*Lokakarya Nasional Komnas HAM 10 Tahun Reformasi (1)
Negara Tanpa Pengawasan Rakyat
Steph Tupeng Witin
Komnas HAM menyelenggarakan lokakarya nasional HAM 2008 di hotel Borobudur Jakarta, Selasa (8/7) hingga Jumat (11/7) 2008. Tema: “10 Tahun Reformasi: Quo Vadis Pemajuan dan Penegakan HAM di Indonesia.” Wartawan Flores Pos, Steph Tupeng Witin yang mengikuti lokakarya itu menurunkan tulisan berseri.
Ruang Flores hotel Borobudur, Selasa (8/7) semarak. Peserta bersalaman, berkenalan, para jurnalis hilir mudik, berdiskusi melepas waktu sembari menanti kehadiran Wapres Jusuf Kalla yang membuka lokakarya. Jakarta yang gelisah, cemas, sibuk dan berkeringat terhalau oleh keasrian ruang dan keapikan dekorasi. Ketua Komnas HAM, Ifhdal Kasim mengatakan, dilema utama yang dialami Indonesia setelah 10 tahun reformasi adalah bagaimana pemerintah bersama rakyat sungguh-sungguh mengatasi berbagai masalah dan pekerjaan rumah dari berbagai pelanggaran HAM yang diwariskan rezim Orba selama 32 tahun dan yang terjadi saat ini. Lokakarya ini berikhtiar mengevaluasi kondisi HAM di Indonesia pasca reformasi, penyusunan agenda ke depan dan rekomendasi pelaksanaan kebijakan publik yang lebih berperspektif hak azasi manusia.
Indonesia saat ini berada dalam rezim pasca otoritarianisme. Kondisi ini menawarkan sejumlah janji, harapan dan tantangan bagi kehidupan demokrasi yang lebih baik. Selama satu dekade (1998-2008), keadaan HAM dan demokrasi di Indonesia mempunyai kualitas dan dinamika yang berbeda dibandingkan dengan masa rezim Soeharto. Performa HAM berkaitan dengan kebebasan dasar telah meningkat secara signifikan dan hampir merata di seluruh relung tubuh Indonesia. Jumlah partai politik independen dan asosiasinya berkembang pesat dibandingkan dengan model negara korporasi rezim Soeharto.
Komnas HAM mencatat kemajuan itu dari segi tata aturan terutama terkait standard setting HAM di tataran nasional sejak reformasi 1998: ketentuan mengenai HAM dalam UUD 1945 seturut naskah asli: pasal 27 ayat (1)dan (2), pasal 28 dan pasal 29 ayat (2), dan perubahan kedua (2000) dan perubahan keempat (2002): pasal 27 ayat (2), pasal 28A sampai dengan pasal 28J, pasal 30 ayat (1) dan pasal 31 ayat (1). Perubahan ini menambah sebanyak 10 pasal dan tiga ayar baru mengenai HAM. Selain itu hingga Juni 2008, terdapat 17 undang-undang (uu), tiga peraturan pemerintah (PP) dab 2 keputusan presiden, seluruhnya 22 ketentuan di mana 21 di antaranya dikeluarkan pasca rezin Orba. Selain itu hingga 2005, Indonesia telah mengakomodir 6 perangkat internasional HAM utama dan paling dasar sebagai manifestasi komitmen Insdonesia dalam memajukan, menghormati dan melindungi HAM sesuai dengan standar internasional yaitu konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial, 1965 (UU 29/1999); kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, 1966 (UU 11/2005); kovenan internasional tentang hak sipil dan politik, 1966 (UU 12/2005); konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, 1979 (UU 7/1984); konvensi tentang penghapusan penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, 1984 (UU 5/1998) dan konvensi tentang hak anak, 1989 (Keppres 39/1990). Peningkatan dan perluasan kesadaran HAM juga menggapai aparat penegak hukum dan kalangan militer seperti UU 2/2002 tentang kepolisian negara RI yang diarusutamai oleh HAM, diajarkannya HAM dalam lembaga pendidikan polisi dan militer di semua tingkat dan kepedulian yang kian meningkat terkait HAM.
Meski demikian, raihan di bidang standard setting bagi pemajuan dan perlindungan HAM tidak diikuti dengan penerapannya dalam praktik. Fakta penyiksaan masih kerap dilakukan oleh aparat penegak hukum dan militer. Praktik perlakuan diskriminatif masih diderita kelompok minoritas. Di bidang ekonomi, sosial dan budaya, hak rakyat belum terpenuhi. Hal ini tampak dalam fakta memalukan bangsa yaitu busung lapar yang berarti tidak terpenuhinya hak mereka atas kehidupan sejahtera dan hak atas pelayanan kesehatan, meningkatnya jumlah rakyat miskin yang berarti tidak terpenuhinya hak rakyat atas hidupa yang tenteram, bahagia dan sejahtera, tingginya angka pengangguran yang berarti tidak terpenuhinya hak rakyat atas pekerjaan yang layak dan gejala komersialisasi lembaga pendidikan segala tingkat, belum termasuk berbagai pungutan “liar” lainnya.
Deretan daftar di atas menunjukkan “kegagalan” negara dalam memajukan penghormatan terhadap HAM. Walau telah menjadi bagian penting dalam wacana politik, HAM belum menjadi sebuah prinsip dalam pelaksanaan kekuasaan. Hasrat berkuasa lebih dominan ketimbang kemauan memenuhi HAM. Warga tidak memiliki kapasitas untuk mengawasi laju pemerintah lokal. Bahkan pengalaman di sejumlah daerah, pemerintah melalui perda menghambat dan membatasi kemerdekaan warga bahkan mengkriminalisasi rakyat. Negara telah menunjukkan ketidakmampuannya untuk mengawasi dan melindungi HAM. Berbagai kelompok sipil atas nama agama, suku dan golongan begitu leluasa menebarkan aksi kekerasan. Maka, tidak cukup mengukur pemenuhan HAM berdasarkan ratifikasi instrumen-instrumen HAM internasional meski itu penting menjaga pelaksanaan kekuasaan. Negara telah telah berjalan tanpa pengawasan berarti dari rakyat.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar