Jumat, 09 Januari 2009

Ondorea


Foto: Steph Tupeng
Inilah contoh batu marmer yang sudah digali di Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende yang dipotret beberapa waktu lalu di lokasi penambangan. Kenikmatan pengusaha membawa kehancuran hidup.
____________________
*Seputar Penolakan Rencana Tambang Marmer di Nangapenda (1)
Tolak Kebohongan, Penipuan dan Manipulasi

Oleh Steph Tupeng Witin


Bukit yang terletak di kampung Tiwutora, Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda itu telah digaruk alat berat dua tingkat. Lokasi itu seluas kurang lebih 48.852 meter persegi dan belum bersertifikat. Sesuai data yang dikeluarkan oleh Dinas Pertambangan Kabupaten Ende, wilayah itu berbatasan: utara dengan kali Puuwara, selatan dengan kali Aeteka, timur berbatasan dengan tanah suku tanah Djea dan barat berbatasan dengan jalan raya Puukungu-Maukaro. Menurut naskah perjanjian sewa lahan yang ditandatangani pihak pertama atas nama Domi A. Djuma Pani Pesa, Yoseph Madi dan Willy D. Woda dengan pihak kedua, Sulipto Gunawan dan disahkan oleh Kepala DEsa Ondorea, Usman Hadji dan Camat Nangapenda, Gabriel Da, tanah seluas itu disewakan kepada pihak kedua untuk usaha produksi batu hijau bongkahan selama kurang lebih 25 tahun terhitung sejak 8 April 2008 sampai dengan 8 April 2033 dengan jasa sewa lahan sebesar Rp35 juta. Artinya, harga tanah itu sebesar Rp100 ribu perbulan.
Kawasan itu dilingkupi hutan lebat. Bukit-bukit sekitar menghijau. Sebagiannya telah dijadikan ladang. Di bagian bawahnya berdiri sebuah rumah dengan atap terpal. Alat berat yang berlepotan lumpur diparkir di tanah tingkat dua bekas garukan. DPRD Ende telah meminta pengusaha untuk menghentikan aktivitas ilegal yang dilakukan oleh CV Floresinso Pratama Putra. Aktivitas penggarukan itu dilakukan tanpa mengantongi sebuah surat izin pun dari pemerintah. Analisis dampak lingkungan (Amdal) pun sampai saat ini belum tampak “batang hidungnya.” Tanah yang digaruk itu pun tidak disetujui oleh masyarakat. Tanaman rakyat berupa kakao, kopi, vanili, kemiri, pisang dan sebagainya digilas alat berat tanpa ampun. “Tanaman saya berupa coklat, pisang dan kemiri telah habis dibabat dan digilas alat berat. Tiba-tiba saya alat berat itu mulai bekerja. Kami mulai rasakan bahwa pengusaha itu membohongi dan menipu kami,” kata Kanisius Kako.
Menurutnya, Konflik sosial antara pemilik tanah dan penggarap dan antara pengusaha dengan masyarakat sekitar perlahan tersulut. Relasi sosial mulai terganggu. Warga selama ini hidup aman dalam rekatan relasi kekeluargaan yang erat. Sebagian tanah hasil garukan tumpah ke tengah jalan umum yang selalu dilewati warga. Bila tidak segera ditangani, gumpalamn tanah merah penuh lumpur itu akan menutupi tiga mata air yang terletak persis di bawah bukit yang selama ini menghidupi warga. “ Warga sekitar saat ini mulai merasakan keresahan sebagai dampak buruk dari rencana pertambangan itu. Hujan yang turun beberapa hari belakangan ini telah menghasilkan banjir yang tidak pernah kami alami sebelumnya. Para tukang ojek yang biasa melewati jalan itu mengeluh karena Lumpur tanah hasil garukan itu telah menutupi badan jalan setinggi 30 sentimeter.
Menurut Kristo Tato, sarana mata air sebagai kebutuhan utama warga Ondorea selama ini terancam tertutup material hasil garukan alat berat itu. “Warga selama beberapa generasi telah mnikmati mata air tanah itu untuk kelangsungan hidup. Tiba-tiba pengusaha mengatakan bahwa tiga mata air itu akan dialihkan untuk proses pertambangan marmer atau kermaik itu. Sebagai gantinya, pengusaha CV Floresindo Pratama Putra berjanji akan membangun sumur untuk rakyat. Untuk apa kami minum air sumur? Pengusaha itu juga menjanjikan bahwa pertambangan ini akan meningkatkan kesejahteraan masyaralat. Listrik akan hidup 24 jam. Kami tidak percaya dengan kebohongan dan penipuan melalui janji-janji “surga” seperti itu.”
Menurut Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi, rencana pertambangan marmer/batu keramik di Nangapenda sarat dengan kebohongan, penipuan dan manipulasi. Saat dialog di DPRD Ende, 10 Nopember 2008 pengusaha menginformasikan bahwa lahan yang akan dijadikan lokasi tambang itu merupakan lahan gersang dan tidak ada tanaman warga dan jauh dari pemukiman. Fakta, informasi itu hanya kebohongan yang coba dibangun oleh pengusaha pertambangan untuk meloloskan rencana pertambangan. “Lokasi itu sangat subur. Tanaman perdagangan memenuhi bukit itu. Lokasi itu merupakan lahan pertanian warga sekitar. Pengusaha pun menginformasikan bahwa tambang ini tidak mendatangkan dampak negatif bagi lingkungan dan masyarakat. Kita butuhkan hati nurani untuk membangun Ende. Bukan dengan kebohongan dan penipuan. Dampak-dampak negative mestinya dibicarakan secara terbuka sehingga ketika muncul tidak pihak yang melemparkan kesalahan dan tanggung jawab kepada pihak lain.”
Kepala Dinas Pertambangan Kabupaten Ende, Thomas R Benge mengatakan, proses pertambangan mesti dilalui di atas aturan/regulasi. Di Ngangapenda, rencana tambang belum memenuhi persayaratan. Mesti ada kompromi antara pengusaha dan masyarakat terkait jaminan kesejahteraan. Syarat utama yang harus dipenuhi pengusaha adalah analisis dampak lingkungan (Amdal). “Investasi ini mesti dalam kerangka kepentingan rakyat, bukan hanya untuk kepentingan perusahaan. Pihak investor diharapkan agar memberdayakan masyarakat,” katanya.
Kepala Bidang Hukum dan Pengendalian SDA pada Bapedalda Ende, Frans O. Nggaa mengatakan, tolok ukur dalam rencana pertambangan, apa pun skalanya adalah analisi mengendai dampak lingkungan (Amdal). Peraturan Pemerintah nomor 27 menegaskan bahwa semua pembangunan yang berdampak besar atau pun kecil harus melalui kajian mengenai dampak lingkungan. Dalam rencana pertambangan, hal pertama yang harus dilakukan oleh perusahaan adalah pembebasan lahan. Tanpa itu kajian apa pun tidak dapat dijalankan. Hingga saat ini belum ada upaya untuk untuk membuat kajian Amdal karena perusahaan belum mengajukan dokumen apa pun.
“Amdal itu dibuat oleh pemrakarsa yaitu perusahaan yang akan melakukan pertambangan, bukan dari Bapedalda. Kita hanya menilai dokumen Amdal yang diajukan oleh perusahaan yang dibuat dengan melibatkan perguruan tinggi, lembaga independent maupun LSM lingkungan hidup. Jadi, tidak ada yang tiba-tiba saja mulai kerja di lokasi tambang dengan mengabaikan aturan-aturan yang harus dilewati dalam proses pertambangan,” katanya.
Staf Bapedalda, Evi Rerho menegaskan bahwa rencana pertambangan mesti diawali dengan sosialisasi secara terbuka kepada seluruh masyarakat melalui pengedaran kuesioner untuk menjaring aspirasi masyarakat. “Hal ini bertujuan membangun kepercayaan dari masyarakat sehingga di kemudian hari tidak muncul pertentangan dan penolakan dari masyarakat.”
Apa pun perdebatan birokratis seputar proses pengurusan tahapan pertambangan, sikap masyarakat tegas: menolak rencana pertambangan marmer atau apa pun sebutan di atas lokasi garapan rakyat. Warga Ondorea, Yakobus Lukas mengatakan, hingga saat ini sikap masyarakat sudah jelas dan tegas: menolak rencana pertambangan marmer. Warga tidak merelakan lahan pertanian dihancurkan oleh pertambangan. “Proses perencanaan sangat tertutup. Keberadaan warga sangat diabaikan oleh perusahaan. Kalau tambang ini jadi, bagaimana dengan nasib kami yang selama ini menggarap di atas lokasi itu? Hal ini harus kami tahu dengan pasti. Kami minta pihak perusahaan membangun komunikasi dengan warga. Kerja tertutup bagaimana pun tapi bau yang busuk akan tercium juga.”
Warga lainnya, Kadir meminta pemerintah agar segera menghentikan rencana tambang marmer di Ondorea. Warga sudah beberapa kali menyuarakan aspirasi penolakan tambang. Pemerintah harus peka dengan suara rakyat. “Dalam proses ini rakyat merasa sangat dibodohi oleh investor. Kami tidak butuhkan uang investor. Kami butuhkan tanah untuk hidup. Kami minta investor menghentikan arogansi uangnya kepada kami.” *


*Seputar Penolakan Rencana Tambang Marmer di Nangapenda (2/Habis)
Bangun Ende dengan Kebohongan?

Oleh Steph Tupeng Witin


Ruang pertemuan Kantor Camat Nangapenda, Kamis (20/11) dipenuhi warga, aparat pemerintah dan aparat keamanan. Sebuah layar yang disorot di dinding menggambarkan rencana pertambangan yang akan dilaksanakan oleh PT Floresindo Pratama Putra. Kasak-kusuk segerombolan pemuda yang menolak rencana tambang berseliweran di halaman depan kantor camat. “Kami hadir di kantor camat ini hanya untuk tolak rencana tambang. Tidak ada negosiasi lain lagi. Tambang tidak mendatangkan manfaat bahkan menghancurkan tanah kami,” kata Kristo Tato.
Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan membawakan materi terkait tambang marmer dengan menggunakan layar. Paparannya disertai dengan gambar-gambar digital. Tentunya, ia menyiapkan bahan sosialisasi ini dengan tekun untuk menarik perhatian warga yang gencar menolak rencana tambang. Ia mengawali paparannya dengan menghadirkan potensi pertambangan di NTT umumnya dan Ende khususnya yang kaya dengan potensi kekayaan sumber daya alam tetapi masih tersembunyi dalam tanah dan belum dimanfaatkan secara maksimal. Rencana pertambangan marmer yang dilukiskannya sebagai bahan galian golongan C merupakan bagian dari komitmennya untuk membangun Kabupaten Ende.
Menurutnya, sebagai putra daerah, ia ingin mengembangkan potensi batu marmer yang ada di Ondorea ini untuk meningkatkan taraf kesejahteraan dan menciptakan lapangan kerja bagi warga Kabupaten Ende. Survey sudah dilakukan sejak Pebruari 2008 terkait kandungan deposit bongkahan batu hijau di Desa Ondorea, status kepemilikan tanah sarana dan prasarana penunjang seperti mata air, listrik, akses jalan lokasi pengolahan batu dan perkiraan dampak lingkungan dan pemukiman penduduk. Pihaknya sudah melaporkan hal itu kepada Dinas Pertambangan Kabupaten Ende dan Bupati Ende dengan surat permohonan SIPD tanggal 22 Pebruari 2008.
“Saya tidak bisa disalahkan dalam keseluruhan proses ini. Saya telah menyampaikan rencana pertambangan ini kepada Bupati Ende selaku kepala daerah. Proses dokumen sedang berjalan. Saya belum mendatangkan alat-alat berat untuk mulai bekerja. Substansi tambang belum disentuh. Saat ini kami sedang siapkan lokasi bangunan untuk perusahaan. Terkait dampak pertambangan, saya dan pekerja saya akan mengalaminya pertama. Saya hanya gusur bukit untuk membangun basecamp. Perusahaan pertambangan marmer ini akan mempekerjakan orang-orang lokal sehingga mendapatkan penghasilan tambahan. Pertambangan ini juga akan mengubah pola hidup masyarakat. Batu-batu marmer ini akan saya olah semuanya di sini. Kalau dikatakan bahwa saya dating untuk mencari untung, ya, memang saya harus cari untung. Masakan saya akan merugi? Saya tidak gila. Saya juga memikirkan keselamatan saya dan pekerja saya. Saya ajak, mari kita kerja bersama-sama membangun Ende. Saya komit untuk membangun Ende.”
Menurutnya, proses pengolahan batu marmer tidak dilakukan dengan bahan kimia sehingga pertambangan ini tidak akan mencemari lingkungan dan tanah. Debu hasil olahan batu juga tidak akan mendatangkan debu karena semuanya terserap ke dalam air. Memang pengolahan batu marmer akan membutuhkan banyak air. Ia mencontohkan, di Padalarang, air hasil pengolahan batu marmer dapat dialirkan untuk mengairi persawahan. Residu tidak akan mencemarkan air dan lingkungan. Malah, kata Sulipto tegas, air hasil olahan batu marmer ini akan menyuburkan tanah yang bias menjadi lahan pertanian yang menjanjikan bagi para petani. “Pengoalahan batu marmer yang akan kami buat di Ondorea dilakukan dengan sederhana dan dalam skala yang sangat kecil. Penambangan seperti ini jumlahnya ratusan di Pulau Jawa. Jangan bayangkan seperti di Buyat. Apakah anda pernah ke Buyat dan melihat semua itu?”
Kata-kata Sulipto ini membuat berang warga yang menghadiri ruang pertemuan Kantor Camat Nangapenda. Rakyat berteriak memintanya untuk menghentikan rencana pertambangan yang saat ini sudah mulai beroperasi tanpa sebuah surat izin pertambangan. Apalagi, Amdal sebagai syarat utama sebuah rencana pertambangan hingga saat ini belum diproses sementara penggarukan bukit sudah dilakukan.
Wakil Ketua DPRD Ende, Ruben Resi menegaskan, proses rencana pertambangan mestinya melibatkan masyarakat sebagai pemilik tanah sejak awal. Kasus rencana pertambangan marmer di Ondorea ini berlangsung sangat tertutup dan sangat mengabaikan aspirasi masyarakat. “Proses ini tidak transparan sedari awal. Hingga saat ini masyarakat sekitar lokasi gencar menolak rencana pertambangan ini. Aspirasi masyarakat ini harus ditanggapi secara serius oleh pihak terkait. Kalau benar bahwa rencana ini bertujuan mendatangkan kesejahteraan masyarakat, mengapa proses perencanaan sangat tertutup? Apalagi dalam pertemuan di DPRD Ende, pihak perusahaan mengatakan bahwa lokasi itu tandus dan gersang. Padahal lokasi itu potensial dan sangat subur untuk pertanian. Banyak tanaman perdagangan milik warga yang berdiri di atasnya. Tanaman-tanaman itu sudah digusur dan digilas alat berat. Mengapa pembangunan untuk daerah ini dilakukan dengan membohongi publik Kabupaten Ende?”

Tolak Kerusakan Alam
Benarkah bahwa tambang marmer tidak mendatangkan kerusakan yang berarti bagi masyarakat sekitar dan alam lingkungan yang menjadi “paru-paru” hidup warga? Direktur CV Floresindo Pratama Putra, Sulipto Gunawan yang katanya memiliki pengalaman “luar biaa” setelah mengelilingi berbagai pertambangan marmer di Indonesia itu mengatakan bahwa limbah pertambangan marmer tidak akan mencemarkan lingkungan. Malah limbah itu akan menyuburkan tanah. Warga Ondorea khususnya dan Kabupaten Ende umumnya tahu bahwa yang namanya limbah itu identik dengan racun, kotor, sisa, buangan dan segala yang terkait dengan kebusukan. Rakyat yang “bodoh” sekalipun tidak akan percaya bahwa limbah bisa menyuburkan tanah. Inilah gaya investor untuk “mengetuk” ketertarikan rakyat.
Data yang diinvestigasi oleh jaringan tambang (JATAM) membuktikan bahwa limbah pertambangan memiliki daya rusak yang permanen terhadap kelestarian alam lingkungan. Pertambangan marmer membutuhkan banyak air dalam proses pengolahan. Artinya, air bekas olahan marmer itu sudah tercemar, kotor, busuk, tengik dan berbau. Apakah masuk akal bahwa itu semua akan menyuburkan tanah pertanian rakyat? Yang jelas, tiga mata air di bawah bukit yang sudah digaruk alat berat yang angkuh dan congkak itu akan tercemar. Rakyat pasti akan kehilangan air untuk kebutuhan hidup.
Dalam kasus tambang marmer di Mollo, Timor Tengah Selatan (TTS) NTT, telah mendatangkan kerugian yang besar bagi rakyat. Pasca pertambangan, investor melenggang lepas meninggalkan lokasi pertambangan dengan meninggalkan kerugian berupa bukit batu yang menganga labar sementara batuan bekas galian dan longsoran tanah menutupi kaki gunung, longsor dirasakan hingga batas desa. Longsoran perlahan-lahan menimbun rumah dan kebun warga, disusul keringnya mata air, banyak tanaman pangan dan perdagangan warga yang mati, ternak-ternak mati karena minum air sungai yang berada di bawah batu dan diserang penyakit bengkak di kepala. Selain itu kehadiran tambang marmer memecahbelah relasi antar suku, krisis air bersih, diintimidasi polisi, dipukul preman bayaran dan sebagainya. Dalam kasus tambang marmer di Nangapenda, kerugian itu mulai kelihatan. Konflik antara ketua suku dengan warga lain, terancamnya kelestarian mata air, lumpur yang menutupi badan jalan umum dan ancaman bencana alam banjir yang mulai dirasalakan warga. Kerugian riil yang dialami saat ini adalah hilangnya lahan garapan warga dan digilasnya tanaman perdagangan yang selama ini menjadi sandaran hidup warga. Maka hanya satu komitmen: tolak tambang marmer sebagai upaya menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan generasi. *

Tidak ada komentar: