Selasa, 21 Oktober 2008

untuk lembata

Memahami Rencana Penolakan Tambang Lembata

MANTAN Kapolda NTT, Brigjen Polisi Drs. Robertus Belarminus Sadarum,S.H., membuat pernyataan yang sama sekali tidak mengejutkan publik Lembata, khususnya rakyat Kedang-Leragere, aktivis kemanusiaan dan rohaniwan yang terlibat dalam advokasi masalah tambang Lembata (Pos Kupang, Rabu, 14/5/2008). Ia menitipkan masalah tambang kepada Pemkab Lembata, mempertanyakan substansi keterlibatan kaum rohaniwan dan meminta Pemkab Lembata memfasilitasi penyelesaian masalah tambang.
Mengapa pernyataan ini sama sekali tidak mengejutkan? Pertama, pernyataan ini meluncur dari mulut seorang pejabat publik NTT yang (maaf, barangkali saya salah) selama ini bungkam, bahkan asing dengan persoalan tambang Lembata. Saya (sekali lagi, maaf) setelah membolak-balik lembaran-lembaran media NTT khususnya Flores Pos dan Pos Kupang tidak menemukan satu kalimat pun pernyataan Kapolda Sadarum yang menunjukkan kepeduliannya sekaligus pemahaman yang substansial terkait masalah tambang Lembata. Paling-paling imbauan 'biasa' agar menciptakan suasana kondusif di Lembata.
Kedua, pernyataan ini sama sekali tidak mengejutkan karena diungkapkan oleh Sadarum saat berpamitan dengan Pemkab Lembata. Apalagi foto di samping kanan menggambarkan Sadarum tengah bertukar cindera mata dengan Bupati Ande Manuk. Inilah 'tradisi' akhir masa jabatan pejabat publik di NTT: bersafari untuk berpamitan sekaligus mengeluarkan pernyataan 'terakhir' yang tidak pernah tidak akan 'menyenangkan' pejabat setempat yang dalam kasus tambang Lembata semakin tergerus kredibilitasnya dan kian gamang eksistensi birokratisnya di hadapan legitimasi rakyat Lembata. Boleh jadi, pernyataan Sadarum membahasakan 'kebahagiaannya' karena telah 'berpartisipasi' dalam mendudukkan persoalan tambang Lembata pada posisi yang hanya menunjukkan bahwa pemahamannya tentang kasus tambang Lembata masih harus terus diperdalam, juga ketika Sadarum meninggalkan NTT.
Ketiga, pernyataan Sadarum merupakan sebuah kritik konstruktif terhadap Pemkab Lembata yang dalam kasus tambang sangat mengabaikan suara rakyat dan menutup pintu untuk ruang dialog yang solutif. Tulisan ini sekadar komentar dan tanggapan atas pernyataan Sadarum tersebut sekaligus ruang pencerahan bagi semua pejabat publik yang banyak kali memberikan komentar 'seperlunya' yang kemudian jelas terbaca betapa amat sedikit pemahamannya atas masalah yang dikomentarinya. Sebuah pernyataan politik yang miskin back ground masalah. Boleh jadi, sekadar lipstik politik akhir masa jabatan yang sekaligus mengungkapkan 'misteri' sikap diam dan bungkam yang sebenarnya lebih jauh menyembunyikan keengganan, mungkin juga 'ketakutan terstruktur' untuk masuk dalam persoalan yang lebih intens.
Argumen yang tenar adalah setiap kabupaten itu otonom. Tetapi otonomi itu hilang ketika yang tampil adalah masalah kemanusiaan. Inilah 'alergi' setiap pejabat publik. Pertama, Sadarum menitipkan masalah tambang Lembata. Kata 'titip' membahasakan pengalihan tanggung jawab yang telah lama diemban kepada pejabat baru. Pernyataan ini membuka mata publik bahwa Kapolda Sadarum telah lama intens dalam penanganan masalah tambang. Ia telah lelah dan sudah tiba saatnya untuk mengalihkan 'kelelahan' itu kepada pejabat baru. Sepintas terbaca, Sadarum sangat empati dengan persoalan tambang. Boleh jadi, selama ini persoalan tambang menjadi fokus perhatiannya. Tetapi penanganan konkret untuk menjembatani ruang silang sengketa antara Pemkab Lembata yang berhadapan dengan rakyat, aktivis dan rohaniwan hingga menepinya masa jabatannya di NTT ini belum tiba juga. Mungkin masih dalam perjalanan 'mengelilingi' NTT.
Rakyat Kedang-Leragere adalah orang-orang kampung sederhana yang hidup dari tanah dan tanaman tetapi saat ini terancam tergusur, akan dipindahkan secara arogan dan otoriter oleh Pemkab Lembata tetapi Sadarum hanya 'titip' pesan kepada Pemkab Lembata yang nota bene menjadi pihak yang hingga detik ini tidak berdaya menghadapi gelombang penolakan rakyat Lembata. Pemkab Lembata saat ini telah kehilangan kepercayaan dari sebagian besar publik Lembata hanya karena 'keangkuhan birokratis' untuk tidak mau mengakui bahwa mereka salah dalam kebijakan tambang. Di tengah situasi seperti ini, setiap pernyataan pejabat publik tidak akan begitu gampang dipercaya. Apalagi pernyataan Sadarum pada akhir masa jabatan itu terasa 'asing' dari derita, ketakutan, kegelisahan dan air mata perjuangan rakyat Kedang-Leragere. Bapak Kapolda, Pemkab Lembata tidak sanggup menghadapi rakyatnya sendiri. Ruang dialog ditutup oleh pemerintah.

Pasal 33 UUD '45 ditafsir begitu sederhana hanya untuk menjual tanah Lembata kepada investor yang serakah dan tamak. Mengapa Bapak Kapolda menitipkan masalah tambang kepada Pemerintah Lembata yang sebenarnya tidak berdaya dan kehilangan energi untuk duduk dan bicara bersama dengan rakyatnya sendiri?
Kedua, terkait keterlibatan rohaniwan dalam solidaritas perjuangan bersama rakyat Lembata, Sadarum mengeluarkan pernyataan: rohaniwan terlalu jauh terlibat dalam mengurusi masalah tambang. Bahkan dengan gaya 'bapa rohani' Sadarum mengajak kalangan rohaniwan kembali ke tugas utama sebagai gembala umat. Saya pikir, pernyataan Sadarum merupakan pandangan tradisional pada abad-abad awal gereja yang sudah kedaluwarsa, ketinggalan zaman karena pandangan gereja itu sudah berubah seiring dengan perkembangan zaman (konteks) yang menuntut keterlibatan gereja. Seorang gembala harus peka dengan ketakutan, kegelisahan dan kecemasan umat. Dia tidak bisa menjadi asing dengan kehidupan umat. Keberpihakannya mesti jelas sebagai tanggapan atas tuntutan dan desakan konteks. Gembala hadir untuk bersuara, berjuang, membela, bahkan dalam kasus tambang Lembata mesti membangun 'perlawanan damai' ketika rakyat diinjak-injak, ditindas dan diperlakukan sebagai obyek murah dalam proses pembangunan. Gembala dituntut untuk berada di tengah umat, peka membaca kenyataan dan merumuskan keterlibatan konkret. Gembala tidak bisa berdiam diri di pastoran, biara, rumah ibadat dan membuat upacara liturgi tetapi pada saat yang sama umatnya begitu gelisah, takut, diancam, diteror, diintimidasi oleh kekuasaan.
Yesus Kristus yang hidup di Palestina pada abad pertama masehi telah terlibat dalam kehidupan sosial. Palestina kala itu didera krisis politik. Pajak-pajak diperkenalkan negara dan tuntutan kenisah membebani masyarakat. Kekuatan ekonomi dan kesejahteraan jatuh ke tangan sejumlah anggota kelas imam Yahudi dan aristokrat awam.
Penguasa Romawi memperkenalkan satu sistem pengolahan tanah yang menggunakan budak-budak. Petani bergeser menjadi masyarakat terpinggirkan. Singkatnya, Palestina kala itu ditandai oleh krisis dan ketegangan pada hampir semua bidang kehidupan. Di sinilah Yesus dan gerakanNya muncul. Ia berikhtiar membaharui orang-orang Yahudi dan institusi mereka agar lebih setia pada rencana dan kehendak Allah.
Gambaran 'Kerajaan Allah' berkonotasi politik yang membangkitkan relevansi bagi siapa saja yang menantikan perubahan. Pesan ini mengandung nilai universal dan inklusif. Pelayanan publik sangat dicirikan oleh keberpihakannya pada orang miskin dan terpinggirkan, yang nasibnya seringkali ditentukan oleh agama dan negara. Kedatangan, kehadiran dan gerakanNya 'yang merangkul' merupakan permulaan tahun Yubileum, tahun pembebasan.
Terkait tambang Lembata, para pastor Dekenat Lembata paling pertama mengeluarkan sikap menolak rencana tambang. Inilah sikap gembala yang peka dan tanggap dengan persoalan umatnya. Sikap ini didukung oleh Komisi Keadilan, Perdamaian dan keutuhan Ciptaan (JPIC) SVD dan OFM yang turun ke tengah umat memberi pemahaman tentang tambang berdasarkan sejarah dan pengalaman pertambangan di belahan dunia ini. Keterlibatan atas nama kemanusiaan ini menerobos sekat-sekat primordial atas nama wilayah, agama, suku dan golongan. Kehadiran kaum rohaniwan ini bukan karena membenci pemerintah melainkan memberikan informasi yang benar tentang tambang sekaligus 'melawan' informasi pemerintah yang hanya mengedepankan hal-hal yang positif tentang tambang, padahal daya rusak terhadap lingkungan sangat dahsyat dan dampaknya terhadap hidup sosial sangat besar. Kaum rohaniwan telah berupaya membuka ruang diskusi dan dialog dengan pemerintah, tetapi selalu gagal di tangan pemerintah. Padahal kalau tambang menjadi masalah serius di Lembata, mestinya ruang dialog harus dibuka.
Pemerintah Lembata sangat tertutup dengan masalah tambang. Bahkan DPRD Lembata pun bukan lagi wakil rakyat tetapi wakil tambang. Seminar nasional tambang pada Sabtu (3/5/208) lalu pun tidak dihadiri oleh pemerintah. Asisten Witak hanya membuka dan langsung meninggalkan ruang seminar. Wakil bupati sedianya yang membuka seminar tetapi tidak hadir setelah mengulur waktu satu jam. Padahal seminar itu merupakan sebuah ruang bersama di mana kita bisa duduk bersama dan berbicara, berdiskusi tentang tambang Lembata. Sudah saatnya rakyat tidak lagi dibodohi oleh kebijakan pembangunan apa pun yang sangat mengabaikan suara mereka. Penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Pemkab, DPRD Lembata dan Merukh di Hotel Kemang, Jakarta pada 26 Agustus 2006 itu dilakukan secara sepihak tanpa diketahui rakyat Lembata. Rakyat Lembata baru tahu bahwa pulaunya 'dijual' ketika dimulai rencana pertambangan. Apakah rakyat Lembata memilih bupati dan wakilnya untuk kemudian 'menjual' Lembata kepada investor?
Pemerintah selalu berargumen bahwa tambang adalah solusi kesejahteraan rakyat Lembata yang miskin tetapi mengapa rakyat menolak? Kaum rohaniwan menjalankan peran kenabian juga dalam kesadaran penuh sebagai warga negara dan warga Kabupaten Lembata yang memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Pemerintahan yang matang siap menerima masukan, kritikan bahkan perlawanan sepanjang itu diperjuangkan dengan santun dan terfokus pada kepentingan publik. Dalam konteks sebagai warga negara, kebebasan berpendapat, berbicara, berdiskusi dan mengeluarkan pendapat termasuk berdemonstrasi bersama rakyat dijamin oleh UUD 45. Ketika Kapolda Sadarum menyatakan keheranannya atas keterlibatan rohaniwan khususnya dalam demonstrasi menentang kebijakan tambang, maka tampaknya pemahaman sebagai warga negara belum kelihatan. Menyatakan bahwa rohaniwan yang nota bene warga negara tidak boleh berdemonstrasi melawan kebijakan pemerintah yang otoriter dan sepihak jelas melanggar undang-undang. Demonstrasi adalah salah satu bentuk pengungkapan pendapat kepada pihak lain dan itu dijamin oleh undang-undang. Mengapa Polda heran atas keterlibatan rohaniwan dalam demonstrasi? Ketiga, Sadarum mengimbau Pemkab Lembata untuk memfasilitasi penyelesaian masalah tambang agar tidak menimbulkan kerawanan sosial. Imbauan seperti ini sudah usang dan merupakan lagu lama yang telah sekian lama diupayakan oleh berbagai pihak yang peduli. Rakyat Kedang dan Leragere sudah berulangkali hendak berdialog tetapi pemerintah tidak memiliki waktu. JPIC SVD-OFM meminta waktu untuk bertemu tetapi pemerintah selalu ada alasan untuk menyatakan sibuk. Penulis berpikir, mengapa Sadarum tidak mengambil inisiatif langsung membangun mediasi dan dialog antara pemerintah dengan rakyat Lembata? Mengapa Sadarum hanya singgah sebentar di Lembata dan hanya sekadar 'menitipkan' masalah tambang untuk diurus? Bukankah 'titipan' itu hanya semakin menambah beban pada pundak Pemkab Lembata yang tertimbun berbagai persoalan yang belum tuntas diselesaikan?
Rakyat Lembata hingga detik ini tetap menjaga keamanan dalam masyarakat. Masalah tambang telah membelah tubuh Lembata menjadi dua pihak yang saling berhadapan. Relasi sosial di lokasi tambang khususnya di Kedang sangat rawan memunculkan konflik dan kekerasan. Teror, intimidasi, aksi penyuapan, sosialisasi hanya pada kelompok tertentu, penyebaran isu agama, klaim kepemilikan tanah secara liar dan aksi 'mendekati' kelompok tolak tambang berlangsung begitu telanjang. Bahkan ziarah pencerahan JPIC SVD-OFM ke wilayah Kedang dihadang kelompok penerima tambang, dilempari batu saat kegiatan, staf Kesbanglinmas Lembata terus 'mengintipi' kegiatan para pastor dan beberapa kepala desa berupaya menggagalkan kegiatan pencerahan hanya karena dengan lugu 'menjalankan perintah atasan.' Abu Samah, pemilik ulayat Puakoyong, Kedang mengaku pernah ditawari uang Rp10 miliar oleh pemerintah melalui wartawan KUPAS agar menyerahkan tanah untuk dijadikan lokasi tambang dan berbagai aksi murahan yang getol dikampanyekan oleh pemerintah hanya untuk menguras energi, memancing emosi dan menyulut aksi kekerasan. Syukur bahwa hingga detik ini Lembata tampak dari luar begitu damai, aman dan tenang tetapi rakyat Leragere dan Kedang tengah diamuk gelisah, kecemasan, ketakutan dan ketidakberdayaan. Isu-isu sesat ramai dilemparkan hanya untuk menambah kegelisahan rakyat. Semua pihak diharapkan untuk berpikir jernih dan mencari solusi damai atas masalah tambang Lembata. Atas nama kemanusiaan, Lembata milik semua orang. Mari kita satukan gagasan, kita rekatkan pikiran dan kita rajut masa depan Lembata dengan bertumpu pada konteks pertanian, peternakan, perikanan/kelautan, pariwisata dan sebagainya. Kemiskinan rakyat Lembata jangan dijadikan komoditi untuk 'memasarkan' kebijakan yang tidak populis demi meloloskan rencana tambang sekaligus membuka pintu Lembata bagi hadirnya kehancuran dan kemiskinan yang lebih besar lagi.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

tulis tentang kampung terus e!!!!
awas nepotisme dan sukuisme nanti, hehehe tapi teruslah menulis!! semua pasti mendukungmu