Kamis, 30 Oktober 2008

TOLAK KOREM 2

*Mengapa Rakyat Tolak Korem/Batalyon (2)
(FP, 28/1/2008)
“Kami Sudah Lama Hidup Aman”

Steph Tupeng Witin

Korem. Nama itu sudah tidak asing lagi dalam pendengaran masyarakat Flores-Lembata. Nama itu sudah tenar sejak terlepasnya Timor Timor dari “jajahan” tentara Indonesia. Korem mengembuskan makna: sekelompok tentara berpakaian loreng akan memasuki tubuh pulau ini. Bukan untuk menghijaukan pulau ini, tentunya. “Demi menjaga keutuhan wilayah. Kita berbatasan dengan Australia dan Timor Leste. Kita menjaga pulau-pulau agar tidak diambil oleh negara lain.” Alasan-alasan “kuno” inilah yang sering terlontar dari bibir petinggi TNI. Pertanyaan yang mengemuka adalah kenapa kita begitu takut dengan negara lain di era politik keterbukaan ini? Apakah kita kurang kerjaan?
Rakyat Flores akhirnya bersatu menolak kehadiran Korem pada tahun 1999. Itu sejarah yang terekam dalam degup perjuangan sipil. Tapi sejarah itu tidak pernah mengendurkan saraf petinggi TNI untuk senantiasa berupaya menancapkan kuku militernya di atas hamparan nusa bunga nan elok ini. Pada tahun 2006, rakyat Kuru, Kecamatan Moni, Kabupaten Ende menolak kehadiran korem/batalyon yang berawal dari penyerahan tanah oleh sebagian warga yang menjadi penggarap. Padahal tanah yang diserahkan oleh mosalaki hanya untuk digarap, bukan untuk diperjualbelikan. Aparat TNI akhirnya “angkat kaki sementara” dari bumi Ende sare Lio pawe ini. Pertengahan 2007, warga Flores kembali dikejutkan dengan rencana kehadiran korem/batalyon di Mbay, Kabupaten Nagekeo. Rencana kehadiran korem.batalyon memang senantiasa menyulut pro kontra di kalangan rakyat akar rumput. Terutama terkait dengan penyerahan tanah yang cuma diwakili oleh segelintir orang yang kebetulan memiliki kuasa dan akses ke jubah militer. Rencana kehadiran korem/batalyon di Nagekeo kemudian seakan menghilang di tengah rimba.
Pada akhir Desember 2007 lalu rakyat Flores khususnya Ende dikejutkan dengan berita rencana kehadiran korem/batalyon di Kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende. Rencana ini sangat mengagetkan warga, terutama Suku Paumere bersama ketua suku dan para mosalaki yang selama ini menjadikan tanah itu sebagai nafas dan nyawa hidup mereka. Hal yang paling mengherankan warga adalah munculnya nama Indra Hasan yang mengaku diri sebagai “pewaris tunggal” yang merasa sangat berhak memperjualbelikan tanah itu dengan petinggi TNI di Jakarta. Kehadiran staf Kodim 1602 Ende di lokasi bersama staf Koramil Nangapanda, petugas BPN Kabupaten Ende, staf kecamatan dan warga yang mengaku pemilik tanah pada Jumat, 28 Desember 2007 tidak diketahui warga. Warga yang mengadang karena mempertahankan haknya atas tanah dilaporkan “telah melakukan perbuatan yang tidak menyenangkan.” Aparat kepolisian tampaknya sigap menanggapi laporan ini dengan menggelar pemeriksaan dan penyelidikan kepada Ketua Suku, Andreas Bajo dan beberapa warga yang diancam akan ditahan. Tapi bukankah tindakan mengukur tanah secara mendadak tanpa maksud yang jelas dan diketahui rakyat itu jauh lebih tidak menyenangkan rakyat kecil? Kepentingan apa yang sebenarnya sedang bermain dan dimainkan oleh “orang-orang besar” Kabupaten Ende kepada rakyat? Apakah kehadiran korem/batalyon dimungkinkan begitu saja hanya karena seseorang menyerahkan tanah untuk dijadikan lokasi? Apakah urusan korem/batalyon itu cuma hak satu orang atau keluarga? Apakah hanya karena seseorang yang mengaku sebagai pemilik tanah telah menyerahkan tanah lalu petinggi TNI “percaya diri berlebihan” dan menyatakan rakyat telah menerima kehadiran korem/batalyon? Mengapa rencana pembangunan korem/batalyon terkesan sangat dipaksakan dan dilakukan secara tertutup? Kapan sosialisasi telah dilakukan secara terbuka kepada rakyat?
Menyimak sejarah penolakan kehadiran korem di nusa bunga sejak tahun 1999 hingga tahun 2008, tampaknya aparat TNI begitu nekat untuk hadir di wilayah Flores. Sejarah kehadiran korem di Flores selalu identik dengan penolakan yang keras dari segenap elemen masyarakat Flores. Rakyat menyatakan sikap: tidak menghendaki kehadiran tentara dalam jumlah besar tanpa argumentasi kehadiran yang benar, logis dan sosialisasi yang transparan. Rakyat tidak akan menerima keputusan itu kalau pada saat yang sama tanah rakyat diambil dan rakyat disingkirkan dengan tragis dari atas tanah yang sekian tahun, turun temurun menghidupinya. Pembangunan tidak identik dengan penyingkiran. Korem tidak hadir hanya untuk satu orang atau satu keluarga hanya karena mereka menyerahkan tanah. Kita pantas untuk curiga: jangan-jangan rencana korem hanya diboncengi nafsu politis untuk menguasai rakyat.
Meski mayoritas rakyat dan elemen menolak kehadiran korem/batalyon, Dandim 1602 Ende, Letkol Inf. M. Shokil kepada wartawan Flores Pos, Hironimus Bokilia di kediamannya, Jl. Soekarno, Minggu (6/1) dengan percaya diri menyatakan bahwa masyarakat sudah menerima dengan baik kehadiran TNI di Kecamatan Nangapanda. Menurutnya, pemilik tanah sebenarnya sudah bersedia menyerahkan tanahnya untuk pembangunan satuan batalyon. Publik sudah tahu bahwa tanah itu bermasalah karena tanah itu milik suku dan hanya diperuntukkan untuk digarap, bukan untuk diperjualbelikan kepada siapa pun. Malah Dandim menyatakan bahwa pihak TNI siap membantu menyelesaikan konflik tanah itu sampai tuntas dan setelahnya dilanjutkan dengan rencana pembangunan satuan batalyon di Nangapanda.
Pertanyaannya adalah apakah penyerahan tanah secara pihak dan bermasalah itu sudah melegitimasi opini bahwa rakyat sudah menerima kehadiran TNI? Masyarakat yang menerima kehadiran TNI tentunya pihak yang menyerahkan tanah itu kan? Apakah ini rasional dan mewakili seluruh rakyat? Apakah kehadiran korem/batalyon hanya untuk kelompok yang menyerahkan tanah itu? Sebagaimana diketahui, Dandim Shokil baru beberapa waktu ada di Ende tapi dia sudah menyatakan bahwa kehadiran TNI sudah diterima masyarakat. Bahkan menurutnya, pembangunan batalyon di Nangapanada tidak ada masalah. Tapi surat penolakan masyarakat Suku Paumere beberapa waktu lalu dan demonstrasi penolakan rencana pembangunan korem/batalyon di Flores Lembata oleh Barisan Gerakan Demokrasi (Brigade) Ende, Jumat (18/1) lalu sudah membuktikan bahwa kehadiran korem.batalyon atau apa pun istilah militernya justru menuai masalah baru: munculnya konflik di tengah Suku Paumere. Inikah yang menurut Dandim tidak ada masalah?
Menurut Hendrik Reku, selama ini secara turun temurun warga mengarap tanah dengan aman, tanpa ada kekacauan. Proses hukum sudah selesai pada tahun 1974 dan warga tetap menggarap tanah dengan damai. “Selama ini warga bekerja dengan biasa-biasa. Aman. Kenapa masalah ini baru muncul sekarang? Keretakan dalam suku mulai muncul sejak kehadiran rencana pembangunan korem/batalyon di Nangapanda. Kepentingan dari luar inilah yang menghancurkan persatuan dan persaudaraan yang telah lama dibina. Tanah yang ada hanya untuk digarap, tidak untuk diperjualbelikan. Kalau tidak mau lagi bekerja, silahkan keluar dari tanah itu karena masih ada orang lain yang menggarapnya,” katanya.
Ketua Suku Paumere di Nangapanda, Jumat (25/1) tegas mengatakan, warga tidak akan merelakan sejengkal tanah pun untuk diserahkan kepada TNI. Tanah garapan itu menjamin hidup warga secara turun temurun. “Tanah yang digarap saat ini saja masih kurang untuk jumlah warga yang terus bertambah. Kami tidak akan serahkan sejengkal tanah pun. Kalau rencana pengukuran tetap dipaksakan, rakyat akan tetap mempertahankan haknya. Kami minta pemerintah dan TNI jangan memaksakan kehendak. Pemaksaan kehendak sama dengan mengadudomba warga. Kami sudah lama hidup aman dan damai. Kehadiran rencana batalyon/korem menghancurkan persaudaraan kami. Kami tidak akan menyerahkan tanah kepada TNI,” katanya.
Berdasarkan sejarah rakyat Flores, korem, batalyon atau mungkin esok akan diganti dengan nama militer apa pun, sudah ditolak dengan keras. Selama ini hanya segelintir elite lokal yang “kurang percaya diri” dan memiliki nafsu politis murahan yang memfasilitasi rencana kehadiran TNI di Pulau Flores. TNI memang sudah lama mereformasi diri. Tapi dalam aspek rencana penempatan dan pembangunan korem semangat reformasi itu kosong. Pertanyaan sederhana: kehadiran korem/batalyon itu berdasarkan aspirasi siapa? Mengapa sejarah rencana kehadiran TNI di Pulau Flores selalu identik dengan penolakan rakyat? Mengapa rakyat menolak? Kiranya pertanyaan-pertanyaan ini menjadi bahan refleksi bagi aparat TNI saat melewatkan jam-jam penantian tanpa akhir itu.

Tidak ada komentar: