Jumat, 09 Januari 2009

Dana Purnabakti


Dana Purnabakti Termasuk Korupsi
*Sarah: Sebaiknya Ditahan

Oleh Ansel Deri

Dana purnabakti yang diterima para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) (DPRD) Lembata usai masa tugasnya, termasuk korupsi. Oleh karena itu, mereka yang sudah menerima harus diproses secara hukum.
“Dana purna bakti itu masuk kategori korupsi. Siapa pun wakil rakyat yang menerima dana purna bakti harus diproses secara hukum. Mereka kan bukan pegawai negeri sipil yang harus diberi pesangon usai menjalani masa tugasnya,” kata Ansy Lema, M.Si, staf pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Nasional Jakarta.
Sejumlah mantan anggota DPRD Lembata periode 1999–2004 kini terjerat masalah hukum karena menerima dana purna bakti. Sebagian dari mereka kini sebagai calon anggota DPRD pada Pemilu Legislatif 2009 mendatang.
Direktur FIRD, Melki Koli Baran mempertanyakan, atas dasar apa anggota DPRD Lembata periode 1999–2004 menerima dana purnabakti. Selain tak ada aturan, DPR adalah karir politik. Jika mereka tidak lagi menjabat wakil rakyat maka karir politik hilang dengan sendirinya.
“DPR itu karir politik. Dasarnya adalah kepercayaan rakyat saat Pemilihan Umum. Jika rakyat tidak percaya lagi maka karir politik yang bersangkutan hilang. Para wakil rakyat itu tidak bekerja sampai batas usia purnabakti seperti birokrat,” kata Melki Koli Baran dari Flores Institute for Development kepada Flores Pos, Kamis (12/12) lalu.
Menurutnya, selama lima tahun sebagai wakil rakyat, setiap bulan mereka juga diberikan gaji, biaya perjalanan dinas, tunjangan kesehatan jika sakit, biaya sidang dan jabatan-jabatan lainnya. “Bahkan DPRD juga diberikan fasilitas pemondokan sekalipun mereka tinggal di rumah sendiri. Jadi, atas dasar apa mereka mendapat tunjangan purnabakti? Jika mereka terima, tentu berimplikasi hukum,” tandas Melky Baran.

Ditahan
Direktur Eksekutif Pusat Informasi Advokasi Rakyat (PIAR) NTT, Sarah Lery Mboeik menambahkan, jika bicara dalam tataran normatif maka sebenarnya tidak ada dana purnabakti. Dalam Peraturan Pemerintah nomor 110 tahun 2002, tidak ada nomenklatur yang mengatur adanya dana purnabakti, termasuk dana asuransi kesehatan.
“Dana asuransi kesehatan ini ada tetapi bukan untuk dibawa pulang. Tatkala anggota DPR bersangkutan sakit maka mereka bisa complain dananya. Bukan dibagi-bagi untuk dibawa pulang,” tegas Sarah Mboeik di Hotel Arcadia Jakarta, Sabtu (14/12).
Baik Sarah maupun Ansy mengingatkan agar status wakil rakyat jangan hanya “ntt” alias nasibnya tetap tersangka. Mestinya, para wakil rakyat yang jelas-jelas menerima dana purnabakti harus diproses terus hingga tuntas.
“Bila perlu ditahan karena nyata-nyata menerima uang yang bukan haknya. Jangan sampai mereka hanya menjadi mesin ATM aparat penegak hukum. Itu jelas-jelas melukai rasa keadilan masyarakat,” tandas Ansy, yang juga staf pengajar Universitas Paramadina, Jakarta.
Lery menambahkan, selama ini pihak kepolisian dan kejaksaan berlindung di balik PP No. 110 tahun 2002 dan menganggap bahwa PP itu sudah dicabut. Kasus-kasus dana purnabakti yang melibatkan anggota DPRD mestinya dibuka kembali karena itu termasuk korupsi. “Tak ada alasan bagi aparat penegak hukum di Lembata untuk tidak membuka kembali kasus itu demi menghargai dan menghormat rasa keadilan masyarakat. Apalagi, jumlah dana yang diterima sangat besar, mencapai ratusan juta rupiah. Kita tahu, APBD Lembata sangat kecil dan sebagian besar hanya untuk DPRD. Nah, ini kan nggak adil,” kata wanita yang pernah menerima penghargaan Yap Thiam Hien, ini.

Tidak ada komentar: