Irak, Lapindo Brantas dan Korem Flores
Steph Tupeng Witin
Kami memulai sesi pertama kursus jurnalisme naratif /sastrawi di Kantor Yayasan Pantau Jakarta dengan membaca “The Boy Who Was Like a Flower: The Sky Exploded and Arkan Daif.” Wartawan The Washington Post, Anthony Shadid melaporkan perihal tiga anak Irak yang mati mengenaskan. Ia memulai lukisan itu dengan menggambarkan aktivitas pembersihan mayat di Masjid Kota Nadjab, kota suci di Irak. Anthony dalam gaya jurnalisme naratif/sastrawi menghadirkan tragedi itu dari perspektif korban. Keluarga dan saksi mata peristiwa itu berbicara dalam nada yang galau dan kehilangan keseimbangan kesadaran. Keluarga korban dan saksi mata mempertanyakan nilai kehadiran tentara Amerika: kalau mereka datang untuk membebaskan kami, mengapa mereka tega membunuh anak-anak yang murni dan tidak bersalah? Mengapa kecanggihan teknologi perang menghadirkan tragedi kemanusiaan?
Janet E .Steele, profesor media pada The George Washington University, guru kursus jurnalisme naratif mengatakan karya ini sangat mengharukan nurani kemanusiaan rakyat Amerika. Anthony menghadirkan sebuah sisi lain dari gebyar perang yang dilancarkan AS ke Irak. Ia sama sekali tidak mengutip pernyatan pejabat militer AS. Sesuatu yang dianggap mustahil oleh teman-teman jurnalis Indonesia yang menganggap konfirmasi kepada pejabat sebagai sesuatu yang niscaya berdasarkan kode etik pers nasional. “Berita itu pasti tidak dimuat karena tidak berimbang,” kata Bang Tanto, mantan wartawan Equator Pontianak yang “diberhentikan” karena menentang ketidakadilan manajemen. “Pemred atau editorku pasti menyuruh untuk bertemu dengan pimpinan militer,” timpal Maria dari TEMPO.”Semua itu sangat bergantung pada kebijakan pimpinan redaksi,” kata Bang Cahyo dari Intisari
Ketika membaca laporan jurnalistik Anthony yang memenangkan karya jurnalistik AS tahun 2003 itu, saya membayangkan tentara AS yang gagah berani itu. Presiden George W. Bush berulangkali membela misi kehadiran tentaranya di Irak. Saya membayangkan ketiga anak tanpa dosa itu jadi korban. Ratusan orang telah gugur dalam perang yang dilukiskan sebagai momen pembebasan. Janet Steele mengatakan, tulisan itu membangkitkan rasa simpati rakyat AS sekaligus antipati terhadap tentara As. Makna kehadiran misi tentara kembali digugat justru oleh kemanusiaan.
Pertanyaan yang dilontarkan Janet adalah apakah misi kehadiran tentara itu mesti dengan mengorbankan orang tidak bersalah? Pertanyaan itu lebih jauh mengilhami kita untuk merefleksikan misi tentara dalam ranah pembangunan. Saya teringat gerakan ABRI masuk desa (AMD). Banyak pilar dan prasasti di wilayah Flores-Lembata yang memahat perjalanan misi tentara. Mereka membangun jalan, jembatan, rumah ibadah dan balai pertemuan. Semua karya monumental itu meninggalkan bekas ingatan di nurani penduduk. Sekurang-kurangnya dengan memandang pilar atau prasasti itu, rakyat ingat tentara yang berpakaian persis warna-warna dedaunan hutan. Dalam banyak kasus bencana alam, misalnya di Aceh dan Medan (2005/2006), Maumere (1992), lumpur Lapindo Brantas dan terakhir jatuhnya pesawat Adam Air dan tenggelamnya Senopati, tentara memiliki peran yang signifikan.
Janet Steele mendapat tugas untuk menulis catatan tentang Indonesia tahun 2006 untuk sebuah lembaga donor dunia. Salah satu masalah yang harus ia tulis adalah bencana lumpur panas Lapindo-Brantas. Ia mesti turun ke lokasi bencana. Menurut sejarahwan ini, hal yang sangat mencengangkan adalah ketika ia menyaksikan ratusan tentara bekerja bersama rakyat mengatasi bencana lumpur panas. Menurutnya, fenomena itu yang “luput” dari pemberitaan pers. Pers Indonesia tidak pernah menulis secara detail dan mendalam tentang peran tentara dalam kasus bencana lumpur panas Sidoarjo itu. Misalnya, tentang peran tentara dan siapa yang membayar mereka. Mengapa para wartawan Indonesia tidak pernah meliput atau menulis secara mendalam tentang peran tentara dalam membantu penduduk yang tertimpa bencana lumur panas Lapindo?
Pertanyaan Janet itu mengundang tawa para jurnalis yang mengikuti kursus jurnalisme naratif itu. Buat apa menulis tentang peran tentara? Kan itu tugas mereka? Daripada ditumpuk di barak, bikin onar sana sini dan tidak ada medan perang, sebaiknya mereka membantu warga mengatasi bencana. Apalagi beberapa “medan strategis” seperti Aceh dan Papua yang selama ini terkenal sebagai gudang karun TNI harus dilepas.akibat desakan serius rakyat dan dunia internasional. Tampaknya tentara kita akan kehilangan banyak lahan strategis dalam negeri yang sekian lama membuat mereka tertawa renyah justru ketika rakyat Aceh dan Papua misalnya, dua wilayah yang kaya tapi rakyatnya mesti merangkak dalam lembah kemiskinan yang akut. Kita dapat memastikan bahwa suatu saat bangsa ini akan kebanjiran tentara. Barak-barak akan diperluas karena tidak mampu menampung tentara lagi. Barisan ini hanya menunggu saat untuk diutus menjaga keamanan internasional atau diterbangkan ke daerah konflik dalam negeri. Boleh jadi setiap saat konflik harus terjadi agar aparat TNI kita bisa diterjunkan dengan persenjataan mentereng biar pun hasil mengutang.
Barangkali dalam kerangka pemikiran inilah maka rencana pembangunan korem/batalyon atau apa pun namanya yang beberapa waktu lalu ditolak warga Kuru, Kabupaten Ende itu diletakkan. Argumen yang dibangun Dandim Henu Basworo adalah karena wilayah kita berdekatan dengan Australia yang menjadi ancaman serius dan fakta bahwa beberapa pulau kita dikuasai orang asing. Apakah rakyat pernah merasa terancam oleh Australia? Jangan-jangan aparat TNI yang merasa terancam eksistensinya di negeri ini. Sampai saat ini saya belum mampu percaya dan menerima bahwa rakyat Kuru yang sederhana atau Kabupaten Ende merasa terancam oleh Australia. Saat ini Australia berupaya membangun hubungan secara politis sementara TNI merasa terancam. Ada apa ini? Sampai saat ini kita belum mendengar argumen bahwa rencana pembanguan korem/batalyon itu dalam kerangka pembagian jatah tentara yang mulai kelebihan di pusat.Ibarat pedagang rombengan Tanah Abang Jakarta atau Pasar Turi Surabaya yang mendrop barang-barng bekas untuk dijual murah di Flores Saya kira alasan ini yang paling penting yang dengan sengaja dilupakan atau dibungkus dalam argumen militeristik yang kuno:demi keamanan. Bangsa ini berkehendak mendistribusikan tentara ke berbagai wilayah dengan alasan klasik menjaga keutuhan negara.
Argumen yang lebih lucu adalah kehadiran korem/batalyon dapat meningkatkan perekonomian rakyat. Jalan-jalan akan menjadi mulus dan beraspal licin. Rakyat akan menikmati listrik. Hasil-hasil komoditi rakyat akan mudah terdistribusi ke pasar. Emil Seko, anggota DPRD Ende memberikan contoh yang menarik: kalau setiap hari ada satu anggota batalyon membeli pisang dapat dibayangkan berapa tandan pisang masyarakat yang terjual hari itu. Pernyataan ini juga terlampau sederhana apalagi sekedar dipaksakan agar menjadi argumen untuk membangun batalyon. Saya membayangkan di belakang argumen ini tampak seolah korem/batalyon itu semacam perusahaan raksasa dengan investasi yang menjanjikan. Jangan sampai korem/batalyon justru bekerjasama dengan pihak tertentu mengeluarkan berbagai potensi masyarakat yang akhir-akhirnya semakin menenggelamkan rakyat dalam kemiskinan.
Kita harapkan agar pengambil kebijakan mendengar suara rakyat. Kita tidak pernah mengharapkan bahwa kehadiran korem/batalyon menyingkirkan rakyat dari atas lahannya. Kita tidak menginginkan bahwa tragedi di Masjid Kota Najab, Irak terulang dalam porsi yang berbeda. Kita berikhtiar agar suatu saat rakyat bangsa ini mencintai tentara karena pengabdian kemanusiaannya secara tulus. Hal ini tentu tidak akan membuat para jurnalis tertawa seperti peserta kursus beberapa waktu lalu itu.
Steph Tupeng Witin, wartawan DIAN/Flores Pos,
peserta kursus jurnalisme naratif/sastrawi di Yayasan Pantau Jakarta ,
9-21 Januari 2007.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar