*Semiloka JPIC Tolak Tambang di Flores-Lembata (2)
Melawan Argumen Keserakahan Pemodal
Oleh Steph Tupeng Witin
“Apa yang mesti dilakukan ketika orang membuang limbah ke laut atau sungai?
Apakah kita membiarkan begitu saja orang mengorek isi perut bumi dan kemudiaan meninggalkan kehancuran?”
Gugatan yang menantang ini dilontarkan oleh Teolog dari STFK Ledalero, Pater Paul Budi Kleden, SVD dalam sesi input teologis di aula OSF Detusoko, Sabtu (9/11). Pada sesi ini ia mengajak peserta semiloka menelusuri lorog-lorong teologi Kristiani dan Biblis untuk menguji sejauh mana argumen dari penguasa modal dan politik terkait penguasaan alam lingkungan. Menurutnya, kalangan pemilik modal dan pemerintah yang berikhtiar menambang bumi kerap memakai argumen-argumen teologis-biblis untuk melegitimasi kebijakan pertambangan. Ada yang mengatakan bahwa manusia sebagai puncak ciptaan memiliki kekuasaan untuk memanfaatkan alam sebagai sebuah rahmat. Manusia berdosa jika tidak memanfaatkan alam. Menurutnya, hal itu mengungkapkan arogansi manusia terhadap ciptaan lain yang sebenarnya membahasakan ketamakan dan kelobaan manusia. “Pemahaman keliru seperti ini yang menyebabkan teologi Kristen dituduh sebagai salah satu penyebab dari perusakan alam selama ini.”
Ia mengatakan, pemahaman eko teologi menghadirkan pergeseran pemahaman terkait pengelolaan alam dari pandangan yang berpusat pada manusia (antroposentrisme) menuju pandangan yang terpusat pada Allah (teosentrisme). Seluruh ciptaan dilihat sebagai jejak kaki Allah, sakramen keselamatan. Seluruh ciptaan adalah tanda yang menghadirkan Allah karena diciptakan, dicintai dan diberkati oleh Allah. Pandangan ini pun menggariskan bahwa alam ciptaan merupakan satu kosmos yang mengindikasikan adanya aturan yang menata, yang teratur dan tertata.
Menurutnya, dalam teologi penciptaan, gagasan yang muncul adalah bahwa semua ciptaan baik. Jika manusia diciptakan pada hari ke-6 maka manusia sesungguhnya adalah pendatang baru dalam seluruh ciptaan. Artinya, sudah ada ciptaan lain yang mendahuluinya. Maka sebagai pendatang baru, manusia mestinya menghargai ciptaan yang lain yang sudah ada sebelumnya. Pandangan ini menegaskan bahwa manusia tidak bisa secara arogan menempatkan diri sebagai penguasa ciptaan yang lain. Apalagi para pemilik modal khususnya perusahaan-perusahaan tambang yang memakai argumen “rahmat” di balik kekayaan alam untuk menyalurkan kelobaan dan ketamakannya. Gagasan bahwa Allah menciptakan alam secara bertahap melukiskan sebuah proses menuju kesempurnaan. Proses ini mestinya juga menjadi ilham dalam tahap pemanfaatan alam yang mesti memperhatikan dimensi waktu dan lintas generasi. Pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan dampak jangka panjang yang mencakup generasi yang akan datang.
Gagasan-gagasan ini mengilhami manusia untuk melihat alam ini dalam perspektif yang menyeluruh. Tuhan tidak pernah menciptakan bumi hanya untuk dihancurkan oleh segelintir orang yang kebetulan memiliki kuasa modal (uang) dan kuasa politik untuk berkuasa. Tuhan tidak pernah menciptakan semuanya ini untuk “segelintir” manusia yang tamak yang merasa begitu “berkekuatan” untuk menyingkirkan sesamanya dari atas tanah untuk selanjutnya dirusakkannya dengan penambangan, pembuangan limbah (tailing) dan peracunan sumber-sumber mata air dan laut.
Pater Budi mengatakan, perlawanan terhadap rencana pertambangan di Flores dan Lembata mestinya menginspirir kalangan pengambil kebijakan publik untuk memikirkan secara bijaksana proses pengelolaan kekayaan alam secara bijaksana. Berbagai analisis dan prediksi dari sisi ilmu pengetahuan mestinya menjadi rujukan untuk mendiskusikan berbagai kebijakan yang akan dihasilkan dengan tetap memperhatikan kelestarian alam lingkungan bagi generasi selanjutnya. “Terkait tambang, apabila berdasarkan pengalaman (sejarah) dan prediksi ilmu pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan disimpulkan bahwa aktivitas itu menggoncangkan ekosistem seluruh menyeluruh maka rencana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan dari sisi iman.”
Ia mengatakan, manusia mestinya lebih menguasai diri dalam upaya pengelolaan alam. Penguasaan diri itu mengandaikan ada batasan-batasan yang mesti ditaati dalam memakai alam untuk hidup. Keberlanjutan hidup generasi mestinya menjadi perhatian serius ketika diperhadapkan dengan berbagai kebijakan untuk mengelolah dan memanfaatkan alam.
Terkait pengelolaan potensi alam, ia mengemukakan beberapa prinsip yaitu hormat kepada martabat manusia dan alam sebagai ciptaan Allah, solider dengan sesama dalam memanfaatkan kekayaan alam yang mestinya tercermin dalam keputusan publik yang berorientasi pada rakyat banyak. Solidaritas ini mesti dibangun terutama dengan mereka yang paling diabaikan (SRS, 45). Prinsip lain adalah partisipasi yaitu saling memperhatikan satu sama lain terutama terkait kewajibannya dan subsidiaritas, memberikan hak kepada rakyat untuk melaksanakan apa yang wajib dilaksanakannya dan negara tidak boleh pernah menggantikan hak dan kewajiban warganya. Kesejahteraan mesti diusahakan oleh rakyat. Tidak akan pernah ada kesejahteraan yang dipaksakan.
Ketua PSE KAE, Romo Sipri Sadipun, Pr mengatakan, penyadaran dan pemberdayaan rakyat mesti diusahakan dari kalangan akar rumput dengan prinsip dan patokan yang jelas dan tegas. Rakyat harus bisa merasakan sendiri bahwa mereka hidup bersama dengan orang lain. Proyek-proyek yang hanya menempatkan rakyat sebagai penadah sudah saatnya ditinggalakan. Negara ini memang telah sekian lama mendidik rakyatnya menjadi pengemis melalui proyak beras miskin, bantuan langsung tunai dan sebagainya.
Pemerintah memang berkewajiban membangun kesejahteraan rakyat. Otonomi daerah (Otda) telah membuka ruang bagi pemerintah untuk mengatur pembangunan secara swadaya. Kesejahteraan memang diusahakan tetapi tidak mesti menghancurkan alam lingkungan. Pemerintah mesti membela rakyat bukan menjadi pelayan dan hamba investor/pemodal.
Senin, 10 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar