Kamis, 30 Oktober 2008

TOLAK KOREM 1

*Mengapa Rakyat Tolak Korem/Batalyon?(1)
(Fp, 27/1/2008)
“Tanah Adalah Nyawa Kami”

Steph Tupeng Witin

Hari itu, Jumat, 28 Desember 2007. Jarum jam menunjuk angka 09.00 Wita. Berkas cahaya mentari menerobos rimbunan pepohonan kali Sangarambo, Desa Kerirea, Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Gemericik air kali yang lembut dan murni kala melumat bibir bebatuan kali yang berserakan tidak mampu menahan bara panas amarah yang memenuhi dua kubu yang berhadap-hadapan di atas lokasi sengketa yang menurut rencana sepihak akan diambil oleh TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan batalyon. Warga laki-laki Suku Paumere yang dipimpin Kepala Suku Andreas Bajo mengadang sekelompok warga yang mengaku diri sebagai “pemilik tanah” bersama aparat Kodim 1602 Ende, staf pertanahan Kabupaten Ende, Yakobus Wawo bersama temannya, dan staf Kecamatan Nangapanda, Aleks Raki dan Ahmad Liga. Pihak yang menyebut diri “pemilik tanah” antara lain Halim Umar, Tarum Tahir, Ismail Juma, Syahrir Sani, Usman Ga dan Ibrahim Jahur. Mereka tengah membersihkan jalur yang akan menjadi lokasi patokan pengukuran oleh staf pertanahan.
“Apa maksud kehadiran anda di lokasi garapan kami ini?” tanya Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo. Saat itu warga suku yang menjadi penggarap semakin banyak berdatangan memenuhi lokasi. Tensi emosi mulai naik. Suasana tegang kian meningkat.
“Kami datang untuk mengukur luas areal yang akan kami laporkan ke atasan kami. Pengukuran ini hanya langkah awal saja, bukan finish. Nanti kita kaji lagi, apakah lokasi ini layak atau tidak,” jawab seorang staf Kodim.
Berdasarkan informasi dari Panglima TNI di Jakarta, tanah yang akan diukur untuk dijadikan lokasi pembangunan batalyon itu sudah direkomendasikan oleh Indra Hasan. Siapa itu Indra Hasan? Menurut beberapa sumber, Indra Hasan berasal dari Palembang. Dulu, bapanya pegawai pamong praja yang kebetulan ditempatkan di Nangapanda. Indra Hasan saat Soeharto berkuasa dikenal oleh sebagian warga Flores sebagai “kaki-tangan” Tomy Soeharto saat mengelola Humpuss Group. Bahkan disinyalir, “orang-orang besar” Kabupaten Ende yang tampaknya “merestui” kehadiran korem/batalyon dikenal sering “keluar-masuk dan makan minum” di rumah Indra Hasan di Jakarta. Semua taktik ini tampaknya dijalankan sebagai argumen logis untuk meluncurkan roda kehadiran korem/batalyon di Flores umumnya dan Ende khususnya.
Menurut Melky Koli Baran, mantan reporter SKM DIAN dulu, Indra Hasan sangat dihormati oleh bupati-bupati yang memang saat itu “ketakutan” saat Soeharto berkuasa. “Saat berkunjung ke Flores Timur dulu, dia disambut oleh Bupati Munthe yang melukiskan Indra Hasan sebagai sosok pemuda Flores yang berprestasi dan patut diteladani oleh generasi muda Flores,” katanya saat ditemui di Kantor FIRD, Jl. Kokos Raya no 17, Perumnas, Ende, Sabtu (5/1) lalu. Menurut Andreas Bajo, Indra Hasan mengaku mempunyai tanah di Nangapanda yang merupakan milik pamannya, almarhum Taher Gedu. Tanah itu telah diserahkannya kepada TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan lokasi korem/batalyon.
Menurut Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo, pagi itu sebelum ke lokasi, Danposramil Nangapanda, Tahir mendatangi rumahnya dan meminta kesediaannya untuk hadir di lokasi. “Saya katakan saya akan hadir di lokasi bersama warga tapi saya harus tahu dulu maksud dan tujuan kehadiran anda semua di lokasi milik suku kami. Setelah itu saya langsung bergerak menuju ke lokasi,” katanya.
Ratusan warga penggarap yang mengadang saat itu tidak dipaksa oleh siapa pun. Mereka hadir di lokasi sebagai ungkapan rasa memiliki lokasi yang sekian generasi menghidupi keluarga mereka. Warga penggarap berhak mempertahankan hak miliknya dari gangguan “orang-orang luar” yang berupaya memakai “orang dalam” untuk menghancurkan persaudaraan dan menguasai tanah rakyat.
“Suasana memang sempat tegang tapi rakyat penggarap menahan diri untuk tidak melakukan kekerasan. Kami tidak mengancam atau mengerasi siapa pun di lokasi. Kalau ada kata-kata, teriakan dan luapan emosi di lokasi, itu semata ungkapan emosi rakyat yang mempertahankan haknya dari gangguan orang lain,” katanya.
Setelah kejadian itu, pada Jumat sore,sekitar pukul 15.00 Wita, 4 polisi dengan pakaian biasa mendatangi kampung Guna, Desa Sangaroro dan bertemu dengan warga, Damianus Didi. Mereka menanyakan peristiwa pada 28 Desember 2007 itu. Para polisi ini mempertanyakan kepemilikan tanah yang disengketakan itu. “Saya katakan bahwa kami hanya penggarap di atas lokasi itu. Terkait kepemilikan lokasi itu jangan tanyakan kepada kami. Tanyakan langsung saja kepada Kepala Suku Paumere di Nangapanda,” kata Didi. Para polisi itu berusaha bertemu Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo di Nangapanda tapi ia sedang tidak berada di rumah. Pada Rabu (2/1), 3 polisi kembali mendatangi rumah Kepala Suku Paumere di Nangapanda untuk meminta informasi. Berhubung kepala suku tidak berada di tempat, para polisi yang mengaku “intel” itu bertemu dengan Mus Kundu di jalan dan mengajak dia untuk berbicara di warung makan Nangapanda. Para polisi itu meminta informasi terkait peristiwa pengadangan warga pemilik tanah di loaksi itu. “Saya katakan bahwa warga resah dengan rencana pembangunan korem/batalyon di lokasi tanah mereka dengan tujuan yang tidak jelas. Kami baru tahu dengan jelas bahwa ada rencana pembangunan korem setelah bertemu dengan Camat Nangapanda, Gabriel Da di Kantor Camat Nangapanda. Terkait status tanah, saya katakan lokasi itu merupakan tanah persekutuan adat seluas 6000 hektare yang berada di bawah kepemilikan kepala suku bersama 6 mosalaki yang digarap oleh warga sejak turun temurun. Tanah itu hanya boleh digarap dan tidak untuk diperjualbelikan kepada siapa pun dengan harga berapa pun,” kata Mus Kundu.
Lokasi yang diserahkan oleh sosok “pewaris tunggal” Indra Hasan kepada panglima TNI untuk dijadikan lokasi pembangunan korem/batalyon itu mencakup wilayah Desa Ndeturea dan Sangaroro. Lokasi itu seluas 2000 hektare. Utara berbatasan dengan Mboturoga, selatan berbatasan dengan Rakatupa, timur berbatasan dengan Oba dan barat berbatasan dengan Mero 1 dan Mero 2. Wilayah itu sangat-sangat subur.Di lahar garapan warga itu berdiri dengan subur dan hijau aneka tanaman perdagangan rakyat: kelapa, kopi, coklat, pisang dan sebagainya. Ketika Flores Pos mengunjungi lokasi itu, Sabtu (5/1) lalu, tanaman coklat sedang berbuah lebat dan ranum. Beberapa perempuan sedang memeriksa buah kakao yang mulai matang untuk dipetik.
Menurut Kepala Suku Paumere, Andreas Bajo, tanah yang diklaim Indra Hasan sebagai “pewaris tunggal” itu tidak diperjualbelikan kepada siapa pun. Warga akan mempertahankan tanah itu sebagai nyawa bahkan dengan mempertaruhkan nyawa sekalipun kalau memang itu menjadi tuntutan. “Indra Hasan itu orang Palembang, pendatang yang mencari makan di tanah kami ini. Di mana ia mendapat kuasa tanah? Kemenangan di pengadilan bahkan sampai tingkat Mahkamah Agung sekalipun itu sarat dengan rekayasa dan manipulasi hukum, tidak akan menggentarkan kami. Sejengkal tanah pun tidak akan kami serahkan kepada siapa pun.”
Menurutnya, selama ini pengelolaan tanah milik suku itu berlangsung aman dan damai. Kemenangan pengadilan sudah terjadi pada tahun 1974. Kemenangan itu hanya terkait dengan soal penggarapan di atas lokasi dan tidak untuk diperjualbelikan kepada siapa pun. “Tetapi persaudaraan dan kekeluargaan kami selama ini hancur dengan kehadiran “pihak luar” melalui tangan jahat Indra Hasan yang mengaku pewaris tunggal tanah kami. Kami tidak kenal dia,” katanya.
Rosalia Rupa yang mengaku menggarap lokasi di Arawea mengatakan, tanah garapannya dipenuhi dengan tanaman kelapa, kopi dan coklat yang selama ini menghidupi keluarga dan membiayai pendidikan anak-anaknya. “Tanah adalah nafas hidup kami. Kalau tanah itu diambil, kami kerja di mana lagi? Kami tidak akan serahkan tanah kepada tentara-tentara itu. Mereka datang untuk apa di sini? Kami selama ini sudah hidup aman,” katanya.
Elisabeth Dia menambahkan, tanah adalah sumber kehidupan yang mesti dipertahankan, apa pun taruhannya. “Kami tidak hidup dengan uang yang dibayar berapa pun banyaknya. Selama turun temurun kami banting tulang, kerja keras, berkeringat dan hidup di atas tanah ini,” katanya.

Tidak ada komentar: