*Di Balik Lambannya Penanganan Kasus PLTU Ropa (3)
Diduga, Ada Tindak Pidana Penggelapan
Steph Tupeng Witin
Kasus PLTU Ropa memang menarik “simpati” banyak kalangan. Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) Keuskupan Agung Ende (KAE) dan SVD Ende bersama tim kuasa hukum Veritas Jakarta sedari awal mendampingi dan berjalan bersama warga korban. Harian ini secara teratur menyuarakan suara para korban. Meski agak “ketinggalan” DPRD Ende, institusi wakil rakyat akhirnya ikut bersuara. Tim JPIC KAE dan SVD bertatap muka dengan lembaga wakil rakyat “terhormat” ini sebanyak tiga kali. Meski kehadiran angggota DPRD silih berganti di ruang sidang, satu datang, lain pergi, tetapi minimal kepedulian para wakil rakyat akan persoalan substansial rakyat yang diwakilinya terbaca.
Bukan cuma itu! Kepedulian para wakil rakyat tampaknya kian “menggebu” setelah bersama Pemerintah Kabupaten Ende membentuk “Tim Khusus Diperluas” yang bertujuan semakin memperjelas persoalan untuk menemukan titik simpul penyelesaian penanganan kasus PLTU Ropa. “Tim Khusus Diperluas” itu telah turun ke Ranokolo dan Ropa. Katanya, bertemu dengan mosalaki Tanawumbu dan warga lainnya. Tentu banyak fakta yang telah ditemukan. Pertanyaan kita: kapan hasil kerja “Tim Khusus Diperluas” ini dibuka ke tengah publik Ende? Apa hanya sekedar menggelembungkan rasa simpati rakyat untuk hanya menunjukkan bahwa DPRD peduli dan peka dengan rakyat? Hingga detik ini hasil kerja tim ini belum diketahui. Makna kata “khusus diperluas” sepertinya melayang-layang di atas awan ketidaktahuan publik. Rakyat Kabupaten Ende, khususnya warga korban menuntut pertanggungjawaban publik dari anggota tim ini. Mengapa? Tim ini bekerja dengan menggunakan uang rakyat. Maka wajar jika rakyat menuntut realisasi hasil kerja tim ini yang awalnya begitu meluap-luap hingga tidak kedengaran lagi isi dari kerja tim ini. Apakah hasil kerja tim ini hanya “dikoarkan” di sebuah koran lokal oleh segelintir anggota DPRD Ende yang patut diduga tidak mengetahui substansi persoalan, komentar asal-asalan yang masih harus perlu dipertanyakan dan boleh jadi “sarat kepentingan.” Apa khabar “Tim Khusus Diperluas” DPRD dan Pemkab Ende?
Rakyat mendesak DPRD Ende untuk segera menggelar rapat yang melibatkan rakyat khususnya korban untuk mendengarkan hasil kerja “Tim Khusus Diperluas” ini. Rakyat ingin tahun sejauh mana komitmen para wakil rakyat terhadap persoalan rakyat. Secara sederhana: sekurang-kurangnya rakyat ingin tahu apakah “dana emergensi” tim ini untuk turun ke Ranokolo dan Ropa membawa hasil atau tidak. Kita harapkan agar tim ini membantu pihak-pihak lain untuk mencari solusi damai atas penyelesaian kasus ini. Dan bukannya menciptakan masalah baru yang semakin menambah keruh dan memperpajang benang kusut penyelesaian kasus PLTU Ropa.
Terkait kasus PLTU, Ropa Komisi Keadilan dan Perdamaian (JPIC) KAE-SVD bersama tim pengacara/kuasa hukum Veritas Jakarta setelah mendalami latar belakang dan proses perencanaan serta fakta-fakta hukum yang ditemukan selama mendampingi masyarakat korban yang diabaikan hak-haknya secara terang oleh PLN Cabang Flores Bagian Barat menduga telah terjadi tindak pidana pengelapan yang dilakukan oleh Alex Mari Paso Pande, yang mengaku sebagai pemilik tanah padahal namanya tidak tertera dalam hasil rekapan Tim Sembilan dan Karel Jami, Manajer Administrasi dan Keuangan PLN Cabang Flores Bagian Barat (dulu) selaku juru bayar proyek PLTU Ropa.
Pertama, Alex Mari dengan sengaja memiliki. Faktanya, Alex sudah menerima uang sebesar Rp6 miliar sejak 24 Desember 2007 tetapi sampai sekarang tidak menyerahkan uang itu kepada 11 pemilik tanah. Alex juga terang-terangan dalam dan terbuka telah menyatakan tidak akan menyerahkan uang tersebut kepada 11 pemilik tanah dalam bentuk surat pernyataan dalam rapat di DPRD Ende. Kedua, dengan melawan hak. Faktanya, dari uang sebesar Rp6 miliar tersebut hak Alex Mari Paso Pande hanya sebesar Rp4.181.104.000. Sisanya sebesar Rp1.181. 104.000 menjadi hak ke-11 pemilik tanah. Ketiga, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain. Faktanya, uang sebesar Rp1.181.104.000 adalah hak ke-11 pemilik tanah. Keempat, dan barang itu dalam tangannya bukan karena kejahatan. Faktanya, berdasarkan permintaan Alex dan diberi oleh pihak PLN Cabang Flores Bagian Barat selaku instansi yang membutuhkan tanah serta disaksikan oleh panitia pengadaan tanah/tim9. Tindak pidana tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 372 KUHP.
Tindak pidana penggelapan juga diduga dilakukan oleh Karel Jami. Pertama, dengan sengaja memiliki. Faktanya, sejak tanggal 24 Desember 2007 sampai sekarang atau kurang lebih sudah 9 bulan uang ganti rugi sebesar Rp120.936.000 tetap disimpan di kas PLN Cabang Flores Bagian Barat dan tidak diserahkan kepada 11 pemilik tanah serta uang sebesar Rp454.524.000 yang sudah dikeluarkan dari kas PLN Cabang Flores Bagian Barat sejak tanggal 24 Desember 2007 tetapi belum diserahkan kepada 11 pemilik tanah. Kedua, dengan melawan hak. Karel Jami tidak berhak atas uang tersebut dan berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 3 tahun 2007 pasal 44 ayat (1) dinyatakan bahwa….instansi yang memerlukan tanah untuk melakukan pembayaran ganti rugi kepada yang berhak atas ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 43 dalam jangka waktu: a. Paling lama 60 (enam puluh hari) sejak tanggal keutusan tersebut ditetapkan apabila ganti rugi berupa uang…” ternyata bukan 60 hari tetapi sudah 9 bulan uang ganti rugi tersebut belum sampai ke tangan 11 pemilik tanah yang berhak. Ketiga, sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain. Faktanya: uang ganti rugi sebesar Rp120.936.000 ditambah dengan Rp454.524 = Rp575.460.000 adalah uang ganti rugi untuk pembebasan tanah yang menjadi hak ke-11 pemilik tanah. Keempat, dan barang bukti itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan. Faktanya, Karel Jami dalam jabatannya sebagai Asisten Manajer Administrasi dan Keuangan PLN Cabang Flores Bagian selaku juru bayar PLN Cabang Flores Bagian Barat yang bertugas melaksanakan pembayaran ganti rugi tanah lokasi PLTU Ropa. Tindak pidana tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 372 KUHP.
Minggu, 26 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar