“Membaca” Tudingan Kapolres Ngada
(Terhadap Media terkait Kasus Romo Faustin)
Oleh Steph Tupeng Witin
Kematian Romo Faustin Sega adalah salah satu dari sekian banyak kasus kriminal di Kabupaten Ngada yang terus menyisahkan pertanyaan di benak rakyat. Setiap pertanyaan terkait penyelesaian kasus kriminal membutuhkan jawaban. Pertanyaan-pertanyaan itu boleh jadi adalah ungkapan ketidakpuasan, kecemasan, kegelisahan, kegusaran dan ketidakberdayaan di hadapan “tembok kekuasaan” aparat penegak hukum yang selalu terkesan “bersembunyi” di baliknya. Bisa jadi pertanyaan dan sederet ketidakpuasan itu merupakan sebuah kritik keras terhadap kinerja aparat penegak hokum khususnya kepolisian yang jarang sekali memenuhi rasa keadilan masyarakat. Kalaupun itu dipenuhi, biasanya sudah pada posisi terdesak dan tersudut.
Jawaban atas kegelisahan rakyat adalah kristalisasi dari keseluruhan proses untuk membuka tabir kasus kriminal yang berjasa melahirkan rangkaian pertanyaan tersebut. Jawaban yang dituntut rakyat dari aparat penegak hukum adalah hak masyarakat yang mesti dipenuhi oleh aparat penegak hukum khususnya kepolisian yang memiliki wewenang bukan saja untuk sebatas hanya melakukan investigasi, penyelidikan dan penyidikan tetapi membuka kran informasi itu ke tengah publik. Publik berhak untuk mengetahui informasi itu untuk mengukur sejauh mana aparat penegak hukum telah mengamalkan “pelayanannya” kepada masyarakat. Kehausan akan informasi terkait kasus-kasus kriminal di Ngada khususnya kematian Romo Faustin Sega yang diduga meninggal secara tidak wajar oleh banyak kalangan sesungguhnya mengungkapkan kerinduan tak terbatas dari publik Flores dan Ngada khususnya untuk mengukur kemurnian, komitmen dan keseriusan aparat penegak hukum dalam menuntaskan kasus itu. Penuntasan kasus itu secara utuh dalam bingkai kriminalitas akan sangat menentukan apakah polisi memihak kebenaran dan menegakkan keadilann. Inilah jawaban yang tengah ditunggu publik.
Tulisan ini merupakan sebuah ikhtiar untuk menanggapi secara publik tudingan Kapolres Ngada, AKBP Erdy S. yang menuding pers/media berada di balik keresahan masyarakat Ngada terkait kasus kematian Romo Faustin Sega (Flores Pos, Sabtu, 29/11/2008). Menurut penulis, tudingan ini sangat tendensius, terkesan mengalihkan soal, yang sekaligus menimbulkan pertanyaan: sudah sejauhmana aparat penegak hukum kita mereformasi diri dalam kinerja dan pelayanannnya kepada publik? Substansi pertanyaan utusan para Imam KAE dan awam Katolik adalah sejauhmana aparat kepolisian menindaklanjuti kasus kematian Romo Faustin Sega berdasarkan kinerja aparat kepolisian dan masukan dari masyarakat dan Gereja melalui JPIC dan YBBH Veritas Jakarta. Pertanyaan ini sesungguhnya mengajak Kapolres Erdy untuk masuk ke dalam “kedalaman,” isi, substansi dari persoalan. Kapolres Erdy malah menuding pers/media sebagai sumber keresahan. Jawaban sekaligus tudingan ini sangat dangkal yang mengindikasikan bahwa pejabat publik ini tidak mengerti apalagi memahami substansi pertanyaan. Yang ditanyakan adalah sejauhmana aparat polisi bekerja tetapi yang dijawab Kapolres adalah tudingan kepada pers/media. Jawaban ini menunjukkan bahwa Kapolres Ngada masih “bermain” di level pinggir kasus ini. Tulisan ini sekaligus merupakan ajakan kepada Kapolres Ngada untuk sudah saatnya “Bertolak ke tempat yang dalam,” ke dalam substansi kasus ini dan jangan lagi membuat keresahan di kalangan publik apalagi menuding pihak-pihak lain.
Kita akan mecoba membedah beberapa pernyataan Kapolres Ngada untuk membuka kesadaran publik demi menjernihkan persoalan dan menghilangkan fakta penudingan yang acapkali menjadi medium “paling sederhana” untuk membela diri. Pertama, Kapolres Erdy menyatakan bahwa kesimpangsiuran berita kematian Romo Faustin terjadi karena berita media. Ulasan berita media tidak bisa dipertanggungjawabkan. Polisi tidak diberi peluang untuk menjelaskan masalah yang terjadi. Seolah-olah polisi tertutup. Kematian Romo Faustin adalah sebuah tanda tanya. Tanda tanya melahirkan kecemasan, kegelisahan dan ketakutan yang sebetulnya berakar dalam gugatan terhadap kinerja kepolisian. Kecemasan, kegelisahan dan ketakutan itu fakta yang hadir di tengah masyarakat. Media/pers adalah medium untuk menghadirkan fakta-fakta itu. Sebenarnya media/pers membantu polisi untuk menangkap fakta-fakta dan selanjutnya memurnikan dan menindaklanjuti fakta-fakta itu dalam bingkai hukum/ kepolisian. Fakta-fakta yang diangkat oleh pers/media mestinya merangsang intuisi intelijen polisi untuk bekerja maksimal. Maka tudingan Kapolres Erdy sangat tidak berdasar. Tudingan itu hanya menggambarkanb kegagapan dalam menahan derasnya laju keresahan dan kegelisahan publik. Laju keresahan dan kegelisahan itu sesungguhnya sebuah gugatan kritis terhadap kinerja aparat kepolisian yang lamban. Tudingan itu merupakan sebuah “keresahan baru” yang dilontarkan Kapolres Ngada. Tudingan itu menegaskan bahwa Kapolres Ngada menciptakan masalah baru di atas kasus Romo Faustin yang masih “misterius” ini. Terkait ketertutupan polisi, sebenarnya pernyataan Kapolres itu membenarkan kenyataan yang terjadi saat ini bahwa polisi sangat tertutup. Ketertutupan polisi ini sebetulnya “bola api” yang akan semakin menggumpalkan keresahan dan kegelisahan di kalangan rakyat. Polisi yang akan menentukan sampai kapan keresahan itu selesai. Pihak pers/media sebetulnya rindu: kapan Kapolres Ngada menggelar konperensi pers yang melibatkan semua wartawan di Ngada untuk menjelaskan kasus ini? Mengapa Kapolres Erdy enggan bicara terbuka dengan pers/media yang menjadi saluran bagi rakyat untuk mengakses informasi? Justru ketertutupan polisi akan semakin menggumpalkan keresahan di nurani rakyat. Boleh jadi keresahan itu akan kian menajamkan ketidakpercayaan publik terhadap kinerja aparat kepolisian yang merupakan pancaran dari ketidakberpihakan kepolisian pada nilai kebenaran dan keadilan yang “diagungkan” setiap kali disumpah saat dilantik menjadi Kapolres/Kapolda atau Kapolri.
Kedua, kita kutip kata-kata Kapolres Erdy: “Simpangsiur berita itu karena media. Masyarakat resah karena baca media. Polisi sudah jauh sekali melakukan penyelidikan. Sudah banyak yang polisi lakukan. Polisi tidak tinggal diam.” Sebetulnya publik resah dengan kinerja kepolisian. Fakta-fakta tercecer di tengah masyarakat berupa informasi, investigasi tim pengacara dan JPIC seputar kematian Romo Faustin dihadirkan kembali oleh pers/media melalui pemberitaan. Publik berhak untuk mengakses informasi biarpun itu meresahkan. Kepingan-kepingan fakta yang simpangsiur itu harus diluruskan oleh polisi melalui kewenangannya. Lalu mengapa Kapolres mempersalahkan pers/media? Ketika Kapolres Ngada mempersalahkan pers/media maka sesungguhnya Kapolres Ngada sedang memasung dan membungkam kemerdekaan pers/media untuk menghadirkan informasi yang bertanggung jawab. Pers/media harus dan harus mengangkat suara rakyat khususnya yang menjadi korban kekuasaan. Aparat polisi sudah saatnya menjawabi keresahan rakyat melalui kinerja yang profesional dan bertanggung jawab. Polisi yang profesional dan memahami persoalan tidak akan mengeluarkan pernyataan yang sebenarnya semakin menunjukkan ketidakmampuannya merespon keresahan dan menjawabinya melalui penanganan yang tuntas. Kapolres Erdy mengatakan, polisi sudah jauh melakukan penyelidikan. Kata “sudah jauh sekali” merupakan substansi, isi, kedalaman dari pernyataan itu yang belum dijelaskan sampai saat ini. Publik perlu tahu isi dari kata “sudah jauh sekali”itu. Berapa senti meter? Polisi mesti menjelaskan dan proaktif untuk membuktikan kata-kata “sudah jauh sekali” itu. Jangan-jangan, karena “sudah jauh sekali” sampai-sampai polisi juga “sudah jauh sekali” tidak sanggup menjelaskan semua itu. Kata-kata itu saja sudah menggambarkan bahwa kinerja polisi sangat kabur dan mengambang. Boleh jadi kita bisa menduga bahwa polisi belum berbuat apa-apa. Bisa jadi publik menduga bahwa polisi tidak serius menangani soal ini. Kata-kata “sudah jauh sekali” sebenarnya sebuah keresahan baru yang sekali lagi diciptakan oleh Kapolres Erdy. Polisi harus membuktikan kata-kata itu. Persoalan kasus kematian Romo Faustin Sega mesti dibuka secara luas dalam bingkai kriminalitas yang menjadi wewenang polisi. Publik mengharapkan agar kasus Romo Faustin Sega dari sisi kriminal ditangani dengan tuntas. Kehausan publik untuk mendapatkan informasi terkait tahap dan proses penyelidikan aparat kepolisian agar ditanggapi secara profesional dan bertanggung jawab. Mencari kambing hitam, lempar tanggung jawab apalagi cuci tangan ala pilatus hanya semakin memperpanjang urat keresahan di masyarakat.
Kita harapkan agar terurainya kasus kematian Romo Faustin Sega hingga tuntas akan memuaskan dahaga nurani publik Ngada yang telah sekian lama mengembara dalam ketidakpastian dan kekecewaan terhadap tidak tuntasnya beberapa kasus kriminal. Ajakan untuk saling mendukung dan kerja sama mesti menjadi kenyataan ketika kita masing-masing menjalankan peran dan profesi kita dengan penuh tanggung jawab. Aparat penegak hukum khususnya kepolisian agar dalam semangat reformasi lebih peka dan transparan sebelum akhirnya “dipaksa” untuk transparan oleh publik yang telanjur kecewa karena dikecewakan. Aparat yang profesional akan tenang dan tidak membuat pernyataan kontroversial yang semakin memperparah kecemasan dan kebingungan publik yang sesungguhnya hanya mengungkapkan kegagapannya di hadapan sorotan publik. *
Penulis adalah wartawan, tinggal di Ende, Flores.
Minggu, 14 Desember 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar