Jumat, 09 Januari 2009

Bersih, Cerdas dan Santun....ITU BARU POLITIK

Politik Bersih, Cerdas, dan Santun

Oleh Ansel Deri

MASIH segar dalam ingatan penulis arahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat saat Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) sekaligus perayaan Ulang Tahun ke-6 Partai Demokrat di Gelanggang Olahraga (GOR) Jatidiri, Semarang, Jawa Tengah, 2007 lalu. Selain rasa syukur, ada kerinduan diberi kesehatan untuk melanjutkan ibadah, karya, tugas, dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Itulah doa yang oleh SBY, mesti dipanjatkan.

Ada hal penting lain. Menuju Pemilu 2009, suhu politik akan semakin memanas dan kompetisi akan semakin keras. Presiden meminta para kader agar tenang, teguh, berhati dingin. Berjuang dengan gigih untuk mencapai tujuan, namun tetap dilakukan dengan politik yang bersih, cerdas, dan santun. Sebagai kader, tentu elok jika memahami politik dalam artian sesungguhnya. Bahwa politik itu pengabdian kepada rakyat. Rakyat menjadi kiblat pengabdian politik.

Dalam bahasa berbeda, tepat apa yang dikemukakan Eddy Kristiyanto dari Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta. Politik perlu dipahami bukan dalam artian sempit (stricto sensu), melainkan dalam arti luas, (largo sensu) yakni arti utama dan sesungguhnya dari politik. Sebenarnya “jiwa” politik dan memoria itu paling jelas terbaca bukan pada tataran wacana (discourse), bukan tingkat verbal dan kognitif, melainkan lebih-lebih pada kemungkinan yang diciptakan oleh masing-masing pribadi dalam kebersamaan untuk menjadi semakin manusiawi (human), seraya hidup dalam suatu lingkungan yang ramah (hospitable) terhadap sesama, di mana keadilan, bela rasa penuh cinta (compassion), dan pemeliharaan hidup diutamakan.

Maka dari itu, pembicaraan tentang politik dan memoria menyangkut harkat hidup kita semua sebagai manusia. Inilah salah satu makna terdalam manusia di hadapan Hyang Widi. Kiranya, Ia tidak pertama-tama melihat agama, ras, golongan etnis, tingkatan sosial apa yang melatarbelakangi kita, melainkan “apa nilai manusia“ di hadapan-Nya. Semua hal kemudian menjadi sangat relatif jika diperhadapkan pada Sang Absolut Sejati (baca: Sakramen Politik, 2008).

Tentu kita sepakat, muara politik adalah pengabdian kepada bangsa dan Negara dalam arti sesungguhnya. Namun, dalam proses politik mencapai tujuan, tepat peringatan presiden. Bahwa politik tetap dilakukan dengan bersih, cerdas, dan santun. Para kader dan keluarga besar Partai Demokrat diminta menunjukkan dan memberikan contoh dalam etika politik dan aturan main demokrasi yang baik. Kepada semua pejabat pemerintahan yang berasal dari Partai Demokrat apakah menteri, gubernur, bupati, dan walikota juga diminta mengutamakan tugas untuk rakyat, negara dan bangsa kemudian tugas untuk partai politik.

Etika politik

Mengapa etika dan tata krama politik menjadi hal penting? Tentu ada alasan di balik itu. Tahun depan Indonesia akan diramaikan dengan dua agenda politik nasional, yaitu Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Pada Pemilu Legislatif, sebanyak 38 partai politik bakal meramaikan pesta demokrasi akbar ini. Pertarungan antarpartai politik dalam dua hajatan politik besar itu guna mencari dukungan masyarakat akan semakin keras. Bukan tidak mungkin, bisa terjadi persaingan yang tidak sehat guna mencari dukungan dan simpati.

Oleh karena itu, tentu sangat tepat bagi Presiden selaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat mengingatkan hal penting terkait etika politik. Wajar dan relevan masalah etika (dan moral) politik diutarakan sehingga menjadi pedoman bagi para kader, terutama calon legislatif (caleg) yang akan bertarung menjadi anggota DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.

Mengapa etika politik begitu penting? Menurut Ruslani (Kompas, 6/10/2006), ada tiga alasan. Pertama, betapa pun kasar dan tidak santunnya suatu politik, tindakannya tetap membutuhkan legitimasi. Legitimasi tindakan ini mau tidak mau harus merujuk pada norma-norma moral, nilai-nilai, hukum atau peraturan perundangan. Di sinilah letak celah, di mana etika politik dapat berbicara dengan otoritas.

Kedua, etika politik berbicara dari sisi korban. Politik yang kasar dan tidak adil akan mengakibatkan jatuhnya korban. Korban akan membangkitkan simpati dan reaksi indignation (terusik dan protes terhadap ketidakadilan). Keberpihakan pada korban tidak akan menoleransi politik yang kasar. Jeritan korban adalah berita duka bagi etika politik.

Ketiga, pertarungan kekuasaan dan konflik kepentingan yang berlarut-larut akan membangkitkan kesadaran tentang perlunya penyelesaian yang mendesak dan adil. Penyelesaian semacam ini tidak akan terwujud bila tidak mengacu pada etika politik. Pernyataan “perubahan harus konstitusional” menunjukkan bahwa etika politik tidak bisa diabaikan begitu saja.

Tujuan etika politik adalah mengarahkan ke hidup yang baik, bersama dan untuk orang lain, dalam rangka memperluas lingkup kebebasan dan membangun institusi-institusi yang adil. Definisi etika politik ini membantu menganalisis korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur yang ada. Dalam perspektif ini, pengertian etika politik mengandung tiga tuntutan: (1) upaya hidup baik bersama dan untuk orang lain; (2) upaya memperluas lingkup kebebasan; dan (3) membangun institusi-institusi yang adil.

Hemat saya, arahan dan peringatan Presiden terkait etika dan tata krama politik tetap relevan jika diletakkan dalam konteks Pemilu 2009. Dengan demikian, kita mampu menyukseskan hajatan politik besar itu kemudian menghasilkan pemimpin yang menempatkan rakyat kiblat pengabdiannya. Bukan pemimpin yang berfoya-foya dengan miliaran rupiah hasil korupsi. Bukan pula pemimpin mengiming-imingi para petani sederhana dan bersahaja, misalnya, untuk tinggal di apartemen mewah lengkap dengan perabotnya sebagai buntut perselingkuhan politik dengan investor. Atau pemimpin yang berambisi gede menjual tanah ulayat masyarakatnya kepada calon investor tanpa sepengetahuan pemilik.

Penulis adalah Wartawan peliput kegiatan Presidenselaku Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat

Tidak ada komentar: