Kamis, 30 Oktober 2008

10 Tahun HAM

*Lokakarya Nasional Komnas HAM 10 Tahun Reformasi (2)

Indonesia: Arena Pesta Para Bandit

Steph Tupeng Witin

Reformasi telah berjalan selama 10 tahun. Apakah Indonesia menapaki kemajuan? Apakah track record kemajuan HAM meningkat? Sesungghnya, reformasi telah gagal. Indonesia mengalami kemunduran. Situasi ini memunculkan kembali gerakan untuk “meluruskannya.” Bangsa ini selalu bergerak pada tataran melengkapi, meluruskan dan menegakkan. Kita lupa menata dan membangun.
Romo Ignatius Wibowo, SJ, dosen UI menghentak peserta lokakarya Nasional HAM melalui makalah “Globalisasi, Demokrasi dan Anarki.” Menurutnya, kemajuan pelaksanaan HAM di Indonesia tersendat-sendat. Kita baru saksikan penganiayaan mahasiswa Universitas Nasional (24 Mei 2008) yang disusul pemakaian kekerasan oleh kelompok sipil Monas (1 Juni 2008). Banyak warga kehilangan pekerjaan. Petani merana di hadapan ketidakpastian pupuk, benih, obat dan keterbelengguan pasar. Media massa kian vulgar menghadirkan fenomena kekerasan.
Kolumnis Kompas ini menyitir karya penulis Rusia, Mansur Olson, Power and Prosperity untuk membedah relung Indonesia. Situasi reformasi di Rusia dan Indonesia sama: setelah runtuhnya rezim represip, bukan kesejahteraan yang muncul tetapi malah kelompok preman. Meski program yang diusung adalah demokratisasi dan pasar bebas. Olson menerangkan keanehan ini dengan model “stationary bandit” dan “roving bandit.” Masa rezim represip, seorang bandit sedang berkuasa tetapi dia stationary bandit. Artinya, dia tidak akan menguras habis wilayahnya. Ia bahkan akan menjaga wilayahnya, memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk terus maju. Cara ini memungkinkan dia menarik pungutan-pungutan yang menjadi sandaran hidup. setelah rezim represip runtuh, muncullah roving bandits. Ini jenis bandit yang menjarah sehabis-habisnya semua porensi yang is temui lalu menghilang. Ia berpindah dari satu tempat ke tempat lain (roving) dan menguras habis kekayaan tanpa menyisahkan. Pada masa otoriter hanya ada satu bandit yang bertahan dalam kekuasaannya selama mungkinmeski tidak menghabisi kekayaan wilayah. Ketika bandit besar jatuh, bandit-bandit kecil memperoleh kebebasan. Mereka mengambilalih apa yang ditinggalkan bandit besar.
Pasar bebas dan demokrasi merupakan dua konsep kembar yang dipahami sebagai jalan mencapai kemakmuran bersama. Oleh roaving bandit kedua hal ini menjadi kendaraan untuk mencapai tujuan egois mereka. Melalui pasar bebas, mereka bergerak di bidang jual beli tanpa hambatan dan memanipulasi pasar melalui monopoli dan kartel. Melalui demokrasi, bandit- bandit itu merkebut kursi-kursi di parlemen lantas memanipulasi parlemen menjadi lahan korupsi dan pemerasan.
Saat Indonesia dikuasai Soeharto, ekonomi dibvenahi dan digerakkan agar bangkit dari keterpurukan selama masa Soekarno. Kekuasaan dijalakan melalui personal rule. Ia membagi-bagi kemurahan hati kepada semua orang yang menjilatnya. Prinsip “asal bapak senang” (ABS) lekat pada instansi pemerintah dan pegawai negeri. Bahkan seorang menteri terkenal dengan ungkapan: “atas petunjuk Bapak Presiden.” Tentara menjadi pengawal pribadi. Hal yang mencengangkan: pengusaha swasta berebut untuk “dekat” dengan Soeharto dan menikmati kemurahannya (crony capitalism). Siapa pun yang berani berpendapat lain, membantah dan mengeritik akan disingkirkan. Lawan-lawan politik ketakutan dan tiarap. Soeharto adalah penjaga stabilitas sebagai ruang untuk menggerakkan ekonomi Indonesia sehingga bank dunia menjuluki Indonesia “macan Asia.” Orang seakan dibuat percaya bahwa ada hubungan erat antara stabilitas dan sukses ekonomi.
Dalam bingkai pemahaman Olson, inilah kelihaian Soeharto yang disebut sebagai “stationary bandit.” Dia tidak menguras habis kekayaan tetapi juga tidak mengembangkan. Indonesia dibiarkan pada tingkat tertentu yang cukup bagi penduduk untuk berusaha dan cukup untuk dikuras. Indoensia memang maju tetapi tidak pernah maju hingga ke titik maksimal. Kekayaan tidak ana dikuras tandas karena akan tetap menjadi sumber penghasilan.
Saat puncak krisis finansial global melanda Indonesia (1997), bangunan politik dan ekonomi Indonesia hancur. Soeharto mencoba bertahan melalui pemilu 1998 tetapi hasil pemilu tidak mengangkat legitimasinya. Ketika Soeharto jatuh, banyak orang mengira inilah akhir dari zaman gelap dan awal zaman terang. Saat di mana Soeharto dan kroni-kroninya dibersihkan. Ternyata, bandit-bandit “didikan” Soeharto terus bergentayangan, malah kian gila. Masuknya OMKF “memaksa” Indonesia menjalankan pasar bebas dan perdagangan bebas secara radikal. Berbarengan dengan itu juga dimulailah sistem multipartai dengan pemilu yang disusul dengan sistem otonomi daerah. Muncul aktor politik yang mulai belajar bagaimana memanipulasi pemilu untuk meraih kekuasaan agar melunasi utang sebagai ongkos pemilu.
Pasar bebas dan demokrasi sebenarnya bisa membebaskan warga dari pengontrolan yang berlebihan. Tetapi dalam sejarah bangsa ini, keduanya dimanfaatkan dengan cerdik oleh “pengusaha hitam” dan “politisi busuk” “Pengusaha hitam” memanfaatkan pasar untuk memonopoli. Demokrasi pada prinsipnya menganut pola pasar: politisi dan parpol menjual “produk” dan pemilih “membeli.” Para politisi selanjutnya merasa telah selesai saat memperoleh kursi (eksekutif dan legislatif). Pertanggungjawaban kepada konstituen hanya formalitas karena yang utama adalah memanfaatkan peluang di tangan.
Jadi, sesungguhnya Indonesia merupakan sebuah arena yang “cerah” pada para bandit untuk berpesta ria. “Stationary bandit” memang telah disingkirkan tetapi roving bandits terus merajalela, entah di bidang ekonomi, politik maupun budaya. Hadirnya otonomi daerah sejak 1999 telah membuka ruang yang signifikan bagi hadir dan berkembangmeluasnya roving bandits. Maka tidak heran kalau lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif menjadi “sarang koruptor.” Inilah fakta guliran roda reformasi setelah 10 tahun. Proses penghancuran kharakter bangsa secara politik dan ekonomi sedang berlangsung. Ruang semakin gerak roving bandits kian terbuka lebar setelah munculnya begitu banyak partai yang butuh dana operasional yang luar biasa. Cita-cita mengembalikan tongkat ekonomi kepada rakyat tinggal mimpi. Roving bandits menggeliat kian keras dalam alur “prosedural” ekonomi dan politik. Jika Indonesia dicengkram roving bandits, kondisi HAM akan terus terpuruk.

Tidak ada komentar: