Kamis, 30 Oktober 2008

Suara Perempuan

Suara Perempuan, Tambang dan Natal 2007
(Gugatan Terhadap Dominasi Patriarkhi)

Steph Tupeng Witin

“Kami mempertahankan tanah ini untuk anak cucu kami.
Kami tidak mau pergi untuk meninggalkan tanah Leragere kami ini.”

Penggalan kalimat di atas adalah sisa suara serak dari Agustina Wati, seorang petani perempuan sederhana dari kawasan Leragere, Kecamatan Lebatukan, Kabupaten Lembata. Kawasan Leragere masuk dalam incaran Pemkab Lembata dan PT Merukh Enterprise untuk dijadikan areal pertambangan. Kawasan Leragere dihampari lautan kemiri, kakao dan tanaman perdagangan lain.
Sebagaimana diketahui, rencana pertambangan digagas sepihak oleh pemerintah dan DPRD Lembata yang merasa begitu berkuasa untuk “menjual” Lembata seharga berapa pun. Ketika tim investigasi Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) SVD-OFM mengunjungi warga Kedang-Leragere pertengahan Oktober 2007 lalu, rakyat mempertanyakan: atas dasar kuasa siapa Bupati Manuk dan Ketua DPRD, Piter Keraf menggadaikan tanah Kedang-Leragere kepada Merukh. Hingga saat ini rakyat belum menerima jawaban langsung dari pemerintah dan DPRD. Bahkan DPRD Lembata “memanfaatkan” pro kontra tambang untuk menggelar studi banding tambang. Rombongan yang ke Minahasa tidak sampai di lokasi tambang tapi anehnya: mereka membuat laporan studi banding dan membacakan itu di depan sebuah sidang paripurna terhormat. Hingga saat ini yang rakyat tahu adalah pembohongan terstruktur, manipulasi tanda tangan dukung tambang, memanfaatkan segelintir penganggur untuk meneror pemilik ulayat dan kelompok pencerahan JPIC SVD-OFM, memanfaatkan staf Kesbanglinmas untuk membodohi warga, memberi cap, mengintimidasi dan “mengintip” aktivitas pencerahan dan pendidikan politik oleh kelompok religius dan LSM yang kritis. Pemkab Lembata tampaknya mulau gagap, galau dan kehilangan rasionalitas dalam menghadapi perlawanan dan penolakan keras dari rakyat Lembata.
Di tengah situasi yang sarat kebohongan, manipulasi dan guliran informasi yang sesat inilah, suara perempuan Leragere di atas hadir untuk menggugat jiwa dan semangat patriarkhi yang melekat kuat dalam diri pemerintah dan DPRD Lembata-mungkin juga Gereja- yang menjadi simbol bahkan representasi dari sistem patriarkhi dan dominasi maskulinitas. Suara seorang perempuan, sosok yang telanjur dianggap lemah dan tidak berdaya oleh sebuah stereotip yang meluncur dari keangkuhan patriarkhi dan maskulinitas, menggedor, menantang, melawan dan menggugat kemapanan kuasa, entah kuasa memerintah, kuasa melayani, kuasa berpikir dan kuasa mendengarkan. Suara seorang perempuan adalah rintihan dan tangisan yang lahir dari ketidakberdayaan yang sebenarnya sengaja diciptakan oleh kelompok kuat-kuasa untuk meredam efektivitas perlawanan dan mematahkan mutu dan kualitas kebenaran. Rintihan seorang perempuan adalah perlawanan tanpa henti yang mengalir murni dari ketulusan nurani, yang dalam perjalanan waktu tercemari kebohongan, kemunafikan dan manipulasi informasi yang menyesatkan nurani. Tangisan perempuan adalah perlawanan yang lahir dari landasan kosmologi, filsafat alam yang telah sekian tahun membingkai sejarah hidup dan mengalirkan kekuatan murni. Suara seorang perempuan ibarat aliran sungai perlawanan yang tidak akan berhenti mengalir meski kemarau kebohongan, kemunafikan, manipulasi, teror, intimidasi, upaya penjebakan terus digulirkan ke tengah arena perlawanan, meski selalu menuai kegagalan yang menyesakkan. Suara perempuan juga adalah resistensi terhadap “kemurahatian” penguasa yang memamerkan diri melebihi konglomerat kelas dunia karena membagi-bagi uang sebagai sarana untuk memperlemah keberanian, meneror suara kebenaran, melumpuhkan perjuangan dan berikhtiar mematikan ayunan langkah perlawanan pemilik ulayat. Pemerintah kita membangkitkan kesan murahan: seolah mereka diangkat untuk menjadi kaya lalu membagi kemurahan itu dengan cara rendahan, dangkal dan menghina martabat manusia serta melukai jati diri manusia sebagai pekerja, homo faber, makhluk yang mengais hidup dengan susah payah dari tetesan lelah keringat perjuangannya sendiri. Rakyat yang “telanjur” menerima “kemurahatian” pemerintah yang munafik itu sebenarnya tengah dengan sadar menghina martabatnya sendiri.
Dalam kasus tambang Lembata, perlawanan rakyat Kedang-Leragere bersama aktivis LSM dan kelompok religius adalah sinyal menyeruaknya gugatan kritis dari tengah ketidakberdayaan, kelemahan dan kekecilan. Di mata penguasa, entah penguasa politik maupun konglomerat, posisi rakyat, aktivis dan kelompok religius sama dengan posisi perempuan dalam struktur budaya yaitu selalu rendah, kecil, tidak berdaya dan tak berkuasa. Direktur JPIC OFM, Pater Dr. Peter Aman, OFM dalam pertemuan dengan pemilik ulayat Leragere-Kedang di Lewoleba, Minggu (16/12) lalu menyitir kata-kata Yusuf Merukh yang congkak, angkuh dan arogan,”Kelompok yang menolak rencana pertambangan di Lembata itu memiliki uang berapa?” Kata-kata ini menunjukkan kepongahan seorang Yusuf Merukh yang merasa begitu kuat karena memiliki uang untuk membeli kerakusannya. Mungkin Yusuf Merukh merasa kuat karena telah “membeli dan menguasai” pemerintah dan DPRD Lembata. Tapi tidak untuk rakyat Lembata!! Yang jelas, semakin banyak orang mengumbar uang dan kekayaan semakin rakus ia melahap alam dan manusia. Semakin tinggi orang berkuasa, tampaknya semakin tak terbendung lagi nafsu untuk menghina dirinya sendiri!
Di titik inilah suara seorang perempuan pada hari ibu yang diperingati setiap akhir tahun pada 22 Desember pantas diberi ruang permenungan dan refleksi. Pada hari ibu tahun ini kita mendengar rintihan dan tangisan dari kaum perempuan Kedang-Leragere nun di Pulau Lembata. Konsistensi kaum perempuan dalam mempertahankan tanah, ketegaran di hadapan tembok kekuasaan (Pemkab dan DPRD), suara yang tidak pernah berhenti berteriak, tangis yang senantiasa mengalirkan air mata mesti menggedor nurani kita yang mapan, menabrak posisi kita yang mungkin mau selalu aman terkendali, meruntuhkan dinding kuasa memerintah, berpikir dan melayani agar sedikit memberi ruang hidup, ruang nyawa dan ruang jiwa bagi gelombang kecemasan, kegelisahan dan ketakutan karena mereka akan dicabut dan dilemparkan keluar dari landasan kosmologi dan ikatan ulayat leluhur.

Tanah: Ibu yang Berdarah
Warga Lembata yakin bahwa tanah adalah ibu yang mengandung dan melahirkan. Segala aktivitas yang dilaksanakan di atas hamparan tanah adalah bukti penghormatan dan penghargaan terhadap eksistensi tanah sebagai ibu. Tanah, ibu telah diberi pakaian untuk menutupi seluruh tubuh. Siapa pun yang datang dari luar tidak akan diperkenankan sama sekali untuk begitu dengan leluasa mencopot, membuka, menyingkap dan menanggalkan pakaian tanah, ibu. Memperdagangkan tanah berarti melucuti pakian ibu sendiri.
Kosmologi, filsafat alam inilah yang menjadi landasan di balik tumpahan darah manusia atas nama perjuangan mempertahankan tanah. Pater Gabriel Maing, OFM, anak tanah Leragere mengatakan bahwa perjuangan rakyat Kedang-Leragere untuk menolak rencana tambang adalah upaya untuk mempertahankan ibu agar tidak dilucuti pakaian kehormatannya oleh “orang luar.” “Orang Kedang-Leragere percaya bahwa mereka dilahirkan oleh tanah, ibu dengan mengeluarkan darah dan air mata. Maka mereka tidak akan membiarkan orang luar untuk datang dan dengan seenaknya membuka pakaiannya. Inilah yang membuat mereka berjuang sampai titik darah penghabisan karena mereka mempertahankan darah dan daging sendiri,” katanya.
Kosmologi ini mesti menjadi landasan bagi setiap pejabat politik-birokratif untuk menggagas semua kebijakan publik. Ketidakpenghargaan pemerintah terhadap kemurnian kosmologi yang sekian abad dianut oleh warga hanya karena desakan keserakahan kuasa dan uang akan menempatkan pemerintah tersebut pada posisi tersudut dalam kancah kemanusiaan. Rakyat, perempuan, meski tampak lemah, tak berdaya, mudah diombang-ambing tapi berhadapan dengan kemurnian filsafat alam yang sangat menghargai kaum ibu, kaum perempuan, akan menyeruakkan gelora perlawanan dan menyemburkan gelombang penentangan yang militan dari “kelemahan” perempuan. Kaum ibu, kaum perempuan yang berjuang, yang bersuara, yang berteriak dari kelemahan dan ketakberdayaan sesungguhnya dengan cara yang amat sahaja sedang mempermalukan, menghina dan melawan arogansi kekuasaan politik maupun agama yang terbingkai dalam patriakhi dan maskulinitas.
Fakta memang telah membuktikan bahwa berhadapan dengan kekuasaan, rakyat, kaum ibu, kaum perempuan akan menuai kekalahan. Suara perempuan tidak akan sanggup menembus tubir keangkuhan kekuasaan patriarkhi dan maskulin yang dominan. Tangis perempuan boleh jadi tidak akan sedrastis itu mengubah kebijakan yang sepihak. Orasi perempuan dan kaum ibu memang tidak berdaya meruntuhkan kepongahan kaum laki-laki yang membingkai keotoriterannya dalam kekuasaan politik, birokrasi dan agama yang berwajah menindas. Artinya, yang lemah, tidak berdaya seolah-olah tidak mampu mengubah kemapanan yang arogan, militeristik dan pongah.
Tapi perlawanan yang digelorakan oleh kaum ibu, kaum perempuan adalah sebuah kritik paling tajam-meski itu bersumber dari “kelemahan”-terhadap struktur yang patriarkhis dan maskulinis. Suara itu menggambarkan kekuatan yang dashyat karena akan dinyanyikan secara bersahut-sahutan dalam ranah kemanusiaan yang universal. Suara seorang perempuan, ibu nun di Pulau Lembata yang meski terapung-apung di atas hamparan badan laut biru yang kadang bergolak akan didengarkan oleh semua manusia di segenap penjuru jagat ini. Suara kaum perempuan, jerit tangis kaum ibu yang gelisah, cemas dan takut karena akan kehilangan harapan tidak akan dibungkam oleh peredam suara apa pun dan tidak akan didiamkan meski lembaran-lembaran uang terus disebarkan dengan angkuh dan serakah. Suara perempuan, suara ibu adalah lengkingan gita kemanusiaan yang akan menerobos sekat-sekat SARA yang dibangun manusia berpikiran kerdil untuk membungkus tabiat jahat yang dalam kasus tambang Lembata coba digunakan oleh pihak pro tambang yang tentunya didukung oleh pemerintah sebagai sarana teror mental bagi rakyat yang menolak tambang dan pejuang kemanusiaan, meski cara itu tidak mempan, sia-sia dan hanya akan semakin menggumpalkan gelora jiwa untuk terus berjuang melawan semua bentuk represi yang menindas dan memenjarakan kemerdekaan. Cara yang digunakan oleh semua penguasa represip dan otoriter di mana pun itu ibarat membuang emas ke mulut babi yang tidak pernah dikumuri.

Natal: Hargai Hidup
Suara perempuan Lembata berhadapan dengan represi, arogansi dan kesewenang-wenangan pemerintah menghantar refleksi kita menuju Natal 2007. Natal 2007 kita rayakan di tengah kecemasan, kegelisahan dan ketakutan kehilangan harapan oleh rakyat dan kaum perempuan Lembata. Pulau Lembata dengan bingkai laut biru yang sekian abad memberi hidup terancam rencana tambang yang serakah. Di tengah kegelisahan, kecemasan dan ketakutan kehilangan harapan, cita-cita rencana tambang untuk menyejahterakan rakyat semakin menambah dalam dan panjangnya luka derita rakyat. Belum lagi sampai detik ini, berbagai teror, intimidasi, pembohongan dan rekayasa informasi terus menambah kegelisahan rakyat dan kaum ibu.
Masih adakah solidaritas, bahasa universal Natal menghiasi gua hati kita ketika kita mendengarkan nyanyian Natal yang sendu dan menyayat dari hati nurani kaum perempuan dan ibu di Lembata yang gelisah, cemas dan takut? Masih bisakah Natal 2007 ini menghantar mereka memasuki kepastian ketika rencana tambang yang disertai ancaman, teror, intimidasi dan pembohongan terus digalakkan oleh pemerintah? Mestikah Gereja kita diam, bungkam, tidak bersikap tegas dan jelas ketika ribuan nyawa dan jiwa umatnya di Lembata dilanda gelisah, cemas dan takut, bukan hanya karena rencana pemerintah yang represip, arogan dan intimidatif tetapi yang jauh lebih menyakitkan adalah bahwa kita, Gereja tidak memiliki sikap yang tegas dan menempatkan diri sebagai pihak yang tidak berani bersuara karena tidak ahli dalam bidang pertambangan, tidak mau merusak relasi “harmonis”dengan pihak penguasa-mungkin kita terlampau “dekat”-dan tidak mau melukai perasaan penguasa. Bukankah kita sedang merancang sebuah kedamaian yang semu dengan mengabaikan suara dan jerit tangis tak berdaya dari ribuan jiwa umat kita? Di manakah preferential option for the poor? Kapankah Gereja, kita semua menjadi voice of the voiceless? Bukankah ketika kita diam, bungkam, tidak bersikap tegas dan tidak mau melukai hati penguasa sesungguhnya kita sedang membahayakan tugas perutusan kita?
Inti perayaan Natal adalah pemihakan Allah yang tegas pada hidup. Pemihakan ini tampak dalam bahasa Allah yang menyapah kaum kecil serentak menghalau jauh-jauh ketakutan dan menepis kecemasan. Imanuel adalah kabar sukacita: Allah masuk dalam sejarah manusia dan lahir di sana dalam kesahajaan, kedamaian dan kekecilan. Kekecilan itu begitu nyata dalam palungan, tempat makan domba, para gembala sebagai golongan kecil menjadi corong warta-Nya, Yoseph, tukang kayu sederhana dan Maria, perempuan dusun. Apa artinya? Allah menyatakan pemihakan-Nya pada yang kecil, solidaritas pada yang papa dan serentak melawan kehendak untuk main kuasa (will to power), kehendak mau hanya cari nikmat dengan mengorbankan sesama (will to pleasure) dan kehendak mau memperalat serta melukai sesama secara politik.
Natal mestinya memberi inspirasi kepada siapa pun untuk berani berjuang melawan berbagai bentuk penindasan, penghambatan suara kebenaran, pembohongan informasi, intimidasi dan teror atas nama kekuasaan dan berbagai tindakan yang melukai nurani rakyat kecil. Allah menghargai manusia, membela dan memberi kekuatan untuk terus berjuang melawan kekuasaan politik mana pun yang membelenggu sesama atas nama kepentingan pribadi yang tidak pernah terpuaskan. Natal adalah saat di mana manusia diingatkan untuk menghargai suara rakyat, suara kaum perempuan, kaum ibu yang selalu diabaikan. Kita semua membangun sebuah jejaring persaudaraan dalam bahasa Natal yang sahaja, damai dan tenang.
Dalam bahasa Natal 2007 kita menuju tahun 2008 dalam harapan.

Biodata singkat:
Penulis menyelesaikan S-2 Teologi pada STFK Ledalero (2005), saat ini Redpel HU Flores Pos, mengajar di STPM St. Ursula, Ende, anggota tim pencerahan JPIC SVD-OFM dalam kasus tambang Lembata.

Tidak ada komentar: