Jumat, 09 Januari 2009

Ibu Yang Gelisah

*Catatan Akhir Tahun 2008

Flores-Lembata: Ibu yang sedang Gelisah

Oleh: Steph Tupeng Witin

“Tanah adalah ibu yang mengandung dan melahirkan kami. Di atasnya setiap generasi bernafas untuk hidup. Kalau ibu (tanah) kami ini diambil, kami hidup di mana lagi? Kami tidak akan serahkan tanah kepada siapa pun.”
(Ibu Rosalia Rupa, warga Paumere, Nangapenda, Ende).

Penggalan suara perempuan di atas merupakan reaksi atas rencana kehadiran Korem yang akan dibangun di lokasi garapan rakyat di Nangapenda, Kabupaten Ende. Suara-suara yang sama seperti itu terdengar nyaring di tubuh kepulauan Flores-Lembata sepanjang tahun 2008 ini. Dua kasus fenomenal yang sempat mengguncang tubuh Flores-Lembata akhir-akhir ini yang serentak menyahutkan gerakan perlawanan dan penentangan rakyat yang masif adalah rencana kehadiran Korem dan pertambangan yang berimplikasi pada hilangnnya tanah sebagai lahan garapan warga untuk hidup.
Ketika rencana pertambangan bergulir di Kedang dan Leragere, Kabupaten Lembata, argumen perihal keberadaan tanah sebagai ibu, sumber hidup, terdengar tegas. Rakyat Kedang-Leragere menolak untuk menyerahkan tanah kepada investor yang hendak menambang emas meski ikhtiar investor PT Merukh Enterprises itu didukung sepenuhnya oleh Pemkab Lembata. Perlawanan rakyat itu berlangsung hingga detik ini. Rencana pertambangan emas hingga saat ini masih menggantung di “awan-awan.” Suara penolakan selanjutnyta terdengar di Kuru, Kecamatan Moni terkait rencana kehadiran Korem, di Desa Ondorea, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende terkait penambangan marmer oleh PT Floresindo Pratama Putra, di Riung, Kabupaten Ngada dan di sekujur tubuh “Congka Sae” Manggarai.
Rakyat menolak tegas untuk menyerahkan tanahnya kepada TNI untuk membangun Korem maupun kepada investor yang hendak menambang meski dengan janji-janji “surga” yang imaginer.-nikmat. Bagi masyarakat, menyerahkan tanah kepada TNI AD yang hendak membangun Korem di Flores maupun kepada investor yang “bermimpi” di atas tumpukan uangnya untuk menyejahterakan rakyat Flores-Lembata sama artinya dengan menggadaikan hidup dan menghancurkan harapan hidup generasi selanjutnya. Hal yang menakjubkan adalah bahwa Gereja di Flores-Lembata tetap komit berpihak pada rakyat kecil yang minim aksesnya kepada kekuasaan politik. Pengalaman penoalakan rakyat di Flores-Lembata terkait kehadiran Korem dan tambang membuktikan bahwa aparat birokrasi khususnya pemerintah daerah dan legislatif sangat tidak peduli pada jeritan nurani dan nyanyian penderitaan rakyatnya sendiri yang telah memberi kepercayaan kepada mereka. Pemerintah dan DPRD di Flores-Lembata lebih berperan sebagai penyambung lidah aparat TNI AD dan investor yang berikhtiar menghancur-leburkan harapan rakyat.Flores-Lembata untuk hidup damai dan tenang di atas tanah, ibunya sendiri. Anehnya, aparat pemerintah dan DPRD di Flores-Lembata adalah putra-putra daerah yang dulu hidup dari tanah yang sama melalui jerih lelah dan keringat orang tua. Kasus-kasus penolakan rakyat terhadap rencana kehadiran Korem di Flores dan rencana pertambangan telah mengubah banyak wajah aparat dan DPRD sebagai bunglon: begitu cepat dan gampang mengubah warna kulitnya di hadapan rakyat.
Argumen pokok yang dilontarkan rakyat adalah keberadaan tanah sebagai landasan hidup. “Tanah adalah ibu yang mengandung kami. Tanah adalah nafas hidup kami. Kalau tanah itu diambil, kami kerja di mana lagi? Kami tidak akan serahkan tanah kepada tentara-tentara itu. Mereka datang untuk apa di sini? Kami selama ini sudah hidup aman,” demikian Ibu Rosalia Rupa, warga Suku Paumere, Kecamatan Nangapenda, Kabupaten Ende. Jelas, tanah adalah hidup warga. Tanah tidak dapat ditukarkan dengan uang. Bagi rakyat Flores-Lembata, hidup tidak dapat dibarter dengan rencana kehadiran Korem dan rencana pertambangan apa pun.
Menurut Siti Maemunah, penolakan rakyat di NTT terkait rencana pertambangan memiliki relasi erat dengan pandangan terhadap keberadaan tanah. Tanah, alam adalah tubuh manusia yang dipercaya menjadi kunci dan syarat keselamatan. Batu dilambangkan sebagai tulang, tanah sebagai daging, air sebagai darah dan hutan sebagai kulit, paru-paru dan rambut. Kehilangan batu sama dengan kehilangan tulang yang sama dengan hilangnya air. Sebagai tulang bagi tanah, batu berfungsi merekatkan dan menguatkan tanah sehingga tidak terjadi longsoran, baik oleh hujan maupun angina. Batu memiliki kemampuan untuk menyerap, penyimpan dan menampung air. Banyak mata air keluar dari bawah batu. Batu juga menjaga kesuburan tanah karena mampu menampung air sehingga bisa menjaga kelembaban tanah sekitar. Sedangkan hutan menyumbang seresah dan humus yang menyuburkan tanah di bawahnya. (Florum Keadilan, 15 Juli 2008).
Sepanjang tahun 2008, gerakan sosial masyarakat Flores untuk menolak rencana kehadiran Korem di Kabupaten Ende dan penolakan rencana penambangan bahan galian di Kabupaten Lembata, Kabupaten Ende, Kabupaten Ngada dan wilayah Manggarai membuktikan bahwa rakyat memiliki komitmen yang teguh untuk mempertahankan tanah sebagai sumber dan nafas hidup. Bila dikaitkan dengan aspek ekonomi maka rencana kehadiran Korem dan penambangan jenis bahan galian apa pun merupakan bagian dari proses untuk semakin memiskinkan rakyat Flores-Lembata karena mengambil dan menghancurkan tanah-tanah rakyat. Apalagi pertambangan memiliki dya rusak terhadap alam lingkungan yang permanen dan tidak dapat dipulihkan lagi.
Gerakan penolakan rakyat Flores-Lembata terhadap rencana kehadiran Korem dan pertambangan bahan galian membuktikan bahwa tanah Flores-Lembata sebagai ibu yang sekian abad mengandung dan melahirkan generasi demi generasi sedang gelisah. Kegelisahan ibu tanah Flores-Lembata “digetarkan” secara bersahut-sahutan oleh rakyat Flores-Lembata melalui demonstrasi, dialog, penguatan rakyat oleh Gereja melalui Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) keuskupan maupun tarekat dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang komit dan peduli dengan rakyat. Lebih jauh, gerakan sosial rakyat Flores-Lembata menunjukkan bahwa sikap kritis rakyat perlahan tumbuh di tengah sebaran informasi yang terus meluas melalui media massa maupun gerakan penguatan dri Gereja dan sejumlah elemen masyarakat yang komit dengan keutuhan ciptaan alam lingkungan. Sikap kritis yang dibangun melalui guliran informasi juga diperlukan untuk menangkal dan menangkis argumen investor pertambangan yang terkenal paling kerap menipu, membohongi dan memanipulasi rakyat yang didukung oleh aparat pemerintah dan DPRD untuk meloloskan rencana pertambangan.
Ibu tanah Flores-Lembata yang sedang gelisah saat ini merupakan sebuah kado yang akan kita hadiahkan untuk tahun 2009 nanti. Gerakan penguatan rakyat yang kian gencar disuarakan Gereja dan LSM akan menjadi basis kokoh bagi gerakan perjuangan rakyat Flores-Lembata untuk menolak rencana kehadiran Korem yang sangat dipaksakan meski sudah ditolak sejak tahun 1999 dan guliran rencana pertambangan yang berikhtiar menghancurkan alam lingkungan Flores-Lembata yang asri ini . Kita memasuki tahun 2009 dengan harapan agar gerakan sosial penolakan rencana kehadiran Korem dan tambang terus digalakkan agar pemerintah dan DPRD “dibuka” matanya untuk berpaling dari kenikamatan “janji-janji surga” yang membutakan nurani menuju rakyat yang sederhana. Mari kita masuki tahun 2009 dengan tekat: hilangkan kegelisahan ibu (tanah) kita dengan setia merawatnya dan tidak menggadaikan kehormatannya kepada “pihak luar.”

Tidak ada komentar: