*Lokakarya Nasional HAM 10 Tahun Reformasi (4/Habis)
Agama: Bisakah Jadi Solusi?
Steph Tupeng Witin
Salah satu sesi diskusi yang cukup menarik minat peserta lokakarya adalah seputar kebebasan beragama, Kamis (10/7). Diskusi ini berlangsung di ruang Sumba hotel Borobudur. Ketika berada di ruang diskusi yang full acc itu (teman-teman dari Indonesia Timur mengeluh terlalu dingin) saya teringat sebuah diskusi yang pernah digelar di Ritapiret beberapa waktu silam setelah Soeharto tumbang. Seorang peserta bertanya kepada penceramah:”Di manakah tokoh-tokoh agama di NTT ketika selama 32 tahun para gubernur dan bupati khususnya di NTT “menjilat pantat” kekuasaan Soeharto?“ Penceramah itu menjawab: ”Mereka ada di tempatnya masing-masing.” Menurut penceramah itu, intervensi negara dalam bentuk sumbangan untuk agama sebagai konsekuensi logis dari tanggung jawab negara mesti ditanggapi secara kritis. Sumbangan dari kekuasaan tidak boleh menguburkan sikap kritis karena agama sesungguhnya adalah kekuatan akternatif di tengah keterpurukan nasib bangsa.
Mungkinkah agama mampu memainkan peran yang signifikan dalam kehidupan berbangsa? Pertanyaan ini dilecutkan oleh Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI, Romo Benny Susetyo, Pr dalam diskusi seputar “kebebasan beragama.” Melalui makalah “Ancaman Pluralisme di Indonesia” Romo Benny membedah realitas kehidupan beragama di Indonesia. Menurutnya, problem kehidupan beragama di Indonesia masih cukup banyak. Untuk menjalankan kehidupan beragama secara bersama antarpemeluk dengan semangat toleransi tinggi masih menghadapi tantangan yang tidak kecil. Meski wacana pluralisme dan toleransi antaragama sudah sering dikemukakan dalam berbagai wacana publik namun prakteknya tidaklah semudah yang dipikirkan dan dibicarakan. Walaupun sudah terdapat kesadaran bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar agama, melainkan oleh kekuatan bersama namun pandangan atas “agamaku,” “keyakinanku,” justru sering menjadi dasar dari berbagai perilaku sehari-hari yang bermuatan kekerasan.
Slogan “Bhineka Tunggal Ika” ternyata hanya dirasa penting tetapi tidak terealisir dalam kenyataan. Slogan itu hanyalah keindahan di atas awan kata-kata sementara realitas di lapangan hanyalah hambatan demi terwujudnya solidaritas, soliditas dan toleransi antarumat beragama. Begitu gampang kita menemukan praktek kekerasan atas nama agama, budaya dan suku. Pemaksaan kehendak dan ajaran seringkali terjadi begitu telanjang di depan mata. Negara terkesan melindungi kelompok-kelompok yang mengatasnamai agama tertentu untuk mengerasi warga bangsa lain yang coba bertahan hidup di negeri ini atas nama bendera kemerdekaan, kebebasan dan keberagaman. Padahal salah satu persoalan mendasar dalam ranah demokrasi Indonesia adalah kebebasan menjalankan ibadah dan keyakinan.
Pada 2007 serangkaian perusakan, kekerasan dan penangkapan terhadap kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” dan kelompok agama lain terjadi. Sepanjang Januari-November tercatat 135 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dan keyakinan. Dari 135 peristiwa yang terjadi, tercatat 185 tindak pelanggaran dalam 12 kategori. Jumlah terbanyak kelompok (korban) yang mengalami pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah al qiyadah al Islamiyah yaitu 68 kasus pelarangan, kekerasan, penangkapan dan penahanan. Kelompok berikutnya adalah jemaat Kristen/Katolik yang mengalami 28 pelanggaran, disusul Ahmadiyah yang ditimpa 21 tindakan pelanggaran. Data menunjukkan bahwa pelaku 185 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah negara. Sebanyak 92 pelanggaran dilakukan oleh negara (commission) dalam bentuk pembatasan, penangkapan, penahanan dan vonis atas mereka yang dianggap sesat. Termasuk dalam tindakan langsung ini adalah dukungan dan pembenaran otoritas negara atas penyesatan terhadap kelompok-kelompok keagamaan tertentu. Sedangkan 93 tindakan pelanggaran lainnya terjadi karena negara melakukan pembiaran terhadap tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan oleh warga atau kelompok.
Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Siti Musdah Mulia menilai, negara telah gagal dalam membingkai kehidupan agama di Indonesia. Penyerahan otoritas negara kepada organisasi keagamaan negara dalam menilai sebuah ajaran agama dan kepercayaan merupakan bentuk ketidakmampuan negara untuk berdiri di atas hukum dan bersikap netral atas setiap agama dan keyakinan. Padahal institusi negara seharusnya bekerja dan bertindak berdasarkan konstitusi dan undang-undang. Selain itu kegagalan negara dapat dilihat saat negara mempromosikan, melindungi dan memenuhi hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Negara bahkan telah bertindak sebagai pelaku pelanggaran hak asasi manusia (HAM) akibat tindakannya yang melarang aliran keagamaan dan keyakinan dan membiarkan warga/organisasi keagamaan melakukan persekusi massal atas kelompok-kelompok keagamaan dan keyakinan. “Dalam konstitusi yang lebih tinggi, kebebasan umat beragama dan melakukan ibadah dijamin tapi dalam peraturan di bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada upaya pengekangan,” katanya.
Di Mana Pancasila?
Ketika negara telah gagal dalam memberikan perlindungan dan kesempatan yang adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya, maka ke mana kita akan berpaling? Romo Benny Susetyo mengajak segenap elemen bangsa untuk berpaling kepada Pancasila yang acapkali hanya sebatas “gagah-gagahan” yang memenuhi ruang batin bangsa. Kearifan nilai luhur Pancasila belum berjalan dengan sepenuh hati. Meski kehidupan sosial politik telah mengalami kebebasan, hal itu tidak berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk beribadat. Menurut Romo Magnis Suseno, SJ, beribadat adalah hak warga yang paling asasi dan hanya rezim komunis yang melarangnya. Pertanyaan” rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih manusiawi? Di sinilah peran negara untuk menjaga, melestarikan dan meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap umat dan keyakinan beragama yang dianggap “lain.” Nilain toleransi dan pluralitas mesti ditumbuhsuburkan untuk menyingkirkan kebijakan yang berpeluang menunbuhsuburkan antipati terhadap saudara sebangsa dan kalau pun memang ada perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Pancasila mesti dijadikan pembatinan nilai kehidupan bersama untuk mewujudkan bangsa yang beradab yang terwujud dalam komitmen warga untuk merealisasikan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Bisakah agama menjadi solusi? Ini pertanyaan yang sulit. Apalagi agama terkesan “malu-malu” menampakkan ketegasaannya. Menurut Direktur Eksekutif the Wahid Institute, Jakarta, Ahmad Suaedy, mengibaratkan “misi” ini sebagai “Daud” yang mengusung langkah-langkah kultural dan idealisme berjuang melawan “Goliat” yang terdiri dari penguasa ekonomi, politik dan sosial yang nir-hati nurani. “Tetapi di titik inilah agama, terlebih iman (faith) dituntut untuk memberikan efek positif yang berdaya memecahkan persoalan kemanusiaan bangsa dan tidak sebatas berhenti sebagai “pabrik kata-kata.”
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar