*Lokakarya Nasional Komnas HAM 10 Tahun Reformasi (3)
Pemberdayaan: Bangun Kekuatan Rakyat
Steph Tupeng Witin
Lokakarya nasional Komnas HAM memang berlangsung dalam hotel yang terbilang “mewah” dengan pembicara-pembicara yang brilian. Gagasan-gagasan segar dilontarkan. Refleksi-refleksi kritis dilayangkan. Intinya: arah perjalanan Komnas HAM ke depan adalah memberdayakan rakyat agar memperjuangkan bahkan kalau dapat merebut hak-haknya, khususnya dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob). Sejumlah makalah menggariskan pentingnya membangun kekuatan rakyat agar bersama lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) menekan pengambil kebijakan bila perlu “merebut” hak dasar itu untuk menjadi landasan bagi arah perjalanan bangsa ke depan.
Soetandoyo Wignjosoebroto, mantan anggota Komnas HAM (1993-2002) menyodorkan “paradigma kerakyatan.” Fokus kebijakan pembangunan adalah pemberdayaan masyarakat untuk meningkatkan kemampuan. Rakyat hadir sebagai warga bangsa yang memiliki hak, bukan sebagai hamba kekuasaan yang terhegemoni untuk selalu bersedia “berkorban.” Manusia adalah sumberdaya yang paling utama. Kualitasnya hanya dapat dikembangkan melalui proses edukasi (pendidikan). “Paradigma kerakyatan” ini menempatkan HAM warga sebagai modal sosial yang mesti diupayakan sedari awal. Modal sosial ini menempatkan rakyat sebagai subyek yang berpartisipasi dan memiliki komitmen untuk mengabdi. Ruang partisipasi inilah yang akan menumbuhkan kepercayaan (trust) kepada elit politik dan administrator pembangunan yang pada gilirannya akan mengikis tandas model pembangunan yang berkomitmen kepada para industrialis dan saudagar.
Menurutnya, soal yang mengemuka sekarang adalah bagaimana paradigma baru yang mendudukkan komitmen rakyat ini diupayakan untuk menggeser paradigma lama yang bertumpu dan mengandalkan sentralisme kekuasaan yang bertedensi mengabaikan hak-hak rakyat yang asasi untuk mendapatkan ruang pemenuhan keadilan sosial. Sejarah peradaban menggariskan bahwa pergeseran paradigma biasanya hanya terjadi apabila masyarakat terjadi krisis-krisis kehidupan (sense of crisis). Situasi inilah yang menggerakkan komitmen pencarian kearifan dan pengetahuan baru yang dipercaya menjadi solusi yang tepat, berkebenaran dalam soal penegakan hak rakyat yang asazi untuk mendapatkan keadilan sosial.
Azaz Tigor Nainggolan, Ketua Forum Warga Kota Jakarta (Fakta) mengatakan, sebagai bangsa yang beragama, beradab dan berdemokrasi, ratifikasi kovenan internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya (1966) menjadi UU 11/2005 mestinya membawa perubahan perilaku dari pemerintah untuk tidak lagi memandang warga sebagai “sampah.” Menurutnya, kesadaran itu lebih hidup di dalam diri para korban pelanggaran HAM khususnya di bidang Ekosob. Kesadaran ini menumbuhkan semangat perlawanan dari lembah korban untuk berjuang menegakkan hak-hak dasar sebagai manusia. Para korban itu mengorganisir diri bersama sesama korban lain, membangun jejaring perjuangan lintas kepentingan, melakukan gugatan-gugatan hukum di pengadilan publik bertema penegakkan hak-hak di bidang Ekosob sebagai langkah penegakan pendidikan publik, menerbitkan dan menyebarluaskan hasil pengalaman perjuangan warga dan melakukan pelatihan-pelatihan bersama warga seputar advokasi dan hak azasi manusia bagi warga korban. Saat ini, ratifikasi kovenan internasional Ekosob masih sebatas “prestasi” pemerintah tetapi belum menjelma dalam kenyataan. Bahkan aparat pemerintah sendiri melanggar hak warga dengan “seenaknya” meneggusur warga berdasarkan “kertas sepotong” yang bisa saja “dimanipulasi.” Tolok ukur pemenuhan hak Ekosob pun hingga saat ini tidak jelas. Kemiskinan, kelaparan, pengangguran, penggusuran, bunuh diri karena kesulitan ekonomi terus menjadi momok bangsa. Bantuan langsung tunai (BLT) dan beras miskin (Raskin) semakin menambah “bopeng” wajah perjalanan peradaban bangsa. Kenyataan amat memalukan karena terang menunjukkan bahwa pemerintah telah gagal memenuhi hak-hak dasar warga. Fakta kegagalan ini juga menggambarkan belum solid dan kuatnya perjuangan warga selama ini yang mestinya menggerakkan pihak lain untuk memperjuangkan pemenuhan hak warga khususnya di bidang Ekosob.
Sri Palupi, Ketua Institute for Ecosoc Rights mengatakan, pemahaman terkait hak Ekosob khususnya di kalangan pemerintah belum maksimal. Hak Ekosob masih cenderung dipandang lebih sebagai tujuan/cita-cita yang hendak dicapai ketimbang sebagai hak azasi yang harus dijamin pemenuhannya dalam kondisi apa pun. Selama 10 tahun reformasi yang tampak adalah ketimpangan dalam penegakan dan penghormatan hak Ekosob. Hak Ekosob warga tidak terpenuhi karena pemerintah belum mampu mengatasi krisis ekonomi yang berlangsung sejak 1997, dampak liberalisasi ekonomi rakyat dan praktik korupsi yang kian menggila. Penggangguran terbuka peningkat, angka kemiskinan terus bertambah yang ditandai dengan merebaknya kasus gizi buruk dan kelaparan, meski pemerintah menyatakan angka kemiskinan 2007 menurun. Berbagai kasus gizi buruk/busung lapar dan kematian akibat busung lapar kembali menjadi headline pemberitaan sepanjang tahun 2007/2008, setelah kasus busung lapar “marak” tahun 2005. hasil studi Institute Ecosoc di lima kabupaten/kota di NTT menunjukkan bahwa gizi buruk/busung laparmerupakan potret kegagalan pembangunan di semua dimensi. Gizi buruk/busung lapar bukan hanya merupakan bentuk pelanggaran hak atas pangan tetapi juga pelanggaran hak atas pendidikan (perempuan), pelayanan kesehatan, pekerjaan, budaya dan juga hak untuk tidak didiskriminasi.
Menurutnya, hasil penelitian Ecosof menggambarkan, realitas kemiskinan terbesar dialami oleh kelompok petani yang mayoritasnya petani kecil dan buruh tani yang tak berlahan yang sangat bergantung pada pasar dalam memperoleh kebutuhan pokok. Lahan petani dirampas dengan kekerasan yang diperparah dengan Perpres 36/2006 dengan dalih kepentingan umum, lemahnya akses petani atas lahan, harga panen rendah, harga kebutuhan pokok semakin melonjak, modal kecil, minimnya subsidi pemerintah dan masuknya komoditi impor dengan harga murah, kerusakan lingkungan, bencana alam dan kekeringan. Kondisi kemiskinan dan pemiskinan yang meluas ini menempatkan perempuan dan anak-anak pada dasar piramida penderitaan. Hal ini terindikasi dari tingginya angka kasus kematian akibat gizi buruk/ busung lapar, tingginya angka kasus perdagangan perempuan dan anak-anak dan meningkatnya kasus bunuh diri di kalangan perempuan dan anak dari keluarga miskin. Menurut data, tahun 2005 jumlah anak balita penderita busung lapar yang meninggal mencapai 293 jiwa. Pada Januari-Oktober 2006, tercatat 186 anak balita mati akibat busung lapar. Ini kematian yang tercatat. Kematian akinat busung lapar terus terjadi meski tidak ada yang mencatatnya secara sistematis.
Kondisi merupakan sense of crisis bangsa. Kita memiliki potensi yang bisa menjadi kekuatan yaitu petani yang menjadi mayoritas bangsa ini. Orientasi kebijakan pembangunan mesti dibelokkan untuk “mendarat” di lahan pertanian, menghidupkan benih lokal bermutu, pupuk alam yang ramah lingkungan dan ruang pasar yang berorientasi pada petani dan produktivitasnya. Menurut Handoko Wibowo, pegiat organisasi petani di Kabupaten Batang dan Pekalongan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat mesti getol mengampanyekan bangkitnya kekuatan petani untuk mengubah diri dan masa depan. Petani bangkit “melawan” penindasan dalam berbagai peraturan yang mengkriminalisasi hak Ekosob warga, terutama akses terhadap lahan sebagai sumber hidup. Tanpa “perlawanan” itu pihak pengambil kebijakan akan terus mengkriminalisasi warga dan warga menerimanya sebagai sebuah “keharusan.”
Kamis, 30 Oktober 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar