ditanam Tuhan. Kartini menemukan keberanian untuk berjuang “memukul” tembok kuasa laki-laki yang angkuh sekaligus membuka ruang kemerdekaan bagi kaum perempuan untuk berkiprah.
Menurut Ruth Indiah Rahayu, benih perlawanan Kartini muncul dari kesahajaan kota kelahiran yang terletak dekat pantai yang mempunyai kebudayaan “pesisiran.” Salah satu ciri khas watak “pesisiran” adalah terbuka menerima ide-ide pembaharuan dan perubahan. Sejarah Indonesia mencatat bahwa pintu masuknya ide pembaharuan dan perubahan khususnya di tanah Jawa adalah wilayah-wilayah di sepanjang pantai utara Jawa. Watak “pesisiran” ini menyeruakkan sosok dengan gerakan yang agresif, gesit, dinamik dan terkadang cenderung beringas. Alam pikiran “dirajam” oleh laut yang bergelora dan gelombang yang kadang beringas. Perlahan-lahan “watak” ini menyelinap ke dalam keseharian Kartini yang menempanya menjadi sosok pemberani bahkan pemberontak yang lugas. Kartini menjelma menjadi perempuan yang tidak mendiamkan gelombang penindasan budaya maupun politik tetapi memberontaki status quo, kekuasaan kaum feodal yang menciptakan dan melestarikan kekuasaan adat dan politik yang membelenggu (Pramoedya Ananta Toer, Panggil Aku Kartini Saja, Hasta Mitra 2000, hlm XVIII). Kartini menghadirkan terang bukan dari kursi kekuasaan budaya dan politik feodal yang menindas melainkan dari perlawanan rasional terhadap keangkuhan kekuasaan. Ia menerbitkan terang di tengah kegelapan penindasan budaya dan politik yang dibangun oleh kekuasaan maskulin yang pongah dan serakah. Ia adalah terang yang membakar dirinya sendiri justru di atas tetesan air mata derita, tangisan penindasan dan lenguhan kungkungan. Ia membungkam kepongahan kuasa (budaya dan politik) yang tertawa renyah bahkan terbahak-bahak di atas ketidakadilan yang coba ditutupi dengan kepongahan dan keangkuhan struktur politik berwajah penindas yang pura-pura lugu dan berkedok nurani. Sesungguhnya perlawanan Kartini bersumber dari ketajaman nurani, kelembutan kewanitaan dan kegarangan tempaan lingkungan.

Perempuan Bebas
Benih perlawanan Kartini diuraikan lebih intens oleh Mangunwijaya melalui tokoh Neti dalam novel Burung-Burung Rantau. Novel ini menghadirkan obsesi Mangunwijaya terkait keberadaan dan harkat wanita. Kisah diawali dengan perbantahan ringan antara ibu Yuniati dan anaknya, Neti, yang tidak suka memakai “beha.” Neti adalah gambaran perempuan zaman ini yang lebih suka memakai celana jeans ketimbang rok yang dianggap penghalang keleluasaan bergerak. Ia adalah manusia bebas yang berkuasa penuh atas diri dalam menentukan langkah. Ia bebas jatuh cinta dengan pemuda Punjabi. Sebuah cinta yang universal yang tidak bisa dibendung oleh tembok primordial apa pun. Romo Mangun melukiskan sebuah horison keterbukaan yang mesti dialami manusia Indonesia di era globalisasi ini. Di tengah amukan gelombang kemajuan yang menawarkan sederet kemudahan, manusia Indonesia mesti kian terbuka dan mampu berkomunikasi dengan siapa pun dari latar apa pun. Neti adalah simbol perempuan Indonesia yang memiliki roh bebas tak terpuaskan, selalu mengembara, menyelidiki, memberontak dan ingin tahu, selalu tergerak untuk membongkar seluk beluk misteri kejahatan, manipulasi dan kebohongan berpayung penindasan. Atas nama emansipasi, perempuan, kita semua harus bebas seperti burung-burung rantau yang kebetulan lahir di timur tapi dunia adalah rumahnya. Kita mesti keluar dari kubangan lumpur keberadaan kolektif, isolasi mentalitas picik, dari batas-batas wilayah (negara), cap-cap diskriminatif: pendatang (ata mai) dan asli (ata mera) agar menjadi terbuka terhadap kebenaran. Neti mengecam keras kepura-puraan yang memalukan, laporan yang salah, kebohongan untuk “maksud baik” dan kebenaran yang palsu: “Jika orang nusantara mati-matian mempertahankan semua gengsi serta penampilan yang halus bergengsi dalam iklim keselarasan yang berusaha jangan sampai menyakiti kawan, Neti kini berkenalan dengan benua (India) yang sudah terbiasa disakiti, terbiasa dengan perbedaan pendapat, yang tidak ingin mengorbankan kebenaran hanya demi penampilan palsu luar belaka” (321). Perihal keseragaman yang “dikoorkan Orba” bahkan berjalan mulus hingga kini dan kebohongan yang membungkus kebenaran, Mangun melalui mulut Neti menyindir sangat halus tapi sesungguhnya sangat keras memukul suara hati ketimuran kita: “Ah, ya, di India kebaikan sama dengan kebenaran. Di Indonesia kebaikan berarti bohong menutup-nutupi karena kasihan atau takut menimbulkan heboh” (324).

Perlawanan dari Ropa
Ropa adalah sebuah kampung mungil yang terletak di pinggir laut Desa Keliwumbu, Kecamatan Maurole, Kabupaten Ende. Kampung ini menjadi tenar ketika PLN merencanakan pembangunan PLTU. Ropa menjadi terkenal justru karena “perlawanan” yang ditunjukkan oleh ke-11 warga sederhana, orang kampung, petani-penggarap yang menuntut keadilan atas hak-haknya. Menariknya, perlawanan orang-orang sederhana begitu simpatik dan terasa menohok jaringan kekuasaan adat yang masih kuat dan kekuasan politik yang asing dari semangat pelayanan. Suara rakyat sederhana terasa kuat menggetarkan jala kekuasaan birokrasi, legislatif dan BUMN (PLN). Proyek senilai Rp6 miliar lebih ini terancam gagal. Kegagapan jaringan birokrasi tampak dalam sederet pertemuan, entah terbuka atau tertutup yang melibatkan Pemkab Ende (Tim Sembilan), PLN Flores Bagian Barat dan keluarga Paso Pande yang “mengamankan” dana rakyat itu. Rakyat tetap menuntut keadilan sebagai landasan hukum untuk pelepasan tanah dan tanaman yang telah menghasilkan.
Gerakan kebangkitan kesadaran rakyat yang ddukung kuat oleh Gereja Keuskupan Agung Ende telah membuka mata kesadaran publik Ende bahkan NTT untuk mengurai benang kusut “permainan” proyek atas nama uang rakyat yang ujung-ujungnya menumbalkan rakyat. Rakyat adalah subyek dan tujuan utama pembangunan. Itu slogan yang indah dalam pidato pejabat publik. Sayangnya, pidato itu tidak menyentuh realitas ketimpangan dan ketidakadilan yang begitu telanjang di mata publik. Boleh jadi pejabat itu tidak tahu karena “anak-anak buahnya” di lapangan melaporkan semua berjalan beres. Kasus PLTU Ropa membuka mata siapa pun di Kabupaten Ende untuk membaca, melihat dan mengkritisi pelaksanaan kebijakan pembangunan. Kasus PLTU Ropa mencemaskan bahkan menggemaskan banyak kalangan di Ende hanya karena perlawanan rakyat yang sederhana, orang kampung yang kerap dibentak-bentak pejabat, diteror oleh “kekuasaan,” dipaksa menandatangani BAP, terancam diusir dari tanah dan diperintah sana sini sekehendak penguasa. Kasus Ropa menyadarkan siapa pun untuk mulai saat ini meninggalkan cara dan gaya pembangunan yang asing dengan aspirasi rakyat.
Kasus Ropa kiranya menjadi cermin bagi kita semua: Kita menempatkan rakyat sebagai subyek pelayanan dan orientasi pengabdian kita. Setiap kita berpartisipasi, menyumbangkan bagian (pars) kita untuk bersama-sama membangun Ende sebagai sebuah “rumah bersama” yang bersendikan keterbukaan, menghilangkan diskriminasi antara pendatang (ata mai) dan orang asli (ata mera). “Rumah bersama” Ende ini mesti kita rajut dari keberbedaan ide, pendapat dan gagasan yang kita satukan menjadi campuran yang kuat menuju Ende sare Lio pawe. Siapa pun, betapa pun berjasanya, tidak boleh mengklaim diri sebagai yang paling berhak membangun Ende sepanjang kita berjalan di atas tubuh Indonesia. Pemimpin yang mengisolasi diri adalah pemimpin yang kerdil dalam pikiran dan tidak matang dalam politik. Kematangan pemimpin terletak dalam keterbukaan untuk dikritik, menerima kritik, siap dikoreksi terbuka membangun argumentasi yang rasional sebagai ikhtiar menuju kesempurnaan. Bukannya mencari pembenaran diri, lempar masalah, membangun mekanisme kambing hitam, memarahi rakyat tanpa dasar yang kuat dan cuci tangan ala Pilatus. Keterbukaan dan saling menerima akan memuluskan ziarah pembebasan kita langkah menuju “Ende sare Lio pawe” yang sekaligus membenamkan julukan “Ende bodoh, Lio ngongo.”


Penulis adalah wartawan Flores Pos,
warga Kelurahan Potulando, Ende.

Tidak ada komentar: