Politik Korupsi
‘Bahaya’ di Balik Dukungan Cabup-Cawabup
Oleh Steph Tupeng Witin
Pilgub dan Pilkada telah memberi warna tersendiri bagi ranah politik kita. Meski dominasi partai-partai politik masih kuat, rasionalitas pilihan rakyat begitu terang. Partai-partai besar perlahan “ditinggalkan” pemilih. Mayoritas bupati di NTT umumnya “terlahir” dari rahim partai-partai “pinggiran.” Dominasi partai-partai besar kian pudar seiring dengan derasnya banjir oligarki, otoritarianisme, status quo dan “ongkos” politik yang teramat mahal. Lahirnya bupati-bupati dari “rahim” partai kecil merupakan signal kekalahan partai-partai besar dan fakta ambruknya dominasi “nama besar.” Tikus-tikus politik telah menggerayangi dan menggerogoti tubuh partai-partai besar dalam skala kalkulasi politik yang egois. Partai-partia besar kehilangan ruang untuk membentuk kader-kader politik militan tetapi hanya menjadi semacam “pohon” untuk dipanjati “politikus karbitan” demi meraih kursi kekuasaan.
Fenomena dualisme kepemimpinan dalam tubuh partai politik di satu kabupaten misalnya, menggambarkan dashyatnya banjir korupsi politik dalam tubuh partai-partai politik itu. Entah sadar atau tidak, kader-kader politik lahir dari lumpur genangan korupsi ini. Apa yang bisa kita harapkan? Korupsi bukan semata soal “makan uang” tapi soal kejujuran dan etika dalam mengatur strategi kebijakan publik. Politik adalah sebuah proses merancang bangunan publik yang mestinya berlandas di atas kejujuran dan etika. Praktik sikut menyikut, permainan dalam kubangan lumpur politik dan penyingkiran kader partai yang militan atas nama uang telah menyuburkan lahan korupsi. Fakta politik seperti inilah yang menggumpalkan pesimisme bahwa korupsi tidak akan pernah hilang dari ruang politik Indonesia .
Korupsi politik di Indonesia begitu telanjang kita saksikan di era otonomi daerah ini. Eksekutif, legislatif dan yudikatif seakan berlomba memenangkan korupsi. Segelintir bupati dan sederet pejabat public kita ketar-ketir menunggu “saat”untuk diperiksa dalam dugaan korupsi. Sejumlah kepala dinas mulai “sakit-sakitan” menjelang akhir masa bhakti. Beberapa anggota DPRD, entah yang masih berjaya sekarang maupun yang sudah berhenti, terus “disodok” oleh aparat hukum. Sedangkan aparat hukum (jaksa dan hakim) pun mulai merasa “tidak nyaman” dalam menegakkan keadilan dan kebenaran yang sarat dengan manipulasi-korupsi.. Rakyat kehilangan harapan di depan bendera hukum. Atas nama uang, keadilan begitu gampang menjadi barang dagangan.
Bencana korupsi politik telah berandil merampas fasilitas kepentingan umum dan menurunkan kuantitas dan kualitas sarana publik. Korupsi politik di tubuh legislatif, misalnya, mengurangi jumlah proyek pelabuhan, jalan raya, air bersih, pelayanan kesehatan dan pendidikan. Desas-desus bahwa ada sekian dana yang mesti tersedia untuk menggolkan sejumlah proyek di lembaga legislatif akhirnya terbuka ketika banyak wakil rakyat “bernyanyi.” Hal itu mengakibatkan rakyat hanya menerima proyek jalan raya yang tipis, aspal seadanya, rumah sakit yang miskin peralatan, sanitasi yang bocor sana sini, gedung-gedung sekolah yang berlobang dan sebagainya. Di Indonesia, korupsi politik tampaknya mendapatkan lahan subur ketika demokrasi tak berdaya menghentikan/mengurangi penyalahunaan kekuasaan dari para politisi. Bahkan tampaknya demokrasi “menolerir” praktek-praktek suap, penipuan dan ketidakjujuran. Buktinya, korupsi politik sudah menjadi sebuah keseharian yang wajar. Ironis melihat bahwa demokrasi beriringan sambil “bergandengan tangan” dengan korupsi politik.
Menurut Todung Mulya Lubis, korupsi politik di Indonesia menggambarkan belum mapannya sistem politik (TEMPO, 12/12/2004. hal 68). Di Indonesia, politik masih dilihat dalam kerangka ekonomi dan bisnis. Politik belum menjadi sebuah ruang yang mulia bagi politisi untuk menyejahterakan rakyat. Politik menjadi proyek investasi untuk menggapai berbagai proyek bisnis yang intinya mengejar rate of return yang tinggi atau paling tidak harus mencapai titik impas (break event ponit). Dalam konteks ini kita saksikan banyak orang yang menghabiskan hartanya, termasuk bila perlu meminjam uang untuk masuk dunia politik. Harapannya? Agar investasi itu berbuah “profit.”
Pilkada di NTT telah menghadirkan fenomena ini dengan terang. Di balik wajah para calon, kita saksikan para kontraktor, pengusaha, partai pendukung, massa yang dikuasai preman dan sebagainya. Belum lagi kalau para calon “menodong” para kontraktor dan pengusaha untuk merogoh sakunya dengan iming-iming proyek. Partai-partai diajak untuk masuk dalam lingkaran korupso politik ini dengan janji-janji proyek. Boleh jadi ada kepala dinas yang “kaya” ditodong untuk membantu agar mendapat “kursi.” Lebih berbahaya lagi, kalau para calon itu berjuang habis-habisan, bila perlu mengorbankan segala-galanya untuk mendapatka pintu masuk melalui partai agar lolos menjadi kandidat untuk “diperebutkan” rakyat saat pilkada.
Todung Lubis menggambarkan fenomena ini sebagai korupsi politik. Para calon menggapai “kursi” dengan mulai melakukan korupsi: menjarah nurani, membungkam kejujuran, membayangkan kenikmatan dan melenyapkan etika berpolitik. Korupsi politik ini menjadi “benih” hadirnya politik korupsi.Orang memutuskan untuk berpolitik agar nanti melakukan korupsi politik. Di balik gebyar korupsi politik sudah mulai berlangsung politik korupsi.
Politik korupsi inilah yang akan menjiwai masa kekuasaan. Bayangan dukungan dengan pamrih, janji-janji manis proyek, kampanye akal bulus di hadapan rakyat akan mengaburkan etika kepemimpinan dan melenyapkan komitmen untuk membangun kesejahteraan rakyat. Masa kekuasaan dibayang-bayangi oleh politik korupsi: menjadikan masa kekuasaan sebagai momen pengembalian segala ongkos pilkada: mulai dari sumbangan kontraktor hingga proposal yang disodorkan kepada para pengusaha. Masa kekuasaan menjadi titik balik politik korupsi: giliran yang berkuasa “ditodong” oleh kontraktor, pengusaha, partai pendukung dan preman. Politik korupsi menjadi titik paling rawan ketika elemen-elemen pendukung cabup-cawabup terpilih memasang syarat akhir: “jika tidak dipenuhi kami akan buka mulut.” Akhirnya, rakyat cuma ibarat keringat amis-tengik yang mengalir di bawah ketika penguasa.
Politik korupsi akan menyeret penguasa untuk mengabdi kepada korupsi. Inilah bahaya ketika politik bisa begitu mudah “terbeli.” Ketika partai dikuasai oleh “politisi ular” yang hanya memanfaatkan partai sebagai ruang untuk perutnya. Kita bisa saksikan politisi-politisi “karbitan-kampungan” yang bisa mengendalikan partai untuk kepentingannya. Seorang tukang ojek bisa saja menjadi caleg asalkan bisa membayar sejumlah “fulus” ke pengurus partai. Preman jalanan bisa dengan gampang disulap menjadi tim sukses. Partai yang korup dan serakah akan menghasilkan kader pemimpin yang “tidak jauh boboroknya.” Rasionalitas kepemimpinan akan mudah tenggelam di hadapan korupsi. Pimpinan yang korup akan “disenangi” oleh bawahan yang korup. Meski pidato-pidatonya luhur dan religius. Paling jago menasihati orang lain.
Betapa sedih membayangkan politik Indonesia yang begitu terkontaminasi dengan politik korupsi. Jujur, penulis skeptis dan amat tidak yakin bahwa pemerintah, biar pun dipilih dengan demokratis, mampu berbuat banyak. Ketika anggaran belanja daerah belum memadai, perang melawan korupsi ibarat sebuah bisikan lirih. Saat ini kita saksikan, anggota DPRD dan pemerintah daerah memakai ruang perda untuk meninggikan biaya ekonomi-politik yang merusakkan kepastian hukum. Korupsi politik terjadi di mana-mana dan tiba-tiba kita terkejut melihat banyak anggota DPRD, bupati, gubernur dan kepala dinas dituduh melakukan korupsi politik. Sebagian di antaranya saat ini berstatus tersangka, terdakwa dan/terpidana. Kita seakan tidak bercaya bahwa mantan pejabat publik yang rajin menasihati bawahan, gemar memberi sumbangan publik, rajin beribadah dan biasanya duduk paling depan di rumah ibadat itu bersiap-siap masuk ruang tahanan.
Politik korupsi dan korupsi politik menjadi sesuatu yang niscaya di republik ini. Bupati atau gubernur yang meraih kursi dengan uang akan menjadikan kursinya sebagai momen untuk mengembalikan uang itu. Hukumnya jelas: “money politics” yang disebut sebagai “political costs” harus dibayar kembali. Bupati yang terpilih karena “proposal” akan menjadikan rentang masa kekuasaannya sebagai “proposal politik korupsi.” Uang rakyat akan terus digerus sepanjang “kantong proposal” belum “penuh.” Benar, hukum ekonomi paling elementer mengajarkan bahwa modal yang ditanam harus mampu menghasilkan laba.
Akhirnya, kita realistis bahwa di republik ini, politik bukanlah profesi orang-orang mapan yang terpanggil untuk membangun jiwa bangsa. Politik di negeri ini terpuruk menjadi sebuah proyek bisnis yang didominasi oleh kalkulasi untung-rugi.. Sulit membayangkan bahwa suatu saat lingkaran setan politik korupsi dan korupsi politik akan berakhir. Walahualam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar