DISKUSI TAMBANG — JPIC OFM Jakarta dan Kelompok Tenang Tanage berdiskusi mengenai usaha tambang di Manggarai. Dari kiri ke kanan, P. Peter Amman, OFM, P. Mikhael Peruhe, OFM (keduanya dari JPIC-OFM) dan Gerard N. Bibang (Moderator).
Foto: Steph Tupeng
Hentikan Tambang di Manggarai
Oleh Gerard N Bibang
''Lawan dan hentikan tambang besar terbuka di Manggarai sekarang juga!''. Seruan bernada radikal ini adalah satu dari beberapa pernyataan sikap JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation)-OFM dan warga Manggarai di Jakarta peduli tambang, yang tergabung dalam kelompok Tenang Tanage (Mengenang Tanah Air). Seruan tersebut merupakan suatu kristalisasi dari seluruh rangkaian acara dalam suatu pertemuan informal JPIC OFM dan kelompok Tenang Tanage di Aula Paroki Kramat lantai 3, Jakarta Pusat, Minggu lalu (16/11/).
Menurut JPIC dan kelompok Tenang Tanage, seruan ini akan menggelorakan spirit kepedulian terhadap tanah Manggarai dan akan memicu suatu proses peradaban besar di masa depan, yaitu gerakan penyadaran secara massal dan komprehensif di setiap komunitas basis di Manggarai. Gerakan penyadaran ini akan memberikan pencerahan kepada komunitas basis sehingga mereka menyadari akan bencana dan bahaya besar yang diakibatkan oleh tambang besar terbuka di daerah ini.
Dengan mengusung tema besar ''Tenang Tanage'', pertemuan informal yang diprakarsai JPIC OFM ini dibagi dalam dua bagian besar. Dalam misa Tenang Tanage, tema itu diulas dari segi teologis dan iman kristiani, sementara dalam diskusi tema yang sama dibahas dalam perspektif filosofis, kosmologis dan sosio-antropologis. Hadir dalam acara ini para pastor OFM dari JPIC, antara lain P. Peter Amman, OFM, P. Mikhael Peruhe, OFM, P. Darmin Mbula, OFM dan P. Christo, OFM, serta tokoh-tokoh Manggarai di Jakarta, antara lain wartawan senior Kompas Rikard Bagun, Frans Nembo, Nani Rengka, Don Klaudius Marut dan Ansel Alaman.
Perkara Iman dan Integritas Kehidupan
Dalam misa yang didaraskan seluruhnya dalam bahasa Manggarai ini, P. Peter Amman, OFM selaku konselebran utama - didampingi oleh rekan-rekan OFM dari JPIC- dalam khotbahnya yang disampaikan dalam bahasa Manggarai, mengingatkan hadirin akan pentingnya bumi tempat kita berpijak.
''Kita hanya dapat memuliakan Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian kita akan tanah didasari oleh kepedulian iman kita,'' katanya. Sambil merujuk ke proses kisah penciptaan, di mana Tuhan menciptakan tanah dan bumi lebih dulu, baru menciptakan manusia, P. Peter menegaskan bahwa merusak alam sama dengan seluruh tatanan yang sudah dipersiapakan Tuhan sebelumnya.
Sementara dalam diskusi seusai misa, doktor teologi moral lulusan Universitas Lateran, Roma ini, membahas kepedulian manusia, khususnya warga Manggarai, atas tanah dan bumi dari perspektif filosofis, kosmologis, sosio-antropologis.
Dengan makalah berjudul ''Mengubur Mitos, Mengubur Masa Depan,'' Pater Peter menyebut beberapa alasan kepedulian kita terhadap tanah dan bumi. Pertama, tanggung jawab moral dan taruhan iman kristiani. Dewasa ini, menurutnya, baik-buruknya seorang manusia bukan hanya karena dia baik dengan sesama tetapi juga dengan alam sekitar. Khususnya di Manggarai, menurut pengamatannya, begitu banyak kultur akan hilang begitu tanah sudah tidak ada lagi. Sekadar menyebut beberapa jenis budaya seperti ''gendang'', ''caci'', ''penti'' semuanya itu, menurut Pater Peter, dilakukan dalam integrasinya dengan alam semesta, lama-lama terancam punah kalau sudah tidak ada lagi tanah.
Kedua, alasan kepedulian kita ialah hormat terhadap hidup dan integralitas kehidupan. Menurutnya, korelasi kehidupan sangat penting di dunia ini. ''Yang satu hidup karena yang lain memberi hidup. Merusak yang satu akan merusak secara keseluruhan,'' ujarnya.
Ketiga, kenyataan bahwa manusia makhluk ekologis, bukan hanya makhluk rasional dan sosial. Kesatuan manusia dan alam adalah kenyataan kasat mata yang tak terbantahkan.
Atas dasar itu, demikian Pater Peter, kita tidak bisa diam berhadapan dengan masalah tambang besar terbuka di Manggarai. ''Ini masalah kemanusiaan,'' tegasnya lagi. Selain itu, menurut pengamatannya, seluruh proses penambangan di Manggarai, secara etis tidak dapat dipertanggungjawabkan.
''Yang terjadi adalah mengabaikan potensi nyata dan mengejar mitos kesejahteraan: tambang menjadi primadona sementara peran dan partisipasi warga terabaikan. Masyarakat bukan lagi subyek tetapi obyek pembangunan. Ini tidak etis,'' katanya.
Perampasan Sistematis
Sementara itu, anggota JPIC OFM lain, P. Mikhael Peruhe, OFM, menyajikan hasil penelitian terakhir tambang besar terbuka di Manggarai. Sebelum menyajikan makalah berjudul ''Predatory Corporations: Perusahaan-perusahaan Pemangsa Manggarai'' Pater Mikhael memutar slides pengglian dan lubang-lubang besar liar eksplorasi tambang besar terbuka di Manggarai.
Keprihatinan Pater Mikhael tak tertahankan ketika dia memaparkan hasil temuan mutakhirnya di Manggarai. Dia menyimpulkan bahwa upaya masayarakat Manggarai yang berjuang untuk hidup tak dihargai oleh pemerintahnya, tetapi investor luar malah diberi penghargaan. ''Sungguh sebuah ironi besar yang memalukan,'' katanya.
Dari pertemuannya dengan warga kampung di sekitar tambang, Pater Mikhael berani menegaskan bahwa semua penjelasan pemerintah yang membenarkan eksplorasi itu, sangat jauh sekali dari fakta lapangan.
''Yg ditampilkan …mulai dari Robek (hutan Kedindi) sampe di Satar Punda. Ada sekitar 6 lubang besar. Golo Rawang yang tadi kita lihat maka seluruh areal persawahan mulai dari Wae Nau dan jelas-2 kampung Rawang akan pindah. Rawang 60 ton per tahun dihasilkan dari areal pertanian. Selalu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Ini tak dianggap pemerintah. Bisa jadi masyarakat akan direlokasi. Masih cukp banyak lubang-lubang yang akan digali investor,'' ujarnya.
Yang lebih memalukan, lanjutnya, dasar kesepakatan pemerintah dengan investor. Menurutnya, untuk mengikat investor, pemerintah melakukan perjanjian dengan investor dengan saving ke bank Rp25 juta untuk reklamasi pantai. PAD yang masuk dari perusahaan pertambangan Rp80 juta pertahun, sementara dari hasil penelitian, keuntungan tambang 1 perusahaan dalam 3 tahun bisa mencapai Rp5 triliun.
Hal-hal lain, menurutnya, belum termasuk kehancuran ekolopgis, eksploitasi buruh yang luar biasa, dan dia sendiri mendapati 19 ibu sudah ditemukan darah mereka terkontaminasi oleh mangan.
Pada akhirnya, kata Pater Mikhael lagi, tambang di Manggarai akan mematikan warga dan memusnahkan tanah Manggarai. ''Benar-benar suatu tindakan perampasan secara sistematis,'' tegasnya dalam pernyataan akhir makalahnya.
Marah
Semua peserta hampir tidak berkomentar apa pun ketika menyaksikan slides tentang tambang di Manggarai. Rata -rata semua larut dalam amarah besar. Frans Nembo, dalam sesi diskusi, mengatakan, sangat sedih dan mengatakan, tidak lama lagi Manggarai akan punah. ''There's no longer my Manggarai,'' katanya.
Sementara itu, wartawan senior Kompas Rikard Bagun, yang tampil sebagai pembahas, menegaskan perlu segera kita melakukan gerakan penyadaran untuk melawan tindakan perampasan ini. Dia menyarakan agar gerakan penyadaran ini dilakukan secara sistematis di tingkat komunitas basis di Manggarai.
Pembahas lain, Don Klaudius Marut, menegaskan tambang diMangarai itu bersifat tambang besar terbuka, yang sistemnya mengeruk lalu langsung dibawa ke laut dan dibawa ke luar.''Praktis tidak ada untuk warga di sekitar tambang,'' tegasnya. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menolak dan menghentikan tambang itu, sambil mengingatkan bahwa dalam menjalankan gerakan penyadaran itu nantinya, kita akan menghadapi masalah-masalah mentalitas orang Manggarai sendiri, seperti egoisme dan oportunistik.
Pertemuan yang dimoderatori oleh Gerard N. Bibang ini berakhir dengan pembacaan resume dan pernyataan sikap. Semua sepakat untuk menghentikan eksplorasi tambang besar terbuka sekarang juga. Semua sepakat bahwa kita harus melakukan sesuatu: Suatu Gerakan! Kesepakatan itu dirangkum dalam sebuah komitmen, lalu disusul dengan pernyataan sikap. Semua sepakat agar sekarang juga harus dilakukan gerakan moral, gerakan penyadaran dan pencerahan di bumi Manggarai nan permai.
Oleh Gerard N Bibang
''Lawan dan hentikan tambang besar terbuka di Manggarai sekarang juga!''. Seruan bernada radikal ini adalah satu dari beberapa pernyataan sikap JPIC (Justice, Peace and Integrity of Creation)-OFM dan warga Manggarai di Jakarta peduli tambang, yang tergabung dalam kelompok Tenang Tanage (Mengenang Tanah Air). Seruan tersebut merupakan suatu kristalisasi dari seluruh rangkaian acara dalam suatu pertemuan informal JPIC OFM dan kelompok Tenang Tanage di Aula Paroki Kramat lantai 3, Jakarta Pusat, Minggu lalu (16/11/).
Menurut JPIC dan kelompok Tenang Tanage, seruan ini akan menggelorakan spirit kepedulian terhadap tanah Manggarai dan akan memicu suatu proses peradaban besar di masa depan, yaitu gerakan penyadaran secara massal dan komprehensif di setiap komunitas basis di Manggarai. Gerakan penyadaran ini akan memberikan pencerahan kepada komunitas basis sehingga mereka menyadari akan bencana dan bahaya besar yang diakibatkan oleh tambang besar terbuka di daerah ini.
Dengan mengusung tema besar ''Tenang Tanage'', pertemuan informal yang diprakarsai JPIC OFM ini dibagi dalam dua bagian besar. Dalam misa Tenang Tanage, tema itu diulas dari segi teologis dan iman kristiani, sementara dalam diskusi tema yang sama dibahas dalam perspektif filosofis, kosmologis dan sosio-antropologis. Hadir dalam acara ini para pastor OFM dari JPIC, antara lain P. Peter Amman, OFM, P. Mikhael Peruhe, OFM, P. Darmin Mbula, OFM dan P. Christo, OFM, serta tokoh-tokoh Manggarai di Jakarta, antara lain wartawan senior Kompas Rikard Bagun, Frans Nembo, Nani Rengka, Don Klaudius Marut dan Ansel Alaman.
Perkara Iman dan Integritas Kehidupan
Dalam misa yang didaraskan seluruhnya dalam bahasa Manggarai ini, P. Peter Amman, OFM selaku konselebran utama - didampingi oleh rekan-rekan OFM dari JPIC- dalam khotbahnya yang disampaikan dalam bahasa Manggarai, mengingatkan hadirin akan pentingnya bumi tempat kita berpijak.
''Kita hanya dapat memuliakan Tuhan di atas tanah tempat kita berpijak. Kepedulian kita akan tanah didasari oleh kepedulian iman kita,'' katanya. Sambil merujuk ke proses kisah penciptaan, di mana Tuhan menciptakan tanah dan bumi lebih dulu, baru menciptakan manusia, P. Peter menegaskan bahwa merusak alam sama dengan seluruh tatanan yang sudah dipersiapakan Tuhan sebelumnya.
Sementara dalam diskusi seusai misa, doktor teologi moral lulusan Universitas Lateran, Roma ini, membahas kepedulian manusia, khususnya warga Manggarai, atas tanah dan bumi dari perspektif filosofis, kosmologis, sosio-antropologis.
Dengan makalah berjudul ''Mengubur Mitos, Mengubur Masa Depan,'' Pater Peter menyebut beberapa alasan kepedulian kita terhadap tanah dan bumi. Pertama, tanggung jawab moral dan taruhan iman kristiani. Dewasa ini, menurutnya, baik-buruknya seorang manusia bukan hanya karena dia baik dengan sesama tetapi juga dengan alam sekitar. Khususnya di Manggarai, menurut pengamatannya, begitu banyak kultur akan hilang begitu tanah sudah tidak ada lagi. Sekadar menyebut beberapa jenis budaya seperti ''gendang'', ''caci'', ''penti'' semuanya itu, menurut Pater Peter, dilakukan dalam integrasinya dengan alam semesta, lama-lama terancam punah kalau sudah tidak ada lagi tanah.
Kedua, alasan kepedulian kita ialah hormat terhadap hidup dan integralitas kehidupan. Menurutnya, korelasi kehidupan sangat penting di dunia ini. ''Yang satu hidup karena yang lain memberi hidup. Merusak yang satu akan merusak secara keseluruhan,'' ujarnya.
Ketiga, kenyataan bahwa manusia makhluk ekologis, bukan hanya makhluk rasional dan sosial. Kesatuan manusia dan alam adalah kenyataan kasat mata yang tak terbantahkan.
Atas dasar itu, demikian Pater Peter, kita tidak bisa diam berhadapan dengan masalah tambang besar terbuka di Manggarai. ''Ini masalah kemanusiaan,'' tegasnya lagi. Selain itu, menurut pengamatannya, seluruh proses penambangan di Manggarai, secara etis tidak dapat dipertanggungjawabkan.
''Yang terjadi adalah mengabaikan potensi nyata dan mengejar mitos kesejahteraan: tambang menjadi primadona sementara peran dan partisipasi warga terabaikan. Masyarakat bukan lagi subyek tetapi obyek pembangunan. Ini tidak etis,'' katanya.
Perampasan Sistematis
Sementara itu, anggota JPIC OFM lain, P. Mikhael Peruhe, OFM, menyajikan hasil penelitian terakhir tambang besar terbuka di Manggarai. Sebelum menyajikan makalah berjudul ''Predatory Corporations: Perusahaan-perusahaan Pemangsa Manggarai'' Pater Mikhael memutar slides pengglian dan lubang-lubang besar liar eksplorasi tambang besar terbuka di Manggarai.
Keprihatinan Pater Mikhael tak tertahankan ketika dia memaparkan hasil temuan mutakhirnya di Manggarai. Dia menyimpulkan bahwa upaya masayarakat Manggarai yang berjuang untuk hidup tak dihargai oleh pemerintahnya, tetapi investor luar malah diberi penghargaan. ''Sungguh sebuah ironi besar yang memalukan,'' katanya.
Dari pertemuannya dengan warga kampung di sekitar tambang, Pater Mikhael berani menegaskan bahwa semua penjelasan pemerintah yang membenarkan eksplorasi itu, sangat jauh sekali dari fakta lapangan.
''Yg ditampilkan …mulai dari Robek (hutan Kedindi) sampe di Satar Punda. Ada sekitar 6 lubang besar. Golo Rawang yang tadi kita lihat maka seluruh areal persawahan mulai dari Wae Nau dan jelas-2 kampung Rawang akan pindah. Rawang 60 ton per tahun dihasilkan dari areal pertanian. Selalu membiayai pendidikan anak-anak mereka. Ini tak dianggap pemerintah. Bisa jadi masyarakat akan direlokasi. Masih cukp banyak lubang-lubang yang akan digali investor,'' ujarnya.
Yang lebih memalukan, lanjutnya, dasar kesepakatan pemerintah dengan investor. Menurutnya, untuk mengikat investor, pemerintah melakukan perjanjian dengan investor dengan saving ke bank Rp25 juta untuk reklamasi pantai. PAD yang masuk dari perusahaan pertambangan Rp80 juta pertahun, sementara dari hasil penelitian, keuntungan tambang 1 perusahaan dalam 3 tahun bisa mencapai Rp5 triliun.
Hal-hal lain, menurutnya, belum termasuk kehancuran ekolopgis, eksploitasi buruh yang luar biasa, dan dia sendiri mendapati 19 ibu sudah ditemukan darah mereka terkontaminasi oleh mangan.
Pada akhirnya, kata Pater Mikhael lagi, tambang di Manggarai akan mematikan warga dan memusnahkan tanah Manggarai. ''Benar-benar suatu tindakan perampasan secara sistematis,'' tegasnya dalam pernyataan akhir makalahnya.
Marah
Semua peserta hampir tidak berkomentar apa pun ketika menyaksikan slides tentang tambang di Manggarai. Rata -rata semua larut dalam amarah besar. Frans Nembo, dalam sesi diskusi, mengatakan, sangat sedih dan mengatakan, tidak lama lagi Manggarai akan punah. ''There's no longer my Manggarai,'' katanya.
Sementara itu, wartawan senior Kompas Rikard Bagun, yang tampil sebagai pembahas, menegaskan perlu segera kita melakukan gerakan penyadaran untuk melawan tindakan perampasan ini. Dia menyarakan agar gerakan penyadaran ini dilakukan secara sistematis di tingkat komunitas basis di Manggarai.
Pembahas lain, Don Klaudius Marut, menegaskan tambang diMangarai itu bersifat tambang besar terbuka, yang sistemnya mengeruk lalu langsung dibawa ke laut dan dibawa ke luar.''Praktis tidak ada untuk warga di sekitar tambang,'' tegasnya. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali menolak dan menghentikan tambang itu, sambil mengingatkan bahwa dalam menjalankan gerakan penyadaran itu nantinya, kita akan menghadapi masalah-masalah mentalitas orang Manggarai sendiri, seperti egoisme dan oportunistik.
Pertemuan yang dimoderatori oleh Gerard N. Bibang ini berakhir dengan pembacaan resume dan pernyataan sikap. Semua sepakat untuk menghentikan eksplorasi tambang besar terbuka sekarang juga. Semua sepakat bahwa kita harus melakukan sesuatu: Suatu Gerakan! Kesepakatan itu dirangkum dalam sebuah komitmen, lalu disusul dengan pernyataan sikap. Semua sepakat agar sekarang juga harus dilakukan gerakan moral, gerakan penyadaran dan pencerahan di bumi Manggarai nan permai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar