Hentikan Politik Adu Domba
(Peringatan kepada Pemkab Lembata)
Steph Tupeng Witin
“…Usai menandatangani berita acara penyerahan tanah,
Bupati Ande Manuk mengecup kening kedua tokoh masyarakat
dari Dusun Tuamado, Kedang.” (Flores Pos, Jumat, 22/2)
Penggalan berita itu merupakan salah satu adegan dalam drama penyerahan tanah yang berlangsung di Lopo Moting Lomblen, Kamis (21/2). Kecupan “gemas” dari seorang pemimpin yang percaya diri menang dalam proses penaklukan rakyat. Kedua tokoh masyarakat yang hari-hari hidup di kampung pasti bahagia menerima kecupan “gemas” dari seorang pemimpin yang sejak rencana tambang digulirkan tidak pernah lagi mengunjungi rakyatnya di Kedang dan Leragere. Penulis amat yakin bahwa hadirin saat itu pasti bertampik sorak, bertepuk tangan dan bersuitan. Apalagi disuguhi makanan khas Lopo Moting Lomblen, salah satu dari sekian simbol kejayaan kekuasaan ekonomi-politik di Lembata. Canda tawa, senyum renyai membelah keheningan pantai Pelabuhan Lewoleba. Tapi di sudut lain Lembata, pembangunan berjalan malas ibarat kepiting yang merangkak di depan Lopo Moting Lomblen sembari mengais dan mengunyah remah-remah lobster dan ikan bakar yang jatuh dari bibir meja kekuasaan.
Lembata sudah berusia 8 tahun lebih tapi pembangunan hampir tidak kelihatan. Kota Lewoleba bagai nenek tua yang kelelahan, bekas area pertokoan berubah kumuh, jalan-jalan bergelombang, lobang sana sini, kantor-kantor masih menyewa rumah penduduk, gedung-gedung terbengkalai, pembangunan kantor bupati di luar kota bermasalah, kantor bupati di Lusikawak jadi sarang kambing. Laporan stuba anggota DPRD keliling Lembata terkait proyek-proyek pembangunan membuktikan betapa kabupaten hancur-hancuran (FP, Kamis, 21/2). Orang Atadei menyebutnya piko-pako. Orang Ataili lebih sarkastis lagi: bongana surakajo snawur (ibarat ubi kayu yang kena penyakit). Meski hancur-hancuran, Lembata tampak kaya dari luar: rumah anggota DPRD diseraki rumput-rumput liar, gedung perkantoran berdiri megah di tengah hutan. Lebih hebat lagi: Lembata adalah satu-satunya kabupaten di NTT yang memiliki 3 kantor bupati: satu di tengah hutan Lusikawak-sekarang tempat kambing-kambing dan rusa berdinas-, satu yang sekarang dipakai oleh rezim yang berkuasa dan satu lagi sedang dibangun di batas kota dan bermasalah. Maka tidak tanggung-tanggung: pada pilkada 2011 nanti, rakyat Lembata akan memilih tiga bupati untuk menempati 3 kantor itu.
Rencana tambang telah mengorbitkan Lembata menjadi sebuah kabupaten yang akan bergelimang emas dan tembaga. Meski mayoritas rakyat Lembata dan pemilik ulayat Leragere-Kedang menolak, pemerintah tidak bergeming sedikit pun. Kertas kerja sama dengan PT Merukh sudah diteken. Rakyat berdemo menolak tapi Bupati Manuk-Wabup Nula terus berlalu. DPRD pun tidak ketinggalan meninggalkan rakyat, mahkotanya. Komitmen rakyat untuk mempertahankan ulayat terus diprovokasi dengan iming-iming menggiurkan: menjadi pekerja tambang-minimal dorong gerobak atau buka-tutup pintu mobil-, dibagi motor, penduduk akan ditranslok ke Nagawutung, akan dibangun apartemen, limbah tambang diolah jadi aqua, dan bekas tambang bisa jadi areal persawahan. Pemerintah Lembata yang dikomandani oleh Wabup Nula Liliweri paling kerap mengunjungi Kedang dan bersembunyi di balik agenda pemerintah untuk bicara tentang tambang hanya pada kelompok-kelompok pendukung yang bukan pemilik ulayat. Pembicaraan tentang tambang sangat tertutup, penuh tipu daya dan sarat rekayasa dan manipulasi.
Mengapa Pemkab Lembata begitu nekat menambang emas meski ditolak sangat keras? Kenapa DPRD Lembata begitu rela bagai kerbau dicocok hidung dengan mengikuti kemauan pemerintah dan investor? Yang jelas, seorang hamba tidak akan melawan tuannya. Apalagi kalau tuannya sudah mengenyangkannya. Bukankah ketika kita kenyang, hanya tersisa tenaga untuk lelap? Tanda tanya teramat besar: apa yang mendorong pemerintah dan DPRD Lembata begitu patuh-tunduk-setia-jujur-tulus-lugu pada PT Merukh?
Rencana investasi tambang Lembata telah berandil membelah rakyat Lembata menjadi dua bagian: menolak dan menerima. Kelompok yang menolak logis karena mempertahankan ulayatnya. Kelompok yang menerima bukan pemilik ulayat, hasil rekayasa dan sengaja diprovokasi sebagai bentuk dukungan. Di Lebatukan, Camat Wahon begitu arogan memanipulasi tanda tangan warga untuk mendukung tambang. Tapi inilah realitas pejabat birokrasi kita yang sudah akut dan berlumut. Memaksakan rencana tambang sesungguhnya sangat telanjang menghadirkan arogansi kekuasaan dan represi. Memaksakan tambang berarti semakin memperuncing konflik dan mempertajam kehancuran. Ketika Pemkab Lembata dengan sadar memaksakan rencana tambang, sebenarnya ia tengah menghancurkan nilai-nilai kekeluargaan, persaudaraan, kedamaian dan ketenangan yang telah sekian abad dibangun oleh adat dan agama. Upaya pemerintah untuk mempengaruhi warga menyerahkan tanah demi meloloskan rencana tambang yang menggambarkan arogansi kekuasaan dan keserakahan kehendak sebenarnya membuka ruang polarisasi antara keluarga, suku, sesama pemilik ulayat, sesama penggarap dan agama. Tampaknya, tatkala Pemkab Lembata terus memakai cara-cara provokatif untuk mempengaruhi warga mendukung tambang dan menyerahkan tanahnya, persis pada saat yang sama ia meneyediakan ruang yang terbuka bagi rakyatnya sendiri untuk saling menghunus pedang dan membunuh.
Bayang-bayang penghunusan pedang itu kian menampakkan titik terang sejak berlangsungnya drama penciumanan “gemas” yang didaratkan oleh Bupati Manuk pada dahi kedua tokoh masyarakat Tua Mado itu. Ciuman “gemas” itu hanya membahasakan kegagapan seorang pemimpin yang telah kehilangan rasionalitas berhadapan dengan derasnya penolakan dari warga yang didukung kelompok kritis. Sikap anti rasionalitas Pemkab itu tampak dalam berbagai upaya untuk menghindari pertemuan dan diskusi dengan kelompok kritis yang berikhtiar membangun diskursus. Pemerintah kelihatan lebih mendekati kelompok rakyat yang lemah secara intelektual dan ekonomi sehingga gampang dipengaruhi. Ketika rakyat yang lemah secara intelektual dan ekonomi dikuasai maka ungkapannya bisa seperti yang dilakonkan oleh Bupati Manuk di atas. Kecupan “gemas” ala Bupati Manuk itu cumalah simbol sederhana yang beritensi membangun relasi emosional, wilayah yang paling gampang digarap oleh pemerintah.
Penulis berpendapat bahwa kecupan “gemas” di Lopo Moting Lomblen itu merupakan sebuah provokasi halus yangbisa semakin memperkeruh relasi persaudaraan antar warga. Pemkab Lembata sengaja memperuncing emosi dan membangun konflik horisontal sekaligus mempolarisasi warga. Secara psikososial, penyerahan tanah oleh satu suku akan membangun “konflik dan jarak” dengan suku dan pemilik ulayat yang lain. Pemerintah pura-pura tidak menyadari bahwa aksi di Lopo Moting Lomblen itu mengaduk-aduk emosi dan kian merenggangkan kerekatan relasi.
Penulis mengimbau Bupati Ande dan kroni-kroninya agar menghentikan politik adu domba yang saat ini semakin menenggelamkan persaudaraan dan kedamaian. Pemkab dan DPRD Lembata mesti berbesar hati mengajak segenap kalangan dan kelompok kritis untuk duduk bersama dan melihat kembali rencana investasi tambang ini. Sikap tertutup terhadap informasi lain dan gagasan yang berlawanan hanya semakin menempatkan pemerintah pada posisi terasing dari rakyat. Pemimpin yang bijaksana tidak akan melukai rakyatnya. Melegitimasi kekuasaan dengan mengorganisir dukungan dengan memanfaatkan kelemahan orang lain hanya akan semakin memperjelas kenyataan bahwa sesungguhnya rezim ini tengah meragukan legitimasinya sendiri.
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar