Selamat Datang ke Lokasi Tambang
(Kepada Pemkab, DPRD dan Merukh)
Steph Tupeng Witin
Paripurna DPRD Lembata, Sabtu (15/9) perlahan-lahan akhirnya membuka celah masuk PT Merukh Enterprise ke rahim tanah Lembata. Bagi DPRD Lembata, khususnya tim II (Mataram), tidak ada alasan menolak kehadiran investor untuk mengobrak-abrik keutuhan ulayat rakyat. Keputusan politik ini ibarat akhir dari drama dan sandiwara murahan yang sekian lama diulur-ulur dan dipertontonkan anggota DPRD. Akting anggota DPRD begitu menggelikan justru ketika mereka berada pada titik yang membuktikan siapa mereka sebenarnya di tanah Lembata. Keputusan ini semakin menegaskan bahwa DPRD Lembata adalah wakil pemerintah dan konglomerat. Penolakan yang selama ini disuarakan melalui media massa hanya “umpan balik” untuk meminta belas kasihan pemerintah dan pengusaha.
Belas kasihan itu menyata dalam studi banding selama 10 hari di Minahasa dan Mataram. Kedua wilayah tambang sudah lama dihancurkan Merukh: monster yang sudah tidak tahan lagi hendak menghancurkan hal ulayat masyarakat adat kawasan Leragere dan Kedang. Kedua kawasan produktif ini sudah lama dijual oleh Bupati Ande Manuk dan Ketua DPRD, Petrus Boliona Keraf kepada Merukh nun jauh di Jakarta. Kedua sesepuh politik Lembata ini begitu merasa berhak menjual tanah Lembata dengan sengaja meminggirkan peran, suara dan asipirasi rakyat. Kedua tokoh sarat pengalaman ini rupanya merasa memiliki wewenang politik untuk merelakan tanah Lembata ditenggelamkan oleh Merukh. Keputusan yang ditandatangani di Hotel Kemang Jakarta ini ibarat lagu sendu yang mengiringi keduanya menikmati masa-masa senja kekuasaan.
Saya pikir, keputusan politik DPRD Lembata merupakan tindakan yang wajar setelah mereka melewati “hari-hari membahagiakan” selama 10 hari di Minahasa dan Mataram. Keputusan ini memang sudah lama ditunggu-tunggu oleh warga Kedang dan Leragere bersama beberapa pastor dan LSM yang berjuang sampai saat ini. Keputusan ini sama sekali tidak mengejutkan. Sebelum anggota dewan melakukan studi banding pun warga Kedang-Leragere sudah tahu substansi keputusan yang akan ditetapkan DPRD. Keputusan menerima rencana tambang merupakan harga yang wajar setelah anggota DPRD membagi-bagi jarahan: Rp13 juta per orang yang stuba ke Mataram dan Rp17,5 juta untuk yang stuba ke Minahasa. Apalagi setelah stuba anggota DPRD terhormat masih menyisahkan sedikit waktu untuk “berziarah” ke kediaman Yusuf Merukh, konglomerat yang telah mendeklarasikan dirinya sebagai utusan tuhan untuk membangun tanah Lembata. Maka keputusan politik DPRD Lembata ibarat kolekte dansumbangan konkret dari inspirasi “penyembahan ” itu.
Setelah melakukan stusi banding beberapa anggota DPRD mengatakan, terkait rencana tambang Lembata mesti dikembalikan kepada masyarakat. Paul Ua Udak bernyanyi: dampak positif yang mencolok adalah development community seperti sarana kesehatan, pendidikan dan perumahan. Semua itu ditanggung perusahaan. Menurutnya, berdasarkan penjelasan Yusuf Merukh, yang mendominasi perut Lembata bukan emas tetapi tembaga. Sementara Vian Burin mengatakan, masalah tambang sepenuhnya dikembalikan kepada masyarakat (FP, Kamis, 23/8). Ternyata, keputusan mereka bertolak belakang 100 persen dengan aspirasi rakyat. Rupanya anggota DPRD kita mau menjadi martir Merukh: tuhan yang telah mereka sembah karena turut membiayai stuba. Keputusan ini ibarat tonggak untuk menunjukkan kepada pemerintah dan Merukh bahwa mereka telah berjuang dan berusaha semaksimal mungkin dengan mengerahkan berbagai sarana dan fasilitas politik legislatif.
Keputusan politik menerima rencana tambang di Kedang dan Leragere di gedung DPRD Lembata menunjukkan miskinnya sensitivitas nurani anggota DPRD. Rakyat Kedang-Leragere sudah sekian lama menyatakan sikap menolak keras rencana tambang emas. Suara dan aspirasi masyarakat itu telah disampaikan secara terbuka dalam demonstrasi di depan kantor bupati Lembata. Bahkan para anggota DPRD turut melebur bersama warga Lewoleba menyaksikan demonstrasi dan mendengarkan orasi penolakan dari masyarakat pemilik hak ulayat. DPRD Lembata sendiri telah menggelar diskusi dan dialog dengan berbagai elemen masyarakat yang intinya menolak rencana tambang. Ternyata, semua suara dan aspirasi itu tidak berdaya sedikit pun di hadapan nurani anggota DPRD.
Suara bulat menerima rencana tambang menunjukkan kualitas anggota DPRD Lembata saat mengambil sebuah keputusan urgen yang amat bersentuhan intim dengan hak azasi rakyat untuk hidup di atas dunia. Keputusan itu ibarat buldozer yang secara amat tragis mencabut hak hidup warga Kedang-Leragere turun temurun. Keputusan ini menggambarkan “kematangan” anggota DPRD menganalisis berbagai dampak positif dan negatif dari rencana tambang. Para peneliti sosial tenar umumnya menghabiskan waktu penelitian selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mengambil sebuah kesimpulan meski kesimpulan itu sangat terbuka terhadap koreksi dan kritik. Tetapi anggota DPRD Lembata hanya membutuhkan waktu 10 hari untuk melakukan sebuah studi: istilah yang “dalam” pada tataran akademis tetapi menghasilkan buah yang amat “sederhana”, sudah diketahui dan sama sekali tidak mengejutkan. Di sisi lain keputusan ini sangat layak untuk dipertanyakan kualitasnya. Kita pantas mempertanyakan kapasitas, kualitas dan latar belakang pemahaman anggota DPRD tentang pertambangan. Banyak di antara anggota DPRD adalah pensiunan guru yang sama sekali miskin pengetahuan tentang tambang. Barangkali yang tersisa adalah nama-nama tempat tambang di Indonesia yang mesti dihafal oleh murid-muridnya. Beberapa di antaranya adalah orangtua yang lebih pantas beristirahat pada usia senja hidup ketimbang “dipaksa” berpikir keras untuk menyanggah berbagai keputusan dan kebijakan pembangunan pemerintah yang tidak populis. Pernyataan-pernyataan pers selama ini menunjukkan kosongnya pemahaman mereka tentang tambang. Mereka berkutat pada istilah eksplorasi dan eksploitasi tanpa penjelasan yang masuk akal. Pater Mikhael Pruhe, OFM misalnya pernah tertawa geli ketika mewawancarai seorang pejabat DPRD yang kaget bahwa ada zat beracun yang mematikan apa saja yang dilalui. Bahkan ada pejabat pemerintah yang saat sosialisasi mengatakan bahwa limbah dan racun tambang bisa diolah menjadi air minum.
Rakyat : Ketua dan Majikan
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Desa Pesisir (Forkomdisir) , Rafael Suban Ikun mengirim pesan singkat: “DPRD boleh setuju tapi jika rakyat menolak, apakah rencana itu harus dipaksakan? DRPD cuma wakil, rakyat adalah ketua.” Pantaskah wakil mengambil sebuah keputusan yang tidak sesuai dengan aspirasi ketua? Mengapa DPRD setelah studi banding dan menampung sekian banyak aspirasi penolakan masyarakat masih mengambil keputusan yang melawan suara orang-orang sederhana dari kawasan Leragere-Kedang yang mengangkat mereka untuk duduk di kursi itu? Sampai detik ini tidak satu pun anggota DPRD Lembata yang mengoreksi aspirasi penolakan rencana tambang dari rakyat yang diwakilinya. Malah mereka beramai-ramai, tanpa sedikitpun risih dan malu berkomentar layaknya humas pemerintah. Fungsi kritis lembaga legislatif di Lembata sudah mandul. Malah kalau kita mengerti bahwa anggota DPRD adalah wakil rakyat maka keputusan untuk menerima masuknya PT Merukh Enterprise untuk membongkar tanah Lembata adalah sebuah keputusan lupa diri dan identitas. Tampaknya yang bermain adalah kepentingan bisnis dan permainan politik kekuasaan yang usang dan lusuh. Rafael Ikun melanjutkan sms: “DPRD itu cuma pekerja. Jadi seharusnya mereka mendengar suara majikannya. DPRD boleh setuju tapi rakyat tetap menolak. Saran saya, sebaiknya DPRD Lembata mengurus hal-hal lain yang jauh lebih urgen. Jangan dipaksakan rencana tambang itu ”
Kita memang tengah berupaya menyaksikan hadirnya firdaus Lembata hasil kesepakatan tiga saudara kembar siam: pemerintah DPRD dan Merukh. Tak terbersit sedikitpun keraguan di benak mereka. Apalagi Merukh telah menyatakan diri sebagai utusan tuhan untuk membangun Lembata. Pemerintah dan DPRD Lembata, beberapa wartawan yang dibiayai Merukh dan segelintir masyarakat pro tambang telah menyembah berhala kepada Yusuf Merukh: tuhan yang akan tengah mereka bela karena menyorong lembaran- lembaran uang, akan membangun apartemen mewah untuk rakyat Leragere yang tiap hari makan sirih pinang dan tinggal di kebun-kebun ulayat dan helikopter untuk rakyat Kedang yang akan memuntahkan lempengan emas dan tembaga dari pantatnya yang berasap. Saat paripurna , Sabtu (15/9), DPRD meminta pemerintah untuk bersikap tegas dengan rakyat yang menolak tambang. Apa konsep tegas ini? Masakan pemerintah yang diserahi tanggung jawab diminta menindak tegas pemilik tanah ulayat? Masakan pemerintah yang tidak tahu malu menjual ulayat rakyat diminta menindak pemiliknya? Pantaskan seorang wakil rakyat meminta pemerintah menindak ketua dan majikannya? DPRD benar-benar lupa diri!
Akhirnya kita mengucapkan selamat datang kepada pemerintah, DPRD dan PT Merukh Enterprise memasuki kawasan lokasi tambang: Kedang-Leragere. Khususnya warga kawasan Leragere sudah lama merindukan wajah Bupati Ande Manuk bersama anggota DPRD yang sebelum Pilkada dikalung dengan selendang tenunan tangan rakyat sendiri. Selama ini Bupati Ande hanya berjanji ke Leragere tapi tinggal kerinduan yang bergayut di dahan hati rakyat. Satu yang pasti: tidak akan ada tulisan selamat datang di gerbang dan pengalungan selendang. Keputusan DPRD kian menggumpalkan gelora perlawanan rakyat.
Penulis, putera Lembata, tinggal dan bekerja di Ende.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar