Kamis, 30 Oktober 2008

TOLAK KOREM 3

*Mengapa Rakyat Menolak Korem/Batalyon (3/Habis)
(FP, 29/1/2008)
“Biarkan Kami Hidup Damai di Tanah Kami”

Steph Tupeng Witin

“Kami hidup damai di tanah kami turun temurun. Setiap generasi mewariskan kedamaian, ketenangan, persaudaraan dan kekeluargaan. Tidak pernah ada cerita kekerasan, perpecahan dan perselisihan yang besar. Kalau ada soal di antara kami, kami selesaikan dengan cara damai dalam suasana kekeluargaan. Tanah yang kami diami telah menghasilkan nafkah bagi kami. Generasi kami hidup dari tanah. Tanah adalah nyawa kami. Bau tanah adalah nafas hidup. Kami tidak pernah menerima warisan untuk memperjualbelikan tanah kami. Saya minta kepada pihak-pihak “luar” agar berhenti mengganggu ketenteraman hidup kami. Biarkan kami hidup damai di atas tanah kami sendiri.”
Kata-kata bernas itu mengalir begitu tenang, teratur dari mulut bijaksana Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo saat ditemui di pendopo Pastoran Nangapanda, Jumat (25/1) lalu. Suaranya tegas menggambarkan kewibawaan alami. Ia tegar menghadapi ancaman dari aparat kepolisian yang menetapkannya sebagai tahanan kota dalam kasus pidana ringan “melakukan perbuatan tidak menyenangkan” sebagaimana yang dilaporkan oleh Musa Kedhu dan Halim Umar bersama keluarga yang diadang saat akan melakukan pengukuran tanah bersama petugas BPN Ende, staf Kodim, staf kecamatan dan staf Koramil Nangapanda. Ia didakwa menggerakkan massa untuk mengadang mereka di lokasi garapan yang akan diukur , persisinya di pinggir kali Sangarambo, Desa Kerirea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende, Jumat (28/12/2007) lalu.
“Saya membaca laporan itu dan ancamana penahanan dari pihak kepolisian sebagai bentuk teror mental terhadap kami yang berjuang mempertahankan hak kami atas tanah garapan milik kami. Kalau mau jujur, kami juga bisa melaporkan pihak yang melapor itu karena mereka justru melakukan perbuatan yang lebih tidak menyenangkan bagi kami. Mereka menyerobot tanah milik kami. Tanah itu hanya digarap. Kenapa mereka menjual tanah kami itu?”
Menurutnya, pihaknya bersama penggarap telah berjuang mati-matian mempertahankan tanahnya dari siapa pun yang datang menyerobot, meski dengan seribu satu alasan dan permainan politik apa pun. Perjuangan itu sesungguhnya merupakan upaya untuk tetap mempertahankan keutuhan dan kesatuan suku yang telah terbina turun temurun. Rencana pembangunan korem/batalyon telah memicu perseteruan di dalam suku.
“Sebagai kepala suku, saya bersama para mosalaki mengatur pembagian tanah garapan kepada semua warga. Di atas tanah itu saat ini berdiri kelapa, kopi, kakao dan tanaman perdagangan lainnya. Semua itu telah menghidupi keluarga-keluarga kami. Apakah salah ketika kami bersama-sama bergerak mempertahankan hak kami atas tanah? Mengapa kami didakwa bersalah hanya karena kami mempertahankan hak kami? Saya tidak pernah menggerakkan massa untuk mengadang. Saya hanya menginformasikan kepada warga bahwa tanah kami akan diukur sedangkan kami sebagai pemilik sah tidak tahu itu. Para penggarap bergerak ke lokasi dan mengadang petugas yang datang. Apakah itu tindakan yang melanggar hukum?”
Hubertus Riwu mengatakan, informasi yang berkembang selama ini menunjukkan bahwa pihak sebelah yang didukung para petinggi menyesatkan publik untuk menempatkan warga Suku Paumere pada posisi salah dan terpojok. Warga secara spontan turun ke lokasi karena digerakkan oleh rasa memiliki tanah yang selama ini turun temurun menghidupi mereka. “Kasus ini harus dilihat secara jernih dan dengan otak yang cerdas. Informasi yang sepihak sangat menyesatkan warga. Isu inilah yang seringkali membalikkan kenyataan yang benar. Saya harapkan agar pemerintah tidak membiarkan hal ini berlarut. Pemerintah tingkat kecamatan tidak netral lagi dalam peenyelesaian kasus tanah ini. Kami rakyat ditinggal berjuang sendirian. Malah, pemerintah kecamatan meminta warga untuk menyerahkan tanah bagi pembangunan korem/batalyon dan mengajak warga untuk berpikir positif terkait kehadiran TNI yang akan membawa kemajuan. Selama ini warga sudah hidup layak, tenang dan damai. Warga butuhkan jalan raya karena berhak atas pembangunan. Bukan karena hadiah oleh kehadiran korem/batalyon,” katanya.
Menurut Romo Sipri Sadipun, Pr, pembangunan dijalankan oleh pemerintah melalui dinas-dinas terkait dan bukannya karena alasan kehadiran korem/batalyon. Ia meminta pemerintah untuk tidak menggunakan alasan kehadiran korem/batalyon sebagai tameng untuk membangun masyarakat. “Tentara jangan menyibukkan diri dengan mengurus pembangunan bagi rakyat. Pembangunan itu tugas pemerintah daerah. Jalan raya, listrik, air minum dan sebagainya itu ada karena kebutuhan masyarakat. Dan pemerintah berkewajiban melaksanakan pembangunan itu. Omong kosong kalau kehadiran tentara akan berdampak pada peningkatan pembangunan. Sudah saatnya rakyat tidak lagi dibodohi dengan alasan-alasan dan pendapat-pendapat kuno yang tidak bernilai lagi. Kita harus mendidik rakyat agar berpikir kritis dan cerdas dalam membaca setiap kenyataan sosial yang terus berkembang,” katanya.
Pater Markus Tulu, SVD dari JPIC SVD Ende mengatakan, rakyat berjuang mempertahankan haknya dengan benar dan adil. Perjuangan ini lahir dari kesadaran dan rasa memiliki atas tanahnya. Mestinya pemerintah menghargai perjuangan rakyat itu. Rakyat telah menunjukkan integritasnya dengan gigih berjuang mempertahankan haknya. Kegigihan perjuangan rakyat itu mestinya menjadi sebuah kritik konstruktif bagi pemerintah dalam melaksanakan pembangunan di wilayah ini.
“Rakyat harus berjuang terus untuk mempertahankan haknya. Perjuangan ini harus didukung oleh segenap elemen masyarakat karena inilah perjuangan yang benar yang lahir dari kemurnian nurani. Kemurnian perjuangan ini menjadi kritik bagi pemerintah untuk memperhatikan aspirasi dan kepentingan rakyat,” katanya.
Damianus Jata, salah seorang penggarap dalam pertemuan di Kerirea, Sabtu (5/1) meminta kepala suku dan mosalaki agar mempertahankan tanah yang di atasnya hidup mereka telah dipertaruhkan selama bertahun-tahun. “Saya minta agar kepala suku dan mosalaki memperjuangkan tanah ini untuk hidup kami sebagai penggarap. Di atas tanah itu telah kami tanam padi, jagung, ubi, kelapa, kakao dan sebagainya. Kalau tanah kami ini diambil, kami akan pergi ke mana lagi? Dan bagaimana dengan dengan anak cucu generasi masa depan kami nanti?”
Warga lain, Ferdi Bata mengaku resah dengan rencana pembangunan korem/batalyon yang berarti rakyat akan dikeluarkan dari atas tanah yang selama ini menghidupinya. Selain tidak akan menyerahkan sejengkal tanah kepada siapa pun, pihaknya mengaku siap “tanam kaki” jika memang suatu saat tentara dengan paksa memasuki wilayah garapannya. “Kami siap “tanam kaki” di atas tanah kami ini. Kami tidak akan mundur selangkah pun. Kami mempertahankan hak kami atas tanah ini,” katanya.
Saat ini konflik telah tercipta di antara warga Suku Paumere. Sebagian warga telah menyerahka tanah yang berarti mendukung rencana kehadiran korem/batalyon. Sementara sebagian besar rakyat menolak menyerahkan tanah dengan alasan tanah itu warisan yang harus digarap dan bukan diperjualbelikan. Terkait konflik itu, Romo Domi Nong, Pr mengimbau warga untuk membangun kembali keretakan hubungan kekeluargaan yang tercipta karena konflik kepentingan atas tanah. “Konflik itu harus diselesaikan secara kekeluargaan di tingkat kecamatan. Camat bisa memfasilitasi itu. Tidak perlu dilanjutkan di tingkat kepolisian. Rakyat mesti dididik untuk menyelesaikan persoalannya sendiri. Hal ini penting untuk mendewasakan masyarakat dalam menghadapi persoalannya sendiri,” katanya.
Menurutnya, konflik yang tercipta tidak boleh menghancurkan persaudaraan dan kekeluargaan. Konflik itu harus diselesaikan sehingga kebersamaan dan persaudaraan dapat dirajut kembali yang menciptakan persatuan dan kebersamaan. “Melalui persatuan, kita akan menghadapi pengaruh-pengaruh luar, bahkan menyingkirkannya sehingga tidak merusak hidup kita yang damai dan tenang ini,” katanya.

Tidak ada komentar: