Selasa, 21 Oktober 2008

Politisi yang bersih

Jagalah kebersihan!
(Catatan ringan jelang Pilgub NTT)

Oleh Steph Tupeng Witin


GENDERANG pemilihan Gubernur NTT telah ditabuh pada 15 Februari 2008
lalu. Kampanye pilgub belum lagi mulai. Nama-nama pasangan mulai
diumumkan ke tengah publik. Kampanye media telah lama berlangsung.
Beberapa calon bahkan sudah lama 'berani' menghadirkan dirinya melalui
kartu nama, kartu ucapan, iklan visi-misi, kalender, aktivitas sosial
kemasyarakatan maupun safari 'sekenanya.' Kalangan pers dan
intelektual menggagas diskusi politik untuk membuka diskursus
pemahaman publik untuk terlibat aktif dalam ranah politik-demokrasi.
Saat ini NTT bagai gadis cantik yang tengah dirias untuk segera
memasuki 'pelaminan demokrasi' Juni 2008. Beberapa kabupaten tengah
membenahi 'wajahnya' menjelang digelarnya momen pemilihan kepala
daerah secara langsung. Sudut-sudut kota, desa dan kampung diseraki
gambar para calon bupati maupun gubernur dalam beragam gaya dan
ukuran. Wajah para kandidat tampak begitu akrab dengan keseharian
rakyat yang sahaja : di kamar pribadi, kantor, meja kerja, kaca mobil,
tanki motor, dinding perahu/kapal motor, terminal, batang pohon, ruang
tunggu, bahkan di pintu kamar WC sekalipun!Penulis memiliki pengalaman
kecil saat berada di kamar WC rumah makan Bethania di Wolowaru,
Kabupaten Ende, Flores. Setiap pengunjung kamar WC laki-laki nomor
ketiga akan menyaksikan gambar dua kandidat Gubernur NTT yaitu Wagub
Frans Lebu Raya yang diusung PDIP dan anggota DPR RI, Viktor Bungtilu
Laiskodat, kandidat yang 'diandalkan' Partai Golkar yang dipasang
berdampingan di pintu dalam. Frans Lebu Raya di sebelah kiri dan
Viktor Bungtilu Laiskodat di sebelah kanan. Keduanya tampak sedang
tersenyum. Viktor sedikit bebas, sedangkan Lebu Raya tampak kaku,
terkesan 'dipaksakan.' Boleh jadi gambar Wagub NTT ini diambil dalam
keadaan lelah-letih setelah 'bersafari' mengelilingi NTT. Hal yang
lebih menarik bagi penulis adalah bahwa di tengah-tengah potret kedua
calon Gubernur NTT 2008 itu tertera tulisan dengan huruf besar dan
ditimpali dengan nada yang sangat familiar bagi setiap pengunjung
'kamar kecil' itu yaitu 'Jagalah Kebersihan!" Siapa pun yang masuk ke
ruangan kecil itu dan meletakkan pantatnya di atas pot WC pasti akan
menumbukkan matanya pada deretan kata-kata itu. Tulisan itu
mengingatkan setiap pengunjung untuk tidak boleh lupa membersihkan
sarana yang telah ia pakai untuk menyalurkan sampah tubuhnya.
Peringatan itu melecut kesadaran pemakai bahwa setelah itu masih ada
begitu banyak orang yang akan 'duduk' seperti dia. Kata-kata itu
menarik perhatian penulis justru karena kehadiran potret kedua calon
Gubernur NTT itu yang diprediksikan akan bersaing ketat dalam pilgub
yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Di titik inilah tulisan ini
menemukan ruang pemaknaannya yang intens. Sebuah 'renungan' ringan dan
jenaka yang mengiringi khalayak rakyat NTT untuk memasuki
relung-relung politik dan demokrasi. Penulis berpikir bahwa pilkada
pertama Gubernur NTT merupakan sebuah ruang politik yang terlalu mahal
untuk dicederai dengan aneka tindakan anarkis dan represip. Pilkada
juga menjadi sebuah momen bagi rakyat NTT untuk menentukan sosok
'pemimpin sebagai pelayan' yang mengandung di dalamnya keberanian
untuk memihak rakyat, komitmen untuk bersama rakyat dan kesahajaan
kehendak untuk membangun NTT ini menjadi sebuah 'rumah bersama' yang
sehat. Ikhtiar untuk menjadikan NTT ini sebuah ôrumah bersamaö yang
sehat terinspirir oleh tulisan sarat makna yang terpampang pada pintu
kamar WC di Wolowaru, Ende, Flores itu. "Rumah bersama" yang sehat
sebagai cita-cita mesti dibangun dalam bingkai 'yang bersih.'
Kebersihan adalah pangkal kesehatan. Rancangan bangunan 'rumah
bersama' itu mengandaikan proses dan elemen-elemen yang terlibat itu
secara riil itu bersih, murni dan berkualitas. Pertama, para calon
pemimpin NTT mesti tahu diri : apakah dia 'bersih' atau tidak. Ideal
ini agaknya diragukan karena proses perekrutan calon adalah wewenang
parpol yang juga pantas untuk diragukan 'kebersihannya.' Parpol-parpol
selama ini hanyalah kendaraan 'sementara' untuk menuju pintu gerbang
kekuasaan (eksekutif/legislatif). Kita jarang memiliki kader partai
berkualitas dan militan yang setia berjuang untuk rakyat seperti Bung
Kanis Pari dan Simon Hayon (Bupati Flotim). Kita lebih kerap mendengar
: pungut uang, kejar proyek, saling jegal, cari muka dan rebut nomor
urut. Entah benar atau tidak tapi sinyalemen yang beredar adalah bahwa
uang menjadi salah satu syarat penting meski dalam kenyataan menjadi
satu-satunya syarat utama. Politisi yang tidak beruang,
bersiap-siaplah untuk didepak dari ruang pertarungan pilgub. Politisi
senior Golkar, Sarwono Kusumaatmadja, membuktikan ini saat 'terlibat
sementara' dalam Pilgub DKI Jaya beberapa waktu lalu. Menurutnya,
urusan partai bukan soal mendidik kader partai untuk berbicara tentang
kehidupan rakyat, melainkan 'omong siapa dapat apa, duitnya berapa,
siapa jadi menteri, siapa duta besar, berapa data perusahaan yang bisa
ditekan. Semua karena duit. Dia punya duit, maka jadi calon nomor
satu' (TEMPO, 17/6/2007). Di sini kita tertegun. Apakah kita masih
bisa berharap bahwa di tengah moralitas politisi dan parpol yang
'bobrok' ini bisa lahir sosok pemimpin yang 'bersih?' Sosok pemimpin
yang lahir dari parpol yang mata duitan hampir pasti akan melahirkan
pemimpin yang mendatangkan cerita nestapa bagi nusa NTT. Pemimpin
model ini akan mengisi masa pengabdiannya dengan intensi agar sedapat
mungkin uang yang telah ia keluarkan kembali lagi. Jika kita memilih
dia, kita sebenarnya tengah menjerumuskan dia dalam liang penjara
korupsi. Kita akan mengakhiri sisa hidupnya dengan cerita yang lazim
bagi pejabat : sakit-sakitan, stroke, kursi roda, dan mati mendadak.
Kedua, para calon yang maju harus benar-benar mengenal diri.
Pengenalan diri akan menerbitkan kepantasan diri untuk maju.
Keberanian boleh-boleh saja tapi ingatlah dengan usia. Propinsi NTT
membutuhkan sosok pemimpin yang berenergi ekstra untuk merancang
pembangunan. Terkait ini, rakyat NTT mesti memilih pemimpin yang
memiliki integritas kepribadian yang baik. Janganlah memilih pemimpin
yang hanya menjadi tameng untuk menutupi kasus-kasus korupsi yang
selama ini mengambang pada dahan kekuasaan politik. Pengenalan diri
juga terkait dengan keberanian politik untuk memberantas kasus-kasus
korupsi, merombak struktur birokrasi yang mapan, membangun
berorientasi rakyat, tidak gampang menjual NTT kepada investor yang
serakah dan hanya menjadi 'pion pemerintah pusat' yang gagap dan loyo.
Ketiga, rakyat NTT harus memilih pemimpinnya secara rasional. Sosok,
kiprah, kinerja, sepak terjang, moralitas sosial, dan kepemimpinan
harus dibuka ke tengah publik NTT. Kita tidak memilih pemimpin yang
dibungkus dalam karung goni. Rakyat jangan menyerahkan daerah ini
kepada tangan pemimpin bergaya preman : mengandalkan uang, dikelilingi
bodyguard, membayar penjahat dan hampir pasti merampok keringat
rakyat. Di titik ini kita butuhkan pers yang independen untuk
menyebarkan informasi tentang para calon kepada publik secara benar
dan bertanggung jawab. Pers yang gampang dibeli, muncul dadakan,
kaget-kagetan dan musim-musiman sesungguhnya sedang membawa daerah ini
menuju kehancuran. Keempat, pilgub kali ini digelar secara langsung
untuk pertama kali. Rakyat secara bebas dan bertanggung jawab memilih
pemimpinnya. Selama masa kampanye, para jurkam, tim sukses dan calon
pilgub akan menjadi sangat akrab dan familiar dengan rakyat. Senyum
akan senantiasa menghiasi wajah mereka. Peredaran uang dalam bentuk
sumbangan, titipan kilat dan sebentuk kemurahan hati akan bergulir
dengan deras. Tapi pilihan tidak boleh dipengaruhi oleh iming-iming
apa pun. Relasi emosional, hubungan kekeluargaan, darah atau pun
sejenisnya tidak boleh mengarahkan kita untuk salah memilih. Suasana
damai penuh kekeluargaan mesti dijaga selama berlangsungnya masa-masa
kampanye. Materi kampanye mesti membuka wawasan dan kesadaran rasional
rakyat NTT untuk menentukan pilihan secara tepat sebagai pintu gerbang
untuk berpartisipasi dalam pembangunan daerah ini. Hindarkan materi
kampanye murahan yang hanya mengaduk-aduk emosi rakyat. Rakyat NTT
yang majemuk ini tidak membutuhkan sosok pemimpin yang lahir dari
tangis, air mata dan tumpahan darah rakyatnya. Pemimpin yang muncul di
atas kursi nomor satu NTT mestinya lahir dari kesederhanaan rakyat,
kerasnya beban hidup, keringat perjuangan dan komitmen untuk
benar-benar mengabdi dan melayani rakyat. Kita harapkan agar pemimpin
yang lahir nanti mempersatukan, mempersaudarakan dan merangkul seluruh
rakyat dalam rencana pembangunan yang lahir dari kebutuhan, suara dan
aspirasi rakyat. Berkas-berkas gagasan ini lahir dari sebuah cita-cita
: menjadikan momen pemilihan Gubernur NTT sebagai saat dan ruang untuk
melahirkan sebuah proses menuju terpilihnya sosok pemimpin yang
'bersih.' Proses pilgub yang 'bersih' akan melahirkan sosok pemimpin
yang 'bersih.' Sosok pemimpin yang bersih akan membangun daerah ini
dengan 'bersih.' Proses pembangunan yang dilaksanakan dengan 'bersih'
akan memungkinkan daerah ini menjadi 'sehat' secara rohani dan
jasmani. Pemimpin yang 'sehat', yang lahir dari proses pembangunan
yang 'bersih' akan menyiapkan proses pilgub berikutnya dengan
'bersih'. Pilgub yang dinodai dengan aneka tindakan kejahatan,
kekerasan dan kebengisan akan menjerembabkan daerah ini ke dalam
lembah kehancuran yang lebih menyakitkan. Maka, marilah kita 'jaga
kebersihan' proses pemilihan gubernur kita dengan rasional, benar,
jujur, adil dan bertanggung jawab. Inilah tugas kita hari-hari ini.

Tidak ada komentar: