Mewaspadai Bahaya Tirani Minoritas
(Catatan di Balik Gerakan Sosial Flores)
Steph Tupeng Witin
Antropolog Sareng Orinbao menyebut Pulau Flores sebagai Nusa Nipah atau Pulau Ular. Nusa Nipah ini tampak meliuk “genit” di antara hamparan badan laut biru yang memenuhi setiap lekuk, sudut dan lengkungan daratan. Di atas tubuh “pulau ular” ini aneka potensi dan kekayaan tersebar, entah yang telah dikelolah penghuninya meski masih sangat alami maupun yang masih terpendam karena masih minimnya sentuhan teknologi. Kapten Angkatan Laut Jepang, Tasuku Sato yang pernah “bercinta” dengan Nusa Bunga saat bertugas di sini nun di tahun 1943, dalam bukunya I Remember Flores menulis,”Flores yang terletak di Lautan Pasifik Selatan merupakan satu tempat yang penuh misteri dengan hutan-hutan tropis yang subur, pohon-pohon buah-buahan liar, angin yang mendesir dan air pancuran yang gemercik. Masa tugasku di Flores memang sangat singkat namun teramat dramatis sepanjang hidupku. Usai perang, Flores mengalami derita yang dahsyat. Kota Ende yang dulunya sangat indah akhirnya porak poranda akibat bom. Reruntuhan katedral sungguh membuat hatiku sedih. Tapi rakyat Flores telah mengajarkan saya bahwa biarpun bom-bom dapat menghancurkan gereja tapi ada satu yang akan tetap hidup yaitu iman umat. Di Flores, saya berada dekat api dan bara iman yang ikut serta membakar jiwaku. Semua usahaku untuk memadamkannya sia-sia. Hanya satu jalan: pasrah kepada Tuhan yang telah mengejarku dengan tidak kenal lelah di Flores dan terus hingga sekarang.”
I Remember Flores mengakui bahwa Gereja Katolik telah memainkan peran yang sangat penting dan berharga dalam pembangunan masyarakat Flores. Buku ini menghadirkan sebuah pelajaran berharga bagi umat di Flores yaitu bahwa religiositas tidak dipisahkan dari kenyataan sosial. Hal ini telah ditunjukkan secara amat nyata oleh umat Katolik ketika berada dalam himpitan masa sulit saat berkecamuknya perang pasifik dan perang dunia II. Apa yang kita saksikan sekarang ini? Tanpa mengabaikan sejuta kemajuan, saya boleh mengatakan (bisa saja salah) bahwa pembangunan fisik-jasmaniah telah berandil menciptakan individu-individu yang begitu gampang terpengaruh dengan “hal-hal luar,” begitu tampak tak berdaya di hadapan tawaran “kebendaan” yang menyulap “orang Flores” menjadi sosok yang materialistis dan egoistis. Flores saat ini memang tidak porak poranda lagi oleh bom penjajah dari udara tetapi hancur lebur oleh berbagai pengaruh yang begitu gampang merubah orang Flores hanya dalam sekejap. Pertanyaannya: apakah agama, iman, religiositas orang Flores telah menjadi sangat mendalam sehingga kehilangan “akarnya” atau karena cuma “tergantung” pada kulit luar agama yang dihiasi dengan elemen liturgi yang dilapisi doktrinasi agama yang pada gilirannya menciptakan individu yang tidak seimbang, linglung, gagap, hura-hura, senang yang gebyar-agung-dahsyat-show-dangdutan bahkan ekstrim?
Para Padri Dominikan asal Portugis, imam-imam Yesuit dan para misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) telah memikat hati umat: bekerja tanpa pamrih, dengan bendera kebenaran dan daya tarik “menobatkan” orang Flores melalui bidang pendidikan, kesehatan dan pemberdayaan ekonomi. Karya-karya itu dilanjutkan hingga saat ini, baik oleh gereja maupun lembaga-lembaga sosial yang berintensi memberdayakan masyarakat. Keterlibatan di tengah realitas sosial kemasyarakatan diharapkan merupakan dorongan dari kehidupan rohani sebagai sumbu pembakar semangat. Artinya, kehidupan rohani menjadi dasar keterlibatan sosial dan bukannya berbagai upacara liturgi terorganisir hanya menciptakan “katedral” di atas bukit kenyataan sosial, asing dari keseharian. Agama, iman, religiositas mesti semakin menyuburkan sensitivitas, kepekaan dan solidaritas dengan aneka kenyataan sosial yang sesungguhnya menuntut keterlibatan konkret. Sebuah agama, iman, religiositas yang memasyarakat.
Beberapa tahun terakhir ini Gereja Katolik telah menunjukkan wajah keterlibatannya yang tegas, jelas dan kritis dalam ranah kehidupan sosial politik kemasyarakatan. Gereja lantang bersuara atas berbagai kasus pelanggaran HAM, pembelaan terhadap rakyat kecil yang sering menjadi korban “permainan kekuasaan” dan kritis terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang hanya memamerkan keangkuhan dan kelobaan kuasa. Meski keterlibatan gereja/agama telah menyata dalam kenyataan sosial, harus diakui dengan jujur bahwa halangan terbesar masih datang dari dalam “tubuh” gereja/agama sendiri yang tampak dalam tingkah segelintir petugas pastoral/agama yang keranjingan “main mata” dengan kekuasaan yang identik dengan kekayaan, kemewahan dan keglamouran yang sebenarnya “melarat” di tengah himpitan kemiskinan rakyat kecil yang “terhormat.” Tantangan juga datang dari pemegang kekuasaan lokal yang “ogah” dikritik meski jelas-jelas kebijakannya melanggar etika sosial dan pembangunan, malah memamerkan kesombongan kekuasaan yang sebenarnya cuma “pinjaman” kepercayaan rakyat yang disalahgunakan untuk memperbesar perut diri, keluarga dan kroni.
Keterlibatan ini telah menumbuhkan rasa percaya diri dalam diri rakyat kecil dan kelompok LSM yang bergerak pada tataran pemberdayaan rakyat. Rakyat mulai berani tampil bersuara berhadapan dengan kekuasaan politik-birokratif-legislatif. Laporan media massa telah berandil positif dalam membangun kesadaran dan kepekaan ini. Demonstrasi rakyat begitu leluasa kita saksikan di Flores ini. Berbagai kelompok berdasarkan profesi, agama telah tampil menyuarakan kepentingannya. Kelompok-kelompok ini, entah sadar atau tidak telah membentuk ruang minoritas di tengah hamparan mayoritas rakyat Flores. Kelompok-kelompok minoritas yang subur terbentuk dengan berbagai latar belakang, kebutuhan dan kepentingan ini, di satu sisi menjadi gambaran kemajuan pemahaman demokrasi, perkembangan kesadaran berpolitik dan kepekaan yang tumbuh dari agama, iman dan relogiositas tetapi pada sisi lain bisa berkembang ke arah tirani, kesewenang-wenangan dan mudah mengarah pada kekerasan sebagai mekanisme pembelaan kepentingan yang egoistik tanpa peduli lagi dengan etika, aturan dan koridor sosial-hukum-kemasyarakatan yang telah menjelma dalam tradisi. Kelompok-kelompok minoritas yang tumbuh yang merupakan buah dari pesemaian gereja/agama bisa saja merasa diri paling penting, terhebat bahkan pada tahap tertentu bisa sangat memaksakan kehendak kepada pemerintah atau gereja/agama meski pada sisi lain hal itu tidak berdasar, jauh dari argumentasi yang mendasar. Atas nama kelompok minoritas, bisa saja orang kehilangan rasionalitas dan membabibuta, tidak tahu lagi arah yang jelas dan benar dalam mengarahkan tuntutan dan aspirasi. Orang beriman tahu saluran yang tepat untuk salurkan keluh kesah. Dia tidak sewenang-wenang melarang orang lain berbeda pendapat, berbeda keyakinan apalagi mempolitisasi pendapat orang lain dengan “dakwaan berlapis,” mengerahkan massa, mengatasnamakan “orang lain” untuk menggolkan kepentingan “tertentu” yang “direkatkan.” Bahayanya, kalau hal ini tidak ditanggapi secara kritis oleh gereja/agama yang tercermin melalui budaya “ikut arus” dan “asal teriak” dari segelintir petugas gereja/agama yang gampang dibonceng, diajak dan ditarik masuk dalam “permainan” ini. Agama/gereja akhirnya terjebak dalam tirani minoritas yang akhirnya menempatkan agama/gereja pada posisi “memecahbelah.” Agama/gereja lalu menjadi ibarat “kerbau dicocok hidung.” Ketika bahaya tirani minoritas menyeret agama/gereja ke dalam arena “permainannya” maka agama/gereja perlu menyediakan ruang untuk merefleksikan kembali kiprahnya di tengah masyarakat. Sesungguhnya, agama/gereja adalah kekuatan yang diharapkan cerdas membaca kenyataan, peka menanggapi aspirasi dan bijaksana mengutarakan kebenaran yang telah diverifikasi/dimurnikan dalam bingkai ilmu-ilmu sosial, teologi, politik, hukum dan HAM. Di balik-balik gerakan-gerakan sosial atas nama politik, agama/keyakinan dan sebagainya di atas tubuh Nusa Nipah ini, bahaya tirani minoritas mesti diwaspadai agar pulau ini terus semerbak mengharumi nusantara dan tidak menjadi bangkai yang membusukkan peradaban. Pulau Flores mesti menjadi tempat yang menjamin kebebasan hidup, berkeyakinan, berpendapat. Tidak ada yang merasa paling berhak mendikte, memaksa dan memasung apalagi melarang orang lain untuk tidak berbeda pendapat, bahkan mempertanyakan dan melarang orang lain untuk tidak boleh berdemo “melawan” tirani minoritas tertentu. Pulau Flores mesti memastikan bahwa para pemeluk agama, apa pun, tetap kuat beriman tanpa menjadi preman.
Penulis adalah wartawan HU Flores Pos,
tinggal di Ende.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar